• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efficiency and Digestibility of Fiber in Ration which Contain Bean Sprouts Waste in Growing Phase of Local Male Rabbits

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efficiency and Digestibility of Fiber in Ration which Contain Bean Sprouts Waste in Growing Phase of Local Male Rabbits"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI DAN KECERNAAN SERAT RANSUM

MENGANDUNG LIMBAH TAUGE PADA

KELINCI LOKAL JANTAN

MASA PERTUMBUHAN

SKRIPSI

NOVYA CHRISTIANA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

NOVYA CHRISTIANA. D24080253. 2012. Efisiensi dan Kecernaan Serat Ransum Mengandung Limbah Tauge Pada Kelinci Lokal Jantan Masa Pertumbuhan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Didid Diapari, M. Si. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Jajat Jachja F. A, M. Agr.

Kelinci merupakan ternak sumber protein hewani yang dapat berpeluang sebagai produk unggulan di sektor peternakan. Kebutuhan kualitas nutrisi yang bagus pada pakan kelinci sudah tersedia pada pakan komersil namun ransum komersil untuk kelinci yang ada di pasaran cenderung mempunyai harga yang mahal sehingga diperlukan alternatif untuk mencari pakan yang tersedia secara kontinu, memiliki nilai gizi yg cukup, mudah dicerna, dan murah seperti limbah tauge. Limbah tauge merupakan sisa produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa dan kecernaan komponen serat dalam ransum komplit campuran limbah tauge dengan level pemberian limbah tauge yang berbeda pada kelinci lokal jantan masa pertumbuhan.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan uji lanjut Duncan yang terdiri dari 4 perlakuan 3 ulangan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor kelinci Lokal jantan. Perlakuan yang digunakan yaitu P0 (100% ransum komersil), P1, P2, dan P3 (masing-masing terdiri dari ransum komersil 85%, 70%, dan 55%, penambahan limbah tauge masing-masing 15%, 30% dan 45%). Peubah yang digunakan dalam penelitian adalah konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan harian, efisiensi pakan, kecernaan serat kasar (SK), kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF), dan kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF).

Berdasarkan uji sidik ragam, penambahan limbah tauge pada ransum kelinci lokal jantan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan harian, kecernaan serat kasar, kecernaan NDF dan ADF. Efisiensi pakan mempunyai pengaruh yang nyata (P<0.05). Konsumsi BK, pbbh, dan efisiensi dari P0= 69,13, 17,14 dan 0,26, P1= 72,82, 12,14 dan 0,16, P2= 104,41, 17,40 dan 0,17, P3= 95,26, 14,21 dan 0,15. Kecernaan SK, NDF, dan ADF dari P0= 30,04, 41,46 dan 20,30, P1= 44,00, 43,91 dan 31,03, P2= 33,39, 38,86 dan 27,38, P3= 33,23, 41,36 dan 43,36. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian limbah tauge sampai taraf 45% tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan harian, kecernaan serat kasar, kecernaan NDF dan kecernaan ADF. Penambahan limbah tauge pada ransum komersil dapat meningkatkan palatabilitas pakan dan cenderung meningkatkan konsumsi bahan kering namun menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tidak berbeda nyata.

(3)

ABSTRACT

Efficiency and Digestibility of Fiber in Ration which Contain Bean Sprouts Waste in Growing Phase of Local Male Rabbits

Christiana, N., D. Diapari, and J.J.F. Arief

The aims of this research to determine the feed efficiency (gram/rabbit/day) and digestibility of fiber in commercial feed with bean sprouts waste pelleted by giving the different amount of bean sprouts waste for each local male rabbits at growing phase. These rabbits were divided into four treatments and three replications. The result were analyzed using analysis of variance in completely randomized block design with Duncan advanced test. The treatments were P0 (100% commercial feed), P1, P2, and P3 (consisted of commercial feed respectively 85%, 70%, 55 % and waste of Tauge respectively 15%, 30%, 45%). The parameters in this research were consumption of dry matters, daily weight gained, feed efficiency, digestibility of crude fiber (CF), Neutral Detergent Fiber (NDF), Acid Detergent Fiber (ADF). The results of the study showed that the effect of giving bean sprouts waste in complete feed for male local rabbit was not significantly (P>0.05) affecting consumption of dry matters, daily weight gained, crude fiber digestibility, NDF digestibility and ADF digestibiltity. Feed efficiency were affected significantly (P<0.05). It can be concluded that the provision of bean sprouts waste to 45% did not affect daily weight gained, digestibility of crude fiber, NDF digestibility and ADF digestibility. Addition of bean sprouts waste on a commercial feed increased palatability of feed, and tend to increase dry matter intake but daily body weight gain was not significantly different.

(4)

EFISIENSI DAN KECERNAAN SERAT RANSUM

MENGANDUNG LIMBAH TAUGE PADA

KELINCI LOKAL JANTAN

MASA PERTUMBUHAN

NOVYA CHRISTIANA

D24080253

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Efisiensi dan Kecernaan Serat Ransum Mengandung Limbah Tauge Pada Kelinci Lokal Jantan Masa Pertumbuhan

Nama : Novya Christiana NIM : D24080253

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Ir. Didid Diapari, M. Si) NIP. 19620617 199002 1 001

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Jajat Jachja F. A, M. Agr) NIP. 19620425 198603 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr NIP. 19670506 199103 1 001

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 November 1989 di Magetan, Jawa Timur. Penulis adalah putri kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Kasruni, SP dan Ibu Hartatik.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SDN 1 Krowe, Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 2 Parang dan

pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di SMAN 2 Magetan. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi kampus antara lain: Bendahara Umum dan Dewan Penasihat Chess Unity of Agriculture (CUA) periode 2009-2010 dan 2010-2011, Sekretaris Umum II dan I

Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) periode 2009-2010 dan 2009-2010-2011, dan dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ikatan Mahasiswa, Pelajar, dan Alumni Magetan (IMPATA) sebagai anggota tahun 2008-2012.

Selama studi di IPB penulis juga mendapatkan bantuan beasiswa POM tahun 2009-2010, beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) tahun 2010-2012. Penulis juga pernah menjadi Juara 2 Kejuaraan Catur Beregu di Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2009, Juara 3 Kejuaraan Catur Putri di Home Tournament tahun 2010, Juara 2 Kejuaraan Catur Beregu di Dekan Cup tahun 2010, Delegasi IPB di Kejuaraan Nasional Catur Mahasiswa III dan IV tahun 2010 dan 2011. Penulis berkesempatan menjadi peserta Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai sebanyak 3 proposal dengan judul pertama Tepung pletekan (Ruellia tuberose l.) sebagai obat alternatif diabetes mellitus pada tikus hiperglikimia, judul kedua Pengujian tepung dan seduhan pletekan (Ruellia tuberose l.) sebagai obat herbal alternatif

diabetes mellitus secara invivo pada tikus (Rattus norvegicus), judul ketiga

Pemanfaatan limbah tongkol jagung sebagai pakan substitusi hijauan pada

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Tidak ada kata yang terucap selain alhamdulillaahirabbil’aalamiin atas segala petunjuk dan kemudahan-Nya, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan lindungan, bimbingan, serta kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efisiensi dan Kecernaan Serat Ransum Mengandung Limbah Tauge pada Kelinci Lokal Jantan Masa Pertumbuhan

dan ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Februari sampai April 2012. Pakan berperan penting dalam menentukan produktivitas ternak kelinci. Pakan yang berkualitas bagus akan menjadi perhatian penting dalam suatu peternakan kelinci. Pakan kelinci yang umum diberikan yaitu berupa ransum komersil (pellet) dan hijauan. Ransum komersil yang ada di pasaran dengan harga yang relatif mahal biasanya menjadi penghambat untuk peternakan kelinci.

Penulis mencoba membuat alternatif mengurangi penggunaan ransum komersil melalui penambahan limbah tauge dengan biaya yang lebih ekonomis dan tidak mengganggu kesehatan. Penulis membandingkan ternak kelinci yang diberi ransum komersil dengan kelinci yang diberi ransum komersil yang ditambah limbah tauge pada level pemberian yang berbeda.

Kualitas masing-masing pakan tersebut dapat dilihat dari performa dan kecernaan serat pada kelinci tersebut. Performa yang diamati meliputi konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan harian, dan efisiensi pakan.

