• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi dan Kecenderungan Populasi Sapi di Indonesia Populasi Sapi Nasional

Daging sapi sebagai sumber protein hewani, merupakan salah satu agent of development yang dapat menentukan daya saing SDM suatu negara. Daging sapi bersifat income elastic demand yang sangat tinggi, dimana laju peningkatan permintaan lebih tinggi dari laju peningkatan pendapatan. Konsumsi daging

21 nasional terus meningkat kecuali saat terjadi krisis ekonomi.Terdapat 10 provinsi utama produsen daging di Indonesia, meskipun mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, produsen daging utama adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Barat, Jakarta, Sulawesi Selatan, Bali, dan Kalimantan Timur. Namun pada tahun 2008, Jawa Timur menjadi produsen terbesar, disusul Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Jakarta, Bali, dan Kalimantan Timur tidak termasuk dalam 10 produsen daging (Departemen Pertanian 2009 dalam Subagyo 2009). Setiap tahun Indonesia membutuhkan 350,000-400,000 ton daging sapi, yang setara dengan pemotongan sapi sebesar 1.7-2 juta ekor (Rayana 2009). Berikut pertumbuhan produksi daging sapi di Indonesia periode 1989 hingga periode 2011 dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Gambar 5 Produksi Daging Sapi di Indonesia

Pada tahun 2005-2006 Indonesia mengalami peningkatan produksi daging lokal sebesar 19.2 persen, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18.8 persen dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata peningkatan sebesar 9.1 persen (Badan Pusat Statistik, 2010). Permintaan daging sapi yang terus meningkat memacu terjadinya impor daging sapi juga cenderung meningkat. Kebutuhan daging sapi yang terus menerus meningkat setiap tahun menyebabkan kesenjangan antara produksi daging sapi lokal dengan daging yang dihasilkan melalui impor. Tahun 1989 hingga tahun 2011 produksi daging sapi di Indonesia sangat berfluktuatif dan mengalami penurunan produksi yang paling rendah pada tahun 2005 yaitu sebesar 358,842 ton, dibandingkan dengan produksi daging sapi tahun sebelumnya yaitu tahun 2004 sebesar 445,502 ton. Produksi daging sapi tertinggi dicapai pada tahun 2011 sebesar 485,333 ton. Produksi daging sapi di Indonesia beberapa tahun terakhir masih tetap bersumber utama dari tiga provinsi yakni, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Provinsi Jawa Timur merupakan produsen daging sapi terbesar yang nilai produksinya di tahun 2011 mencapai sekitar 4.73 juta ekor, selanjutnya diikuti oleh Jawa Tengah dengan 1.94 juta ekor dan berikutnya Sulawesi Selatan dengan 983 ribu ekor (Badan Pusat Statistik, 2012).

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 P rod u k si Dagi n g S ap i (t on ) Tahun

22

Pertumbuhan produksi daging sapi tentunya dipengaruhi jumlah populasi sapi di Indonesia. Berikut Gambar 6 yang menunjukkan jumlah sapi di Indonesia dari periode 1989 hingga periode 2011.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Gambar 6 Jumlah Populasi Daging Sapi di Indonesia

Berdasarkan data populasi sapi dari periode tahun 1989 hingga periode tahun 2011 mengalami fluktuasi namun pada tahun 2003 hingga 2011, jumlah populasi sapi mengalami peningkatan. Pada sensus sapi 2011 menunjukkan bahwa populasi sapi mencapai hingga 15 juta ekor. Hal ini menjelaskan jika konsumsi daging sapi 2 kilogram per kapita dan sekitar 200 kilogram daging per sapi yang dapat dikonsumsi, maka Indonesia membutuhkan sekitar 400,000 ekor per tahun (Badan Pusat Statistik, 2012). Artinya Indonesia seharusnya sudah bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri atau sudah swasembada. Namun, fakta yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa tidak semua populasi sapi tersebut berupa stok aktif sapi potong. Hal itu disebabkan sekitar 4.6 juta peternak lokal menyimpan sekitar 2-3 ekor sebagai investasi. Pada umumnya, sebagian besar sapi yang ada saat ini masih dimiliki oleh masyarakat, bukan dimiliki secara industri, artinya masyarakat baru menjual ternaknya jika ada kebutuhan mendesak, hal inilah yang diperkirakan menjadi salah satu sebab sedikitnya pasokan daging sapi lokal ke pasar nasional di tengah terus bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat setiap tahun. Dalam masalah ini, pemerintah diharapkan melakukan survei lanjutan yang mengukur stok aktif sapi siap potong. Kebijakan ini harus dilakukan di setiap kabupaten sehingga neraca pasokan dan kebutuhan daging sapi dapat diestimasi secara lebih akurat.

