• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebijakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebijakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI POPULASI SAPI

DALAM NEGERI SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA

TERHADAP SWASEMBADA DAGING SAPI DI INDONESIA

MASLINA KARLINCE HUTAGAOL

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebijakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2013

Maslina Karlince Hutagaol.

(4)

ABSTRAK

MASLINA KARLINCE HUTAGAOL. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebijakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia. Dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.

Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi daging sapi di Indonesia cenderung meningkat. Peningkatan laju permintaan daging sapi sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, perbaikan pendapatan per kapita, dan perubahan selera konsumen. Permasalahan yang terjadi adalah saat ini Indonesia masih merupakan negara pengimpor daging sapi dengan 35 persen pasokan daging sapi berasal dari impor. Hal ini dipengaruhi volume produksi daging sapi di Indonesia yang tidak proporsional terhadap peningkatan konsumsinya. Metode analisis menggunakan metode regresi linear berganda dengan periode analisis dari tahun 1989 hingga tahun 2011 serta menggunakan jumlah populasi daging sapi sebagai variabel dependen dan empat variabel bebas yang meliputi harga daging sapi, harga pakan, kredit, dan teknologi produksi. Disimpulkan bahwa harga daging sapi, kredit, teknologi produksi dan harga pakan ternak mampu memengaruhi populasi sapi dalam negeri. Oleh karena itu, upaya mencapai swasembada daging sapi (Program Swasembada Daging Sapi) tahun 2014 difokuskan pada peningkatan populasi sapi.

Kata kunci: Daging sapi, Produksi, Swasembada daging.

ABSTRACT

MASLINA KARLINCE HUTAGAOL. Factors Affecting Population in The Country and The policy Implications for Indonesia's self-sufficiency inbeef. Supervised by. MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.

In recent years, consumption of beef in Indonesia tends to increase. Increase in the rate of demand for beef in line with population growth, per capita incomes, and changing consumer tastes. The problem that occurs is that Indonesia is still a net importer of beef with 35 percent of beef supply comes from imports. It is influenced by the volume of beef production in Indonesia is not proportional to the increase in consumption. Analysis method using multiple linear regression analysis with the period from 1989 to 2011 as well as the use of beef population as the dependent variable and the four independent variables which include beef prices, feed prices, credit, and production technology. Concluded that the price of beef, credit, production technology and animal feed prices can affect cattle population in the country. Therefore, efforts to achieve self-sufficiency in beef (Beef Self-Sufficiency Program) in 2014 focused on increasing the cattle population.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI POPULASI SAPI

DALAM NEGERI SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA

TERHADAP SWASEMBADA DAGING SAPI DI INDONESIA

MASLINA KARLINCE HUTAGAOL

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebijakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia

Nama : Maslina Karlince Hutagaol

NIM : H14090016

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, kasih, kekuatan dan anugerah-Nya yang tidak pernah berhenti sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah mengenai populasi sapi, dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebjakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia. Penyusunan karya ilmiah ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, masukan, kesabaran, motivasi, saran, dan bantuannya selama penulisan skripsi ini.

2. Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan, dan saran dalam penulisan skripsi ini.

3. Dewi Ulfah Wardani, M.Si selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini. 4. Keluargaku tercinta: Bapak tercinta Pongguk Hutagaol, Ibu tercinta

Riana Tampubolon, kedua kakakku tersayang Emelia Hutagaol, dan Nova Hutagaol, kedua abangku tersayang Dirjen Hutagaol, dan Juven Hutagaol, serta keluarga besar Hutagaol-Tampubolon. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi dan dukungan doanya kepada penulis selama menjalani pendidikan di Bogor.

5. BPS Kota Bogor dan Direktorat Jenderal Peternakan yang telah menyediakan dan melayani penulis saat proses pengumpulan data. 6. IPB yang telah memberikan beasiswa BBM (Bantuan Belajar

Mahasiswa) pada tahun 2010, ARMADA pada tahun 2011, dan beasiswa dari ikatan alumni ilmu ekonomi 2012 kepada penulis selama menjalani pendidikan di IPB.

7. Kepada sahabat penulis Lita Natalia Sitorus S.E yang selalu setia menemani penulis baik dalam suka maupun duka selama menjalani pendidikan di Bogor.

8. Kepada teman-teman Ilmu ekonomi 46 juga semua pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah menyemangati dan mendoakan yang terbaik bagi penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Usaha Peternakan Sapi Potong ... 6

Potensi Sapi Potong ... 9

Kawasan Peternakan ... 10

Produktivitas Sapi Potong ... 11

Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi ... 12

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi ... 13

Kerangka Pemikiran ... 17

Hipotesis ... 18

METODE ... 18

Jenis dan Sumber Data ... 18

Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 18

Model Penelitian ... 18

Pengujian Statistik Analisis Regresi ... 20

Pengujian Asumsi Klasik ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Kondisi dan Kecenderungan Populasi Sapi di Indonesia ... 21

Populasi Nasional ... 21

Harga Daging Sapi Dalam Negeri... 25

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi di Indonesia ... 26

Implikasi Kebijakan ... 31

SIMPULAN DAN SARAN ... 34

Simpulan ... 34

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

1 Volume Impor dan Produksi Daging Sapi periode 2009-2011 3

2 Data dan sumber data 18

3 Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Populasi Sapi di

Indonesia 27

4 Hasil Estimasi model Terhadap Skor Komponen Utama W1 28

5 Hasil Estimasi Dengan Regresi Komponen Utama 28

DAFTAR GAMBAR

1 Konsumsi Daging Sapi di Indonesia 2

2 Kerangka Pemikiran 17

3 Produksi Daging Sapi di Indonesia 22

4 Jumlah Populasi Sapi di Indonesia 23

5 Perkembangan Impor Daging Sapi di Indonesia 24

6 Rata-Rata Harga Daging Sapi di Indonesia 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Korelasi 41

2 Regresi Linier Berganda 41

3 Uji Asumsi Klasik 41

4 Regresi Komponen Utama 42

5 Persamaan Regresi 46

6 Hasil Uji t 46

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak sapi mempunyai banyak manfaat di dalam kehidupan masyarakat. Ternak sapi, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Ternak sapi mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan bagi manusia terutama sebagai bahan makanan yang berupa daging, selain itu ternak sapi dapat menghasilkan pupuk kandang, kulit, tulang dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Daging sapi sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan asupan gizi berupa protein hewani pada tubuh manusia. Hingga saat ini, daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang berprotein tinggi serta memiliki harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Daging sapi sebagai salah satu sumber protein yang berasal dari hewan ternak ini sudah dikenal sebagai bahan pangan yang hampir lengkap dan sempurna, karena didalamnya terkandung berbagai macam zat gizi yang diperlukan tubuh.