Penulis menyadari adanya kekurangan-kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, September 2012

(8)

DAFTAR ISI

Saluran Pencernaan Kelinci ... 4

Pakan Kelinci ... 7

Konsumsi Pakan ... 7

Kebutuhan Nutrisi Kelinci ... 8

Limbah Tauge ... 10

Pembuatan Ransum Perlakuan ... 19

Persiapan Kandang ... 20

(9)

Pengumpulan Sampel ... 21

Analisa Bahan Kering ... 21

Analisa Serat Kasar ... 22

Analisa Neutral Detergent Fiber (NDF) ... 22

Analisa Acid Detergent Fiber (ADF) ... 23

Analisa Selulosa ... 23

Analisa Lignin ... 23

Rancangan Percobaan dan Analisa Data ... 24

Perlakuan ... 24

Rancangan ... 24

Analisis Data ... 25

Peubah yang Diukur ... 25

Konsumsi Bahan Kering ... 25

Pertambahan Bobot Badan Harian ... 25

Efisisensi Pakan ... 25

Kecernaan Serat Kasar ... 26

Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) ... 26

Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF) ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Konsumsi Bahan Kering ... 27

Pertambahan Bobot Badan Harian ... 29

Efisiensi Pakan ... 31

Kecernaan Serat Kasar ... 32

Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) ... 34

Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF) ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

Kesimpulan ... 39

Saran ... 39

UCAPAN TERIMA KASIH ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perbedaan Kandungan Nutrisi Feses Lunak dan Feses Keras pada

Kelinci ... 6

2. Kebutuhan Nutrisi pada Pakan Kelinci ... 9

3. Komposisi Ransum Penelitian ... 18

4. Kandungan Zat Makanan Tepung Limbah Tauge dan Ransum Perlakuan ... 19

5. Rataan Konsumsi, PBBH, dan Efisiensi Pakan pada Kelinci Lokal Jantan ... 27

6. Kecernaan Serat Kasar pada Kelinci Lokal Jantan ... 33

7. Kecernaan NDF pada Kelinci Lokal Jantan ... 35

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Sistem Saluran Pencernaan Kelinci ... 5

2. Limbah Tauge ... 11

3. Skema Dinding Sel Tanaman dan Isi Sel Tanaman ... 13

4. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest ... 14

5. Proses Pembuatan Ransum Perlakuan ... 20

6. Grafik Regresi Konsumsi BK dan NDF ... 35

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Dokumentasi Penelitian ... 45

2. Analisis Ragam Konsumsi Bahan Kering ... 46

3. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Harian ... 46

4. Analisis Ragam Efisiensi Pakan ... 46

5. Analisis Ragam Kecernaan Serat Kasar ... 47

6. Analisis Ragam Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) ... 47

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani menuntut tersedianya sumber protein hewani dari berbagai jenis ternak. Salah satu alternatif penyedia daging untuk mendorong percepatan penganeka ragaman sumber pangan asal ternak adalah kelinci. Kelinci merupakan ternak sumber protein hewani yang dapat berpeluang sebagai produk unggulan di sektor peternakan. Kelinci mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging.

Usaha budidaya ternak kelinci sebagai penghasil daging lebih menguntungkan karena kelinci merupakan ternak prolifik yang dapat beranak 6 kali dalam setahun dengan rata-rata jumlah anak 6 ekor per kelahiran (Sudaryanto, 2007). Kualitas daging kelinci juga mengandung protein tinggi yaitu 21 g/100g dan rendah kolesterol yaitu 164 mg/100g (Lebas et al., 1997).

Pakan merupakan faktor utama yang dapat menentukan keberhasilan suatu peternakan. Ketersediaan bahan baku pakan yang terjamin nilai nutrisinya dengan harga yang lebih ekonomis merupakan salah satu penunjang usaha produksi ternak kelinci. Kelinci merupakan hewan pseudo-ruminant sehingga kelinci juga mampu mengkonsumsi hijauan, limbah sayuran, dan hasil produk pakan yang mudah tersedia atau murah. Kualitas nutrisi pakan pada kelinci juga perlu diperhatikan. Kualitas pakan yang bagus biasanya sudah tersedia pada ransum komersil. Ransum komersil untuk kelinci yang ada di pasaran cenderung mempunyai harga yang mahal sehingga diperlukan alternatif untuk mencari pakan yang tersedia secara kontinu, murah, mudah didapat, memiliki nilai gizi yang cukup, mudah dicerna serta tidak mengganggu kesehatan ternak. Salah satu alternatif pakan untuk mengurangi penggunaan ransum komersil adalah limbah tauge. Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak juga merupakan salah satu cara pemecahan masalah dalam mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah industri.

(14)

2 dapat mencemari lingkungan (Agustina, 2002). Hasil survey Rahayu et al. (2010) menginformasikan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, dan serat kasar 49,44%.

Melihat kandungan gizinya yang tinggi sangat memungkinkan limbah tauge digunakan sebagai pakan tambahan untuk mengurangi penggunaan pakan komersil pada kelinci. Pemanfaatan limbah tauge secara maksimal merupakan langkah strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha, terlebih limbah tersebut bukan merupakan kebutuhan langsung bagi manusia. Kemampuan mencerna serat yang rendah pada kelinci juga harus menjadi pertimbangan dalam penggunaan pakan ini, sehingga perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut tentang efisiensi pakan, dan kecernaan seratnya. Pengujian penggunaan limbah tauge dengan beberapa level pemberian yang berbeda pada pakan kelinci lokal jantan untuk mengurangi penggunaan ransum komersil perlu dilakukan.

Tujuan

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Kelinci

Klasifikasi kelinci menurut Damron (2003) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata Class : Mammalia Order : Lagomorpha Family : Leporidae

Genus : Oryctolagus (rabbits), Lepos (hares), Ochotona (pikas), Sylvilagus (cottontails)

Species : cuniculus forma domestica (domestic rabbit), cuniculus (wild rabbit) Whendrato dan Madyana (1986) menyatakan bahwa pada saat ini di Indonesia ada tiga macam kelinci yaitu kelinci lokal, kelinci unggul dan kelinci persilangan (crossing). Kelinci lokal adalah keturunan kelinci yang masuk ke Indonesia sejak lama, dibawa oleh orang Eropa dan Belanda sebagai ternak hias atau kesayangan. Ciri-ciri kelinci lokal adalah: bentuk dan bobotnya kecil, sekitar 1,5 kg, bulu bervariasi putih, hitam, belang dan abu-abu. Sarwono (2009) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat kelinci lokal yang ukurannya lebih kecil daripada kelinci impor. Kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, bobot dewasa 0,9-1,2 kg. Bulunya yang sangat bagus, corak kombinasi antara putih dan hitam. Kelinci dapat melahirkan empat kali setahun, karena masa buntingnya hanya 30-35 hari dan sekali melahirkan bisa 6-12 ekor anak.

Berdasarkan bobot tubuh kelinci, Sarwono (2009) menggolongkan kelinci menjadi tiga tipe yaitu:

1. Kelinci tipe kecil: berbobot antara 0,9-2,0 kg, umur 4-6 bulan sudah siap kawin, umumnya dipelihara untuk ternak hias dan ternak kesayangan seperti varietas Dutch, Lop Dwarf, Nederland Dwarf, Polish, dan Siamese.

(16)

4 3. Kelinci tipe berat: berbobot 5,0-8,0 kg, umur 10-12 bulan baru bisa dikawinkan, dipelihara untuk ternak penghasil daging sekaligus bulu seperti varietas Checkered Giant, Flemish Giant alias Vlaamsereus, dan Giant Chinchilla.

Potensi biologis yang paling signifikan dari kelinci adalah kemampuan reproduksi yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang biak dari hijauan, limbah sayuran, dan hasil produk pakan yang mudah tersedia dan murah di sebagian besar daerah pedesaan di Indonesia (Raharjo, 2008). Suhu dan kelembapan lingkungan ideal untuk kelinci yaitu suhu 16˚C-22˚C (Rajeshwari dan Guruprasad, 2008) dan kelembapan 60%-65% (Lebas et al.,1997). Lebas et al. (1997) menyatakan bahwa suhu yang panas dengan kelembapan mendekati 100% dapat menyebabkan masalah serius pada kelinci.

