• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Sirih Merah Ekstraksi Sirih Merah

Ekstraksi sirih merah dilakukan dengan metode maserasi (ekstraksi cara dingin) dan refluks (ekstraksi cara panas) menggunakan pelarut etanol 96% yang merupakan pelarut polar. Dasar pertimbangan pemilihan kedua metode adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan panas pada proses ekstraksi terhadap kandungan senyawa aktif ekstrak. Kedua metode dibandingkan berdasarkan rendemen serta sifat kimia untuk mendapatkan proses ekstraksi optimum yang akan digunakan pada tahap selanjutnya. Pemilihan pelarut didasarkan pada senyawa yang diharapkan akan terekstrak, apakah bersifat polar, semi polar atau non polar. Ekstraksi dilakukan berdasarkan prinsip kepolaran, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, pelarut semi polar akan melarutkan senyawa semi polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar. Berdasarkan tingkat kepolaran dapat digunakan berbagi macam pelarut, misalnya hexane untuk non polar, etil asetat semi polar dan metanol untuk polar (Marlina 2008). Penggunaan pelarut untuk aplikasi pada bahan pangan perlu mempertimbangkan toksisitas (Prasad et al. 2009). Daun sirih merah mengandung senyawa polar, terutama flavonoid, alkaloid dan tanin. Senyawa polar banyak mengandung gugus OH, oleh karena itu, penggunaan etanol merupakan pelarut yang tepat untuk mengekstrak senyawa aktif pada daun sirih merah. Selain etanol, pelarut lain yang dapat digunakan untuk mengekstrak senyawa polar adalah metanol dan aseton, namun tingkat toksisitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan etanol (Harborne 1987, Prasad et al. 2009). Selain penggunaan pelarut yang tepat, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pengecilan ukuran bahan agar mempermudah proses ekstraksi. Pada penelitian ini, daun sirih merah yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu, kemudian dikeringkan pada suhu 40-50oC, digiling hingga didapatkan bubuk berukuran 50 mesh. Proses penggilingan bertujuan untuk meningkatkan peluang terlarutnya senyawa-senyawa yang ingin diekstrak dengan etanol karena rusaknya dinding dan membran sel akan memudahkan etanol berinteraksi dengan senyawa-senyawa yang ingin diekstrak.

Maserasi adalah ekstraksi senyawa aktif dengan cara merendam jaringan atau organ tumbuhan di dalam suatu larutan yang tepat untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan (Marlina 2008). Metode maserasi memiliki keuntungan, yaitu cara pengerjaannya yang lebih mudah, alat-alat yang digunakan sederhana, dan cocok untuk bahan yang tidak tahan pemanasan. Perbandingan yang digunakan antara bahan dan pelarut adalah 1 : 4 kemudian dishaker selama 6 jam dengan kecepatan 131 rpm, lalu sampel didiamkan selama 24 jam, kemudian larutan sampel disaring menggunakan kertas saring dan diambil filtratnya.

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi dengan cara panas (refluks) menggunakan pelarut dengan perbandingan 1 : 4. Pada proses ekstraksi dengan refluks, pelarut panas akan mengekstrasi senyawa volatil sebagai senyawa murni dan kemudian didinginkan dalam kondensor, lalu masuk ke dalam wadah. Proses ekstraksi berlangsung secara berkesinambungan sampai semua senyawa volatil teruapkan dengan sempurna yang ditandai tetesan ekstrak berhenti dengan waktu ekstraksi

13 selama 3 jam pada suhu 45oC. Filtrat yang diperoleh dari masing-masing metode ekstraksi, dievaporasi menggunakan rotary evaporator dengan suhu 40-50oC sampai dihasilkan ekstrak kental dengan total padatan terlarut 30o brix.

Pada ekstrak yang diperoleh dilakukan uji fitokimia (Suratmo 2008) sebagai skrining awal untuk analisis yang akan dijadikan dasar prosedur tahap selanjutnya. Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan kandungan golongan senyawa aktif dari ekstrak tumbuhan, meliputi uji polifenol, saponin, tanin dan flavonoid (Tabel 1).

