Performa kelinci lokal jantan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Peubah konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan harian memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan efisiensi pakan memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).
Tabel 5. Rataan Konsumsi, PBBH, dan Efisiensi Pakan pada Kelinci Lokal Jantan
Perlakuan Parameter Konsumsi BK (g/ekor/hari) PBBH (g/ekor/hari) Efisiensi Pakan P0 69,13±15,38 17,14±1,45 0,26±0,05a P1 72,82±18,48 12,14±5,16 0,16±0,04b P2 104,41±3,15 17,40±0,70 0,17±0,01b P3 95,26±32,13 14,21±4,62 0,15±0,02b Rata-Rata 85,40±17,14 15,22±2,51 0,18±0,05
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45% limbah tauge. PBBH= Pertambahan Bobot Badan Harian, BK= Bahan Kering
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi merupakan aspek yang penting untuk menentukan nilai nutrisi bahan pakan. Hewan yang mempunyai sifat dan konsumsi yang lebih tinggi, produksinya relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan sifat konsumsi rendah (Parakkasi, 1999). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kansumsi bahan kering (P>0,05). Perlakuan limbah tauge pada kelinci lokal jantan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rata-rata konsumsi bahan kering (P>0,05) akan tetapi pada (P<0,20) menunjukkan bahwa ransum dengan penambahan limbah tauge cenderung meningkatkan konsumsi bahan kering dibandingkan dengan ransum komersil.
Kecenderungan meningkatnya konsumsi bahan kering pada ransum yang ditambahkan limbah tauge menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge cenderung meningkatkan palatabilitas pakan kelinci. Meningkatnya palatabilitas pakan ini disebabkan karena limbah tauge ini termasuk dalam hijaun yang dapat
28 dimanfaatkan kelinci sebagai salah satu sumber serat yaitu kelinci merupakan hewan pseudoruminan yang memerlukan hijauan dalam pakannya. Sesuai dengan pernyataan Damron (2003) terdapat dua bahan pakan yang umum diberikan pada kelinci yaitu hijauan dan konsentrat.
Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa konsumsi pakan selain dipengaruhi oleh palatabilitas pakan juga dipengaruhi oleh kandungan energi pakan. Pakan dengan 100% ransum komersil mengandung energi dan protein yang lebih banyak dibandingkan dengan pakan yang ditambahkan limbah tauge. Semakin rendah kandungan energi dalam pakan menyebabkan konsumsi pakan semakin meningkat karena kelinci mengkonsumsi lebih banyak agar kebutuhan energi dalam tubuh kelinci tercapai. Kandungan serat yang tinggi pada pakan yang ditambahkan limbah tauge juga akan menyebabkan laju pergerakan zat makanan lebih cepat sehingga kesempatan mikroba dalam saluran pencernaan untuk mendegradasi zat makanan tersebut lebih sedikit. Cepatnya laju zat makanan juga menyebabkan pengosongan lambung lebih cepat dan minimumnya penyerapan zat makanan oleh tubuh sehingga kelinci akan lebih cepat lapar. Sesuai dengan pernyataan Rianto et al. (2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi menyebabkan laju digesta dalam saluran pencernaan semakin tinggi, sehingga waktu yang tersedia bagi enzim untuk mengurai zat makanan menjadi terbatas.
Rataan konsumsi bahan kering hasil penelitian sebesar 85,40 g/ekor/hari sedangkan rataan konsumsi bahan kering hasil penelitian Lestari (2004) yang menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan dengan bobot badan awal 1.369 g yang diberi ransum komplit dengan penambahan kulit biji kedelai (KBK) yaitu sebesar 53,89 g/ekor/hari. Konsumsi bahan kering penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian Lestari (2004). Perbedaan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dengan penelitian Lestari (2004) disebabkan karena kandungan lemak kasar dalam penelitian Lestari lebih tinggi yaitu rata-rata 5,42% sedangkan lemak kasar ransum penelitian ini sebesar 2,40%. kandungan lemak yang tinggi menyebabkan produksi energi dalam tubuh juga akan lebih banyak karena lemak menghasilkan energi lebih tinggi daripada karbohidrat. Energi yang tinggi menyebabkan kelinci lebih cepat kenyang sehingga akan mengkonsumsi lebih sedikit. Konsumsi bahan kering kelinci penelitian sudah berada pada kisaran yang
29 telah direkomendasikan oleh NRC (1977) yaitu konsumsi bahan kering kelinci untuk hidup pokok dan pertumbuhan berkisar antara 5%-8% dari bobot badan.