Saluran Percernaan Kelinci

Makanan dikunyah dalam mulut menggunakan gigi atas (4 buah) dan gigi bawah (2 buah) yang disebut gigi incisors. Makanan kemudian menuju bagian belakang mulut dan dikunyah lebih lanjut oleh gigi bagian belakang (gigi molar) menjadi berukuran semakin kecil dan kemudian ditelan dan menuju esofagus. Esofagus mengalirkan makanan dari faring turun ke lambung. Pada lambung terjadi pemecahan kimiawi makanan dengan adanya HCl dan pemecahan enzimatis dengan adanya pepsin. Setelah mengalami pencernaan kimiawi dan enzimatis makanan menuju usus halus melalu pylorus yaitu batas antara lambung dan usus halus. Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Penyerapan nutrien makanan terjadi paling besar di usus halus. Di duodenum terjadi penetralan bolus yang asam oleh getah empedu dan pemecahan sari makanan oleh sekresi pankreas (lipase dan amylase) dan pada duodenum penyerapan belum maksimal. Pada jejenum terjadi penyerapan sari makanan secara intensif oleh villi usus dan pada ileum terjadi penyerapan lanjutan. Selanjutnya digesta menuju ke sekum melewati ileo-cecal valve yaitu katup antara usus halus dan sekum. Sekum berfungsi sebagai tempat

(17)

5 kembali partikel berserat ke arah ileo-cecal valve menuju sekum. Partikel berserat mengalami fermentasi atau pencernaan alloenzimatis oleh mikroba di sekum. Terjadi absorpsi air dan zat anorganik di kolon sehingga terbentuk feses setengah keras. Rektum merupakan bagian akhir dari usus besar dan fungsinya sebagai tempat menahan feses sebelum dikeluarkan melalui anus (Murwani, 2009). Bagian-bagian sistem pencernaan kelinci dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistem Saluran Pencernaan Kelinci

Sumber: Lebas et al., 1997

Hindgut fermenters yang terjadi di usus besar (sekum dan kolon) memiliki populasi mikroba yang melakukan banyak fungsi pencernaan yang sama seperti pada rumen. Kelemahan hindgut fermenters adalah nutrisi larut seperti gula, asam amino, vitamin, dan mineral diserap di usus kecil sehingga komposisi bahan yang masuk ke hindgut kurang menguntungkan bagi pertumbuhan maksimal mikroba daripada yang

terjadi di rumen dimana mikroba memiliki semua nutrisi pakan yang dicerna sebagai substrat yang tersedia. Mikroba dalam hindgut tidak dikenakan proses pencernaan kecuali dari feses yang dikonsumsi. Perjalanan melalui hindgut lebih cepat daripada melalui rumen, yang mengarah pada efisiensi pencernaan serat yang lebih rendah (Cheeke dan Dierenfeld, 2010).

(18)

6 Pemisahan dilakukan oleh aktifitas otot dari proximal colon. Partikel serat lebih luas dan kurang padat daripada komponen non serat yang cenderung terpusat di lumen kolon. Cairan dan material yang berukuran kecil cenderung terpusat pada pinggiran kolon. Setelah colon dikosongkan dari kotoran keras (hard faecal pellet) yang terutama terdiri dari serat, caecum berkontraksi dan isi caecal dimampatkan ke dalam proximal colon. Mucin disekresikan oleh sel goblet, memproduksi material caecal yang ditutupi dengan membran mucilaginous. Material ini dikenal dengan

caecotropes “feses lunak” yang dikonsumsi langsung dari anus (Cheeke dan Dierenfeld, 2010).

Menurut Anggorodi (1979), mikroorganisme yang terdapat dalam sekum kuda dan kelinci mampu mensintesa selulase yang dapat mencerna dan merombak selulosa menjadi disaccharida yaitu selobiosa.

Kelinci menghasilkan dua jenis kotoran yaitu kotoran keras (fecal pellets) dan kotoran lunak (cecotropes). Kotoran keras sebagian besar terdiri dari serat yang tidak dapat dicerna, sedangkan kotoran lunak terdiri dari isi caecal dan dikonsumsi oleh kelinci secara langsung dari anus, menyediakan protein bakteri dan sintesis vitamin di sekum. Hal ini dapat menjadi strategi pencernaan kelinci untuk mengkonsumsi pakan rendah energi tanpa kerugian karena harus mengangkut dalam jumlah besar serat tidak tercerna dalam usus. Kelinci menghilangkan serat secara cepat dan lebih berkonsentrasi pada aktivitas pencernaan pada komponen bukan serat (nonfiber) yang lebih bergizi (Cheeke, 2005). Perbedaan kandungan nutrisi dalam feses lunak dan feses keras dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan Kandungan Nutrisi Feses Lunak dan Feses Keras pada Kelinci

Nutrisi (%)

Jenis Feses

Cecotropes Feses normal

Protein kasar (PK) 38,0 15,0

Abu 14,0 15,0

Lemak 1,5 1,8

Serat 14,3 27,8

(19)

7

Pakan Kelinci

Kelinci yang masih hidup liar lebih banyak makan hijauan atau biji-bijian yang ada di lingkungan, tetapi kelinci yang sudah diternakan secara intensif dapat diberikan pakan berupa hijauan, biji-bijian, umbi-umbian, limbah pangan, limbah pertanian, konsentrat dll. Jenis pakan hijauan sebaiknya dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada kelinci. Beberapa jenis hijauan yang sebaiknya tidak diberikan pada kelinci yaitu berupa rumput-rumputan yang berbulu seperti alang-alang dan rumput gajah yang sudah tua (Sudaryanto, 2007).

Terdapat dua bahan pakan yang umum diberikan pada kelinci yaitu pakan komersil yang kandungan nutrisinya sudah seimbang yang biasa dalam bentuk pellet dan pakan hijauan yang berupa hay dan rumput segar (Damron, 2003). Kelinci tidak menyukai pakan dalam bentuk mash dan variasi dalam pakan lebih baik daripada pemberian pakan dengan komposisi tunggal. Perubahan pola makan secara tiba-tiba pada kelinci dapat menyebabkan diare. Palatabilitas dari kelinci dapat dipertahankan dengan pellet yang mempunyai komponen pakan yang lengkap yang hanya diperlukan tambahan hay dan air minum segar dalam pemberiannya (Lowe, 1998). Ketidak tepatan pemberian pakan juga dapat menyebabkan dehidrasi dan kematian (Lowe, 2010).

Menurut Cheeke (2005), kelinci merupakan hewan yang cukup rentan terhadap penyakit enteric (enteritis dan diare) yang mengarah pada pakan utamanya. Kelinci sangat sensitif terhadap faktor palatabilitas dan sering menolak untuk mengkonsumsi sejumlah pakan meskipun memiliki spesifikasi bahan yang sama dengan bahan pakan yang pernah dikonsumsi.

Konsumsi Pakan

Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar hidup dan menentukan produksi. Dari pengetahuan tingkat konsumsi dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Hewan yang mempunyai konsumsi yang lebih tinggi, produksinya relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan konsumsi yang rendah (Parakkasi, 1999).

(20)

8 hidup pokok dan pertumbuhan diperlukan bahan kering sebanyak 5%-8% dari bobot badan (NRC, 1977). Hasil penelitian Lestari (2004) yang menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan dengan bobot badan awal 1.369 gram yang diberikan pakan 0%-15% kulit biji kedelai (KBK), menghasilkan konsumsi bahan kering yaitu sebesar 49,14-58,19 g/ekor/hari atau rata-rata 53,89 g/ekor/hari.

Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan yaitu : (1) palatabilitas dan pilihan pakan, (2) keberadaan zat-zat antinutrisi, strategi pemberian pakan, dan palatability, (3) level energi dalam pakan, (4) protein dan konsentrasi asam amino, (5) Mineral, (6) komposisi pakan, (7) temperatur lingkungan, (8) bunting dan laktasi.

Pada umumnya air dianggap bukan sebagai zat makanan, akan tetapi sesungguhnya air merupakan zat yang esensial untuk berbagai proses fisiologis dalam tubuh. Saat air dibatasi, konsumsi pakan akan berkurang. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ada empat fungsi air yang terintegrasi dalam sistem pertumbuhan yaitu: (1) komponen jaringan, (2) merupakan media fisik atau mekanik dalam arti mengantar zat makanan dari saluran pencernaan ke dalam jaringan tertentu untuk sintesis komponen tertentu guna pertumbuhan atau hidup pokok sel tertentu, (3) mengatur fungsi osmosis dalam sel, dan (4) air sebagai pereaksi. Temperatur yang tinggi akan menurunkan tingkat konsumsi. Konsumsi air cenderung merupakan fungsi dari konsumsi bahan kering dan temperatur lingkungan (Parakkasi, 1999). Menurut Rianto et al. (2006), semakin tinggi tingkat konsumsi menyebabkan laju digesta dalam saluran pencernaan semakin tinggi, sehingga waktu yang tersedia bagi enzim untuk mengurai zat makanan menjadi terbatas.