Tabel 1 Uji fitokimia ekstrak sirih merah

Parameter Metode Ekstraksi

Maserasi Refluks

Polifenol +++ ++

Saponin - -

Tanin + +

Flavonoid ++ +

Keterangan : +/positif : senyawa teridentfikasi , -/negatif : senyawa tidak teridentifikasi

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak sirih merah baik dengan metode maserasi maupun refluks mengandung polifenol, tanin dan flavonoid. Pada ekstrak dengan metode maserasi warna merah pada uji polifenol lebih pekat dibandingkan dengan metode refluks, begitu juga dengan warna merah pada uji flavonoid secara visual terlihat lebih pekat.

Skrining total fenol dan tanin menggunakan pereaksi dengan memanfaatkan sifat tanin yang bereaksi dengan protein menghasilkan kopolimer yang tidak larut air. Reaksinya menjadi lebih sensitif dengan penambahan NaCl untuk meningkatkan salting out dari kompleks protein-tanin (Gobalakrishnan et al. 2013). Adanya total fenol ditunjukkan dengan timbulnya warna merah pada sampel, sedangkan adanya tanin pada ekstrak sirih merah menunjukkan perubahan warna dari kuning menjadi hijau kehitaman dengan penambahan FeCl3. Ekstrak sirih merah yang positif mengandung flanovoid ditandai dengan terbentuknya warna merah jingga hingga hijau setelah dilakukan penambahan HCl pekat. Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya flavon, warna jingga menunjukkan adanya flavanol dan warna hijau menunjukkan adanya aglikon. Flavonoid-o-glikosida memiliki molekul gula, yang diketahui memiliki gugus hidroksil sehingga akan mudah larut dalam pelarut dengan kepolaran tinggi. Semakin banyak gugus monosakarida yang berikatan dengan senyawa flavonoid (ikatan glikosida) maka akan semakin bersifat polar karena semakin bertambahnya gugus hidroksil.

Rendemen, Kapasitas Antioksidan dan Total Fenol Ekstrak Penghitungan rendemen ekstrak diperlukan untuk mengetahui efisiensi dari proses ekstraksi yang dilakukan. Selain itu penghitungan rendemen dapat digunakan untuk mengetahui banyaknya komponen antioksidan yang terekstrak dibandingkan jumlah sampel yang digunakan. Rendemen diperoleh dari proses ekstraksi dengan membandingkan berat ekstrak dengan berat bahan kering dikali

14

100%. Rendemen yang diperoleh dari proses ekstraksi maserasi dan refluks berturut-turut adalah 7,2 ±0,25% dan 9,8±0,35% (Tabel 2).

Tabel 2 Data rendemen, kapasitas antioksidan dan total fenol ekstrak sirih merah

Parameter Metode Ekstraksi

Maserasi Refluks

Rendemen (%) 7,2 ± 0,25a 9,8 ± 0,35b

Kapasitas antioksidan (AAEµg/ml) 10892,86 ± 6,06a 9971,43 ± 6,06b

IC50 (AAEµg/ml) 46,51 ± 0.05a 49,57 ± 0,27b

Total fenol (mg/100gr) 2388,37 ± 0,3a 2257,22 ± 0,9a

Keterangan :

Data merupakan rerata dari 3 kali ulangan (rata-rata ± SD)

Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P < 0,5 (uji selang berganda Duncan)

