• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Letak Geografis.

Lokasi penelitian bertempat di kebun teh Malabar dan Purbasari PTPN VIII Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Secara administrasi kebun teh Malabar dan Purbasari berada dibawah daerah administrasi pemerintahan Desa Banjar Sari dan Wanasuka.

Desa Banjar Sari terletak diketinggian ±1.500 meter di atas permukaan air laut, yang memiliki luas wilayah 2208,97 Ha. Bagian barat berbatasan dengan Desa Margaluyu, bagian utara berbatasan dengan Desa Sukamanah, bagian selatan berbatasan dengan Desa Wanasuka, dan bagian timur berbatasan dengan Desa Tarumajaya Kertasari. Jumlah penduduk desa Banjar Sari adalah 5641 jiwa, dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 2811 jiwa dan perempuan sebanyak 2830 jiwa. Jumlah keluarga di desa Banjar Sari adalah 314 kepala keluarga. Sedangkan jumlah keluarga miskin di desa Banjar Sari adalah 733 kepala keluarga dengan jumlah 2.164 jiwa.

Desa Wanasuka terletak diketinggian ±1550 di atas permukaan air laut yang memiliki luas wilayah 4555,96 Ha. Bagian utara berbatasan dengan Desa Margamukti, bagian selatan berbatasan dengan Desa Margaluyu, bagian timur berbatasan dengan Desa Santosa, dan bagian barat berbatasan dengan Desa Banjar Sari. Jumlah penduduk di Desa Wanasuka adalah 4880 jiwa, dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 2393 jiwa dan perempuan sebanyak 2487 jiwa. Jumlah kepala keluarga di Desa Wanasuka adalah 1548 kepala keluarga, dengan jumlah keluarga miskin sebanyak 876 kepala keluarga.

Kebun teh Malabar merupakan peninggalan masa penjajahan Hindia Belanda. Kebun ini merupakan kebun teh pertama dan tertua, yang dirintis oleh seorang warga negara Belanda yaitu Karl Albert Rudolf Bossca pada tahun 1896.

Beliau merupakan utusan dari Firma John Peet dan Co. Setelah masa penjajahan berakhir, kebun ini dikelola oleh masyarakat pribumi dalam bentuk BUMN dan melakukan perluasan lahan menjadi beberapa kebun, sala satunya adalah kebun

teh Purbasari. Kebun teh Malabar memiliki luas wilayah 2022,14 Ha, yang terdiri dari 4 afdeling yaitu afdeling malabar utara dengan luas kebun 444,41 Ha, afdeling malabar selatan dengan luas kebun 624,72 Ha, afdeling sukaratu dengan luas kebun 458,42 Ha, dan afdeling tanara dengan luas kenun 494,69 Ha. Jumlah kepala keluarga yang berdomisili di kebun teh Malabar adalah sebagai berikut : afdeling malabar utara berjumlah 69 kepala keluarga, afdeling malabar selatan berjumlah 152 kepala keluarga, afdeling sukaratu berjumlah 190 kepala keluarga dan afdeling tanara berjumlah 30 kepala keluarga.

Kebun teh Purbasari memiliki luas kebun 2115,97 Ha, yang terdiri 4 afdeling yaitu afdeling purbasari, afdeling kiararoa, afdeling Sri dan afdeling Citawa. Kepala keluarga yang berdomisili di kebun teh Purbasari adalah sebagai berikut : afdeling purbasari berjumlah 85 kepala keluarga, afdeling kiararoa berjumlah 78 kepala keluarga, afdeling sri berjumlah 165 kepala keluarga, dan afdeling citawa berjumlah 81 kepala keluarga.