Kebutuhan Nutrisi Kelinci

(21)

9 Rasyaf (1990) menyebutkan bahwa energi merupakan unsur yang penting bagi ternak. Kekurangan energi akan menyebabkan protein akan diubah menjadi energi dan energi mempunyai cadangan dalam bentuk lemak. Energi berkaitan erat dengan konsumsi protein, dengan kebutuhan protein berbeda sesuai dengan umur, tipe dan macam ternak serta produksi ternak tersebut. Kebutuhan nutisi pada pakan kelinci disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi pada Pakan Kelinci

Nutrisi Satuan Pertumbuhan Laktasi Bunting

Energi Kkal/kg 2.500 2.500 2.500

Protein Kasar % 16 17 15

TDN % 65 55 58

Serat Kasar % 10-12 10-12 10-12

NDF* % 21 21 21

ADF* % 21 21 21

Lemak % 2 2 2

Kalsium % 0,40 0,75 0,45

Pospor % 0,22 0,5 0,37

Lisin % 0,65 - -

Vitamin E mg 40 40 40

Sumber: National Reseach Council (1977) (*) McNamara (2006)

Cheeke (2005) menyatakan bahwa tingkat energi dalam pakan kelinci cukup rendah, biasanya berada pada kisaran 2.400-2.800 DE/kg pakan kkal. Energi pada pakan yang lebih tinggi cenderung untuk meningkatkan pertumbuhan berlebih mikroba dalam sekum dan menyebabkan penyakit enteric (diare).

(22)

10 Kebutuhan protein adalah 16% untuk pertumbuhan maksimum dan 18% untuk menyusui. Kualitas protein pakan adalah penting meskipun protein mikroba dari fermentasi cecal tidak memberikan kontribusi yang signifikan (Cheeke, 2005).

Limbah Tauge

Pulau Jawa merupakan penghasil utama kacang hijau (P. Radiatus L.) di Indonesia karena memberikan kontribusi 61% terhadap produksi kacang hijau nasional (Kasno, 2007). Kacang hijau adalah tanaman daerah tropis dengan iklim panas, namun dapat tumbuh di semua daerah di Indonesia. Kacang hijau mempunyai zat anti nutrisi seperti anti tripsin 11,16 Tiu/100 g dan hemaglutinin 246,60 Hu/100 g sedangkan setelah menjadi tauge anti tripsin 8,37 Tiu/100 g dan hemaglutinin 209,70 Hu/100g (Okoronkwo et al.,2010). Ekawati dan Lidartawan (1996) menyatakan bahwa anti tripsin adalah jenis protein yang menghambat kerja enzim tripsin di dalam tubuh sedangkan hemaglutinin dapat menurunkan kemampuan dinding usus dalam penyerapan zat makanan sehingga penyerapan protein terganggu.

Pembuatan tauge atau kecambah dapat mengurangi anti nutrisi yang ada dalam kacang hijau. Selama perkecambahan, biji-bijian akan mengalami perubahan fisik dan kimiawi yaitu terjadi hidrolisa protein, karbohidrat dan lemak sehingga mudah dicerna. Protein-protein dari sel-sel penyimpanan dirombak oleh sekumpulan enzim proteolitik yang menghasilkan suatu campuran asam amino bebas, bersama dengan amida dari asam glutamat dan aspartat. Pati dirombak oleh enzim α-amilase menjadi dekstrin, sedangkan oleh β-amilase, dekstrin dipecah menjadi maltose. Selama perkecambahan, kandungan gula mengalami perubahan, kadar glukosa dan fruktosa meningkat 10 kali bila dibandingkan pada sebelum perkecambahan (Agustina, 2002).

(23)

11 Limbah tauge adalah sisa produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge yang dibawa dalam cucian akhir pembuatan tauge segar yang tidak mempunyai nilai ekonomi dan dapat mencemari lingkungan (Agustina, 2002).

Saenab (2010) menyatakan bahwa pengeringan limbah tauge dengan menggunakan sinar matahari hanya membutuhkan waktu rata-rata 2 hari, dengan kadar air 65%-70%. Tepung kulit tauge dapat menjadi salah satu pakan sumber energi, dengan kandungan energi metabolis sebesar 3.737 Kkal/kg. Limbah tauge segar dan limbah tauge kering dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2. (a) Limbah Tauge Segar, (b) Limbah Tauge Kering

Hasil survey Rahayu et al. (2010) menginformasikan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, dan serat kasar 49,44%. Ifafah (2012) melaporkan bahwa penambahan limbah tauge pada konsentrat domba juga meningkatkan palatabilitas pakan domba.

Pellet

(24)

12 menambah biaya cukup besar (sekitar 10%) untuk menjadi pakan. Endosperm protein, pati, dan serat terlarut mempunyai sifat bebas dan additive dalam meningkatkan stabilitas pellet. Tingginya kadar lemak pada lapisan partikel pakan akan mengganggu pembentukan keterikatan hidrofilik antara bahan sehingga mengurangi kualitas pellet. Tambahan lemak lebih dari 5% cenderung menyebabkan pellet hancur.

McNitt et al. (2000) menyatakan bahwa kelinci lebih menyukai pakan dalam bentuk pellet daripada pakan dalam bentuk mash. Kelinci yang sudah disapih akan membuang sejumlah besar pakan pellet jika ukurannya terlalu besar, mereka akan mengambil satu gigitan pellet dan membiarkan sisanya jatuh melalui kandang.

Serat Kasar

Serat kasar adalah bagian dari total karbohidrat pada pakan yang tahan terhadap perlakuan asam dan alkali serta dianggap mewakili bagian tidak tercerna dari pakan. Komponen terbesar serat kasar adalah selulosa (Crampton dan Harris, 1969).

Daya cerna serat pada kelinci sangat rendah. Ukuran dan kepadatan partikel serat yang rendah cenderung berkumpul di lumen dalam kolon. Material bukan serat yang lebih padat dan cairan cenderung memusatkan pada pinggiran kolon. Kontraksi peristaltik pada kolon menggerakkan serat secara cepat untuk dikeluarkan melalui feses. Sementara itu antiperistaltik menggerakkan komponen nonserat seperti pati, protein, dan cairan ke dalam sekum untuk difermentasi. Kelinci memiliki strategi pencernaan yang memungkinkan untuk memisahkan dan mengeluarkan serat tidak tercerna sementara itu tetap mempertahankan komponen non serat yang mudah dicerna untuk difermentasi di sekum (Cheeke, 2005).

Cheeke (2003) menyatakan bahwa serat dalam pakan memiliki peran yang penting dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan yang normal dan motilitas. Kecernaan serat kasar pada kelinci yang diberi pakan jerami dengan kandungan serat kasar 42% menurut Lebas et al. (1997) adalah 10%-30%.

Komponen Dinding Sel

(25)

13 larut dalam detergen ini disebut dengan isi sel. Senyawa ini sangat mudah dicerna di rumen. Fraksi yang tidak larut detergen disebut dinding sel. Skema dinding sel dan isi sel tanaman dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Dinding Sel Tanaman dan Isi Sel Tanaman

Sumber: Gidenne, 2002

Isi sel adalah bagian yang aktif secara metabolik dari sel tumbuhan dan terdiri dari sitosol dan vakuola. Sitosol berisi inti, mitokondria dan protoplasma seluler mengandung enzim yang terlibat dalam sintesis karbohidrat dan protein, dan kloroplas serta merupakan bagian sel untuk melakukan fotosintesis.Vakuola merupakan tempat penyimpanan limbah sel, cadangan makanan, dan zat beracun seperti alkaloid, tannin, dan glikosida. Nilai gizi suatu hijauan tergantung pada proporsi relatif dari isi sel dan unsur pokok dinding sel, serta derajat lignifikasi dari dinding sel (Cheeke, 2005).

(26)

14 ADF dan NDF digunakan untuk mengestimasi secara langsung penampilan ternak dan oleh karena itu lebih bermanfaat dibandingkan serat kasar (SK). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kenaikan tingkat serat akan menurunkan tingkat kecernaan, hewan akan mengkonsumsi lebih banyak agar dapat memenuhi kebutuhan energinya. Van Soest (1994) menyatakan bahwa kecernaan serat kasar erat hubungannya dengan kemampuan ternak untuk menghasilkan sumber energi. Skema pembagian hijauan menurut Van Soest dapat dilihat pada Gambar 4.

Air

Bahan Isi sel (NDS) Makanan

Bahan Hemiselulosa Kering

Dinding Sel Silika (SiO2)

(NDF)

Lignoselullosa

Lignin

Detergen Asam (ADL)

Gambar 4. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest

Sumber: Arsadi, 2006

Neutral Detergent Fiber (NDF)

Komponen NDF adalah lignin, hemiselulosa, selulosa dan kandungan abu tidak larut serta digunakan sebagai indikator dari konsumsi hijauan Cunningham et al. (2005). Sejak fase awal dari pertumbuhan setelah disapih sampai dengan

hewan-hewan dikembangbiakan (breeding herd) dilaporkan bahwa dinding sel (Neutral Detergent Fiber atau NDF) adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat konsumsi. NDF erat hubungannya dengan konsumsi dan tersedianya Net Energy (NE) dan Digestible Energi (Parakkasi, 1999).