Rendemen pada metode maserasi lebih rendah dibandingkan dengan metode refluks. Pemanasan pada metode refluks dapat meningkatkan jumlah rendemen oleoresin karena suhu yang dibutuhkan oleh suatu pelarut untuk mencapai titik didihnya dapat melarutkan komponen oleoresin yang tidak terekstrak dengan perlakuan tanpa pemanasan. Pemanasan yang lama dapat menyebabkan sejumlah komponen oleoresin rusak dan menguap, sehingga jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pemanasan. Selain itu salah satu antioksidan yaitu flavonoid, merupakan golongan senyawa fenol yang memiliki sistem aromatik terkonjugasi yang mudah rusak pada suhu tinggi. Panas menyebabkan terjadi degradasi dinding sel sehingga semakin memudahkan keluarnya fenol, dan pemanasan berfungsi pula untuk inaktivasi enzim polifenol oksidase sehingga kerusakan fenol semakin kecil, dan stabilitas fenol terjaga (Susanti 2008). Penelitian Prasad et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstraksi dengan etanol memberikan rendemen yang lebih tinggi dibanding dengan air dan etil asetat. Begitu juga ekstraksi oleoresin kayu manis dengan etanol memiliki rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan metanol maupun air, dan minyak atsiri dapat teresktrak lebih tinggi dengan pelarut etanol (Solehuddin 2001). Etanol memiliki polaritas 0,68 sedangkan air >0,73. Peran polaritas pelarut dalam mengekstrak oleoresin sangat besar karena sebagian besar komponen oleoresin bersifat polar. Oleh karena itu, ekstraksi dengan konsentrasi etanol yang tinggi dapat mengekstrak lebih banyak senyawa aktif pada sirih merah dibandingkan etanol dengan konsentrasi lebih rendah.

Hasil pengukuran kapasitas antioksidan ekstrak sirih merah dengan metode maserasi dan refluks berturut-turut adalah sebesar 10892,86 ± 6,06 AAEµg/ml dan 9971,43 ± 6,06 AAEµg/ml yang setara dengan nilai IC50 sebesar 46,51µg/ml dan 49,57 µg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa metode maserasi memberikan nilai kapasitas antioksidan dan total fenol yang lebih tinggi, karena metode maserasi tidak menggunakan panas sehingga senyawa fenolik tidak mengalami kerusakan. Dari hasil analisa statistik menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan kedua metode berbeda nyata, sedangkan nilai IC 50 tidak berbeda nyata.

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan dapat mencegah kerusakan yang ditimbulkan radikal bebas pada sel normal,

15 protein, lemak dengan cara melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas sehingga senyawa stabil dan mencegah pembentukan rantai radikal bebas. Pengukuran kapasitas antioksidan bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak menahan reaksi oksidasi yang tergantung dari banyaknya komponen antioksidan dan komponen prooksidan. Kapasitas antioksidan diukur dengan standar asam askorbat. Kapasitas antioksidan pada penelitian ini berbanding lurus dengan total fenol, karena senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik yang termasuk ke dalam golongan flavonoid. Oleh karena itu, kandungan total fenol dapat dijadikan sebagai dasar atau indikasi awal pendugaan besarnya kapasitas antioksidan suatu bahan (Prasad et al. 2009).

Hasil analisis total fenol dan kapasitas antioksidan menunjukkan metode maserasi lebih baik dibandingkan dengan metode refluks sehingga pada tahap selanjutnya ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Selain itu, maserasi lebih efisien dalam penggunaan energi, cara pengerjaan lebih mudah serta alat yang digunakan sederhana.

Analisis Komponen Volatil Ekstrak Sirih Merah

Komponen volatil dalam bahan pangan sangat penting untuk diketahui. Senyawa volatil sebagian besar tedapat dalam minyak atsiri. Minyak atsiri adalah kelompok senyawa berbau, larut dalam alkohol, terdiri dari campuran eter, aldehid, keton dan terpen. Komponen bahan aktif suatu bahan pangan banyak terdapat di dalam minyak atsiri. Pada penelitian ini, ekstrak yang diperoleh merupakan oleoresin yang didalamnya terdapat resin dan minyak yang diekstrak menggunakan pelarut etanol yang bersifat polar. Senyawa fungsional yang penting pada ekstrak sirih merah adalah golongan fenol dan terpen. Pengukuran senyawa volatil dengan GC-MS diperlukan sebagai data pendukung yang menujukkan kandungan senyawa aktif dalam ekstrak sirih merah. Hasil kromatogram dengan GC-MS ekstrak sirih merah dapat dilihat pada Tabel 3.