Fasilitas Sosial dan Kesehatan

Untuk meningkatkan dan menciptakan kualitas kehidupan sosial di masyarakat dalam upaya peningkatan sumberdaya manusia dan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah Kabupaten Bandung dan pihak PTPN VIII telah menyediakan sarana dan prasarana dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat di daerah tersebut. Salah satunya dengan menyediakan fasilitas pendidikan yang disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran fasilitas pendidikan di kebun Desa Banjarsari dan Wanasuka Lokasi

Sumber :Profil desa Banjar Sari dan Wanasuka 2007

Hasil analisis data profil Desa Banjar Sari dan Wanasuka Tahun 2007 menunjukkan bahwa fasilitas pendidikan terbayak adalah tingkat sekolah dasar (SD), dengan persentase masing-masing adalah 50% untuk Desa Banjar dan

66.66% untuk Desa Wanasuka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap rumah tangga yang memiliki anak usia pra sekolah, diperoleh informasi bahwa keluarga tersebut mengalami kesulitan dalam memberikan pendidikan usia dini (TK) pada anaknya. Faktor penyebabnya yaitu jumlah fasilitas pendidikan tingkat usia dini (TK) yang terbatas dan jarak antara fasilitas pendidikan dengan pemukiman penduduk (terutama untuk Desa Wanasuka).

Hak memperoleh pendidikan bagi setiap individu merupakan tanggung jawab pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sehingga harus dilaksanakan. Oleh karena itu diperlukan penambahan fasilitas pembangunan fisik khususnya untuk pendidikan usia dini (TK) di wilayah Desa Wanasuka, sebagai bentuk pemerataan pendidikan di masyarakat.

Peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui pelayanan kesehatan masyarakat di tingkat dasar merupakan satu strategi menuju Indonesia sehat 2010 harus dilakukan secara sinergis. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Bandung dan PTPN VIII menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjarsari dan Wanasuka. Sebaran fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjar Sari dan Wanasuka tersebut disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjar Sari dan Wanasuka Desa

Sumber :Profil desa Banjar Sari dan Wanasuka 2007.

Hasil analisis data profil Desa Banjar Sari dan Wanasuka Tahun 2007, menunjukkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan sebagian besar adalah posyandu, dengan persentase masing-masing adalah 70% untuk Desa Banjar Sari dan 80% untuk Desa Wanasuka. Menurut Notoatmojo (2003), pelayanan kesehatan merupakan faktor penentu yang ikut berpengaruh terhadap status kesehatan individu, keluarga dan masyarakat.

Kegiatan posyandu di Desa Banjar Sari dan Wanasuka diantaranya adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan penimbangan, pemeriksaan ibu hamil

dan pemberian makanan tambahan pada anak balita, yang dilakukan secara rutin setiap bulan. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan operasional posyandu berjalan dengan baik. Proses pelayanan kesehatan tersebut dijalankan oleh kader posyandu, meskipun fasilitas yang tersedia sangat terbatas.

Dalam upaya memenuhi permintaan konsumen, pihak PTPN VIII diwajibkan meningkatkan produksi teh dengan cara meningkatkan produktivitas kerja. Sebagian besar tenaga kerja pemetik teh adalah ibu rumah tangga, sehingga pihak PTPN VIII menyediakan fasilitas tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh di kebun teh Malabar dan Purbasari untuk tenaga kerja yang memiliki anak usia dini. Sebaran tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh di kebun teh Malabar dan Purbasari disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh.

Tempat Penitipan Anak (TPA) Lokasi

Jumlah TPA % Pengasuh %

Malabar Purbasari

4 5

40 60

7 8

40 60

Total 9 100 15 100

Sumber :Laporan tahun 2007 kebun teh Malabar dan Purbasari.

Hasil analisis laporan data Tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase sebaran fasilitas tempat penitipan anak (TPA) di kebun teh Malabar yaitu sebesar 40% dan di kebun teh Purbasari sebesar 60%. Sedangkan persentase sebaran pengasuh di kebun teh Malabar yaitu sebesar 40% dan di kebun teh Purbasari sebesar 60%. Orang tua pengasuh yang bekerja di tempat penitipan anak (TPA) merupakan karyawan PTPN VIII.

Karakteristik Keluarga

Karakterisitik keluarga dalam penelitian adalah ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing keluarga yang terdiri dari: umur orang tua, umur anak, jenis kelamin anak, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan umur disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan umur.

Tabel 16 menunjukkan bahwa sebaran umur ibu di kebun teh Malabar dan Purbasari terbanyak adalah berkisar antara 38 sampai 64 tahun atau sebesar 47.05%. Sedangkan sebaran umur bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari terbanyak adalah berkisar antara 29 sampai 37 tahun atau sebesar 37.25%.