(27)

15 itu merasa kenyang, oleh karena distensi lambung semakin cepat mencapai tingkat yang menyebabkan hewan merasa kenyang (Parakkasi, 1999).

Acid Detergent Fiber (ADF)

ADF merupakan serat yang tidak larut dalam detergent asam. ADF digunakan untuk mengisolasi selulosa dan lignin pada suatu hijauan (McNitt et al., 2000). Pelarut yang digunakan dalam analisa ADF adalah Acid Detergent Solution (ADS) yang juga melarutkan hemiselulosa dan residunya ini yang disebut Acid Detergent Fiber (ADF). Fraksi ADF sebagian besar terdiri dari selulosa, lignin, silica, dan

cutin. Cutin adalah bahan lilin pada permukaan daun. Fraksi ADF dapat

dikategorikan lebih lanjut dengan mendidihkan pada H2SO4 konsentrasi 72% yang

akan melarutkan selulosa dan meninggalkan residu lignin, silica, dan cutin (Cheeke, 2005). Kandungan Acid Detergen Fiber (ADF) hijauan pakan erat hubungannya dengan manfaat bahan makanan bagi ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ADF berhubungan dengan kecernaan. Bila bahan makanan sukar dicerna, misalnya karena banyak mengandung lignin dan silika, maka relatif lebih banyak energi bahan makanan yang keluar melalui feses. Arsadi (2006) menyatakan semakin tinggi kandungan ADF dalam bahan makanan maka tingkat kecernaan dari bahan makanan tersebut semakin rendah. Keberadaan lignin dapat mengurangi kecernaan nutrisi lainnya, terutama selulosa. Lignin tidak dikenal kandungan nutrisinya kecuali sebagai bulk factor ( Perry et al., 2004). Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa ikatan lignin dengan komponen selulosa dan hemiselulosa menjadi penghalang dari kerja enzim yang dikeluarkan oleh mikroba dalam saluran pencernaan.

Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa selulosa adalah senyawa organik yang paling melimpah di alam, tetapi tidak dapat dicerna oleh autoenzymatic digesters seperti babi, unggas, dan manusia karena tidak memproduksi enzim

(28)

16 Rumen mikroba mensekresikan selulase yang memecah ikatan kimia yang menghubungkan unit glukosa dalam molekul selulosa. Dengan demikian ruminansia dapat memanfaatkan hijauan dan pakan berserat lainnya, berbeda dengan non ruminan sederhana yang tidak bisa (Cheeke, 2005).

Kemampuan kelinci mencerna serat kasar (ADF = Acid Detergent Fiber ) dan lemak makin bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu (Sarwono, 2009). Nilai kecernaan ADF pada kelinci yang diberi pakan dengan kandungan ADF 15,8% menurut Gidenne et al. (2000) yaitu sebesar 33,6%.

Pertambahan Bobot Badan

Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan peningkatan ukuran tubuh. Terdapat tiga fase pertumbuhan yaitu : (1) pertumbuhan parental yang merupakan peningkatan bobot badan dari kehamilan sampai melahirkan, (2) preweaning merupakan pertumbuhan yang terjadi dari lahir sampai masa sapih, (3) postweaning merupakan pertumbuhan dari lepas sapih sampai penyembelihan. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa setelah hewan menjadi tua, bobot badan hidup bertambah dan menjadi gemuk.

Pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah potensi genetik, jenis kelamin hewan, pemberian nutrisi dalam pakan, penyakit, adanya pakan aditif, dan faktor lingkungan (Cunningham et al., 2005). Hasil penelitian Lestari (2004) yang menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan dengan bobot badan awal 1.369 gram yang diberikan pakan 0%-15% kulit biji kedelai (KBK), menghasilkan pertambahan bobot badan harian yaitu sebesar 5,30-8,01 g/ekor/hari. Lukefahr dan Cheeke (1990) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan harian kelinci lokal bisa mencapai 10-20 gram.

Efisiensi Pakan

(29)
(30)

18

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Pelaksanaan penelitian mulai bulan Februari 2012 sampai dengan bulan April 2012. Pembuatan pakan dilaksanakan di CV. Indofeed. Analisis Laboratorium dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, sedangkan pemeliharaan kelinci dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Ternak

Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 12 ekor kelinci dengan bobot badan 972,08±156,10 gram. Jenis kelinci yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelinci lokal jantan dengan umur 3 bulan.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang terbuat dari bambu dan kayu. Kandang yang dipakai sebanyak 12 buah dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm dan tinggi 50 cm. Setiap kandang terdapat tempat pakan dan tempat minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan digital untuk mengukur bobot badan kelinci dan pakan, alat kebersihan, termohygrometer ruangan, kamera digital, label, jaring dipasang di bagian bawah kandang.

Pakan dan Air Minum

Selama penelitan, kelinci diberi pellet ransum komersil dengan penambahan limbah tauge dengan taraf 0%, 15%, 30%, dan 45%. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Komposisi ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Ransum Penelitian

Bahan Perlakuan

P0 P1 P2 P3

Ransum komplit (%) 100 85 70 55

(31)

19 Ransum komplit terdiri dari jagung kuning, dedak padi, dedak gandum, bungkil kedelai, bungkil kelapa, molasses, rumput, antimold, antioxidant, vitamin dan mineral.

Kandungan zat makanan limbah tauge dan ransum perlakuan yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Limbah Tauge dan Ransum Perlakuan (% BK)

Zat makanan (%) Limbah Tauge P0 P1 P2 P3

Kadar Air 77,91 11,88 14,18 14,17 15,24

Abu 3,09 9,66 9,02 7,92 7,03

Protein Kasar 14,73 19,13 17,94 16,54 15,95

Serat Kasar 42,27 20,09 25,08 26,89 30,49

Lemak Kasar 0,11 3,37 2,71 2,81 1,13

Beta-N 39,80 47,75 45,25 45,83 45,40

Total Digestible Nutrient - 59,81 57,70 51,30 50,19 Neutral Detergent Fiber 91,64 50,98 59,04 63,05 68,06 Acid Detergent Fiber 87,20 27,28 31,36 43,68 50,38

Hemiselulosa 4,44 23,69 27,69 19,38 17,69

Selulosa 46,13 12,34 16,08 20,88 29,42

Lignin 39,80 12,62 13,02 21,40 19,03

Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2012). P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil + 15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil + 45% limbah tauge.

Prosedur

Pembuatan Ransum Perlakuan

Limbah tauge yang diperoleh dari Pasar Bogor tersebut dikumpulkan dan dimasukkan dalam karung. Limbah tauge yang sudah dikumpulkan kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari (± 2-3 hari). Setelah kering, limbah tauge tersebut digiling untuk dijadikan tepung limbah tauge.

(32)

20 dimasukkan dalam mesin pellet. Pellet yang sudah jadi didiamkan dalam ruang terbuka untuk pendinginan setelah proses pelleting lalu disimpan dalam karung. Skema proses pembuatan pellet ransum perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan: a. Limbah tauge segar, b. limbah tauge kering udara, c. Tepung limbah tauge, d. Ransum komplit, e Pellet pakan perlakuan

Gambar 5. Proses Pembuatan Ransum Perlakuan

Persiapan Kandang

Ruangan kandang dibersihkan mulai dari pembersihan lantai kandang sampai dengan memperbaiki kandang-kandang yang akan digunakan. Kandang-kandang yang sudah diperbaiki disikat dan dicuci dengan detergen lalu dibilas menggunakan air serta dijemur dibawah sinar matahari untuk pengeringan. Setelah kering kandang tersebut diberi desinfektan.

(a) (b) ( c)

(d)

(33)

21

Pemeliharaan

Pemeliharaan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap adaptasi dan tahap perlakuan. Tahap adaptasi dilakukan selama 2 minggu pertama dengan kelinci ditempatkan dalam kandang individu dan juga diadaptasikan dengan pakan pellet yang akan digunakan selama penelitian dengan pemberian sedikit hijauan. Pemberian hijauan dikurangi sedikit demi sedikit sampai tidak diberikan lagi. Pada 6 minggu berikutnya dilakukan tahap perlakuan. Ketika masuk pada tahap perlakuan pakan, kelinci ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot badan awal penelitian. Selanjutnya penimbangan bobot badan dilakukan setiap satu minggu sekali. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Pakan diberikan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan sore hari pada pukul 16.00. Pemberian pakan pada sore hari lebih banyak daripada pagi hari. Pembersihan tempat pakan dan minum dilakukan setiap hari. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari selama 6 minggu pengamatan.