Jumlah populasi sapi di Indonesia sebanyak 15.4 juta ekor, namun jumlah ini masih perlu ditingkatkan lagi secara bertahap sehingga dapat mencapai target jumlah produksi untuk swasembada daging sapi 2014 yang dicanangkan oleh pemerintah. Pada tahun 2010, usaha ternak sapi rakyat semakin tergusur sehingga memengaruhi penurunan produksi dalam negeri, hal ini disebabkan sapi impor yang diekspor dari Australia dan Selandia Baru mulai mendominasi kantong-kantong produksi ternak sapi potong rakyat tanpa melalui penggemukan. Besarnya volume sapi-sapi impor menguasai produksi sapi potong di desa-desa seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang mengakibatkan sapi potong rakyat kalah bersaing dengan sapi impor yang harganya lebih murah. Menteri pertanian menerbitkan surat keputusan tentang pengurangan jumlah sapi

0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 16000000 18000000 P op u lasi S ap i (e k or ) Tahun

23 yang diimpor pada tahun 2010 yaitu pengurangan sekitar 41 persen dari rencana impor sebelumnya. Keputusan ini telah menimbulkan kekhawatiran kelangkaan pasokan dan kenaikan harga daging sapi, namun pada saat itu terjadi peningkatan produksi yang cukup tinggi jika dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya.Tolak ukur ketahanan pangan dapat dilihat dari ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan dalam negeri. Saat ini Indonesia belum dapat dikatakan sudah mencapai swasembada daging sapi, hal ini disebabkan negara kita belum dapat menghasilkan produksi dalam negeri sebesar 90-95 persen dan impor sebesar 5-10 persen. Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan struktur organisasi pelaksana yang bersifat operasional, mandiri, berjenjang, dan terkoordinasi sehingga kekurangberhasilan program swasembada daging sapi pada periode sebelumnya tidak terulang lagi.

Ketidakmampuan produksi nasional dalam mencukupi kebutuhan daging sapi di Indonesia mengakibatkan pemerintah hingga saat ini masih melakukan impor daging sapi dari beberapa negara penghasil sapi antara lain Australia, dan Selandia Baru. Selama kurun 2004-2011, impor daging sapi mengalami kenaikan sebesar 99 persen dengan rata-rata per tahun sebesar 14.16 persen. Kenaikan impor daging sapi tertinggi terjadi pada tahun 2008. Perkembangan impor daging sapi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kementerian Perdagangan

Gambar 7 Perkembangan Impor Daging Sapi Di Indoenesia

Pada tahun 2010, impor daging sapi sekitar 299,090 ton yang terdiri dari 209 ribu ton sapi bakalan dan 90 ribu ton daging sapi. Sementara itu pada tahun 2011, impor daging sapi turun 38 persen menjadi sekitar 184,000 ton yang terdiri dari 118,000 ton sapi bakalan dan 65.000 ton daging sapi. Pengurangan kuota impor terkait dengan upaya pemerintah dalam mensukseskan swasembada daging sapi di tahun 2014. Pihak Australia atau Luar sebagai importir ke Indonesia juga harus diberikan penekanan bahwa peran australia dalam mendukung ketersediaan pangan khususnya daging sapi tetap diperlukan. Saat ini, dengan meningkatnya kebutuhan terhadap daging sapi di masyarakat dan di industri akan mendorong peningkatan impor daging sapi di masa mendatang.