Faktanya, ternak sapi di Indonesia sebagian besar dikelola oleh usaha peternakan rakyat yang berskala kecil serta menggunakan teknologi yang lebih sederhana. Kondisi tersebut tentu saja menyebabkan usaha peternakan sapi di Indonesia tidak mampu menghasilkan jumlah sapi dalam jumlah yang besar. Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia memiliki tingkat konsumsi protein yang masih relatif rendah dibanding negara lain, terutama dari daging sapi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi daging sapi dalam negeri cenderung meningkat. Kebutuhan dalam negeri akan daging sapi semakin tahun terus meningkat, terjadinya peningkatan jumlah penduduk, yang diikuti dengan perbaikan taraf hidup, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan dan perubahan selera konsumen telah mengubah pola konsumsi yang mengarah pada protein hewani asal ternak. Meningkatnya populasi penduduk tersebut dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging sapi secara nasional cenderung meningkat.

(14)

2

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Gambar 1 Konsumsi Daging Sapi di Indonesia

Gambar 1 menunjukkan bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia berfluktuasi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Peningkatan jumlah tersebut tercermin dari peningkatan konsumsi daging sapi dari sebesar 1.95 kg per kapita pada tahun 2007 menjadi 2 kg per kapita pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 2.24 kg per kapita pada tahun 2009. Peningkatan konsumsi ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan daging sapi secara keseluruhan dari 455,755 ton pada tahun 2008 menjadi 516,603 ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik dan Statistik Peternakan, 2009). Kebutuhan daging tersebut menjadikan negara Indonesia membutuhkan jumlah sapi sebanyak 2,432 juta ekor sapi pada tahun 2008 dan 2,746 juta ekor sapi pada tahun 2009 (Australian Statistic Bureau, 2009). Rata-rata konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia periode 2009-2011 sebesar 0.635 kg per kapita per tahun, sedangkan produksi rata-rata daging sapi Indonesia untuk periode yang sama hanya 443,698.3 ton per tahun (Badan Pusat Statistik 2012). Kondisi tersebut mencerminkan bahwa peningkatan konsumsi daging sapi tidak proporsional terhadap peningkatan produksinya.

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan sumber daya hayati yang sangat beragam dan melimpah. Hal tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan dengan maksimal untuk memajukan perekonomian bangsa. Dengan kondisi tersebut, seharusnya kita mampu meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia melalui pemeliharaan ternak sapi secara optimal dengan menggunakan semua sumber daya yang telah dianugerahi bagi Indonesia. Namun, harapan tersebut tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, terbukti bahwa produksi daging sapi di Indonesia masih rendah, sehingga menyebabkan negara kita tidak mampu memenuhi konsumsi daging sapi dalam negeri secara nasional apalagi jika kita harus mengimpor ke negara lain, hal tersebut masih sangat jauh dari harapan. Kondisi usaha peternakan sapi yang sebagian besar dikelola oleh peternak sapi rakyat dengan tenaga kerja keluarga, dalam skala kecil, serta menggunakan teknik yang sederhana dalam proses produksi tentunya memengaruhi penurunan pada petumbuhan jumlah populasi sapi dan juga akan memengaruhi produksi daging sapi nasional juga semakin menurun ditengah-tengah semakin meningkatnya kebutuhan daging sapi secara nasional.

(15)

3 Kondisi produksi daging sapi nasional pada tiga tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1. Data tersebut menunjukkan ketimpangan antara produksi daging sapi nasional dengan perkembangan jumlah impor daging sapi di Indonesia. Perkembangan volume impor periode 2009-2010 mengalami peningkatan sebesar 23,115,605 kg, sementara dari tahun 2010 ke tahun 2011 jumlah impor menurun drastis sebesar 49,671,209 kg (Statistik Peternakan). Hal ini disebabkan karena telah diberlakukannya kebijakan penetapan aturan non-tarif komoditas peternakan impor, yaitu pembatasan kuota impor daging sapi sesuai dengan Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014, sehingga terjadi penurunan yang sangat drastis pada jumlah impor daging sapi terhadap negara lain pada tahun tersebut. Hal tersebut semakin meningkatkan terjadinya ketimpangan antara pertumbuhan produksi daging sapi dengan jumlah impor daging sapi terhadap negara lain. Tabel 1 menunjukkan jumlah impor daging sapi dan produksi daging sapi periode 2009-2011.

Tabel 1 Jumlah impor daging sapi dan produksi daging sapi periode 2009-2011 Tahun Jumlah impor daging sapi

(kg) Produksi daging sapi (kg)

2009 67,390,133 409,310

2010 90,505,738 436,452

2011 40,834,529 485,333

Sumber : Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), diolah

Pertumbuhan produksi dalam negeri tidak seimbang dengan tingginya volume impor daging sapi negara Indonesia terhadap negara lain. Pertumbuhan impor daging sapi yang relatif lebih cepat dibandingkan pertumbuhan produksi daging sapi dalam negeri menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging sapi domestik belum mampu mengikuti tingginya peningkatan konsumsi daging sapi dalam negeri sehingga menimbulkan kecenderungan dalam pengadaan daging sapi akan selalu bergantung pada daging sapi impor untuk pemenuhan konsumsi daging sapi nasional.