Pertambahan Bobot Badan Harian
Pertumbuhan merupakan peningkatan ukuran tubuh (Cunningham et al. 2005). Pertumbuhan juga akan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Menurut Cunningham et al. (2005), pemberian nutrisi dalam pakan merupakan faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan.
Hasil uji sidik ragam menunjukkan perbedaan kelompok tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan harian kelinci (P>0,05). Pertambahan bobot badan harian memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada masing-masing perlakuan (P>0,05), sehingga pemberian limbah tauge sampai taraf 45% tidak akan mempengaruhi pertambahan bobot badan harian kelinci. Hal tersebut dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan limbah tauge dapat memberikan pertambahan bobot badan harian yang sama dengan penggunaan ransum komersil saja.
Berdasarkan konsumsi pakan seperti yang terlihat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ransum komersil yang ditambahkan limbah tauge cenderung meningkatkan konsumsi daripada 100% ransum komersil. Tingginya konsumsi pakan seharusnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang lebih tinggi, namun dari hasil penelitian diperoleh pertambahan bobot badan harian yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal tersebut diduga karena ransum komersil yang ditambahkan limbah tauge mempunyai kandungan energi yang lebih rendah dibandingkan 100% ransum komersil. Kandungan energi yang rendah pada pakan menyebabkan kelinci cenderung mengkonsumsi pakan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam tubuhnya.
Energi diperoleh salah satunya dari fermentasi serat, dimana sebagian besar serat tersebut merupakan selulosa. Ketersediaan selulosa juga dipengaruhi oleh keberadaan lignin dalam dinding sel. Sesuai dengan pernyataan Perry et al. (2004), keberadaan lignin dapat mengurangi kecernaan nutrisi, terutama selulosa. Kecernaan selulosa yang rendah akan menyebabkan produksi energi juga rendah. Energi yang belum terpenuhi tersebut menyebabkan kelinci cenderung mengkonsumsi pakan lebih banyak tetapi tidak dikonversi dengan baik ke dalam pertambahan bobot badan harian. Kandungan anti nutrisi seperti anti tripsin dan hemaglutinin dalam limbah
30 tauge juga dapat menghambat proses pertumbuhan. Menurut Okoronkwo et al. (2010) anti tripsin yang ada dalam tauge sebesar 8,37 Tiu/100 g sedangkan hemaglutinin sebesar 209,70 Hu/100 g.
Pankreas mensekresikan enzim pencerna protein (tripsinogen) dalam bentuk inaktif ke dalam lumen duodenum. Tripsinogen yang masih bersifat inaktif akan diubah oleh enzim enteropeptidase yang terikat dengan epitelium usus halus menjadi bentuk yang aktif yaitu tripsin. Tripsin sangat berpengaruh terhadap pencernaan protein karena tripsin akan mengaktifkan prokarboksipeptidase dan kimotripsinogen. Tripsin akan mengaktifkan prokarboksipeptidase menjadi karboksipeptidase dan kimotripsinogen menjadi kimotripsin. Kimotripsin akan memutuskan polipeptida besar menjadi rantai yang lebih pendek sedangkan karboksipeptidase akan memecah asam amino yang dimulai dari gugus karboksil yang bebas. Keberadaan anti tripsin menyebabkan enteropeptidase tidak mampu mengubah tripsinogen menjadi tripsin sehingga hal ini dapat mempengaruhi pencernaan protein. Sesuai dengan pernyataan Ekawati dan Lidartawan (1996) bahwa anti tripsin adalah jenis protein yang menghambat kerja enzim tripsin di dalam tubuh. Anti tripsin menyebabkan enzim tripsin tidak mampu menghidrolisa protein dengan sempurna sehingga ketersediaan asam amino esensial menjadi rendah dan terjadi penurunan absorbsi oleh usus halus yang dapat menyebabkan daya cernanya menjadi rendah. Hal ini disebabkan adanya anti tripsin pada tauge dapat menghambat pertumbuhan.