Pengumpulan Sampel

Selama lima hari pada minggu terakhir, feses setiap kelompok pada masing-masing perlakuan ditampung dalam plastik trashbag dan kemudian ditimbang sebagai berat segar feses. Untuk menghindari feses bercampur dengan urin, feses dikumpulkan dan dijaga setiap hari. Feses yang sudah terkumpul kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari dan ditimbang sebagai berat kering udara feses. Setelah selesai lima hari pengumpulan dan penimbangan, feses dikomposit dan diambil sampel 2%-3% dari total keseluruhan feses setiap kelompok pada masing-masing perlakuan. Feses yang sudah diambil sebagai sampel kemudian digiling untuk dilakukan analisa serat kasar, Neutral Detergent Fiber (NDF), dan Acid Detergent Fiber (ADF).

Analisa Bahan Kering (AOAC, 1997)

(34)

22 dihitung terlebih dahulu sebelum menghitung persentase bahan kering. Persentase kadar air dapat dihitung dengan rumus :

X+Y-Z

% KA = x 100% % BK = 100%-%KA

Y

Analisa Serat Kasar (AOAC, 1997)

Sampel ditimbang ± 0,5 gram (X) lalu dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan H2SO4 0,3N sebanyak 50 ml kemudian dipanaskan selama 35 menit lalu

ditambahkan NaOH 1,5N sebanyak 25 ml kemudian dipanaskan lagi selama 35 menit. Kertas saring Whatman 41 yang telah dipanaskan di dalam oven 105°C selama 1 jam, kemudian ditimbang (A). Sampel yang sudah dipanaskan tadi disaring dengan kertas saring Whatman 41 yang sudah ditimbang dan disedot dengan Vacum pulp. Dicuci berturut-turut dengan 100 ml aquades panas, 50 ml H2SO4 0,3 N dan 25

ml aceton. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam cawan poselen dan dikeringkan dalam oven 105°C serta didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (Y). Cawan porselen tersebut lalu dimasukkan ke dalam tanur, kemudian ditimbang berat akhir (Z). Kadar serat kasar dihitung dengan rumus:

Y-Z-A

% SK = x 100% X

Analisa NDF (Van Soest, 1994)

Sampel ditimbang 0,3 gram (X) lalu masing-masing dimasukkan ke dalam gelas piala. Ditambahkan 50 ml larutan NDS (Neutral Detergent Solution). Gelas piala tersebut ditutup dengan cawan petri dan dipanaskan di atas hot plate selama 60 menit. Cawan masir ditimbang (Y). Aquades panas dan Vacum pulp disiapkan. Larutan dituangkan dengan posisi miring sehingga terdapat rongga udara. Gelas piala dibilas dengan aquades panas sampai tidak terdapat busa. Dikeringkan dengan aceton. Cawan masir dikeringkan pada oven 105°C selama 8 jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (Z). Kadar NDF dihitung dengan rumus:

Z-Y

(35)

23

Analisa ADF (Van Soest, 1994)

Sampel ditimbang 0,8 gram (X) lalu masing-masing dimasukkan ke dalam gelas piala. Ditambahkan 50 ml larutan ADS (Acid Detergent Solution). Gelas piala tersebut ditutup dengan cawan petri dan dipanaskan di atas hot plate selama 60 menit. Cawan masir ditimbang (Y). Aquades panas dan Vacum pulp disiapkan. Larutan dituangkan dengan posisi miring sehingga terdapat rongga udara. Gelas piala dibilas dengan aquades panas sampai tidak terdapat busa. Dikeringkan dengan aceton. Cawan masir dikeringkan pada oven 105°C selama 8 jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (Z). Kadar ADF dihitung dengan rumus:

Z-Y

% ADF = x 100% X

Analisa Selulosa (Van Soest, 1994)

Sampel ditimbang 0,8 gram (X) lalu masing-masing dimasukkan ke dalam gelas piala. Ditambahkan 50 ml larutan ADS (Acid Detergent Solution). Gelas piala tersebut ditutup dengan cawan petri dan dipanaskan di atas hot plate selama 60 menit. Cawan masir ditimbang (Y). Aquades panas dan Vacum pulp disiapkan. Larutan dituangkan dengan posisi miring sehingga terdapat rongga udara. Gelas piala dibilas dengan aquades panas sampai tidak terdapat busa. Dikeringkan dengan aceton. Cawan masir dikeringkan pada oven 105°C selama 8 jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (Z). Sampel dalam cawan masir tersebut ditambahkan H2SO4 72% sampai sampel tersebut terendam dan terus ditambahkan

selama 3 jam. Setelah 3 jam, sampel dibilas dengan aquades panas lalu dimasukkan dalam oven 105°C selama 2 jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (A). Kadar selulosa dihitung dengan rumus:

Z-A

% Selulosa = x 100% X

Analisa Lignin (Van Soest, 1994)

(36)

24 menit. Cawan masir ditimbang (Y). Aquades panas dan Vacum pulp disiapkan. Larutan dituangkan dengan posisi miring sehingga terdapat rongga udara. Gelas piala dibilas dengan aquades panas sampai tidak terdapat busa. Dikeringkan dengan aceton. Cawan masir dikeringkan pada oven 105°C selama 8 jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (Z). Sampel dalam cawan masir tersebut ditambahkan H2SO4 72% sampai sampel tersebut terendam dan terus ditambahkan

selama 3 jam. Setelah 3 jam, sampel dibilas dengan aquades panas lalu dimasukkan dalam oven 105°C selama 2 jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (A). Sampel dimasukkan tanur dengan suhu 650°C selama ±1jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (B). Kadar lignin dihitung dengan rumus:

A-B

% Lignin = x 100% X

Rancangan Percobaan dan Analisa Data

Perlakuan

Dua belas ekor kelinci lokal jantan dibagi menjadi empat perlakuan dengan tiga kelompok yaitu:

P1 = 100% pellet komersil (kontrol) P2 = 85% konsentrat + 15% limbah tauge P3 = 70% konsentrat + 30% limbah tauge P4 = 55% konsentrat + 45% limbah tauge

Rancangan

(37)

25

Yij = + i + j + ij

Keterangan :

Yij : pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j  : nilai rataan umm dari pengamatan

i : pengaruh perlakuan ke-i j : pengaruh pengelompokan ke-j

ij : pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j (Steel dan Torrie, 1993).

Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA). Jika diperoleh hasil yang berbeda nyata akan dilakukan uji

Duncan untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1993).

Peubah yang Diukur

Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari). Konsumsi pakan dihitung setiap hari dengan pengurangan antara pakan yang diberikan dengan sisa pakan, sedangkan perhitungan konsumsi bahan kering dengan rumus sebagai berikut :

Konsumsi Bahan Kering = Konsumsi pakan (g/ekor/hari) x % Bahan Kering

Pertambahan Bobot Badan Harian (g/ekor/hari). Pertumbuhan adalah proses peningkatan bobot badan dengan bertambahnya jaringan yang sudah ada (Damron, 2006). Bobot badan ditimbang setiap seminggu sekali. Pertambahan bobot badan diperoleh dengan pengurangan antara bobot badan akhir pemeliharaan dengan bobot badan awal pemeliharaan, sedangakan perhitungan pertambahan bobot badan harian dengan rumus sebagai berikut :

Bobot badan akhir pemeliharaan- bobot badan awal pemeliharaan PBBH =

Jumlah hari pemeliharaan

Efisiensi Pakan. Efisiensi pakan dihitung dari pertambahan bobot badan selama penelitian dibagi dengan konsumsi pakan selama penelitian. Efisiensi pakan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Pertambahan bobot badan (gram/ekor/hari) Efisiensi pakan =

(38)

26

Kecernaan Serat Kasar (SK). Kecernaan serat kasar (SK) dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Jumlah SK yang dikonsumsi – Jumlah SK feses

Kecernaan SK (%) = x 100 Jumlah SK yang dikonsumsi

Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF). Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Jumlah NDF yang dikonsumsi – Jumlah NDF feses

Kecernaan NDF (%) = x 100 Jumlah NDF yang dikonsumsi

Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF). Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF) dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Jumlah ADF yang dikonsumsi – Jumlah ADF feses

(39)

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa kelinci lokal jantan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Peubah konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan harian memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan efisiensi pakan memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).

