• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Layu Nanas di Sentra Produksi Nanas Jawa Barat

Pengamatan penyakit layu pada tanaman nanas telah dilakukan di sentra produksi nanas di Jawa Barat yaitu di Desa Bunihayu, Kec. Jalancagak, Kab. Subang. Tanaman nanas bergejala layu dapat diamati dengan mudah karena terjadi perubahan warna daun menjadi kemerahan, atau kekuningan. Gejala awal penyakit layu dimulai dengan perubahan warna daun terutama pada daun bagian tengah menjadi merah (Gambar 3a). Pada perkembangan selanjutnya semakin banyak daun yang berwarna merah, terutama daun bagian bawah sampai pada akhirnya semua daun menjadi merah. Kebugaran daun menurun sehingga tanaman layu (Gambar 3b), dan terlihat nekrotik pada ujung daun (Gambar 3c). Bila sudah kering, umumnya tepi daun menggulung ke bawah dan layu (Gambar 3d).

Gambar 3 Gejala penyakit layu pada tanaman nanas di Desa Bunihayu, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Gejala dicirikan dengan daun berwarna kuning kemerahan (a), kebugaran daun menurun sampai layu (b), ujung daun mengalami nekrotik (c), dan tepi daun menggulung ke bawah (d).

c

a b

Hasil pengamatan penyakit layu di lapangan menunjukkan bahwa penyakit layu yang terjadi pada fase vegetatif sangat mempengaruhi produksi buah pada fase generatif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sether & Hu (2002b) bahwa rata-rata bobot buah yang dihasilkan oleh tanaman bergejala layu berkorelasi positif dengan umur tanaman saat terjadinya gejala penyakit layu. Tanaman yang bergejala layu pada umur 3-6 bulan menghasilkan bobot buah yang lebih rendah daripada tanaman yang bergejala layu pada umur 10-14 bulan. Rata-rata bobot buah dari tanaman terinfeksi PMWaV-2 35% lebih rendah daripada tanaman sehat, dan 30% lebih rendah dari tanaman yang hanya terinfeksi PMWaV-1 (Sether & Hu 2002b).

Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa kejadian penyakit layu cenderung lebih tinggi pada sistem budidaya ratoon crop dibandingkan plant crop. Widyanto (2005) melaporkan bahwa luas serangan penyakit layu nanas di Desa Bunihayu pada sistem ratoon crop mencapai 50% sedangkan kejadian penyakit layu pada pertanaman sistem plant crop hanya 15%.

Kutu putih ditemukan baik pada tanaman bergejala layu maupun tanaman sehat. Serangga ini mengkoloni tanaman nanas terutama pada bagian pangkal daun (Gambar 4a), crown, atau pada akar (Gambar 4b). Kutu putih yang berasosiasi dengan tanaman nanas di Subang telah diidentifikasi sebagai Dysmicoccus brevipes (Hemiptera: Pseudococcidae) (Hutahayan 2006).

Gambar 4 Hasil pengamatan koloni kutu putih (Dysmicoccus brevipes Cockerell) pada pangkal batang (a) dan perakaran (b) tanaman nanas di lapang

Eliminasi PMWaV dengan Perlakuan Air Panas dan Ribavirin pada Planlet

Pengaruh Perlakuan Air Panas terhadap Pertumbuhan Planlet

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan planlet menjadi sangat terganggu setelah mendapat perlakuan air panas (Tabel 1). Plantlet yang masih hidup ditandai dengan warna daun tetap hijau, dan terjadi pertumbuhan daun yang baru, sedangkan planlet yang mati diawali dengan perubahan warna planlet menjadi berwarna kuning atau kecoklatan, serta tidak terjadi pertumbuhan daun baru. Planlet yang diberi perlakuan air panas hanya dapat bertahan hidup sampai maksimal hari ketiga setelah perlakuan dan tanda-tanda kematian telah tampak jelas pada hari-hari selanjutnya.