Hemaglutinin dapat menyebabkan penggumpalan sel darah merah. Penggumpalan sel darah merah disebabkan karena hemaglutinin berikatan dengan gugus gula yang ada dalam sel darah merah. Dalam usus halus hemaglutinin akan mengikat sisi reseptor spesifik dari permukaan sel epitel yang menyebabkan sel-sel mukosa usus berikatan dengan hemaglutinin. Mukosa usus tertutup oleh hemaglutinin sehingga zat makanan akan sulit untuk diserap. Sesuai dengan pernyataan Ekawati dan Lidartawan (1996) bahwa hemaglutinin dapat menurunkan kemampuan dinding usus dalam penyerapan zat makanan sehingga penyerapan protein terganggu dan menurunkan daya cerna protein sehingga dapat menghambat pertumbuhan.
Kecenderungan meningkatnya konsumsi pakan pada perlakuan ransum yang ditambahkan limbah tauge tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan harian
31 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan perlakuan pemberian 100% ransum komersil yang tingkat konsusmsinya cenderung lebih rendah. Harga yang jauh lebih mahal pada pemberian 100% ransum komersil dibandingkan dengan ransum yang ditambahkan limbah tauge dengan menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tidak berbeda nyata antar perlakuan dapat dikatakan bahwa penggunaan limbah tauge dapat memberikan keuntungan bagi peternak kelinci dan dapat menurunkan biaya pakan.
Rataan pertambahan bobot badan harian dari keempat perlakuan sebesar 15,22 g/ekor/hari lebih tinggi dari hasil penelitian Lestari (2004) yaitu sebesar 6,32 g/ekor/hari. Perbedaan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dengan penelitian Lestari (2004) disebabkan karena rendahnya konsumsi pakan pada penelitian Lestari (2004) yaitu sebesar 53,89 g/ekor/hari dibandingkan dengan penelitian ini sebesar 85,40 g/ekor/hari.
Rataan pertambahan bobot badan harian kelinci penelitian ini adalah 15,22 g/ekor/hari sesuai dengan pertambahan bobot badan harian kelinci lokal menurut Lukefahr dan Cheeke (1990) sebesar 10-20 gram. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan harian kelinci penelitian termasuk baik karena berada pada kisaran tersebut.
Efisiensi Pakan
Perbedaan kelompok tidak mempengaruhi efisiensi pakan (P>0,05). Perlakuan limbah tauge memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rataan efisiensi pakan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, pemberian 100% ransum komersil memiliki efisiensi pakan yang lebih tinggi dari ransum perlakuan yang ditambahkan limbah tauge 15%-45%. Ransum dengan penambahan limbah tauge 15%-45% memiliki efisiensi pakan yang sama (Tabel.5). Perlakuan 100% ransum komersil memiliki nilai rataan efisiensi pakan yang paling bagus daripada perlakuan ransum dengan penambahan limbah tauge 15%, 30%, dan 45% yang masing-masing nilai rataan efisiensi pakannya sebesar 0,26±0,05, 0,16±0,04, 0,17±0,01, dan 0,15±0,02. Hal ini disebabkan karena kandungan serat yang berbeda dalam pakan perlakuan.
Kandungan serat yang tinggi pada perlakuan penambahan limbah tauge 15%, 30% dan 45% akan mengurangi efisiensi penggunaan pakan walaupun kelinci
32 mampu mencerna serat dalam sekumnya tetapi tidak mampu terabsorpsi sempurna dalam tubuh. Kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan dapat menyebabkan nutrient yang lain akan terbuang bersama feses. Konsumsi yang cenderung lebih rendah pada perlakuan 100% ransum komersil namun menghasilkan pertambahan bobot badan yang sama juga diduga karena pakan pada perlakuan 100% ransum komersil mempunyai kualitas nutrisi yang lebih baik, dengan konsumsi pakan yang lebih sedikit, kelinci tersebut sudah mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuhnya. Pakan yang lebih rendah kualitasnya seperti pada perlakuan penambahan limbah tauge 15%, 30% dan 45% untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuhnya kelinci akan cenderung mengkonsumsi pakan lebih banyak. Adanya anti nutrisi seperti anti tripsin dan hemaglutinin dalam limbah tauge juga akan menurunkan efisiensi pakan.