Ilham (2009) mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi masalah lambatnya pertumbuhan produksi daging dalam negeri, terutama daging sapi. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu manajemen dan teknologi pemeliharaan ternak sapi masih sangat rendah. Lambatnya pertumbuhan produksi daging sapi dalam negeri disebabkan oleh sebagian besar usaha ternak sapi merupakan usaha peternakan rakyat yang merupakan skala usaha kecil yaitu dua sampai empat ekor per peternak, usaha ternak sapi hanya sebagai usaha sambilan dengan tujuan untuk tabungan serta menggunakan teknologi yang sederhana dalam produksi. Artinya, produksi daging sapi di Indonesia dapat ditingkatkan melalui pembenahan pada usaha peternakan sapi di Indonesia dengan optimal sehingga dapat menghasilkan populasi sapi dalam jumlah yang besar untuk diproduksi.

(16)

4

Jika populasi ternak sapi dapat mencukupi untuk kebutuhan konsumsi daging maka dinggap telah swasembada. Progam Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014 ini merupakan tindak lanjut program swasembada daging yang pernah dicanangkan pada tahun 2005 dan tahun 2010. Program Swasembada tersebut merupakan salah satu program prioritas Pemerintah dalam beberapa tahun ke depan untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumberdaya lokal. Pencapaian swasembada daging sapi merupakan tantangan yang tidak ringan, mengutip pernyataan Dirjen Peternakan Kementrian Pertanian, yang menjelaskan bahkan ada kecenderungan jumlah impor terus meningkat menjadi sekitar 720 ribu ekor sapi pada tahun-tahun mendatang. Hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani, khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan dan menyebabkan Indonesia masuk dalam perangkap pangan (food trap) negara eksportir.

Perumusan Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia dan memiliki tingkat konsumsi protein yang masih relatif rendah dibandingkan negara lain, terutama dari daging sapi. Namun, beberapa tahun terakhir konsumsi akan protein hewani dalam negeri meningkat sesuai dengan peningkatan populasi penduduk, peningkatan gaya hidup, perbaikan taraf hidup dan pengembangan ekonomi. Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat juga disebabkan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa dengan tingkat konsumsi daging sapi masyarakat yang cenderung meningkat setiap tahunnya sementara produksi daging sapi lokal tidak mampu mengikuti pertumbuhan konsumsinya, artinya terjadi kesenjangan antara kebutuhan masyarakat terhadap daging sapi dengan produksi daging sapi lokal. Hal ini menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri yang semakin meningkat setiap tahunnya, kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri dikarenakan adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan usaha peternakan sapi di Indonesia. Sehingga saat ini ketersediaan daging sapi nasional masih mengalami kekurangan yang ditutup melalui impor. Produksi daging sapi yang berasal dari ternak sapi dalam negeri yang belum dapat memenuhi konsumsi daging sapi tersebut harus segera ditemukan cara mengatasinya. Oleh karena itu pemerintah Indonesia bertekad untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014 dengan tujuan mengurangi ketergantungan Indonesia pada daging sapi impor.

(17)

5 pakan ternak, peningkatan mutu bibit melalui program inseminasi buatan, dan program pemberantasan penyakit (Ilham, 1998). Pemerintah juga telah melakukan upaya-upaya pemberdayaan usaha peternakan rakyat dengan konsep pengembangan Industri Peternakan Rakyat (Inayat) dengan pola kemitraan antara perusahaan dengan peternakan rakyat dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Namun, semua usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah belum berhasil secara keseluruhan dalam meningkatkan produksi ternak dalam negeri. Melalui segala upaya yang dilakukan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat, diharapkan bangsa Indonesia mampu menjadikan sektor peternakan menjadi salah satu sektor yang bisa membangun kehidupan bangsa yang lebih sejahtera, sehingga Indonesia dapat bangkit dari keterpurukan dan menjadi negara yang maju dalam segala bidang termasuk dalam hal ekonomi. Atas dasar hal-hal yang disebutkan diatas maka penelitian ini menganalisis tentang variabel-variabel yang memengaruhi populasi sapi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu terlebih dahulu diketahui faktor-faktor apa yang relevan memengaruhi pertumbuhan populasi sapi, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang paling efektif untuk meningkatkan jumlah populasi sapi di Indonesia. Faktor-faktor yang diduga relevan memengaruhi populasi sapi di Indonesia antara lain harga daging sapi, harga pakan ternak, kredit dan teknologi produksi yang diproksi dalam dosis Inseminasi Buatan.

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Apa saja faktor-faktor yang relevan serta pengaruhnya terhadap populasi sapi di Indonesia?

2. Kebijakan apa yang lebih efektif diambil pemerintah dalam upaya meningkatkan populasi sapi guna mencapai target swasembada daging sapi tahun 2014?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menelaah faktor-faktor yang memengaruhi populasi sapi di Indonesia.

2. Merumuskan suatu kebijakan untuk meningkatkan populasi sapi guna mencapai target swasembada daging sapi tahun 2014 di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :

1. Sebagai input bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan dan melakukan tindakan antisipatif dalam rangka meningkatkan populasi sapi di Indonesia, serta pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pengembangan usaha peternakan sapi di Indonesia. 2. Bagi peneliti terdahulu dapat digunakan sebagai pembanding hasil riset

(18)

6

3. Bagi penelitian mendatang dapat digunakan sebagai acuan untuk pemahaman lebih mendalam mengenai analisis faktor-faktor yang memengaruhi populasi sapi.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas analisis faktor-faktor yang memengaruhi populasi sapi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode ordinary least square

(OLS), dengan Time series yang digunakan adalah periode 1989-2011. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi harga daging sapi di pasar, harga pakan ternak, kredit, dan teknologi produksi .

TINJAUAN PUSTAKA

Usaha Peternakan Sapi Potong

Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, dan mempunyai daya reproduksi yang baik. Potensi dan kelebihan sapi lokal bisa dimanfaatkan secara optimal apabila manajemen pemeliharaan dan perawatan dilakukan dengan baik. Anggraini (2003) menyatakan usaha peternakan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, yaitu:

1) Peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan komoditas pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya digunakan sebagai usaha sambilan dengan skala usaha rakyat untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan tingkat pandapatan dari ternak kurang dari 30 persen.

2) Peternakan sebagai cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran dengan ternak dan tingkat pendapatan dari peternakan sebesar 30-70 persen. 3) Peternakan sebagai usaha pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai usaha

pokok dengan tingkat pendapatan mencapai 70-100 persen.