Tabel 1 Pengaruh perlakuan air panas terhadap pertumbuhan planlet nanas selama 7 hari setelah perlakuan air panas

No Perlakuan air panas

Hari setelah perlakuan air panas

1 2 3 4 5 6 7 1 35°C 24 jam + + + + - - - 2 35°C 24 jam; 56°C 30 menit + + + - - - - 3 35°C 24 jam; 56°C 60 menit + - - - - 4 35°C 24 jam; 58°C 30 menit + + - - - - - 5 35°C 24 jam; 58°C 40 menit + + - - - - - 6 Kontrol (tanpa perlakuan panas) + + + + + + +

Keterangan: (+) planlet hidup, (-) planlet mati.

Perlakuan air panas tidak hanya berpengaruh terhadap virus di dalam jaringan tanaman tetapi juga berpengaruh terhadap metabolisme dan fisiologi tanaman. Perlakuan panas menyebabkan perubahan pada kloroplas dan perubahan sitoplasma sel sehingga mengganggu proses fotosintesis tanaman. Kerusakan klorofil menyebabkan tanaman mengalami klorosis sehingga tanaman berwarna hijau kekuningan bahkan kecoklatan, selanjutnya tanaman mengalami dehidrasi dan absisi. Perlakuan panas juga dapat mempengaruhi sintesis protein tanaman, meningkatkan reaksi gelap, dan mereduksi translokasi karbohidrat (Hadidi et. al 1998).

Tanaman atau bagian tanaman mempunyai toleransi yang berbeda terhadap perlakuan panas (Hadidi et. al 1998). Pada penelitian ini, jaringan planlet

mempunyai ambang toleransi yang rendah terhadap perlakuan air panas sehingga jaringan planlet mengalami kerusakan jaringan, dan mati. Perlakuan air panas sebagai teknik eliminasi virus tampaknya tidak dapat diaplikasikan pada planlet karena lemahnya jaringan planlet untuk menerima perlakuan suhu tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadidi (1998) bahwa perlakuan air panas umumnya diterapkan pada bagian tanaman dorman seperti biji, maupun tunas. Sedangkan untuk tanaman yang sedang tumbuh lebih sering digunakan perlakuan udara panas dengan suhu yang lebih rendah dan waktu aplikasi yang lebih panjang.

Pada penelitian ini, planlet yang diberi perlakuan air panas tidak menunjukkan pertumbuhan daun baru. Hal ini diduga disebabkan oleh perlakuan panas berpengaruh langsung terhadap pembelahan sel dan pertumbuhan tanaman. Hadidi et al. (1998) menyatakan bahwa perlakuan suhu di atas 40 ºC menyebabkan reduksi pembelahan dan pertumbuhan sel tanaman. Faktor utama yang mempengaruhi pembelahan dan pertumbuhan sel adalah zat pengatur tumbuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres suhu tinggi menyebabkan peningkatan level abscisic acid (ABA) dan menekan aktivitas sitokinin, auksin dan giberelin (Hadidi et al. 1998).

Pengaruh Perlakuan Ribavirin terhadap Pertumbuhan Planlet

Planlet yang ditumbuhkan pada media MS yang telah diberi ribavirin 10 mg/l telah diamati pertumbuhannya (Tabel 2). Menurut Hadidi et. al (1998) penambahan 10-50 mg/l ribavirin ke dalam media kultur efektif mencegah infeksi beberapa virus seperti Potato virus X, Potato virus Y, Potato virus S, atau Potato virus M pada kentang dan tembakau, juga mencegah Cucumber mosaic virus pada kultur meristem Nicotiana rustika.Namun demikian, dari hasil penelitian ini tampaknya planlet nanas yang digunakan sangat sensitif terhadap ribavirin, sehingga tidak mampu tumbuh pada media dengan ribavirin 10 mg/l. Umumnya planlet yang diberi perlakuan ribavirin 10 mg/l mulai mengalami perubahan warna menjadi menguning dan mati sejak 7 hari setelah perlakuan (Tabel 2).

Tabel 2 Pengaruh perlakuan ribavirin terhadap pertumbuhan planlet nanas selama 11 hari setelah perlakuan ribavirin

Ulangan (botol kultur)

Hari setelah perlakuan ribavirin

1 7 11 1 + + - 2 + + - 3 + + + 4 + - - 5 + + - 6 + - - 7 + - - 8 + - - 9 + + - 10 + + + 11 + + - 12 (K+) + + + 13 (K-) + + +

Keterangan: K- = kontrol negatif (planlet sehat, tanpa ribavirin), K+ = kontrol positif (planlet sakit tanpa ribavirin), (+) planlet hidup, (-) planlet mati.