24

Harga Daging Sapi Dalam Negeri

Harga daging sapi dalam negeri dari tahun ke tahun menunjukkan trend naik. Hal ini terlihat dari harga daging selama sepuluh tahun terakhir yang selalu menngkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, rata-rata kenaikan harga daging sapi per tahun mencapai 9 persen. Dengan kenaikan harga tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 14.4 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 57,259/kg menjadi Rp 64,291/kg. Harga daging sapi (periode tahun 2003-2011) mengalami gejolak harga dengan koefisien variasi sebesar 27.3 persen (Badan Pusat Statistik). Kenaikan harga daging sapi si Indonesia dapat dilhat pada Gambar 8.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kementerian Perdagangan

Gambar 8 Rata-rata Harga Daging Sapi di Indonesia

Berdasarkan pemantauan di beberapa daerah sentra produksi, terjadi fluktuasi harga daging sapi tingkat konsumen antar waktu dan antar provinsi. Fluktuasi harga terbesar antar waktu terjadi pada tahun 2011. Sementara itu juga terdapat fluktuasi harga antar wilayah atau provinsi di Indonesia. Harga daging sapi tertinggi terjadi di Provinsi Aceh dan terendah terjadi di Nusa Tenggara Timur. Tingginya harga daging sapi di Provinsi Aceh disebabkan oleh adanya tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Aceh untuk membeli daging bagi keluarganya menyambut Ramadhan. Daging sapi disajikan sebagai lauk utama, sehari sebelum Ramadhan tiba atau Hari Raya sehingga menyebabkan kenaikan harga daging sapi signifikan terjadi pada waktu atau periode Hari Besar Keagamaan nasional (HBKN). Setidaknya selama empat tahun terakhir, harga daging sapi tertinggi terjadi disaat hari besar tersebut, yaitu menjelang puasa hingga Idul Adha. Hal ini dikarenakan permintaan yang tinggi dari efek psikologis konsumen yang cenderung membeli daging lebih banyak pada periode tersebut serta adanya ekspektasi dan perilaku pedagang yang cenderung meningkatkan harga secara tidak wajar. Pada tahun 2009, harga daging sapi tertinggi terjadi pada saat menjelang lebaran hingga lebaran dan tahun 2010, harga daging sapi tertinggi terjadi pada saat menjelang Idul Adha. Tahun 2011, harga daging sapi tertinggi terjadi pada saat Bulan Puasa. Harga komoditas daging sapi di dalam negeri dari tahun ke tahun kenyataannya terus mengalami kenaikan. Kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya sangat

25 berhubungan erat dengan kenaikan permintaan, jumlah pasokan yang berkurang, serta impor dan harga daging sapi yang berlaku di pasar internasional.

Stabilisasi harga merupakan salah satu cara dalam mengontrol lonjakan kenaikan harga daging sapi yang sering terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Untuk mengantisipasi kenaikan harga komoditas daging sapi, pemerintah perlu segera melakukan berbagai langkah-langkah dan upaya penerobosan yang mendesak untuk dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka menengah, agar stabilitas harga atas komoditas daging sapi di pasaran dapat tetap terjaga dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selama ini fluktuasi naiknya harga komoditas daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah pasokan yang mencukupi dalam mengimbangi tingginya permintaan lewat mekanisme pasar. Upaya intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga komoditas daging sapi pada tingkat yang normal sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, adalah dengan melakukan intervensi lewat keduanya, yaitu dari sisi jumlah pasokan dan konsumsi. Pemerintah juga dapat menjaga dan mengatur titik keseimbangan atas jumlah pasokan berdasarkan hasil pemantauan mengenai peta jumlahnya, wilayah-wilayah produksinya serta tingkat konsumsi masyarakat terhadap daging sapi untuk kebutuhan per wilayah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, perkiraan mengenai jumlah pasokan yang harus tetap tersedia dapat terpantau dengan baik, apakah dengan menambah ataupun menjaga kondisi pasokannya pada pasar di wilayah tertentu. Dampak lain yang dapat dicegah adalah harga pada tingkat konsumen tidak akan dapat dipermainkan lagi oleh pihak produsen. Pemerintah tentunya dapat menjaga kecukupan secara konsisten dan cepat tanggap dalam memperhitungkan jumlah pasokan dan kebutuhan yang harus selalu tersedia di wilayah pasar-pasar tertentu, yang didasarkan pada hasil kegiatan pemantauan yang sudah dilakukan sejak awal sebelum menyalurkan pasokan komoditas daging sapi pada tingkat tertentu.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi Di Indonesia