Tabel 5. Rataan Konsumsi, PBBH, dan Efisiensi Pakan pada Kelinci Lokal Jantan

Perlakuan

P0 69,13±15,38 17,14±1,45 0,26±0,05a

P1 72,82±18,48 12,14±5,16 0,16±0,04b

P2 104,41±3,15 17,40±0,70 0,17±0,01b

P3 95,26±32,13 14,21±4,62 0,15±0,02b

Rata-Rata 85,40±17,14 15,22±2,51 0,18±0,05

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45% limbah tauge. PBBH= Pertambahan Bobot Badan Harian, BK= Bahan Kering

Konsumsi Bahan Kering

Konsumsi merupakan aspek yang penting untuk menentukan nilai nutrisi bahan pakan. Hewan yang mempunyai sifat dan konsumsi yang lebih tinggi, produksinya relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan sifat konsumsi rendah (Parakkasi, 1999). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kansumsi bahan kering (P>0,05). Perlakuan limbah tauge pada kelinci lokal jantan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rata-rata konsumsi bahan kering (P>0,05) akan tetapi pada (P<0,20) menunjukkan bahwa ransum dengan penambahan limbah tauge cenderung meningkatkan konsumsi bahan kering dibandingkan dengan ransum komersil.

(40)

28 dimanfaatkan kelinci sebagai salah satu sumber serat yaitu kelinci merupakan hewan pseudoruminan yang memerlukan hijauan dalam pakannya. Sesuai dengan

pernyataan Damron (2003) terdapat dua bahan pakan yang umum diberikan pada kelinci yaitu hijauan dan konsentrat.

Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa konsumsi pakan selain dipengaruhi oleh palatabilitas pakan juga dipengaruhi oleh kandungan energi pakan. Pakan dengan 100% ransum komersil mengandung energi dan protein yang lebih banyak dibandingkan dengan pakan yang ditambahkan limbah tauge. Semakin rendah kandungan energi dalam pakan menyebabkan konsumsi pakan semakin meningkat karena kelinci mengkonsumsi lebih banyak agar kebutuhan energi dalam tubuh kelinci tercapai. Kandungan serat yang tinggi pada pakan yang ditambahkan limbah tauge juga akan menyebabkan laju pergerakan zat makanan lebih cepat sehingga kesempatan mikroba dalam saluran pencernaan untuk mendegradasi zat makanan tersebut lebih sedikit. Cepatnya laju zat makanan juga menyebabkan pengosongan lambung lebih cepat dan minimumnya penyerapan zat makanan oleh tubuh sehingga kelinci akan lebih cepat lapar. Sesuai dengan pernyataan Rianto et al. (2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi menyebabkan laju digesta dalam saluran pencernaan semakin tinggi, sehingga waktu yang tersedia bagi enzim untuk mengurai zat makanan menjadi terbatas.

(41)

29 telah direkomendasikan oleh NRC (1977) yaitu konsumsi bahan kering kelinci untuk hidup pokok dan pertumbuhan berkisar antara 5%-8% dari bobot badan.

Pertambahan Bobot Badan Harian

Pertumbuhan merupakan peningkatan ukuran tubuh (Cunningham et al. 2005). Pertumbuhan juga akan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Menurut Cunningham et al. (2005), pemberian nutrisi dalam pakan merupakan faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan.

Hasil uji sidik ragam menunjukkan perbedaan kelompok tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan harian kelinci (P>0,05). Pertambahan bobot badan harian memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada masing-masing perlakuan (P>0,05), sehingga pemberian limbah tauge sampai taraf 45% tidak akan mempengaruhi pertambahan bobot badan harian kelinci. Hal tersebut dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan limbah tauge dapat memberikan pertambahan bobot badan harian yang sama dengan penggunaan ransum komersil saja.

Berdasarkan konsumsi pakan seperti yang terlihat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ransum komersil yang ditambahkan limbah tauge cenderung meningkatkan konsumsi daripada 100% ransum komersil. Tingginya konsumsi pakan seharusnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang lebih tinggi, namun dari hasil penelitian diperoleh pertambahan bobot badan harian yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal tersebut diduga karena ransum komersil yang ditambahkan limbah tauge mempunyai kandungan energi yang lebih rendah dibandingkan 100% ransum komersil. Kandungan energi yang rendah pada pakan menyebabkan kelinci cenderung mengkonsumsi pakan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam tubuhnya.

(42)

30 tauge juga dapat menghambat proses pertumbuhan. Menurut Okoronkwo et al. (2010) anti tripsin yang ada dalam tauge sebesar 8,37 Tiu/100 g sedangkan hemaglutinin sebesar 209,70 Hu/100 g.

Pankreas mensekresikan enzim pencerna protein (tripsinogen) dalam bentuk inaktif ke dalam lumen duodenum. Tripsinogen yang masih bersifat inaktif akan diubah oleh enzim enteropeptidase yang terikat dengan epitelium usus halus menjadi bentuk yang aktif yaitu tripsin. Tripsin sangat berpengaruh terhadap pencernaan protein karena tripsin akan mengaktifkan prokarboksipeptidase dan kimotripsinogen. Tripsin akan mengaktifkan prokarboksipeptidase menjadi karboksipeptidase dan kimotripsinogen menjadi kimotripsin. Kimotripsin akan memutuskan polipeptida besar menjadi rantai yang lebih pendek sedangkan karboksipeptidase akan memecah asam amino yang dimulai dari gugus karboksil yang bebas. Keberadaan anti tripsin menyebabkan enteropeptidase tidak mampu mengubah tripsinogen menjadi tripsin sehingga hal ini dapat mempengaruhi pencernaan protein. Sesuai dengan pernyataan Ekawati dan Lidartawan (1996) bahwa anti tripsin adalah jenis protein yang menghambat kerja enzim tripsin di dalam tubuh. Anti tripsin menyebabkan enzim tripsin tidak mampu menghidrolisa protein dengan sempurna sehingga ketersediaan asam amino esensial menjadi rendah dan terjadi penurunan absorbsi oleh usus halus yang dapat menyebabkan daya cernanya menjadi rendah. Hal ini disebabkan adanya anti tripsin pada tauge dapat menghambat pertumbuhan.

Hemaglutinin dapat menyebabkan penggumpalan sel darah merah. Penggumpalan sel darah merah disebabkan karena hemaglutinin berikatan dengan gugus gula yang ada dalam sel darah merah. Dalam usus halus hemaglutinin akan mengikat sisi reseptor spesifik dari permukaan sel epitel yang menyebabkan sel-sel mukosa usus berikatan dengan hemaglutinin. Mukosa usus tertutup oleh hemaglutinin sehingga zat makanan akan sulit untuk diserap. Sesuai dengan pernyataan Ekawati dan Lidartawan (1996) bahwa hemaglutinin dapat menurunkan kemampuan dinding usus dalam penyerapan zat makanan sehingga penyerapan protein terganggu dan menurunkan daya cerna protein sehingga dapat menghambat pertumbuhan.

(43)

31 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan perlakuan pemberian 100% ransum komersil yang tingkat konsusmsinya cenderung lebih rendah. Harga yang jauh lebih mahal pada pemberian 100% ransum komersil dibandingkan dengan ransum yang ditambahkan limbah tauge dengan menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tidak berbeda nyata antar perlakuan dapat dikatakan bahwa penggunaan limbah tauge dapat memberikan keuntungan bagi peternak kelinci dan dapat menurunkan biaya pakan.

Rataan pertambahan bobot badan harian dari keempat perlakuan sebesar 15,22 g/ekor/hari lebih tinggi dari hasil penelitian Lestari (2004) yaitu sebesar 6,32 g/ekor/hari. Perbedaan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dengan penelitian Lestari (2004) disebabkan karena rendahnya konsumsi pakan pada penelitian Lestari (2004) yaitu sebesar 53,89 g/ekor/hari dibandingkan dengan penelitian ini sebesar 85,40 g/ekor/hari.

Rataan pertambahan bobot badan harian kelinci penelitian ini adalah 15,22 g/ekor/hari sesuai dengan pertambahan bobot badan harian kelinci lokal menurut Lukefahr dan Cheeke (1990) sebesar 10-20 gram. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan harian kelinci penelitian termasuk baik karena berada pada kisaran tersebut.

Efisiensi Pakan

Perbedaan kelompok tidak mempengaruhi efisiensi pakan (P>0,05). Perlakuan limbah tauge memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rataan efisiensi pakan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, pemberian 100% ransum komersil memiliki efisiensi pakan yang lebih tinggi dari ransum perlakuan yang ditambahkan limbah tauge 15%-45%. Ransum dengan penambahan limbah tauge 15%-45% memiliki efisiensi pakan yang sama (Tabel.5). Perlakuan 100% ransum komersil memiliki nilai rataan efisiensi pakan yang paling bagus daripada perlakuan ransum dengan penambahan limbah tauge 15%, 30%, dan 45% yang masing-masing nilai rataan efisiensi pakannya sebesar 0,26±0,05, 0,16±0,04, 0,17±0,01, dan 0,15±0,02. Hal ini disebabkan karena kandungan serat yang berbeda dalam pakan perlakuan.