Dalam penelitian ini, planlet nanas menunjukkan reaksi yang sangat sensitif terhadap perlakuan ribavirin 10 mg/l. Bahan aktif ribavirin diketahui dapat menyebabkan gangguan pada replikasi asam nukleat (Dawson & Saldana 1984) diduga bahan aktif tersebut juga dapat mengganggu replikasi asam nukleat pada tanaman. Gangguan dalam replikasi asam nukleat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perlakuan senyawa antiviral juga dapat menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman (Sharma et al. 2007). Hal ini menyebabkan hanya sedikit jenis bahan antiviral yang dapat digunakan dalam eliminasi virus pada tanaman. Perlakuan beberapa senyawa antiviral antara lain acylcloguanosine; azidothymidine;2,4-dioxohexahydro-1; ribavirin serta 2,5-triazine (DHT); dan 2-thiouracil secara signifikan menyebabkan penurunan pembentukan tunas pada tanaman kinnow (Sharma et al. 2007).

Pengaruh Perlakuan Air Panas dan Ribavirin terhadap Infektifitas PMWaV pada Planlet

Pengaruh perlakuan ribavirin terhadap infeksi PMWaV pada planlet akan dapat diketahui dengan cara verifikasi infeksi PMWaV pada planlet. Deteksi PMWaV dengan metode TBIA belum memungkinkan untuk dilakukan terhadap daun planlet karena ukuran jaringan daun yang belum cukup untuk diblot pada membran. Sehingga kemudian dilakukan verifikasi PMWaV dengan metode DIBA (dot blot immunoassay). Deteksi PMWaV dengan metode DIBA telah dilakukan pada planlet. Prinsip deteksi PMWaV dengan metode DIBA secara umum sama dengan TBIA, hanya berbeda dalam blotting sampel daun pada membran. Penyiapan sampel tanaman dilakukan dengan penggerusan sampel daun dalam larutan penyangga phosphate buffer saline (PBS) dengan perbandingan 1:5 (w/v). Namun hasil pengujian DIBA menunjukkan reaksi negatif terhadap PMWaV-1 dan PMWaV-2. Beberapa faktor diduga dapat mempengaruhi hasil deteksi PMWaV dari planlet dengan DIBA antara lain; konsentrasi PMWaV dalam cairan sap tanaman hasil penggerusan, dan keberadaan PMWaV pada floem planlet. PMWaV mempunyai konsentrasi yang sangat rendah di dalam jaringan tanaman yang diinfeksinya, penyiapan sampel uji dengan penggerusan dalam larutan penyangga akan semakin menurunkan konsentrasi PMWaV dalam sap tanaman sehingga akan lebih sulit terdeteksi dengan DIBA. Translokasi PMWaV dalam pembuluh floem tanaman in vitro diduga lebih lambat dari pada translokasi PMWaV pada tanaman lapang. Tanaman in vitro (planlet) merupakan tanaman heterotrof yang mengambil nutrisi dari medium, bukan dari hasil fotosintesis, sehingga metabolisme pada jaringan pembuluh floem tidak sepenuhnya aktif seperti halnya tanaman lapang. Hal ini diduga menyebabkan rendahnya translokasi virus dalam pembuluh floem planlet sehingga tidak terdeteksi pada planlet. Deteksi PMWaV pada planlet akan memberikan hasil yang lebih baik jika dilakukan dengan metode TBIA. Maka planlet harus dipelihara sampai aklimatisasi sehingga mempunyai ukuran penampang daun yang cukup untuk dideteksi dengan TBIA. Namun dalam percobaan ini, pengaruh perlakuan air panas dan ribavirin terhadap infektifitas PMWaV tidak dapat diamati. Planlet nanas sangat sensitif terhadap suhu tinggi atau ribavirin sehingga planlet mati dan tidak dapat dipelihara sampai dilakukan deteksi PMWaV pada planlet.