Secara umum, senyawa yang teridentifikasi baik pada metode maserasi maupun metode refluks hampir sama. Senyawa yang teridentifikasi dengan luas area paling besar adalah sabinena dan mirsena (Lampiran 2) yang merupakan senyawa golongan monoterpen. Monoterpen merupakan alkohol primer pada tanaman yang berperan dalam pengurangan kolesterol dan merangsang terjadinya apoptosis. Monoterpen dapat meningkatkan kadar enzim hati yang mempunyai peran dalam mendetoksifikasi karsinogen. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak sirih merah mempunyai potensi sebagai antioksidan. Hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Utami (2011), komponen-komponen yang teridentifikasi dari minyak atsiri sirih merah dengan analisis GC-MS, terdiri dari 3 golongan terpena yaitu monoterpena (sabinena, mirsena, alpha tuhyena, alpha terpinena, gamma terpinena), monoterpena alkohol (linalool dan 4-terpineol) dan sesquiterpena (alpha kopaena, trans kariofillena dan germakrena D).

16

Tabel 3 Profil senyawa volatil ekstrak sirih merah yang teridentifikasi dengan GC-MS

Senyawa

Metode Maserasi Metode Refluks Waktu retensi (menit) Area (%) Waktu retensi (menit) Area (%) Alpha Tujena 4,10 1,28 Sabinen 4,74 35,24 4,73 21,4 Beta pinena 4,81 1,28 4,80 1,87 Mirsena 4,93 9,33 4,92 6,58 L Linalool 6,94 3,07 6,93 2,71 Alpha terpineol 9,01 1,30 Beta Caryopilena 14,54 1,80 14,53 1,54 Germacrena D 16,01 2,06 16,01 1,01 Delta Guaien 16,59 0,83 16,58 2,35 Sesquisabinena 18,54 2,03 18,53 1,73

Komponen monoterpena dan sesquiterpena minyak atsiri sirih merah memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas enzim monofenolase dan difenolase tirosinase, sedangkan pada penelitian Suratmo (2008) yang melakukan ekstraksi daun sirih merah menggunakan beberapa pelarut menunjukkan bahwa senyawa yang terekstrak meliputi senyawa fenol, flavonoid dan alkaloid yang berpotensi sebagai senyawa antioksidan. Dari pengujian dengan menggunakan GC-MS, ekstrak sirih merah berpotensi sebagai antioksidan dengan terdeteksinya senyawa yang merupakan golongan monoterpen.

Sintesis Nanopartikel

Nanopartikel ekstrak sirih merah disintesis dengan modifikasi fisik menggunakan metode gelasi ionik dengan bantuan magnetic stirrer dan memanfaatkan sodium tripolifosfat (STPP) untuk membentuk ikatan silang ionik dengan molekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penjerap (Mi et al. 1999). Penggunaan TPP untuk mencampurkan polimer kitosan dengan polianion sodium tripolifosfat yang menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dengan muatan negatif tripolifosfat (Chattopadhyay and Inamdar 2010).

Kitosan dengan pKa 6,5 merupakan polikationik, ketika dilarutkan dalam asam, amin bebas akan terprotonasi menghasilkan –NH+. Natrium tripolifosfat (Na5P3O10) larut dalam air hingga diperoleh ion hidroksil dan ion tripolifosfat yang akan bergabung dengan struktur kitosan. Derajat taut silang kitosan dengan natrium tripolifosfat dipengaruhi oleh keberadaan sisi kationik dan senyawa anionik sehingga pH dari natrium tripolifosfat memiliki peran penting selama proses taut silang.

Reaksi sambung silang kitosan dengan tripolifosfat secara ionik terjadi lebih banyak pada pH rendah dibandingkan pada pH tinggi. Pada pH rendah atau asam, tripolifosfat lebih banyak terionisasi dalam bentuk ion -P3O105- dibandingkan bentuk ion -OH-, sedangkan pada pH yang lebih tinggi atau basa, tripolifosfat lebih banyak terionisasi dalam bentuk ion OH dibandingkan dalam bentuk ion

-17 P3O105-. Reaksi sambung silang secara ionik terjadi antara ion -P3O105- dari tripolifosfat dengan ion -NH3+ dari kitosan, sedangkan reaksi antara ion -OH- dari tripolifosfat dengan ion -NH3+ dari kitosan terjadi secara deprotonasi (Ko et al.