4) Peternakan sebagai skala industri dengan tingkat pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100 persen. Struktur industri peternakan di Indonesia sebagian besar tetap bertahan pada skala usaha rakyat.

(19)

7 peternak dengan kepemilikan sapi potong empat sampai tujuh ekor, dan tiga persen kepemilikan sapi potong lebih dari tujuh ekor. Menurut (Mubyarto 1989, diacu dalam Alpian 2010), memaparkan peternakan berdasarkan pola pemeliharaan usaha ternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: peternakan rakyat, peternakan semi komersil dan peternakan komersil. 1) Peternakan Rakyat

Peternakan rakyat dikelola dengan cara melakukan pemeliharaan ternak secara tradisional. Pemeliharaan dengan menggunakan cara ini dilakukan setiap hari oleh anggota kelompok keluarga peternak, dengan keterampilan yang dimiliki masih sederhana dan menggunakan bibit ternak lokal dalam jumlah dan mutu yang terbatas. Peternak rakyat cenderung memiliki tujuan utama yaitu pemeliharaan sebagian hewan kerja sebagai pembajak sawah atau tegalan. Peternakan rakyat dengan kondisi tersebut cenderung menyebabkan kurang optimalnya hasil usaha peternakan oleh rakyat salah satunya rendahnya populasi ternak.

2) Peternakan Rakyat Semi Komersil

Peternakan rakyat semi komersil dikelola dengan keterampilan beternak yang dikategorikan cukup. Namun, peternakan rakyat semi komersil dilakukan melalui penggunaan bibit unggul, obat-obatan, serta makanan penguat yang cenderung meningkat. Namun, jenis peternakan rakyat tersebut memiliki tujuan utama pemeliharaan hanya untuk menambah pendapatan keluarga dan konsumsi sendiri. Kondisi peternakan ini juga menyebabkan hasil pemeliharaan yang kurang optimal.

3) Peternakan Komersil

Peternakan komersil dijalankan oleh peternak yang mempunyai kemampuan dalam segi modal, sarana produksi, dengan teknologi yang cukup modern. Seluruh tenaga kerja dibayar dan makanan ternak dibeli dari luar dalam jumlah besar. Biasanya jenis usaha peternakan seperti ini memiliki tujuan utama yaitu menghasilkan keuntungan atau profitabilitas yang tinggi bagi pemilik peternakan. Usaha ternak komersil ini memberi peluang yang cukup besar dalam menghasilkan populasi ternak yang tinggi sehingga memengaruhi tingkat produksi juga meningkat.

Selain pengelompokkan peternakan di Indonesia yang dilakukan oleh Mubyarto (1989) diacu dalam Alpian (2010), peternakan pun memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia, maka Yusdja (2005) memaparkan bahwa usaha sapi potong telah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha – usaha swasta dalam usaha sapi perah di sekitar Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Mulai tahun 1977, Indonesia mulai mengembangkan agribisnis sapi potong yang ditandai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. SKB ini merumuskan kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi potong di Indonesia. Setidaknya terdapat dua dasar yang digunakan yakni agribisnis sapi potong dikembangkan melalui koperasi/KUD sapi potong dan pemasaran daging diatur oleh koperasi serta Industri Pengolahan daging sapi.

(20)

8

dan pengolahan daging sapi yang relatif maju dan kapasitas yang cukup tinggi, dan tersedianya kelembagaan peternak. Kondisi peternakan sapi potong di Indonesia saat ini adalah skala usaha kecil (dua sampai lima ekor), motif usahanya adalah rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan atau usaha utama, masih jauh dari teknologi serta didukung oleh manajemen usaha dan permodalan yang masih lemah (Erwidodo,1993).

Usaha peternakan sapi potong di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu. Berkaitan dengan terkonsentrasinya usaha peternakan sapi potong tersebut, Sutardi (1981) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi potong di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu:

1) Wilayah yang memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan

2) Wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah.

Pada dasarnya, tipe wilayah pertama merupakan dataran rendah yang terletak di sekitar kota besar dan bersuhu panas, dan tipe wilayah kedua menggambarkan pedesaan yang terletak di dataran tinggi dan bersuhu sejuk. Beberapa kelemahan yang timbul dari karakteristik tersebut adalah rendahnya penyediaan hijauan dan performa produksi pada tipe wilayah pertama serta minimnya penyediaan konsentrat dan rantai pemasaran daging di tipe wilayah kedua. Namun usaha ternak sapi potong merupakan salah satu usaha yang menguntungkan dibandingkan dengan usaha ternak yang lain. Kemampuan sapi potong dalam menghasilkan daging ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang memengaruhi produksi daging antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan (Schmidt dan Hutjuers, 1998). Oleh karena itu, faktor yang akan memengaruhi besarnya jumlah populasi sapi selanjutnya akan memengaruhi produksi daging sehingga perlu diperhatikan dengan seksama dan ditangani dengan sebaik mungkin dengan tujuan memperoleh hasil yang optimal.

(21)

9 Indonesia. Sebagian besar ternak sapi dipelihara secara tradisional dalam usaha rakyat.

Ada tiga sistem pemeliharaan yang umum digunakan oleh peternak rakyat, yaitu pertama, sistem ekstensif yaitu sistem pengembalaan atau grazing (NTT, NTB, Bali, Kalsel, sebagian Sumatera, dan sebagian Kalimantan), pemeliharaan dengan sistem ini hanya untuk status sosial peternak dan tabungan. Kedua, sistem intensif yaitu sapi tidak digembalakan dengan sistem cut and carry (Jatim dan Jateng, sebagian Sulawesi), pengembangan peternakan dengan sistem ini sangat bergantung pada ketersediaan tenaga kerja keluarga yang bertugas mencari pakan hijauan. Pengembangan ternak dengan menyediakan pakan hijauan akan mengurangi tenaga kerja keluarga dan skala usaha bisa meningkat. Tujuan produksi sistem ini adalah tenaga kerja tanpa memperdulikan pasar dan produksi. Ketiga, sistem kombinasi, ternak digembalakan pada lahan yang terbatas dan kekurangan pakan hijauan dalam kandang. Sistem pemeliharaan kombinasi bertujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sapi bakalan. Pada pemeliharaan intensif, sapi dikandangkan terus-menerus atau dikandangkan pada malam hari dan digembalakan pada siang hari. Sistem pemeliharaan secara intensif banyak dilakukan oleh petani di Jawa, Madura, dan Bali. Sistem pemeliharaan ekstensif banyak dilakukan oleh peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Ternak pada sistem ini umumnya dipelihara di padang pengembalaan dengan pola pengembalaan pertanian menetap atau di pelihara di hutan (Sugeng, 2006).