Pasangan suami istri di dua kebun terseut merupakan pasangan keluarga muda yang produktif.

Tingkat pendidikan adalah variabel penentu terhadap jenis pekerjan dan pendapatan keluarga. Hasil analisis data sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan

Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dan bapak yang berada di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki tingkat pendidikan SD/sederajat dengan persentase masing-masing sebesar 56.86%. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari disebabkan oleh biaya pendidikan yang tinggi sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat pada saat itu.

Pendidikan orang tua memiliki hubungan terhadap pengetahuan praktek kesehatan dan gizi anak. Orang tua yang berpendidikan tinggi, cenderung memilih makanan yang lebih baik dan berkualitas dibandingkan dengan orang tua yang

berpendidikan rendah. Orang tua yang berpendidikan tinggi memiliki kesempatan lebih luas dalam mendapatkan pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi anak.

Pendidikan rendah dan kemiskinan merupakan faktor dasar masalah gizi dan kesehatan, yang berdampak terhadap rendahnya sumberdaya manusia (Syarif 1997). Pendidikan merupakan variabel penentu dalam memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Seseorang yang berpendidikan tinggi memiliki akses kerja yang lebih luas dan akses pekerjaan yang lebih baik bila dibandingkan dengan seseorang yang berpendidikan rendah. Sebaran ibu dan bapak berdasarkan lama mengikuti pendidikan formal, serta sebaran bapak berdasarkan jenis pekerjaan disajikan pada Tabel 18 dan 19.

Tabel 18 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan lama mengikuti pendidikan formal.

Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dan bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki lama mengikuti pendidikan formal berkisar antara 6 sampai 8 tahun, dengan persentase masing-masing sebesar 56.86% dan 62.74%. Lama mengikuti pendidikan formal menunjukkan tingkat pendidikan, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh seseorang.

Tabel 19 Sebaran bapak berdasarkan jenis pekerjaan.

Bapak

Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari bekerja sebagai buruh tani, yaitu sebesar 82.35%. Kartasapoetra dan Marsetoyo (2003) menyatakan bahwa jenis pekerjaan orang tua merupakan indikator penentu besarnya pendapatan keluarga. Semakin besar penghasilan yang diperoleh, maka konsumsi pangan keluarga semakin baik terutama yang berhubungan dengan harga dan jenis pangan berkualitas.

Selain faktor harga, distribusi pangan dalam keluarga menjadi penyebab masalah gizi kurang terutama keluarga besar. Jenis keluarga dan sebaran keluarga contoh berdasarkan besar pendapatan total/bulan disajikan pada Tabel 20 dan 21.

Tabel 20 Sebaran jenis keluarga contoh.

Jenis keluarga Kategori

n %

Keluarga kecil ≤4 Keluarga sedang 5-7 Keluarga besar ≥8

25 26 0

49.01 50.98 0.00

Total 51 100

Tabel 20 menunjukkan bahwa jenis keluarga yang ada di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi oleh keluarga sedang (jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 jiwa) dan keluarga kecil (jumlah anggota keluarga ≤ 4 jiwa) dengan persentase masing-masing sebesar 50.98% dan 49.01%. Besar keluarga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap distribusi pangan, terutama keluarga dengan pendapatan rendah. Jumlah keluarga yang besar dan tidak didukung oleh pendapatan akan memiliki resiko kurang gizi yang tinggi, yang disebabkan oleh konsumsi gizi yang rendah dan bahan makan yang tidak berkualitas.

Berg (1986) menyatakan bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar adalah empat kali lebih besar bila dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga yang beranggota banyak adalah lima kali lebih besar daripada keluarga yang beranggota keluarga sedikit.

Tabel 21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar pendapatan total/bulan.

Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga (54.90%) di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki pendapatan total/bulan berkisar antara Rp.200.000 sampai Rp.699.999, dengan rata-rata pendapatan total/bulan sebesar Rp.583.333. Rendahnya pendapatan keluarga disebabkan oleh sumber pendapatan keluarga yang hanya mengandalkan upah kerja dan tidak terdapatnya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan.