Pada penelitian ini, variabel yang diteliti merupakan harga daging sapi, kredit, teknologi produksi dan harga pakan ternak. Pengaruh variabel tersebut terhadap produksi daging sapi akan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) menggunakan program software Minitab 14 dan Microsoft Excel 2007. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi produksi daging sapi di Indonesia dengan hasil pada tabel berikut:

26

Tabel 3 Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Populasi Sapi Di Indonesia

Variabel Koefisien Prob. VIF

Konstanta -0.1037 0.000 -

Harga Daging sapi -0.02876 0.911 24.6*

Kredit 0.03177 0.011 2.7

Teknologi Produksi 0.082074 0.000 1.8

Harga Pakan Ternak 0.00520 0.771 22.6*

R-squared 95.3%

Adjusted R-squared 94.2%

Prob(F-statistic) 0.000

Durbin-Watson stat 1.26323

Keterangan: *VIF > 10

Sebelum melakukan estimasi model, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik pada model. Pertama, uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term menyebar normal atau tidak. Hasil uji normalitas ( kolmogorov-smirnov) menunjukkan tidak terjadi pelanggaran asumsi dalam model yang digunakan. Nilai Prob. Chi Square sebesar 0.150 lebih besar dari nilai α = 0.05

maka terima H0, artinya asumsi residual menyebar normal terpenuhi.

Heteroskedastisitas merupakan gejala yang terjadi dalam model regresi linear jika variannya berbeda-beda atau bervariasi. Pengujian masalah heteroskedastisitas dapat dilihat dengan melakukan uji homoskedastisitas. Hasil uji homoskedastisitas menunjukkan nilai Prob. Chi Square sebesar 0.483 lebih

besar dibandingkan nilai α = 0.05 maka terima H0 artinya asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.

Autokorelasi merupakan korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi error masa yang lalu dan error masa sekarang. Hasil uji

autokorelasi dengan Durbin Watson menunjukkan angka 1.26323 dengan jumlah variabel bebas (k) = 4 dan jumlah sampel (n) =23, maka dL = 1.077 dan dU = 1.659. Oleh karena nilai DW statistik berada pada rentang dL < DW < dU, maka berdasarkan kriteria keputusan uji statistik DW tidak ada autokolerasi pada model. Uji multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terjadinya satu atau dua variabel bebas yang berkorelasi dengan variabel lainnya. Pada penelitian ini, uji multikolinearitas dapat ditunjukkan melalui hasil VIF, jika nilai VIF bernilai kurang dari sepuluh maka tidak terdapat masalah multikolinearitas, namun sebaliknya jika nilai VIF bernilai lebih dari 10 maka terdapat pelanggaran asumsi klasik multikolinearitas. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 4, menunjukkan nilai VIF masing-masing variabel bebas tidak semuanya lebih kecil dari 10, artinya data mengalami pelanggaran multikolinearitas. Nilai VIF pada variabel harga daging sapi dan harga pakan ternak lebih besar dari sepuluh kecuali variabel kredit dan variabel teknologi produksi, nilai VIF-nya lebih kecil dari sepuluh (Tabel 4). Dalam penelitian ini, untuk menghilangkan pelanggaran multikolinearitas tersebut dilakukan analisis regresi komponen utama sehingga hasil penduga model menjadi baik.

27 Tabel 4 Hasil Estimasi model terhadap skor komponen utama W1

Jumlah Populasi Sapi = 16.3 - 0.0436 W1

Variabel Koefisien SE Koefisien T P

Konstanta 16.2725 0.0007 24720.82 0.000

W1 -0.0436363 0.0003352 -130.16 0.000

R-squared 99.9%

Adjusted R-squared 99.9%

Berdasarkan hasil estimasi menggunakan regresi komponen utama, nilai determinasi R-Square sebesar 99.9 persen yang digunakan untuk menguji

goodness-of-fit dari model regresi. Hal ini berarti sebesar 99.9 persen produksi daging sapi di Indonesia yang mampu dijelaskan dengan variabel independen sedangkan sisanya yaitu sebesar 0.1 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Nilai probabilitas W1 signifikan terhadap produksi dilihat dari nilai Prob. Chi Square yaitu sebesar 0.000 lebih kecil dari nilai α = 5 persen maka komponen yang terdiri dari semua variabel independen berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi.