2002; Bhumkar dan Pokharkar 2006) (Gambar 1).

Sintesis nanopartikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya komposisi material dan metode yang digunakan. Komposisi material yang sesuai akan menghasilkan nanopartikel dengan ukuran kecil dan morfologi seragam. Nanopartikel akan terbentuk pada komposisi tertentu antara kitosan dan TPP. Metode pembuatan nanopartikel juga sangat mempengaruhi terbentuknya ukuran dan keseragaman partikel selain komposisi material. Semakin banyak terjadi ikatan silang antara kitosan dengan STPP akan meningkatkan jumlah pori yang terbentuk sehingga semakin banyak zat aktif yang akan terjerap.

Hasil pengujian terhadap ukuran dan distribusi nanopartikel pada beberapa konsentrasi kitosan (0,1%, 0,2%,1% dan 2%) dengan menggunakan PSA dapat dilihat pada Tabel 4. Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan yang ditambahkan terjadi peningkatan ukuran partikel karena akan terjadi penggumpalan (aglomerasi) pada molekul kitosan (Wahyono 2010). Semakin besar konsentrasi kitosan dengan jumlah STPP yang tetap juga akan memperbesar ukuran nanopartikel karena adanya kecenderungan untuk beraglomerasi. Pada konsentrasi yang tinggi, partikel-partikel yang terbentuk dari reaksi antara kitosan dan TPP sangat banyak dan padat, sehingga bergerombol membentuk agregat menjadi partikel berukuran mikro (Mardliyati et al. 2012). Konsentrasi 0,2% memberikan ukuran partikel yang paling kecil, sedangkan pada konsentrasi 0,1% tidak terdeteksi adanya partikel. Hal ini kemungkinan karena konsentrasi yang terlalu kecil atau karena terlarut sempurna sehingga tidak terdeteksi adanya partikel. Meningkatnya ukuran partikel serta kecenderungan partikel untuk beragregasi dipengaruhi juga oleh rasio kitosan dengan TPP serta kondisi pH. Pada konsentrasi kitosan 1% dan 2% terjadi peningkatan ukuran partikel

Gambar 1. Interaksi kitosan dengan TPP (a) deprotonasi, (b) ikatan silang ionik (Bhumkar dan Phokarkar 2006)

18

dikarenakan jumlah kitosan yang tinggi sehingga pada saat pencampuran dengan STPP ukuran partikel menjadi lebih besar. Pada konsentrasi 2% partikel yang terbentuk berukuran mikro, karena tingginya penambahan kitosan sehingga rasio antara STPP dan kitosan menjadi semakin besar sehingga meningkatkan ukuran partikel yang terbentuk (Mardliyati et al. 2012).

Dari hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata antara konsentrasi kitosan 0,2% dan 1%, tetapi dengan pertimbangan ukuran yang lebih kecil serta efisiensi proses, maka konsentrasi kitosan 0,2% yang dipilih untuk proses enkapsulasi menggunakan spray dryer. Dari penampakan secara visual menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi kitosan semakin keruh penampakan larutan (Gambar 3). Semakin tinggi konsentrasi kitosan maka terjadi peningkatan ukuran partikel yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kekeruhan.

Tabel 4. Ukuran nanokitosan sirih merah pada beberapa konsentrasi Konsentrasi kitosan Indeks Polidispersitas Ukuran partikel (Zaverage) nm Zeta potensial (mV) 0,1% ttd ttd 19,99 ± 0,06a 0,2% 0,141 ± 0.15a 197,20 ± 11,68a 32.75 ± 2,11c 1% 0,185 ± 0.05a 467,17 ± 101,17a 34,51 ± 0,17c 2% 0,235± 0.03a 1148,03 ± 481,78b 27,57 ± 0,65b

Keterangan : data merupakan rerata dari 3 ulangan (rata-rata ± SD) ttd = tidak terdeteksi

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P < 0,5 (uji selang berganda Duncan)