Mudanijah et al (2006) menyatakan bahwa pendapatan berpengaruh terhadap daya beli pangan keluarga. Keluarga yang memiliki pendapatan tinggi, cenderung memilih bahan pangan yang berkualitas. Pendapatan total keluarga/bulan bila didistribusi berdasarkan pendapatan perkapita/bulan dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan

Tabel 22 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh (56.86%) di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki pendapatan total/kapita/bulan berkisar antara Rp.50.000 sampai 147.999, dengan rata-rata pendapatan total/kapita/bulan sebesar Rp.170.890. Rendahnya pendapatan keluarga disebabkan oleh, jenis keluarga di kebun teh Malabar dan Purbasari sebagian besar adalah keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 jiwa, dan hal ini akan berpengaruh terhadap distribusi pendapatan. Kecilnya pendapatan total/kapita

keluarga, disebabkan oleh sumber pendapatan yang masih mengandalkan orang tua terutama pada keluarga ukuran sedang. Misalnya anak usia produktif (pada keluarga sedang) yang belum bekerja, sehingga menyebabkan seluruh beban biaya hidupnya ditanggung oleh orang tuanya. Bila pendapatan perkapita tersebut dibandingkan dengan indikator kemiskinan Kabupaten Bandung, maka keluarga

contoh yang termasuk kategori tidak miskin dan miskin dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin dan tidak miskin.

Keluarga contoh Kategorik

n %

Tidak miskin ≥Rp.144.000 Miskin <Rp. 144.000

29 22

56.86 43.14

Total 51 100

Berdasarkan indikator kemiskinan lokal yang ditentukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung maka 56.86% keluarga contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari dapat dikategorikan sebagai keluarga tidak miskin dan 43.14% dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin.

Menurut Suhardjo (1987), masalah kemiskinan yang dialami keluarga merupakan faktor penyebab yang berhubungan dengan konsumsi pangan dan buruknya status gizi anak. Syarif (1997) menambahkan bahwa kemiskinan akan menyebabkan akses pangan dan kesehatan tidak memadai, dan berakibat terhadap konsumsi pangan yang rendah serta angka kesakitan tinggi, sehingga akan melahirkan anak kurang gizi dan sumberdaya manusia menjadi rendah.

Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin di kebun teh Malabar dan Purbasari disajikan pada Tabel 24. Hasil analisis data sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin di kebun teh Malabar dan Purbasari sangat bervariasi. Contoh laki-laki didominasi oleh umur berkisar antara 63 sampai 67 bulan atau sebesar 33.33%, sedangkan contoh perempuan didominasi oleh umur berkisar antara 48 sampai 52 bulan atau sebesar 42.86%.

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Laki-laki Perempuan Total Umur (bulan)

Potensi Atlit Anak Usia 48-72 Bulan

Mengidentifikasi potensi atlit usia dini merupakan solusi terbaik dalam pencarian atlit yang berbakat. Usia 48-72 bulan merupakan usia minimal yang digunakan untuk menentukan potensi calon atlit usia dini. Potensi atlit usia dini dalam penelitian adalah kompetensi gerakan fisik yang berhubungan dengan kesegaran jasmani yang terdiri dari: kecepatan gerak , daya tahan otot, kekuatan otot dan daya tahan kardiovaskuler.

Hasil pengukuran potensi atlit usia dini yang dilakukan pada anak keluarga wanita pemetik teh di kebun teh Malabar dan Purbasari, secara umum diperoleh nilai yang bervariasi yaitu berkisar antara skor 1 sampai 5. Hasil pengukuran kecepatan gerak fisik yang dilakukan dengan metode lari cepat 100 meter disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan lari cepat 100 meter.

Lari 100 meter

Tujuan pengukuran lari 100 meter berfungsi untuk menilai kecepatan gerak fisik. Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 51.0% memiliki kecepatan gerak fisik yang termasuk kategori kurang. Skor maksimum yang diperoleh dalam pengukuran adalah 4 dan skor minimum adalah 1, dengan skor

pengukran rata-rata adalah 2.39±0.72. Pengukuran kecepatan gerak fisik contoh dengan metode lari cepat 100 meter merupakan ukuran yang tidak dimodifikasi.