Kebijakan pengembangan ternak sapi harus melihat ketiga aspek tersebut karena terdapat perbedaan masalah yang dihadapi sehingga penanganannya akan berbeda, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya lahan dan pakan (Ilham, 1995). Selain itu sistem pemasaran yang ada tidak memberikan intensif yang layak kepada peternak. Para peternak tidak mempunyai daya tawar sehingga peran pedagang menjadi dominan dalam menentukan harga. Pada sisi lain perdagangan ternak hidup antar pulau dan wilayah menimbulkan biaya angkutan dan resiko ekonomi yang besar, sementara perdagangan karkas belum layak dilakukan karena infrastruktur yang tersedia belum memadai. Usaha peternakan tradisional memiliki karakteristik sebagai berikut :

1) Sebagian besar usaha masih berskala kecil sebagai usaha keluarga 2) Tingkat keterampilan peternak rendah dan modal usaha yang kecil

3) Belum memanfaatkan bibit unggul dan jumlah ternak produktif yang sedikit 4) Penggunaan ransum tidak efisien dan belum disediakan secara khusus 5) Kurang memperhatikan pencegahan penyakit, dan

6) Usaha belum bersifat komersil.

Potensi Sapi Potong

(22)

10

1) Subsektor peternakan berpotensi sebagai sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian.

2) Rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan terus bertambah. 3) Tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian regional.

4) Mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai penyedia bahan pangan maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan (Whiteman, 1980).

Industri peternakan sapi potong sebagai suatu kegiatan agribisnis mempunyai cakupan yang sangat luas. Rantai kegiatan tidak terbatas pada kegiatan produksi di hulu tetapi juga sampai kegiatan bisnis di hilir dan semua kegiatan bisnis pendukungnya. Pemerintah besama-sama dengan masyarakat memimpikan mempunyai suatu industri peternakan sapi potong yang tangguh dalam arti sebagai suatu industri peternakan yang mempunyai daya saing yang tinggi dan mampu secara mandiri terus tumbuh berkembang di era persaingan dalam ekonomi pasar global (Boediyana, 2008).

Kawasan Peternakan

(23)

11 yang dibutuhkan oleh subsistem lain seperti transportasi, penyuluhan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan, perbankan, dan kebijakan pemerintah.

Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2004), kawasan peternakan dilihat dari segi agrosistem dan tingkat kemandirian kelompok dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kawasan peternakan baru, kawasan peternakan binaan, dan kawasan peternakan mandiri. Kawasan peternakan baru merupakan kawasan yang dikembangkan di suatu daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak, tetapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan peternakan. Ciri-ciri kawasan peternakan baru yaitu petani telah memiliki usaha tani di sektor agribisnis, belum terbentuk kelompok tani, dan memiliki lahan yang cukup luas dan potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber pakan ternak. Kawasan binaan merupakan kawasan lanjut dari kawasan peternakan baru, yaitu daerah yang telah berkembang sesuai dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok tani pemula menjadi kelompok tani madya setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan menjadi kawasan binaan. Kelompok tani pada kawasan binaan telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Kerjasama antar kelompok mulai dirintis dengan membentuk Kawasan Usaha Bersama Agribisnis (KUBA). Kawasan peternakan mandiri adalah pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang luas. Kemampuan kelompok tani telah meningkat menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama dengan kelompok tani lain dalam wadah KUBA. Kelompok tani pada kawasan ini telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap kelompok, setiap KUBA dengan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2004). Komponen-komponen yang menjadi indikator pembentuk suatu kawasan peternakan sapi potong adalah lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak dan pendamping, kelembagaan, aspek manajemen usaha, dan fasilitas (Departemen Pertanian, 2002).

Produktivitas Sapi Potong

Hardjosubroto (1994) menyatakan, produktivitas ternak ditentukan oleh dua aspek yaitu penampilan produksi dan penampilan reproduksi. Produktivitas biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan. Menurut Prescot (1979), secara umum produktivitas seekor ternak ditentukan oleh tiga faktor yaitu genetik, lingkungan, dan umur. Faktor keturunan akan mempengaruhi performa seekor ternak dan faktor lingkungan merupakan pengaruh kumulatif yang dialami oleh ternak sejak terjadinya pembuahan hingga dewasa. Produksi sapi yang baik akan dihasilkan apabila seekor ternak selain mempunyai genetik yang tinggi, ternak juga memiliki daya adaptasi lingkungan serta tata laksana yang baik.

(24)

12

1993). Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus-menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi.

Produksi ternak sapi potong berhubungan erat dengan performansnya. Performans ternak dapat dilihat dari bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan kondisi tubuh. Bobot badan ternak dapat diketahui dengan melakukan penimbangan atau menggunakan alat penduga bobot hidup untuk menggambarkan penampilan produksi seekor ternak. Beberapa ukuran tubuh dapat dijadikan sebagai indikator bobot hidup seperti lingkar dada panjang badan, dan tinggi gumba (Hardjosubroto, 1994). Ukuran tubuh bukan hanya menentukan keadaan performans ternak itu sendiri, tetapi juga mempengaruhi performans ternak keturunannya (Siregar et al., 1984). Pertumbuhan seekor ternak diartikan sebagai pertambahan bobot badan per satuan waktu, meliputi perubahan ukuran urat daging, tulang, dan organ-organ internal lainnya. Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bangsa ternak, jenis kelamin, jumlah dan kualitas pakan serta fisiologi lingkungan ternak (Soeparno, 1998). Laju pertumbuhan yang berbeda diantara bangsa dan individu ternak dalam suatu bangsa disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa. Bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat, dan bobot tubuh lebih berat pada saat mencapai pubertas dari pada bangsa ternak yang kecil. Kecepatan pertumbuhan sapi sangat cepat pada tahun pertama setelah sapi mencapai pubertas dan kemudian menurun kembali setelah mencapai dewasa kelamin (Tulloh, 1978).