Efisiensi pakan yang tinggi menunjukkan performa yang baik. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi nilai efisiensi pakan, maka pakan yang dikonsumsi oleh kelinci tersebut lebih sedikit untuk menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tinggi. Konsumsi bahan kering pada kelinci yang diberi perlakuan 100% ransum komersil (P0) cenderung lebih rendah diantara perlakuan yang lain, namun kelinci tersebut mempunyai pertambahan bobot badan harian yang sama dengan kelinci yang diberi perlakuan ransum komersil dengan penambahan limbah tauge 15% (P1), 30% (P2) dan 45% (P3) sehingga memiliki nilai efisiensi pakan yang paling tinggi diantara perlakuan yang lainnya.
Kecernaan Serat Kasar
Pemberian limbah tauge untuk kelinci diharapkan selain untuk menambah kebutuhan zat makanan pada kelinci juga difungsikan sebagai sumber serat. Rataan kecernaan serat kasar pada kelinci lokal jantan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kecernaan serat kasar (P>0,05). Perlakuan limbah tauge tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kecernaan serat kasar kelinci perlakuan (P>0,05). Hal ini disebabkan karena kelinci merupakan hindgut fermenter yang mempunyai sekum besar dan terdapat mikroba yang dapat mencerna serat kasar sehingga makanan berserat mampu dicerna oleh mikroba.
33 Tabel 6. Kecernaan Serat Kasar pada Kelinci Lokal jantan
Perlakuan Kecernaan (%)
P0 30,04±9,57
P1 44,00±13,46
P2 33,39±16,01
P3 33,23±6,85
Keterangan: P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45% limbah tauge.
Serat kasar yang sebagian besar terdiri dari selulosa akan dihidrolisis oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba dalam sekum. Enzim selulase akan menghidrolisis ikatan β-1,4-glukosida pada selulosa. Hidrolisis selulosa ini dapat dilakukan dengan pemutusan ikatan silang β-1,4-glukosida antara rantai satu dengan rantai yang lainnya sehingga akan terbentuk rantai selulosa yang lebih pendek. Hidrolisis sempurna dari enzim selulase akan menghasilkan glukosa dan hidrolisis tidak sempurna menjadi selobiosa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1979) bahwa mikroorganisme yang terdapat dalam sekum kelinci mampu mensintesa enzim selulase yang dapat mencerna dan merombak selulosa menjadi disakarida yaitu selobiosa.
Daya cerna serat pada kelinci sangat rendah jika dibandingkan dengan hewan ruminansia, kelinci akan lebih cepat mengeluarkan serat yang tidak dapat dicerna dalam bentuk feses keras sedangkan strategi pencernaan lain dari kelinci yaitu mengkonsumsi feses lunak yang dapat dikonsumsi langsung oleh kelinci (caecotrophy) untuk menyediakan protein bakteri dan sintesis vitamin B di sekum. Kecernaan serat kasar pada kelinci menurut Lebas et al. (1997) adalah 10%-30%, hasil tersebut lebih rendah daripada kecernaan serat kasar yang didapat pada penelitian ini yang nilai rataannya 35,16%. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dengan penelitian Lebas et al. (1997) kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pakan yang diberikan yaitu pakan yang diberikan pada penelitian Lebas et al. (1997) berupa jerami yang memiliki kandungan serat kasar lebih tinggi yaitu 42%. Kandungan serat kasar yang yang tinggi akan menyebabkan kecernaan lebih rendah.
34 Menurut Cheeke (2003), serat dalam pakan memiliki peran yang penting dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan yang normal dan motilitas. Kandungan serat kasar pakan perlakuan berkisar 20-30%. Angka ini lebih besar dari NRC (1977) yaitu berkisar 10-12 untuk kelinci masa pertumbuhan. Kandungan serat kasar yang lebih tinggi pada pakan perlakuan, kelinci lokal jantan masih mampu mentolerir serat kasar dalam pakan sampai 30% dan belum menimbulkan gangguan yang nyata pada kelinci tersebut serta tidak mempengaruhi kecernaan seratnya. Hal ini disebabkan karena kelinci akan lebih cepat mengeluarkan serat yang tidak dapat dicerna dalam bentuk feses keras sehingga walaupun kelinci mengkonsumsi serat dalam jumlah yang lebih tinggi namun serat tersebut tidak termanfaatkan secara sempurna karena pergerakan dalam saluran pencernaan lebih cepat.
Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF)
Komponen utama NDF adalah lignin, hemiselulosa, selulosa, dan kandungan abu yang tidak larut (Cunningham et al.,2005). Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kecernaan NDF (P>0,05). Perlakuan limbah tauge tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kecernaan NDF kelinci perlakuan (P>0,05), sehingga dikatakan bahwa limbah tauge memberikan pengaruh kecernaan NDF yang sama untuk semua perlakuan. Pemberian limbah tauge sampai taraf 45% tidak akan mempengaruhi kecernaan NDF. Hal ini disebabkan karena kelinci kurang efisien dalam memanfaatkan serat dibandingkan dengan ternak ruminansia sehingga dengan kadar NDF yang lebih tinggi dalam pakan tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kecernaan namun akan berpengaruh tehadap konsumsinya. Rataan kecernaan NDF pada kelinci lokal jantan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.
Kandungan NDF pada pakan perlakuan yaitu berkisar 50,98%- 68,06% lebih tinggi dari standar kebutuhan NDF untuk kelinci masa pertumbuhan menurut McNamara (2006) yaitu sebesar 21%. Kandungan NDF yang tinggi dalam ransum penelitian disebabkan karena limbah tauge yang ditambahkan dalam ransum komersil mempunyai kandungan NDF yang tinggi. Limbah tauge yang digunakan sebagian besar terdiri dari kulit ari kacang hijau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cheeke dan Dierenfeld (2010) yang menyatakan bahwa kulit kacang hijau
35 mempunyai kandungan NDF yang tinggi. Kandungan NDF pakan penelitian yang tinggi tidak mempengaruhi tingkat kecernaan pada masing-masing perlakuan.
Tabel 7. Kecernaan NDF pada Kelinci Lokal jantan
Perlakuan Kecernaan (%)
P0 41,46±5,04
P1 43,91±10,58
P2 38,86±6,22
P3 41,36±3,65
Keterangan: P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45% limbah tauge.
Sejak fase awal dari pertumbuhan setelah disapih sampai dengan hewan-hewan dikembangbiakan (breeding herd) dilaporkan bahwa dinding sel (Neutral Deterrgent Fiber atau NDF) adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat konsumsi (Parakkasi, 1999). Semakin banyak bahan pakan mengandung NDF dalam ransum maka tingkat konsumsi akan semakin rendah, hal ini karena tingginya kandungan NDF dalam pakan yang bersifat bulky dan kaku akan membutuhkan ruang yang lebih banyak di dalam lambung. Apabila lambung sudah terisi sesuai kapasitasnya maka ternak tersebut akan cepat merasa kenyang dan konsumsinya menurun.
Pernyataan diatas tidak sesuai dengan hasil yang didapat dalam penelitian ini. Ketika kandungan NDF tinggi pada pakan penelitian justru konsumsinya akan cenderung meningkat (Tabel. 5). Konsumsi BK yang cenderung meningkat seiring meningkatnya kandungan NDF dalam pakan mengikuti pola linear dengan persamaan y= 1,896x – 28,893 dan R2= 0,6377 (Gambar 6).
36 Hal ini kemungkinan disebabkan daya cerna serat pada kelinci sangat rendah, kelinci akan lebih cepat mengeluarkan serat yang tidak dapat dicerna dalam bentuk feses keras. Serat yang tidak dapat dicerna ini terdiri dari lignin dan silika yang merupakan komponen dari dinding sel (NDF). Cepat keluarnya serat yang tidak dapat dicerna menyebabkan semakin cepat pengosongan dalam lambung sehingga meningkatkan konsumsi dari kelinci tersebut karena kelinci akan mudah lapar. Sesuai dengan pernyataan Ckeeke (2005) yang menyatakan bahwa kelinci mengeluarkan serat secara cepat dan lebih berkonsentrasi pada aktivitas pencernaan pada komponen bukan serat (nonfiber) yang lebih bergizi. Pada Gambar 6 tampak bahwa kelinci mampu mentolelir NDF dalam limbah tauge sampai taraf 30% pemberian limbah tauge dan diatas taraf 30% tampak konsumsi BK akan menurun.
Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF)
ADF merupakan serat yang tidak larut dalam detergent asam (McNitt et al., 2000). Fraksi ADF sebagian besar terdiri dari selulosa, lignin, silica, dan cutin (Cheeke, 2005). Nilai rataan kecernaan ADF kelinci lokal jantan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kecernaan ADF pada Kelinci Lokal jantan
Perlakuan Kecernaan (%)
P0 20,30±3,71
P1 31,03±15,26
P2 27,38±11,66
P3 43,36±6,12
Keterangan: P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45% limbah tauge.
Perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kecernaan ADF (P>0,05). Perlakuan limbah tauge tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kecernaan ADF (P>0,05). Pemberian limbah tauge sampai taraf 45% dalam pakan memberikan pengaruh kecernaan ADF yang sama untuk semua perlakuan (Tabel 8). Nilai rataan kecernaan ADF kelinci lokal jantan penelitian ini yaitu 30,52% lebih rendah daripada nilai kecernaan ADF pada kelinci menurut Gidenne et al. (2000)
37 yaitu sebesar 33,6%. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dengan penelitian Gidenne et al. (2000) kemungkinan disebabkan oleh rendahnya kandungan ADF dalam pakan yang diberikan pada penelitian Gidenne et al. (2000) yaitu sebesar 15,8% sehingga menyebabkan peningkatan kecernaannya.
Kandungan ADF dalam pakan perlakuan yaitu berkisar 27,28%-50,38% lebih tinggi dari standar yang dinyatakan oleh McNamara (2006) yang menyatakan bahwa kebutuhan ADF pada kelinci masa pertumbuhan yang berbobot badan 1-2 kg adalah 21%. Pada penelitian ini, kandungan ADF yang tinggi dalam pakan tidak menurunkan kecernaan. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Arsadi (2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan ADF pakan maka pakan yang dapat dicerna akan semakin rendah dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh maka ternak tersebut akan meningkatkan konsumsinya.
Konsumsi BK yang cenderung meningkat seiring meningkatnya kandungan ADF dalam pakan mengikuti pola linear dengan persamaan y= 1,417x – 31,311 dan R2= 0,7845 (Gambar 7).
Gambar 7. Grafik Regresi Konsumsi BK dan ADF
Kelinci mampu mentolelir ADF dalam limbah tauge sampai taraf 30% penambahan limbah tauge dalam pakan dan diatas taraf 30% tampak konsumsi BK akan menurun.
Kandungan ADF yang tinggi dalam pakan menyebabkan kandungan lignin dan silika mempengaruhi produksi energi metabolis karena lignin dan silika tersebut sulit dicerna menyebabkan energi dalam pakan tersebut lebih banyak keluar melalui feses. Hal ini disebabkan karena selulosa dan hemiselulosa terikat pada lignin dan silika sehingga akan lebih sulit untuk dicerna. Sesuai dengan pernyataan
38 Tomaszewska et al. (1993) yang menyatakan bahwa ikatan lignin dengan komponen selulosa dan hemiselulosa menjadi penghalang dari kerja enzim yang dikeluarkan oleh mikroba dalam saluran pencernaan. Aktivitas mikroba terhambat karena dinding sel yang terlignifikasi dapat menyebabkan enzim seperti selulase hanya mampu menyerang permukaan dinding sel. Proses lignifikasi ini menyebabkan permukaan dinding sel lebih kuat dan tidak cukup berpori untuk difusi enzim.
Tingkat konsumsi yang cenderung berbeda namun menghasilkan kecernaan ADF yang tidak berbeda nyata kemungkinan dipengaruhi oleh kemampuan absorpsi dalam usus halus, limbah tauge juga mengandung zat anti nutrisi seperti anti tripsin dan hemaglutinin yang dapat mempengaruhi absorpsi nutrisi dalam usus. Absorpsi yang rendah pada ransum yang lebih banyak mengandung limbah tauge menyebabkan peningkatkan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan zat makanan dalam tubuh. Menurut Sarwono (2009), kemampuan kelinci mencerna serat kasar (ADF = Acid Detergent Fiber) semakin bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu.
39