Tabel 25 juga menunjukkan bahwa sebanyak 5.9% contoh memiliki kecepatan gerak fisik yang dikategorikan baik. Pencapaian hasil yang maksimal disebabkan oleh hasil pengukuran yang mencapai skor 4 berdasarkan pengujian kecepatan gerak fisik. Pada pengujian kecepatan gerak fisik diperoleh hasil bahwa sebagian besar contoh dikategorikan kurang. Hal ini disebabkan oleh koordinasi sistem motorik anak usia 48-72 bulan masih dalam tahap perkembangan. Menurut Sumantri (2005), kecepatan gerak motorik atau fisik merupakan satu perpaduan sistem syaraf dan sistem otot yang saling bekerja sama untuk melakukan suatu gerakan tubuh.

Pengukuran kecepatan gerak fisik pada contoh laki-laki lebih baik bila dibandingkan pada contoh perempuan. Pengukuran yang dilakukan pada 31 contoh laki-laki menunjukkan hasil bahwa 10% contoh memiliki potensi kecepatan gerak fisik yang baik. Pada contoh perempuan diperoleh hasil bahwa 47.61% contoh memiliki kecepatan gerak fisik yang termasuk kategori kurang (Lampiran 5). Hasil pengukuran yang cukup maksimal ini disebabkan oleh contoh laki-laki cenderung melakukan permainan-permainan yang lebih banyak melibatkan aktivitas fisik tinggi dibandingkan contoh perempuan sehingga menunjang hasil pengukuran.

Hasil pengukuran kecepatan gerak fisik ini dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Sumantri (2005) dalam menguji motorik kasar 269 anak laki-laki dan perempuan usia 3-6 tahun dengan tes lari cepat. Hasil pengujian membuktikan bahwa anak laki-laki memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan anak perempuan dan hasil yang sama ditemukan dalam penelitian ini. Untuk mencapai hasil maksimal dalam pengukuran kecepatan gerak fisik, diperlukan latihan yang dilakukan secara teratur dan terus-menerus, sehingga dapat beradaptasi terhadap gerakan fisik terutama sistem syaraf dan otot yang lebih peka dan sensitif terhadap stimulasi dari luar tubuh.

Pengukuran tes menggantung pada penelitian ini berfungsi untuk mengukur ketahanan otot tangan secara menyeluruh. Ukuran yang digunakan dalam pengujian ketahanan otot tangan adalah dengan metode menggantung,

dimodifikasi dari menggantung siku tekuk dirubah ke menggantung tanpa siku tekuk. Menurut Dewi (2005), contoh yang berusia 48-72 bulan tidak dapat melakukan gerakan menggantung dengan siku tekuk, disebabkan oleh perkembangan motorik kasar terutama otot besar pada tangan belum mampu melakukan gerakan tersebut. Hasil pengukuran tes menggantung pada contoh disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pengujian menggantung.

Menggantung

Tabel 26 menunjukkan bahwa 52.9% contoh memiliki ketahanan otot tangan yang termasuk kategori sedang. Skor pengukuran maksimum adalah 5 dan skor minimum 1, dengan skor rata-rata adalah 3.31±0.70. Analisis data juga ditemukan ketahanan otot baik 33.33% dan sangat baik 3.9%. Hasil yang maksimal ini disebabkan oleh anak usia 48-72 bulan memiliki perkembangan sistem motorik halus yang sudah baik terutama kemampuan memegang dan menjepit jari tangan (Soetjiningsih 1995).

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada contoh laki-laki didominasi oleh ketahanan otot tangan yang dikategorikan sedang 46% dan baik 43.33%

(Lampiran 5). Sedangkan hasil pengukuran pada contoh perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 61.90% memiliki ketahanan otot tangan yang dikategorikan sedang (Lampiran 5). Pengukuran yang dilakukan menunjukkan bahwa seluruh contoh dapat melakukan gerakan menggantung, namun hasil pengukuran ketahanan otot tangan secara menyeluruh belum dapat dilakukan secara maksimal. Untuk mencapai hasil maksimal dalam pengukuran ketahanan otot tangan, diperlukan latihan secara teratur dan terus menerus sehingga otot-otot tangan dapat berkembang dan beradaptasi dengan gerakan yang dilakukan.