Eliminasi PMWaV dengan Perlakuan Air Panas pada Eksplan

Pengaruh Perlakuan Air Panas terhadap Daya Tumbuh Eksplan

Pertumbuhan eksplan di dalam media inisiasi mulai terlihat sejak 1 minggu setelah inisiasi (msi) pada media inisiasi. Pertumbuhan eksplan tunas apikal menunjukkan perbedaan dengan eksplan mata tunas lateral. Tunas apikal mulai tumbuh dengan membentuk daun sejak 1 msi (Gambar 5a), sedangkan tunas lateral belum menunjukkan tanda pertumbuhan tunas (Gambar 5b). Pertumbuhan eksplan tunas lateral mulai terjadi sejak 2 msi ditandai dengan terjadinya pembengkakan mata tunas dan penebalan pada mata tunas sehingga terlihat berwarna gelap. Setelah 4 msi mata tunas dari eksplan tunas lateral mulai pecah dan berwarna hijau menunjukkan calon tunas akan muncul. Namun sampai eksplan berumur 12 msi tidak terjadi perubahan yang signifikan pada mata tunas tersebut. Selanjutnya eksplan dipindah ke media B2N1 untuk menginduksi pembentukan tunas dan akar. Selama 12 msi pada media B2N1, eksplan juga tidak menunjukkan pertumbuhan yang berarti namun mata tunas tetap hijau, menandakan eksplan tersebut hidup.

Gambar 5 Pertumbuhan eksplan tunas apikal (a) dan tunas lateral (b) berumur 1 minggu setelah inisiasi (msi)

Pengamatan eksplan pada medium kultur dilakukan sampai 12 msi, namun hingga akhir pengamatan pertumbuhan pada eksplan tunas lateral terhambat. Nodul yang membengkak tetap berwarna hijau dan tidak terlihat adanya pertumbuhan tunas maupun akar. Terhambatnya pertumbuhan eksplan dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain perubahan keseimbangan dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, maupun penurunan daya tumbuh eksplan.

a

Perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan menunjukkan adanya perbedaan respon antar spesies, klon, maupun varietas tanaman terhadap komposisi media dan zat pengatur tumbuh. Menurut Gunawan (1988), zat pengatur tumbuh merupakan komponen yang penting dalam kultur jaringan, namun jenis dan kompisisinya sangat tergantung pada jenis tanaman dan tujuan kulturnya. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan konsentrasi zat pengatur tumbuh di dalam tanaman tersebut. Salah satu zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam percobaan ini adalah benzyl adenin (BA) yang merupakan salah satu sitokinin sintetik yang cukup efektif dan NAA yang merupakan auksin. BA mampu menginduksi produksi hormon alami di dalam tanaman dan hormon alami tersebut bekerja dalam menginduksi organogenesis (Zaers & Mapes 1982). Auksin berperan dalam pemunculan kalus, suspensi sel, pertumbuhan akar, dan bersama-sama dengan sitokinin mengatur morfogenesis tanaman. Selain itu, auksin berperan dalam pembentukan klorofil, embriogenesis, serta morfogenesis tunas dan akar (Wattimena 1988).

Di dalam tanaman terdapat zat pengatur tumbuh endogen antara lain IAA (indoleacetic acid), dan N6 (2-isopentenyl) adenin (iP), N6 (2-isopentenyl) adenosine (iPR), Zeatin (Z), Zeatin riboside (ZR), dan N6-benzyladenin (BA) yang berada pada bagian dasar daun. Penyerapan BA dan NAA dari medium kultur menyebabkan peningkatan level ZPT endogen yaitu iP dan IAA yang kemudian terlibat dalam proses organogenesis tunas (Auer et al. 1999).

Penambahan ZPT eksogen BA (2 mg/L) dan NAA ( 2 mg/L) merupakan konsentrasi terbaik untuk menginduksi pembentukan nodul pada bonggol nanas, dan selanjutnya terjadi akumulasi iP dan IAA untuk menginduksi organogenesis tunas (Auer et al. 1999). Dalam penelitian ini media inisiasi yang digunakan diberi ZPT eksogen berupa BA 2 mg/l dan NAA 2 mg/l namun tidak terjadi pembentukan tunas dan akar. Perlakuan air panas pada eksplan diduga berpengaruh terhadap zat pengatur tumbuh endogen pada tanaman nanas dan juga berpengaruh pada daya tumbuh eksplan. Perlakuan panas diketahui dapat menyebabkan reduksi sitokinin, auksin, dan giberelin, serta meningkatkan abscisic acid (ABA) dan etilen pada tanaman (Hadidi et al. 1998). Perubahan keseimbangan zat pengatur tumbuh pada eksplan diduga berpengaruh terhadap viabilitas eksplan tersebut. Faktor lain yang diduga menghambat pertumbuhan tunas dan akar pada eksplan tanaman nanas yang terinfeksi