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi

Kemampuan usaha peternakan sapi rakyat dalam meningkatkan jumlah populasi sapi yang semakin besar pasti dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Faktor-faktor yang memengaruhi populasi sapi perlu diteliti agar dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan jumlah populasi sapi nasional yang saat ini masih belum mampu mencukupi kebutuhan daging dalam negeri yang semakin tinggi. Apabila populasi sapi nasional dapat dipacu dalam jumlah yang besar maka diharapkan hal ini dapat megurangi bahkan menghilangkan ketidakseimbangan antara jumlah populasi sapi yang rendah sehingga produksi daging juga rendah dengan kebutuhan konsumsi yang terus-menerus meningkat di Indonesia.

1. Harga Daging Sapi

(25)

13 daging. Harga daging sapi dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang peningkatan jumlah populasi sapi. Harga daging sapi merupakan salah satu faktor utama suatu usaha peternakan sapi untuk berproduksi. Jika terjadi kenaikan harga pada harga daging dapi, maka usaha peternakan sapi rakyat akan cenderung memproduksi daging dalam jumlah yang besar. Hal ini tentunya disebabkan adanya peluang bagi peternak sapi memiliki keuntungan atau profitabilitas yang tinggi. Kesenjangan antara harga daging sapi dengan harga daging impor, dimana harga daging impor lebih murah dari pada harga daging sapi lokal, menyebabkan masyarakat cenderung lebih memilih mengkonsumsi daging sapi impor dibandingkan daging sapi lokal. Kestabilan harga daging sapi ini perlu diperhatikan agar keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi produk dalam negeri lebih tinggi dalam hal ini yaitu daging sapi lokal.

2. Kredit

Kredit berasal dari kata italia, credere yang artinya kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditor bahwa debitornya akan mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak (Hasibuan, 2008). Peran kredit dibutuhkan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Kebutuhan tambahan modal dapat terpenuhi bagi masyarakat dengan adanya kredit. Terdapat tiga komponen penting daam pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan, perubahan struktur ekonomi, dan pengurangan jumlah kemiskinan. Kredit menjadi indikator yang penting bagi proses peningkatan populasi sapi dan perkembangan usaha peternakan sapi di seluruh daerah-daerah sentra produksi karena fasilitas modal dalam melakukan pembibitan sapi serta penggemukannya. Kredit yang berjalan dengan lancar sangat membantu para peternak sapi dalam meningkatkan populasi sapi serta produksinya. Fasilitas kredit yang berasal dari pemerintah ini dapat memacu para peternak lebih giat lagi dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas sapi nasional. Ketersediaan kredit tersebut merupakan penunjang proses produksi daging melalui peningkatan populasi sapi terlebih dahulu (Suandari, 2009).

3.Teknologi Produksi Inseminasi Buatan

(26)

14

(Toelihere, 1985). Pada penelitian Kariyasa (2008), teknologi produksi yang di proksi dalam dosis Inseminasi Buatan (IB) menjadi salah satu variabel yang berpengaruh negatif terhadap proses produksi. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa teknologi IB tersebut belum berhasil pada saat itu, dan bahkan fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa beberapa peternak kurang respon terhadap teknologi IB karena tingkat keberhasilannya relatif rendah (harus berulang-ulang dilakukan) dan biaya yang diperlukan pun cukup mahal. Namun saat ini, teknologi IB menjadi salah satu alat yang berperan penting dalam peningkatan jumlah populasi sapi di Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging secara nasional dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber daya yang dimiliki. Keberhasilan teknologi IB merupakan salah satu indikator penting dalam peningkatan jumlah populasi sapi lokal di Indonesia.

4. Harga Pakan Ternak

Harga pakan ternak merupakan salah satu faktor yang memengaruhi populasi sapi. Menurut teori Marshall, biaya produksi sangat penting, karena merupakan dasar untuk penentuan harga jual suatu barang. Dalam penelitian ini, harga pakan ternak merupakan biaya produksi. Jika harga pakan ternak mengalami kenaikan maka akan menurunkan populasi sapi. Bahan pakan ternak sapi pada pokoknya bisa digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu pakan hijauan, pakan penguat (konsentrat), dan pakan tambahan. Menurut Sugeng (1999), pakan hijauan adalah bahan pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan bunga. Pakan penguat adalah pakan yang berkonsentrasi tinggi dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna berupa dedak, bungkil kelapa, berbagai umbi dan lain-lain. Pakan tambahan bagi ternak sapi biasanya berupa vitamin, mineral, dan urea. Pakan tambahan ini dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif, yang hidupnya di dalam kandang terus-menerus. Berdasarkan penelitian Kariyasa (2008), harga pakan ternak menjadi salah satu variabel yang berpengaruh negatif terhadap produksi daging. Masih menggunakan asumsi bahwa 1 kg daging sapi setara dengan 1 ekor sapi, cateris paribus. Maka jika terjadi kenaikan pada harga pakan ternak akan menurunkan jumlah populasi sapi. Sehingga harga pakan ternak tersebut diduga dapat memengaruhi jumlah populasi sapi.

Kerangka pemikiran

(27)

15 masyarakat yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan jumlah populasi sapi di Indonesia tidak mampu mengimbangi konsumsi masyarakat yang terus-menerus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan konsumsi daging sapi ini dipengaruhi semakin meningkatnya jumlah populasi penduduk, meningkatnya pendapatan masyarakat golongan menengah keatas, adanya perubahan pola konsumsi serta selera yang dipengaruhi gaya hidup sehingga meningkatkan kebutuhan masyarakat kearah protein hewani yaitu daging sapi. Dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia melakukan impor sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri terhadap daging sapi. Masalahnya, ketergantungan terus menerus terhadap impor akan merugikan posisi ekonomi Indonesia sendiri. Melalui program Revitalisasi Pertanian Perkebunan dan Kelautan pemerintah berencana meningkatkan populasi sapi lokal dalam rangka memenuhi kebutuhan daging sapi domestik. Namun, program tersebut masih belum dapat terealisasi secara efektif. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi populasi sapi.