Tabel 5 Hasil Estimasi Dengan Regresi Komponen Utama

Variabel Koefisien St. Dev T-hit T-tabel Ket Harga Daging Sapi 0.029 6.32072E-06 4664.64 1.96 signifikan Kredit 0.022 5.1943E-06 4270.11 1.96 signifikan Teknologi Produksi 0.018 2.25944E-06 8089.34 1.96 signifikan Harga Pakan Ternak -0.017 5.88268E-06 2983.16 1.96 signifikan

Keterangan: signifikan pada taraf nyata 5%

Pengujian dengan menggunakan uji F-statistik menunjukkan bahwa nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0.000 < 0.05), sehingga dapat dikatakan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang digunakan dalam model mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel terikat yaitu jumlah populasi sapi pada tingkat kepercayaan 5 persen sehingga model penduga sudah layak menduga parameter yang ada dalam fungsi. Nilai t-hitung lebih besar dari nilai t-tabel membuktikan bahwa semua peubah bebas berpengaruh nyata terhadap produksi.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel bebas yang terdiri dari harga daging sapi, kredit, teknologi produksi, kredit dan harga pakan ternak dalam model tersebut signifikan memengaruhi jumlah populasi sapi di Indonesia pada taraf nyata 5 persen. Masing-masing variabel akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Harga Daging Sapi

Variabel harga daging sapi berpengaruh signifikan pada taraf nyata lima persen terhadap populasi sapi dan memiliki korelasi yang positif. Koefisien variabel harga daging sapi adalah sebesar 0.029 yang menunjukkan bahwa peningkatan harga daging sapi satu persen akan meningkatkan populasi sapi sebesar 0.029 persen, cateris paribus. Koefisien tersebut sekaligus dapat menunjukkan nilai elastisitas dari variabel harga daging sapi. Dengan menggunakan asumsi bahwa 1 ekor sapi setara dengan 1 ton daging sapi, maka hal ini membuktikan hipotesis awal yang menjelaskan bahwa jika

28

terjadi peningkatan harga daging sapi maka akan terjadi peningkatan pada jumlah populasi sapi yang dilihat dari peningkatan produksinya. Secara teoritis kenaikan harga daging sapi, tentunya memengaruhi peningkatan pada produksi karena semakin tinggi harga tersebut maka suatu perusahaan yang memproduksi barang tersebut lebih banyak karena akan memberikan keuntungan yang lebih bagi perusahaan.

Namun, sekarang ini harga daging sapi di dalam negeri dari tahun ke tahun kenyataannya terus mengalami kenaikan. Kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat erat berkaitan dengan kenaikan permintaan daging sapi dalam negeri, jumlah pasokan yang masih kurang, serta impor dan harga daging sapi yang berlaku di pasar internasional. Tingginya permintaan daging sapi ini sangat signifikan pada saat menghadapi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) sehingga berpotensi pada kenaikan harga daging sapi, apalagi jika tidak diimbangi dengan pasokan yang cukup maka lonjakan kenaikan harga akan semakin meningkat tajam. Hal ini juga menjadi kesempatan yang besar bagi peternak sapi di Indonesia. Para peternak sapi tergiur untuk memotong daging sapi dalam jumlah yang besar, sehingga mereka mulai memotong sapi betina untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Masalahnya, dengan melakukan pemotongan pada sapi betina akan memengaruhi penurunan produksi, hal ini disebabkan karena sapi betina terlibat dalam pemotongan daging, seharusnya sapi betina digunakan untuk mempertahankan produksi salah satunya untuk pembibitan, bukan untuk pemotongan dan dijual menjadi pasokan daging sapi dalam negeri.