PMWaV adalah penurunan daya tumbuh eksplan akibat perubahan metabolisme pada tanaman nanas sakit. Tanaman yang terserang penyakit layu mengalami perubahan metabolisme antara lain peningkatan kadar asam absisat, protein terlarut, prolin dan fenol, munculnya peroksidase dan aktivitas asam invertase (Nieves et al. (1996) dalam Borroto et al. 2007). Perubahan metabolisme dalam tanaman sakit tersebut diduga mempengaruhi daya tumbuh eksplan yang berasal dari tanaman sakit.

Eliminasi PMWaV dengan Perlakuan Air Panas pada Stek

Keadaan Umum

Bahan perbanyakan yang digunakan adalah stek daun, batang, dan crown. Stek yang disemai pada media sekam bakar mulai memperlihatkan pertumbuhan tunas sejak 2 minggu setelah semai (mss). Pertumbuhan perakaran pada bibit mulai terlihat sejak 3 minggu setelah semai (mss). Daya tumbuh stek pada tabel 1 merupakan pertumbuhan tunas pada 7 mss. Perlakuan panas pada stek menyebabkan daun induk pada stek daun lebih cepat mengalami perubahan warna menjadi kekuningan, kemudian mengering (Gambar 6a) berbeda dengan stek daun tanaman sakit tanpa perlakuan panas (Gambar 6b).

Gambar 6 Daun induk pada stek daun dengan perlakuan panas (a) dan tanpa perlakuan panas (b)

Stek daun dan stek batang menghasilkan 1-2 tunas per stek. Stek daun ditanam dengan cara membenamkan bagian stek yang mengandung mata tunas ke dalam media semai, dengan daun berada di permukaan media semai. Sedangkan cara penanaman stek batang yang baik yaitu dengan cara batang dibagi menjadi dua bagian

dan permukaan batang yang mengandung tunas berada di atas permukaan media semai.

Pengaruh Perlakuan Air terhadap Daya Tumbuh Stek

Bahan perbanyakan yang digunakan adalah stek daun, batang, dan crown. Tunas pada stek mulai tumbuh sejak 2 minggu setelah semai (mss). Pada umumnya tumbuh satu sampai dua tunas pada stek daun, batang, dan crown. Tunas yang tumbuh dari crown berukuran relatif lebih besar dari pada tunas dari stek daun dan batang.

Tunas stek daun dan stek batang mulai terlihat sejak 2 mss, namun belum terlihat tunas dari crown (Gambar 7 a,b,c). Daun mulai terbentuk pada 4 mss namun belum terbuka sempurna (Gambar 7 d,e,f). Daun dari tunas stek sudah terbuka sempurna pada 5 mss (Gambar 7 g, h, i).

Gambar 7 Stek daun (a), stek batang (b), dan stek crown (c) berumur 2 minggu setelah semai (mss); stek daun (d), stek batang (e), crown (f) berumur 4 mss; stek daun (g), stek batang (h), crown (i) berumur 5 mss.

Berdasarkan pengamatan selama pesemaian, tidak ada perbedaan warna maupun bentuk tunas pada stek dari tanaman sakit maupun tanaman sehat, baik yang diberi perlakuan panas maupun tanpa perlakuan panas. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi PMWaV tidak menimbulkan gejala pada bibit/anakan di pesemaian. Namun demikian, bibit atau anakan yang terlihat sehat tanpa gejala layu belum tentu bebas infeksi PMWaV. Persentase daya tumbuh stek diperoleh dengan cara menghitung jumlah stek yang tumbuh pada 7 mss dibandingkan dengan jumlah total stek yang ditanam. Daya tumbuh stek pada 7 mss ditampilkan dalam tabel 3.