(28)

16

Gambar 4 Kerangka Pemikiran

Produksi daging sapi domestik rendah

Konsumsi daging sapi di Indonesia tinggi

Impor daging daging sapi di Indonesia tinggi

Faktor-faktor yang memengaruhi populasi sapi di Indonesia

Kecenderungan kondisi populasi sapi di Indonesia

Analisis regresi linear berganda Analisis deskriptif

- Harga daging sapi - Kredit - Teknologi Produksi - Harga pakan ternak -Jumlah populasi ternak sapi

Interpretasi

(29)

17 Hipotesis

Dalam penelitian ini, hipotesis yang digunakan dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi populasi sapi adalah:

1. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi masih rendah produksi daging sapi adalah rendahnya populasi ternak sapi. Semakin rendah jumlah populasi ternak sapi maka tingkat produksi sapi juga rendah. Jumlah populasi sapi tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap jumlah populasi sapi.

2. Faktor harga daging sapi Indonesia mempunyai hubungan yang positif terhadap populasi sapi. Kenaikan harga daging sapi akan meningkatkan populasi sapi di Indonesia.

3. Kredit berpengaruh positif terhadap populasi sapi.

4. Teknologi Produksi berpengaruh positif terhadap populasi sapi.

5. Harga pakan ternak berpengaruh negatif terhadap populasi sapi. Kenaikan harga pakan ternak akan menurunkan populasi sapi.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa data deret waktu (time series) tahun 1989-2011 dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Peternakan. Data time series yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 1989 sampai 2011 dengan periode waktu 23 tahun. Jenis data meliputi data harga daging sapi yang berlaku di pasaran, kredit, teknologi produksi yang diproksi dalam dosis IB, serta harga pakan ternak. Disamping data dari data time series tahun 1989-2011 juga digunakan data lainnya, seperti teori-teori yang menunjang dan literatur yang diperoleh di Perpustakaan Pusat IPB serta sumber lain yang terkait dengan objek penelitian.

Tabel 2 Data dan Sumber data Jenis Data

Harga daging sapi periode 1989-2011 BPS

Kredit periode 1989-2011 BPS

Teknologi produksi (Teknologi IB) periode 1989- 2011 DITJENNAK Harga pakan ternak periode 1989-2011 DITJENNAK Jumlah populasi sapi periode 1989-2011 DITJENNAK

Metode Analisis dan Pengolahan Data

(30)

18

Indonesia dengan menggunakan data deret waktu (time series) dengan periode waktu 23 tahun yaitu 1989 - 2011. Metode deskriptif pada penelitian ini dianalisis berdasarkan studi pustaka. Pengolahan data yang dilakukan menggunakan bantuan

software Minitab 14 dan Microsoft Excel 2007.

Model Penelitian

Pada penelitian ini model yang digunakan mengacu pada teori pendekatan Neo-Klasik Solow-Swan yang didasarkan pada fungsi produksi yaitu fungsi produksi Cobb-Douglas yang menyatakan bahwa jumlah barang yang diproduksi dapat ditambah dengan menaikkan jumlah input atau dengan menambah jumlah salah satu inputnya dan mempertahankan jumlah input yang lainnya, dimana fungsi Cobb-Douglas dirumuskan pada persamaan berikut:

dimana:

Y = Jumlah Populasi Ternak Sapi (ekor) X1 = Harga daging sapi (Rupiah per Kg) X2 = Kredit (Rupiah)

X3 = Teknologi Produksi (000 Dosis IB) X4 = Harga pakan ternak (Rupiah per Kg) a = intersep

b1 = koefisisen regresi penduga (b1,...,b4)

Model diatas juga dapat dipergunakan untuk mengetahui nilai elastisitas dari masing-masing output, sebab koefisien pangkat dari model tersebut dapat menunjukkan nilai elastisitasnya. Selain itu, untuk mengetahui skala usaha (return to scale) suatu usaha dapat juga diketahui dengan menjumlahkan nilai koefisien dari masing-masing faktor yang digunakan tersebut.

Dalam penelitian ini, model penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

Dimana:

LNYt : Logaritma Natural untuk Jumlah Populasi Ternak Sapi (ekor) LNX1 : Logaritma Natural untuk Harga Daging Sapi (Rupiah per Kg) LNX2 : Logaritma Natural untuk Kredit (Rupiah)

LNX3 : Logaritma Natural untuk Teknologi Produksi (000 Dosis IB) LNX4 : Logaritma Natural untuk Harga Pakan Ternak (Rupiah per Kg)

β1, β2,,,,,β4 : Nilai koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas

αt : Konstanta

(31)

19 Pengujian Statistik Analisis Regresi

Koefisien Deteminasi (R2)

Koefisien determinasi adalah angka yang menunjukkan besarnya proporsi atau presentase variasi variabel terkait yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama. Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang digunakan. Besarnya R- Square berada diantara 0 dan 1 (0<R2<1). Semakin nilai R-Square mendekati 1 maka keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor yang ada di dalam model menjadi semakin besar.

Uji F- statistic

Uji F-statistic digunakan untuk mengetahui apakah secara bersama-sama variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian memengaruhi variabel dependen secara signifikan. Jika nilai hitung F lebih besar dari pada nilai F kritis, maka tolak hipotesis nol bahwa pengaruh semua variabel penjelas sama dengan nol. Jika nilai hitung F lebih kecil daripada nilai F kritis, maka tidak tolak hipotesis nol bahwa variabel-variabel penjelas tidak memengaruhi apapun terhadap variabel tak bebas.

Uji t-statistic

Uji t-statisticdigunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Dalam pendekatan uji signifikansi untuk pengujian hipotesis menngembangkan suatu statistik uji, untuk mengetahui distribusi sampling, memilih tingkat signfikansi α dan menentukan nilai kritis dari statistik uji pada tingkat signifikansi yang dipilih.