b. Kredit

Variabel kredit memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata lima persen terhadap populasi sapi dengan nilai probabilitas (p_value) 0.011 dan memiliki korelasi yang positif. Koefisien variabel kredit yang diperoleh sebesar 0.022, menunjukkan bahwa peningkatan kredit sebesar satu persen saja akanmeningkatkan produksi sebesar 0.022 persen, cateris paribus. Koefisien tersebut sekaligus dapat menunjukkan nilai elastisitas dari variabel kredit. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa kredit memiliki korelasi yang positif terhadap peningkatan populasi sapi. Dalam usaha meningkatkan populasi sapi, Kementrian Pertanian membuat program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dengan tujuan agar terjadi penambahan populasi sapi di Indonesia. Program tersebut dicanangkan agar target swasembada 2014 lebih cepat tercapai. Melalui program ini, populasi sapi dalam negeri berhasil meningkat sekitar 40,000 ekor sapi per tahun. Namun hingga saat ini program ini belum mampu mencapai target swasembada yaitu target penambahan populasi sapi sebanyak 200 ribu ekor sapi per tahun. Sehingga perlu diterapkan kebijakan yang lebih efektif mengenai sasaran dalam mencapai swasembada daging sapi terkait penyaluran kredit usaha pembibitan sapi terhadap peternak sapi rakyat di Indonesia.

c. Teknologi Produksi

Dalam penelitian ini variabel teknologi produksi diproksi dalam dosis Inseminasi Buatan. Variabel teknologi produksi memiliki korelasi yang positif terhadap peningkatan populasi sapi dan signifikan pada taraf nyata

29 lima persen. Koefisien variabel teknologi produksi yang diperoleh sebesar 0.018, menunjukkan bahwa apabila teknologi produksi meningkat sebesar satu persen, maka populasi sapi meningkat sebesar 0.018 persen, cateris paribus. Koefisien tersebut sekaligus dapat menunjukkan nilai elastisitas dari variabel teknologi produksi. Hal ini membuktikan hipotesis awal yang menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan pada teknologi produksi maka akan terjadi peningkatan pada volume produksi. Variabel teknologi produksi yang berkorelasi positif ini juga membuktikan bahwa secara teori dapat diterima. Secara teori, semakin canggih teknologi maka populasi sapi cenderung semakin meningkat. Namun, penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Kariayasa (2005) yang menunjukkan bahwa teknologi produksi yang diproksi melalui jumlah dosis Inseminasi Buatan (IB) tidak berpengaruh nyata dengan produksi menyatakan bahwa IB tersebut belum berhasil, bahkan fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa banyak peternak yang kurang respon terhadap IB karena tingkat keberhasilannya relatif rendah (harus berulang-ulang) dan biayanya pun cukup mahal. Hal tersebut mungkin terjadi karena pada saat penelitian ini dilakukan, peternak sapi rakyat Indonesia masih belum bisa menerapkan teknologi IB dalam produksi, terkendala masalah keterampilan, informasi dan biaya yang belum memadai.

Saat ini, teknologi IB sudah diminati banyak peternak sapi, sehingga produksi daging sapi mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir ini, meskipun masih terdapat banyak kekurangan dalam sumber daya pemanfaatannya. Terdapat hal yang perlu diperhatikan untuk produktivitas IB yaitu semen beku sebaiknya tidak didistribusikan secara merata pada semua wilayah, tetapi selektif pada wilayah dengan pemeliharaan intensif saja, khususnya sumber bibit sapi potong. Hal ini jugalah yang memengaruhi peningkatan volume produksi daging dalam beberapa tahun terakhir ini yaitu adanya penggunaan teknologi IB dalam proses produksi. Keberhasilan IB ditentukan oleh beberapa faktor, yakni SDM peternak, keterampilan inseminator dan sarana pendukung (peralatan), hal inilah yang perlu diperhatikan agar teknologi IB yang digunakan sebagai salah satu pemicu laju peningkatan populasi sapi di Indonesia semakin berhasil dikalangan peternak sapi.

d. Harga Pakan Ternak

Variabel harga pakan ternak berpengaruh signifikan pada taraf nyata lima persen terhadap populasi sapi dan memiliki korelasi yang negatif. Koefisien

Dokumen terkait