Analisis dengan Particle Size Analyzer (PSA) dapat menentukan nilai indeks polidispersitas (IP) yang menunjukkan distribusi ukuran partikel. Semakin kecil nilai indeks polidispersitas menunjukkan distribusi ukuran droplet semakin sempit, yang berarti ukuran diameter droplet semakin homogen (Yuan et al. 2008). Nilai IP yang lebih kecil dari 0,3 mendekati angka 0 menunjukkan sampel uji memiliki distribusi sempit dan menunjukkan formula nanopartikel yang seragam (Yen et al. 2008). Indeks polidispersitas lebih besar dari 0,5

Gambar 2. Sampel nanokitosan sirih merah

19 menunjukkan heterogenitas yang tinggi (Avadi et al. 2010). Dari keempat konsentrasi yang diuji, semua konsentrasi memiliki nilai IP kurang 0,3 sehingga dapat dikatakan masih seragam dan semua masih dalam kisaran rentang ukuran nanopartikel (Patel et al. 2009).

Stabilitas Nanopartikel

Stabilitas nanopartikel dinyatakan dengan menggunakan zeta potensial. Zeta potensial adalah muatan pada permukaan partikel yang dapat mempengaruhi kestabilan partikel di dalam larutan dengan gaya elektrostatik diantara partikel atau dapat dikatakan merupakan ukuran kekuatan tolak menolak antar partikel (Qi

et al. 2004). Sebagian besar sistem koloid dalam air distabilkan oleh gaya tolak eletrostatik, semakin besar gaya tolak menolak maka semakin kecil kemungkinan partikel untuk bergabung dan membentuk agregat.

Pada pengukuran zeta potensial dapat diketahui ada tidaknya kecenderungan partikel saling beraglomerasi sehingga akan memperbesar ukuran partikel atau sebaliknya. Selain ukuran partikel, nilai zeta potensial juga sangat penting pada saat merancang suatu partikel yang bersifat pengiriman terkendali (Konecsni et al. 2012). Semakin tinggi nilai zeta potensial, kemampuan mencegah terjadinya flokulasi (peristiwa penggabungan koloid dari yang kecil menjadi besar) semakin baik. Koloid dengan nilai zeta potensial tinggi diatas 30 mV adalah elektrik stabil, sedangkan koloid dengan nilai potensial rendah cenderung akan mengental flokulasi. Suatu partikel dinyatakan stabil bila memiliki nilai zeta potensial di atas |30mV| (Mardliyati et al. 2012). Penelitian Mohanraj dan Chen (2006) menyatakan , bahwa nanopartikel dengan nilai zeta potensial lebih dari +/- 30 mV telah terbukti stabil dalam suspensi untuk mencegah agregasi.

Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi 0,2% dan 1% memiliki rentang nilai yang menunjukkan kestabilan dibanding konsentrasi 0,1% dan 2% (Tabel 4 dan Lampiran 5). Pada konsentrasi 0,1% nanopartikel tidak terbentuk dan cenderung tidak stabil, pada konsentrasi kitosan 2% mengalami kecenderungan berflokulasi karena jumlah kitosan yang lebih banyak dan menjadi tidak stabil (Fan et al. 2012) Konsentrasi kitosan dapat mempengaruhi zeta potensial nanopartikel. Konsentrasi kitosan yang tinggi menyebabkan NH3 ternetralkan pada permukaan sehingga mengakibatkan kekuatan elektrostatik antara partikel lebih kuat dan menjadi tidak stabil (Li et al. 2012). Pada konsentrasi rendah dengan berat molekul rendah, nanopartikel lebih stabil karena kecenderungan untuk membentuk partikel yang kecil karena rantai kitosan yang lebih pendek sehingga lebih mudah untuk membentuk komplek kitosan dan TPP yang lebih rapat.

Selain itu, nilai positif pada zeta potensial menunjukkan adanya gugus amino dari kitosan pada permukaan partikel. Sifat mukoadhesive kitosan disebabkan adanya muatan positif pada permukaan nanopartikel (Alishahi A et al. 2011).