a b c

d e f

g h i

Stek daun Stek batang Stek crown

Umur 2 mss

Umur 4 mss

Tabel 3 Persentase daya tumbuh stek nanas berumur 7 minggu setelah semai (mss)

Perlakuan air panas jenis stek daya tumbuh stek (%)*) Perlakuan air panas 56°C selama 60 menit Daun 50,20c

Batang 51,51c

Crown 100a

Perlakuan air panas 58°C selama 40 menit Daun 78, 21abc Batang 60,83bc Crown 86,00ab Tanaman sakit tanpa perlakuan (kontrol positif) Daun 86,03ab Batang 81,10ab

Crown 100a

Tanaman sehat tanpa perlakuan (kontrol negatif) Daun 100a

Batang 100a

Crown 100a

*)Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)

Perlakuan air panas 56°C selama 60 menit menyebabkan penurunan daya tumbuh stek daun dan batang. Sedangkan perlakuan air panas 58°C 40 menit tidak mengurangi viabilitas stek (Tabel 3). Dari penelitian ini diketahui bahwa perlakuan air panas dengan waktu aplikasi yang lebih panjang menghambat daya tumbuh stek, sedangkan perlakuan air panas dengan suhu lebih tinggi namun diaplikasikan dalam waktu yang singkat tidak mempengaruhi daya tumbuh dan vigor stek.

Bibit berumur 7 minggu dipindah tanam ke dalam media kompos dan sekam bakar di dalam polibag. Secara umum bibit stek menunjukkan pertumbuhan dan vigor tanaman yang sangat baik setelah dipindah tanam ke dalam pot individu dengan media sekam bakar dan kompos. Pertumbuhan tajuk tanaman yang baik didukung oleh pertumbuhan perakaran yang baik. Ketersediaan nutrisi dari pupuk kompos dalam media tanam mendukung pertumbuhan akar dan tajuk bibit. Bibit berumur 2 mst dan 3 mst ditampilkan pada gambar 8.

Gambar 8 Bibit nanas berumur 2 mst (a) dan 3 mst (b)

Pengaruh Perlakuan Air Panas terhadap Infektifitas PMWaV

Bibit dari stek tanaman sehat maupun tanaman sakit terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit layu sampai akhir pengamatan (4 minggu setelah tanam). Namun hasil deteksi PMWaV pada bibit dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap PMWaV-1 dan PMWaV-2 menunjukkan bahwa sebagian bibit positif terinfeksi PMWaV-1, PMWaV-2, maupun infeksi ganda PMWaV-1 dan PMWaV-2 (Tabel 4).

Antibodi monoklonal spesifik PMWaV-1 dan PMWaV-2 yang digunakan dalam pengujian TBIA menunjukkan reaksi kuat terhadap antigen PMWaV, dan tidak terdapat reaksi terhadap tanaman sehat pada blot membran. Reaksi BCIP/NBT terhadap konjugate-antigen PMWaV ditunjukkan dengan warna ungu (ditunjuk dengan tanda panah) yang terlihat jelas pada jaringan pembuluh daun tanaman yang terinfeksi PMWaV (Gambar 9 dan 10). Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa distribusi PMWaV pada jaringan tanaman nampaknya terbatas pada jaringan pembuluh. Hasil ini mendukung laporan sebelumnya oleh Hu et al. (1997), Sether et al. (1998), dan Tryono (2006) bahwa antigen PMWaV terdeteksi hanya berada pada jaringan pembuluh pada daun muda, daun berumur sedang, juga pada akar, tetapi tidak pada daun tua.

Sinyal berupa titik berwarna ungu menunjukkan bahwa sampel daun positif terinfeksi oleh PMWaV-1 (Gambar 9) atau PMWaV-2 (Gambar 10). Sinyal ungu terlihat pada sepanjang jaringan pembuluh daun nanas pada perlakuan kontrol positif (K+), dan beberapa titik pembuluh pada sampel daun nanas dari stek yang diberi perlakuan air panas 56 ºC selama 40 menit, serta sampel daun nanas dari stek yang

b a

diberi perlakuan air panas 58 ºC selama 60 menit (Gambar 9). Sinyal titik ungu terlihat lebih jelas jika dilakukan pengamatan dengan bantuan kaca pembesar.