Gerakan menggantung dapat dilibatkan dalam permainan yang dilakukan contoh sehari-hari.

Pengukuran tes baring duduk atau sit-up merupakan tes yang berfungsi untuk mengukur kekuatan otot perut. Pengukuran kekuatan otot perut dengan metode sit-up merupakan ukuran yang tidak dimodifikasi berdasarkan standar TKJI tahun 2005 khusus anak yang dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan Nasional. Hasil pengujian sit-up disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan pengujian sit-up.

Sit-up

Tabel 27 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 72.5% memiliki potensi kekuatan otot perut yang dikategorikan sedang. Skor pengukuran maksimum adalah 4 dan skor minimum adalah 1, dengan skor pengukuran rata-rata adalah 2.90±0.57. Hasil pengukuran tersebut disebabkan oleh hasil pengujian sebagian besar baru mencapai skor 3. Pada pengukuran kekuatan otot perut dengan metode sit-up, juga ditemukan contoh yang memiliki potensi kekuatan otot perut yang dapat dikategorikan baik yaitu sebesar 9.8% contoh.

Hasil yang maksimal ini disebabkan oleh skor hasil pengukuran kekuatan otot perut sudah mencapai skor 4. Pada pengukuran berdasarkan jenis kelamin diperoleh hasil bahwa 73.33% contoh laki-laki dan 71.42% contoh perempuan dapat dikategorikan sedang (Lampiran 5). Pengukuran yang dilakukan pada contoh laki-laki dan perempuan belum mendapatkan hasil yang maksimal, karena pertumbuhan dan perkembangan otot perut contoh belum mencapai kesempurnaan. Untuk mencapai hasil yang maksimal, gerakan-gerakan tersebut perlu dilibatkan dalam pola bermain anak sehari-hari, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah.

Pengukuran lompat tegak yang dilakukan berfungsi untuk mengukur tenaga eksplosif. Ukuran yang digunakan dalam pengukuran tenaga eksplosif tidak dimodifikasi dan menggunakan standar TKJI tahun 2005 khusus anak yang

dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan Nasional. Hasil pengukuran disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan pengujian lompat tegak.

Lompat tegak

Tabel 28 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 64.7% memiliki tenaga eksplosif yang dikategorikan sedang. Skor nilai maksimum dari pengukuran tengan eksplosif adalah 4 dan skor minimum 1, dengan skor rata-rata adalah 2.76±0.55. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengukuran tenaga eksplosif sebagian besar mencapai skor 3. Pada pengukuran tenaga eksplosif, juga ditemukan 5.9% contoh yang memiliki tenaga eksplosif yang dikategorikan baik.

Hasil maksimal tersebut disebabkan oleh nilai pengukuran sudah mencapai skor 4.

Faktor yang diduga berhubungan dengan hasil yang maksimal ini adalah ukuran tubuh yang besar terutama panjang tulang yang berpengaruh terhadap kecepatan, sedangkan besar otot memiliki kekuatan tinggi dalam memberikan reaksi (Tangkudung 2007).

Dewi (2005) menyatakan bahwa sistem motorik kasar pada anak usia 48-72 bulan, dengan gerakan melompat dan mengangkat tubuh baik dengan tumpuan satu kaki ataupun bergantian dapat dilakukan berdasarkan teori perkembangan anak. Namun berdasarkan hasil penelitian ini gerakan tersebut tidak dilatih sehingga menghasilkan gerakan yang tidak sempurna berdasarkan pengukuran potensi tenaga eksplosif. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pengukuran tenaga eksplosif, diperlukan keseimbangan badan dan kekuatan otot kaki.

Pengukuran kekuatan eksplosif dengan metode lompat tegak berdasarkan jenis kelamin menunjukkan hasil bahwa 705 anak laki-laki dan 57.14% anak perempuan memiliki kekuatan eksplosif yang dikategorikan sedang (Lampiran 5).

Faktor yang menyebabkan hasil pengukuran tersebut adalah karena pengujian kekuatan eksplosif merupakan pengujian untuk menghasilkan gerakan yang

berkualitas tinggi yang harus didukung oleh otot yang besar dan kematangan

berkualitas tinggi yang harus didukung oleh otot yang besar dan kematangan

Dokumen terkait