20

Sifat fungsional nanopartikel

Nanopartikel dengan beberapa konsentrasi diuji sifat fungsional meliputi kapasitas antioksidan, total fenol dan IC50. Pengujian ini diperlukan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan sifat fungsional selama proses sintesis nanopartikel. Kapasitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam menghambat paparan radikal bebas. Kapasitas antioksidan juga dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan pangan untuk menahan reaksi oksidasi tergantung dari banyaknya komponen antioksidan dan komponen prooksidan yang dikandungnya. Pengukuran kapasitas antioksidan dilakukan menggunakan metode DPPH dengan prinsip reaksi reduksi dan oksidasi antara DPPH dan senyawa antioksidan. Semakin banyak radikal DPPH yang tereduksi, akan menunjukkan semakin besar nilai kapasitas antioksidan dan penghitungan didasarkan pada jumlah asam askorbat sebagai standar.

Hasil pengujian kapasitas antioksidan menunjukkan bahwa diantara konsentrasi yang lain, nanopartikel dengan perlakuan konsentrasi 0,2% memberikan nilai yang tertinggi, yaitu sebesar 560,00±5,65 ppm. Tingginya nilai aktivitas antioksidan pada konsentrasi 0,2% karena ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan sifat mukoadhesiv dan permeabilitas sehingga ketersediaannya di dalam tubuh meningkat. Selain itu, nilai total fenol juga paling tinggi karena ukuran partikel yang sangat kecil sehingga senyawa fenol yang terjerap lebih banyak dibandingkan perlakuan lain yang ukuran partikelnya lebih besar. Dengan semakin meningkatnya jumlah antioksidan maka semakin banyak radikal DPPH yang tereduksi. Secara umum, aktivitas antioksidan suatu senyawa berkaitan dengan kandungan total fenol karena antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik termasuk di dalamnya golongan flavonoid. Hal ini sejalan dengan nilai total fenol yang tinggi. Penelitian Meenakshi et al. (2009) menyatakan adanya hubungan antara total fenol dan aktivitas antioksidan dimana jika didalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi.

Nilai IC50 juga sangat berhubungan dengan nilai total fenol. Semakin tinggi kandungan total fenol menunjukkan nilai IC50 yang semakin rendah. Golongan senyawa polifenolik yang berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, tokoferol bersifat multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen (Meenakshi et al. 2009).

Tabel 5. Hasil analisis sifat fungsional nanopartikel Konsentrasi kitosan Aktivitas antioksidan (AAEµg/ml) Nilai IC 50 (AAEµg/ml) Total fenol (mg/100gr) 0,1% 365,36 ± 5,05a 934,98 ± 4,68d 399, 87 ± 0.03a 0,2% 560,00 ± 5,65d 676,84 ± 3,20a 568,76 ± 3,0d 1% 471,43 ± 0,25b 862,61 ± 5.55c 437,188 ± 3,0b 2% 532,77 ± 0,37c 780,67 ± 1,88b 470,18 ± 0,6c

Keterangan : Penambahan ekstrak sebesar 10%

data merupakan rerata dari 3 ulangan (rata-rata±SD)

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P < 0,5 (uji selang berganda Duncan)

21 Pengeringan semprot (spray drying) nanopartikel ekstrak sirih merah Pengeringan semprot banyak digunakan untuk sampel yang mengandung partikel yang larut dalam air, memiliki sifat kristalinitas dan mudah berdifusi. Selain itu, sampel yang dikeringkan dengan pengering semprot harus mampu bertahan terhadap panas (Patel et al. 2009).

Penggunaan bahan pengkapsul yang berbeda bertujuan untuk mendapatkan nanopartikel dengan sistem pengeluaran senyawa aktif terkontrol, terutama penggunaan protein. Maltodekstrin merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan untuk enkapsulasi senyawa polifenol. Ekstrak etanol wortel hitam yang mengandung antosianin tinggi dikeringkan dengan menggunakan maltodekstrin sebagai bahan pembawa dan pengkapsul (Ersus 2007). Maltodekstrin memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air, bersifat membentuk film, berikatan dengan flavor dan lemak, serta dapat mengurangi permeabilitas terhadap oksigen (Richana et al. 2007).

Selain maltodekstrin, bahan pengkapsul nanopartikel dari protein juga dapat

Dokumen terkait