Gambar 9 Membran hasil deteksi PMWaV-1 dengan metode TBIA. Daun stek kontrol positif (K+), daun stek kontrol negatif (K-), daun stek tanaman sakit yang diberi perlakuan suhu 56 ºC (H56), daun dari stek tanaman sakit yang diberi perlakuan air panas 58 ºC (H58). Sinyal berwarna ungu (ditunjuk oleh tanda panah) pada jaringan pembuluh menunjukkan bahwa sampel daun positif terinfeksi PMWaV-1.

Sinyal ungu terlihat pada sepanjang jaringan pembuluh daun nanas pada perlakuan kontrol positif (K+), dan beberapa titik pembuluh pada sampel daun nanas dari stek yang diberi perlakuan air panas 56 ºC selama 40 menit, serta tidak ada sinyal ungu pada sampel daun nanas dari stek yang diberi perlakuan air panas 58 ºC selama 60 menit (Gambar 10). Sinyal titik ungu terlihat lebih jelas jika dilakukan pengamatan dengan bantuan kaca pembesar.

Gambar 10 Membran hasil deteksi PMWaV-2 dengan metode TBIA. Daun stek kontrol positif (K+), daun stek kontrol negatif (K-), daun stek tanaman sakit yang diberi perlakuan suhu 56 ºC (H56), daun dari stek tanaman sakit yang diberi perlakuan air panas 58 ºC (H58). Sinyal berwarna ungu (ditunjuk oleh tanda panah) pada jaringan pembuluh menunjukkan bahwa sampel daun positif terinfeksi PMWaV-2.

Persentase stek terinfeksi PMWaV dihitung berdasarkan jumlah stek terinfeksi dibagi jumlah stek yang diberi perlakuan. Persentase stek terinfeksi PMWaV-1, PMWaV-2 dan infeksi ganda kedua virus ditampilkan pada tabel 4.

Tabel 4 Persentase stek terinfeksi PMWaV setelah mendapat perlakuan air panas

Perlakuan Air Panas Persentase stek terinfeksi PMWaV*)

PMWaV-1 PMWaV-2 PMWaV-1 & PMWaV-2 Suhu 56°C selama 60 menit 32,00a 20,00ab 10,00ab

Suhu 58°C selama 40 menit 21,00ab 0,00b 0,00b Kontrol positif 44,33a 66,77a 18,33a Kontrol negatif 0,00d 0,00b 0,00b

*)Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)

Berdasarkan persentase infeksi PMWaV-1 dan PMWaV-2 pada stek dari tanaman sakit diketahui bahwa perlakuan air panas 58°C selama 40 menit pada tanaman sakit mampu menekan infeksi PMWaV-2. Sedangkan perlakuan air panas 56°C selama 60 menit pada tanaman sakit tidak berpengaruh nyata terhadap infeksi PMWaV-1 maupun PMWaV-2.

Eliminasi patogen dari bahan tanaman dengan perlakuan panas dapat dilakukan jika toleransi patogen terhadap panas lebih rendah dibandingkan toleransi bahan tanaman. Jika kedua syarat tersebut dapat terpenuhi, maka akan terdapat interval perlakuan suhu perlakuan panas yang dapat mengeliminasi patogen tanpa mengurangi viabilitas bahan tanaman. Interval suhu yang dapat mengeliminasi patogen tanpa mengurangi viabilitas bahan tanaman tersebut disebut ”treatment window” (Forsberg 2001). Dalam penelitian ini, perlakuan air panas 58 ºC selama 40 menit memenuhi persyaratan dalam ”treatment window” karena perlakuan tersebut mampu menekan infeksi PMWaV-2 pada stek tanpa mengurangi viabilitas stek tersebut.

Perlakuan panas berpengaruh terhadap transportasi virus di dalam tanaman, baik transportasi antar sel (cell-to-cell movement) maupun transportasi jarak jauh antar jaringan (Hadidi et al. 1998). Transportasi virus di dalam tanaman dimediasi oleh protein yang dikode oleh virus tersebut yang disebut movement protein atau transport protein. Perlakuan air panas yang diberikan pada tanaman yang terinfeksi

Dokumen terkait