(44)

32 mampu mencerna serat dalam sekumnya tetapi tidak mampu terabsorpsi sempurna dalam tubuh. Kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan dapat menyebabkan nutrient yang lain akan terbuang bersama feses. Konsumsi yang cenderung lebih rendah pada perlakuan 100% ransum komersil namun menghasilkan pertambahan bobot badan yang sama juga diduga karena pakan pada perlakuan 100% ransum komersil mempunyai kualitas nutrisi yang lebih baik, dengan konsumsi pakan yang lebih sedikit, kelinci tersebut sudah mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuhnya. Pakan yang lebih rendah kualitasnya seperti pada perlakuan penambahan limbah tauge 15%, 30% dan 45% untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuhnya kelinci akan cenderung mengkonsumsi pakan lebih banyak. Adanya anti nutrisi seperti anti tripsin dan hemaglutinin dalam limbah tauge juga akan menurunkan efisiensi pakan.

Efisiensi pakan yang tinggi menunjukkan performa yang baik. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi nilai efisiensi pakan, maka pakan yang dikonsumsi oleh kelinci tersebut lebih sedikit untuk menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tinggi. Konsumsi bahan kering pada kelinci yang diberi perlakuan 100% ransum komersil (P0) cenderung lebih rendah diantara perlakuan yang lain, namun kelinci tersebut mempunyai pertambahan bobot badan harian yang sama dengan kelinci yang diberi perlakuan ransum komersil dengan penambahan limbah tauge 15% (P1), 30% (P2) dan 45% (P3) sehingga memiliki nilai efisiensi pakan yang paling tinggi diantara perlakuan yang lainnya.

Kecernaan Serat Kasar

(45)

33 Tabel 6. Kecernaan Serat Kasar pada Kelinci Lokal jantan

Perlakuan Kecernaan (%)

P0 30,04±9,57

P1 44,00±13,46

P2 33,39±16,01

P3 33,23±6,85

Keterangan: P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45% limbah tauge.

Serat kasar yang sebagian besar terdiri dari selulosa akan dihidrolisis oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba dalam sekum. Enzim selulase akan menghidrolisis ikatan β-1,4-glukosida pada selulosa. Hidrolisis selulosa ini dapat dilakukan dengan pemutusan ikatan silang β-1,4-glukosida antara rantai satu dengan rantai yang lainnya sehingga akan terbentuk rantai selulosa yang lebih pendek. Hidrolisis sempurna dari enzim selulase akan menghasilkan glukosa dan hidrolisis tidak sempurna menjadi selobiosa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1979) bahwa mikroorganisme yang terdapat dalam sekum kelinci mampu mensintesa enzim selulase yang dapat mencerna dan merombak selulosa menjadi disakarida yaitu selobiosa.

Daya cerna serat pada kelinci sangat rendah jika dibandingkan dengan hewan ruminansia, kelinci akan lebih cepat mengeluarkan serat yang tidak dapat dicerna dalam bentuk feses keras sedangkan strategi pencernaan lain dari kelinci yaitu mengkonsumsi feses lunak yang dapat dikonsumsi langsung oleh kelinci (caecotrophy) untuk menyediakan protein bakteri dan sintesis vitamin B di sekum. Kecernaan serat kasar pada kelinci menurut Lebas et al. (1997) adalah 10%-30%, hasil tersebut lebih rendah daripada kecernaan serat kasar yang didapat pada penelitian ini yang nilai rataannya 35,16%. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dengan penelitian Lebas et al. (1997) kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pakan yang diberikan yaitu pakan yang diberikan pada penelitian Lebas et al. (1997) berupa jerami yang memiliki kandungan serat kasar lebih tinggi yaitu

(46)

34 Menurut Cheeke (2003), serat dalam pakan memiliki peran yang penting dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan yang normal dan motilitas. Kandungan serat kasar pakan perlakuan berkisar 20-30%. Angka ini lebih besar dari NRC (1977) yaitu berkisar 10-12 untuk kelinci masa pertumbuhan. Kandungan serat kasar yang lebih tinggi pada pakan perlakuan, kelinci lokal jantan masih mampu mentolerir serat kasar dalam pakan sampai 30% dan belum menimbulkan gangguan yang nyata pada kelinci tersebut serta tidak mempengaruhi kecernaan seratnya. Hal ini disebabkan karena kelinci akan lebih cepat mengeluarkan serat yang tidak dapat dicerna dalam bentuk feses keras sehingga walaupun kelinci mengkonsumsi serat dalam jumlah yang lebih tinggi namun serat tersebut tidak termanfaatkan secara sempurna karena pergerakan dalam saluran pencernaan lebih cepat.

Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF)

Komponen utama NDF adalah lignin, hemiselulosa, selulosa, dan kandungan abu yang tidak larut (Cunningham et al.,2005). Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kecernaan NDF (P>0,05). Perlakuan limbah tauge tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kecernaan NDF kelinci perlakuan (P>0,05), sehingga dikatakan bahwa limbah tauge memberikan pengaruh kecernaan NDF yang sama untuk semua perlakuan. Pemberian limbah tauge sampai taraf 45% tidak akan mempengaruhi kecernaan NDF. Hal ini disebabkan karena kelinci kurang efisien dalam memanfaatkan serat dibandingkan dengan ternak ruminansia sehingga dengan kadar NDF yang lebih tinggi dalam pakan tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kecernaan namun akan berpengaruh tehadap konsumsinya. Rataan kecernaan NDF pada kelinci lokal jantan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.

(47)

35 mempunyai kandungan NDF yang tinggi. Kandungan NDF pakan penelitian yang tinggi tidak mempengaruhi tingkat kecernaan pada masing-masing perlakuan.

Tabel 7. Kecernaan NDF pada Kelinci Lokal jantan

Perlakuan Kecernaan (%)

P0 41,46±5,04

P1 43,91±10,58

P2 38,86±6,22

P3 41,36±3,65

Keterangan: P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45% limbah tauge.

Sejak fase awal dari pertumbuhan setelah disapih sampai dengan hewan-hewan dikembangbiakan (breeding herd) dilaporkan bahwa dinding sel (Neutral Deterrgent Fiber atau NDF) adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat konsumsi (Parakkasi, 1999). Semakin banyak bahan pakan mengandung NDF dalam ransum maka tingkat konsumsi akan semakin rendah, hal ini karena tingginya kandungan NDF dalam pakan yang bersifat bulky dan kaku akan membutuhkan ruang yang lebih banyak di dalam lambung. Apabila lambung sudah terisi sesuai kapasitasnya maka ternak tersebut akan cepat merasa kenyang dan konsumsinya menurun.

Pernyataan diatas tidak sesuai dengan hasil yang didapat dalam penelitian ini. Ketika kandungan NDF tinggi pada pakan penelitian justru konsumsinya akan cenderung meningkat (Tabel. 5). Konsumsi BK yang cenderung meningkat seiring meningkatnya kandungan NDF dalam pakan mengikuti pola linear dengan persamaan y= 1,896x – 28,893 dan R2= 0,6377 (Gambar 6).

Gambar

Gambar 1. Sistem Saluran Pencernaan Kelinci
Tabel 1. Perbedaan Kandungan Nutrisi Feses Lunak dan Feses Keras pada Kelinci
Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi pada Pakan Kelinci
Gambar 2.  (a) Limbah Tauge Segar, (b) Limbah Tauge Kering
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mahasiswa memiliki pengetahuan tentang etika Islam yang secara umum berlaku dalam aspek-aspek bisnis dan ekonomi, baik dalam bidang produksi, konsumsi,

- Terdiri dari 60 soal yang akan dikerjakan perorangan dalam waktu 60 menit - Dilarang bekerjasama dengan teman satu tim maupun peserta lainnya - Apabila jawaban benar

Saya akan berperilaku baik dan sopan kepada orang&#34;orang yang baru saya temui. Saya akan menilai perilaku yang sudah saya lakukan, apakah sudah dapat

Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif TAI (Team Assisted Individualization) Dilengkapi Modul dan Penilaian Portofolio untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Penentuan

selain itu, Geografi merupakan suatu disiplin yang berorientasi pada masalah dalam rangka interaksi antara manusia desa dan kota dengan lingkungannya.. Geografi yang sifatnya

Indikator ini digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa dan kemampuan siswa dalam memperagakan seluruh ragam gerak tari sigeh pengunten di SMP N 2 Seputih Banyak

penulis dapat menyelesaikan laporan kerja praktek ini dengan judul “ Prosedur Penyusunan Anggaran Sarana dan Prasarana Aparatur di Dinas Koperasi Usaha Kecil

Penelitian film Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dengan penelitian- penelitian lain yang telah ada sebelumnya khususnya dengan