Pengujian Asumsi Klasik

Uji Normalitas

Uji normalitas data diperlukan untuk mengetahui apakah error term

mendekati distribusi normal atau tidak. Uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan uji Kolmogorov-Smirnov. Hipotesis uji normalitas adalah sebagai berikut:

H0 : residual menyebar normal H1 : residual tidak menyebar normal

Jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka

(32)

20

Heteroskedastisitas

Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Salah satu cara untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan Uji White. Uji White menggunakan residual kuadrat sebagai variabel dependen yang diregresikan terhadap variabel-variabel independennya. Hipotesis penggunaan uji White adalah:

H0 : homoskedastisitas H1 : heteroskedastisitas

Apabila nilai p_value lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan maka terima H0, sehingga tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. Sebaliknya jika p_value lebih kecil dari taraf nyata (α) yang digunakan maka tolak H0 dan terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas.

Uji Autokorelasi

Uji autokolerasi digunakan untuk mengetahui apakah residual memiliki korelasi dengan residual lain. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin-Watson (Dw). Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan. Dw statistik dengan Dw tabel.

Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel independen dari model regresi. Multikolinearitas dapat menyebabkan koefisien independen cenderung tidak signifikan terhadap variabel respon. Cara mengetahui apakah dalam model tersebut mengandung multikolinearitas atau tidak adalah dengan cara menghitung Varians Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF < 10, maka persamaan tersebut tidak ada masalah multikolinearitas. Untuk mengatasi masalah multikolinearitas dalam model maka dapat digunakan dengan melakukan regresi komponen utama sehingga hasil estimasi semua variabel dapat signifikan dan model menjadi baik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi dan Kecenderungan Populasi Sapi di Indonesia

Populasi Sapi Nasional

(33)

21 nasional terus meningkat kecuali saat terjadi krisis ekonomi.Terdapat 10 provinsi utama produsen daging di Indonesia, meskipun mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, produsen daging utama adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Barat, Jakarta, Sulawesi Selatan, Bali, dan Kalimantan Timur. Namun pada tahun 2008, Jawa Timur menjadi produsen terbesar, disusul Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Jakarta, Bali, dan Kalimantan Timur tidak termasuk dalam 10 produsen daging (Departemen Pertanian 2009 dalam Subagyo 2009). Setiap tahun Indonesia membutuhkan 350,000-400,000 ton daging sapi, yang setara dengan pemotongan sapi sebesar 1.7-2 juta ekor (Rayana 2009). Berikut pertumbuhan produksi daging sapi di Indonesia periode 1989 hingga periode 2011 dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Gambar 5 Produksi Daging Sapi di Indonesia

Pada tahun 2005-2006 Indonesia mengalami peningkatan produksi daging lokal sebesar 19.2 persen, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18.8 persen dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata peningkatan sebesar 9.1 persen (Badan Pusat Statistik, 2010). Permintaan daging sapi yang terus meningkat memacu terjadinya impor daging sapi juga cenderung meningkat. Kebutuhan daging sapi yang terus menerus meningkat setiap tahun menyebabkan kesenjangan antara produksi daging sapi lokal dengan daging yang dihasilkan melalui impor. Tahun 1989 hingga tahun 2011 produksi daging sapi di Indonesia sangat berfluktuatif dan mengalami penurunan produksi yang paling rendah pada tahun 2005 yaitu sebesar 358,842 ton, dibandingkan dengan produksi daging sapi tahun sebelumnya yaitu tahun 2004 sebesar 445,502 ton. Produksi daging sapi tertinggi dicapai pada tahun 2011 sebesar 485,333 ton. Produksi daging sapi di Indonesia beberapa tahun terakhir masih tetap bersumber utama dari tiga provinsi yakni, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Provinsi Jawa Timur merupakan produsen daging sapi terbesar yang nilai produksinya di tahun 2011 mencapai sekitar 4.73 juta ekor, selanjutnya diikuti oleh Jawa Tengah dengan 1.94 juta ekor dan berikutnya Sulawesi Selatan dengan 983 ribu ekor (Badan Pusat Statistik, 2012).

(34)

22

Pertumbuhan produksi daging sapi tentunya dipengaruhi jumlah populasi sapi di Indonesia. Berikut Gambar 6 yang menunjukkan jumlah sapi di Indonesia dari periode 1989 hingga periode 2011.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Gambar 6 Jumlah Populasi Daging Sapi di Indonesia

Berdasarkan data populasi sapi dari periode tahun 1989 hingga periode tahun 2011 mengalami fluktuasi namun pada tahun 2003 hingga 2011, jumlah populasi sapi mengalami peningkatan. Pada sensus sapi 2011 menunjukkan bahwa populasi sapi mencapai hingga 15 juta ekor. Hal ini menjelaskan jika konsumsi daging sapi 2 kilogram per kapita dan sekitar 200 kilogram daging per sapi yang dapat dikonsumsi, maka Indonesia membutuhkan sekitar 400,000 ekor per tahun (Badan Pusat Statistik, 2012). Artinya Indonesia seharusnya sudah bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri atau sudah swasembada. Namun, fakta yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa tidak semua populasi sapi tersebut berupa stok aktif sapi potong. Hal itu disebabkan sekitar 4.6 juta peternak lokal menyimpan sekitar 2-3 ekor sebagai investasi. Pada umumnya, sebagian besar sapi yang ada saat ini masih dimiliki oleh masyarakat, bukan dimiliki secara industri, artinya masyarakat baru menjual ternaknya jika ada kebutuhan mendesak, hal inilah yang diperkirakan menjadi salah satu sebab sedikitnya pasokan daging sapi lokal ke pasar nasional di tengah terus bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat setiap tahun. Dalam masalah ini, pemerintah diharapkan melakukan survei lanjutan yang mengukur stok aktif sapi siap potong. Kebijakan ini harus dilakukan di setiap kabupaten sehingga neraca pasokan dan kebutuhan daging sapi dapat diestimasi secara lebih akurat.

Jumlah populasi sapi di Indonesia sebanyak 15.4 juta ekor, namun jumlah ini masih perlu ditingkatkan lagi secara bertahap sehingga dapat mencapai target jumlah produksi untuk swasembada daging sapi 2014 yang dicanangkan oleh pemerintah. Pada tahun 2010, usaha ternak sapi rakyat semakin tergusur sehingga memengaruhi penurunan produksi dalam negeri, hal ini disebabkan sapi impor yang diekspor dari Australia dan Selandia Baru mulai mendominasi kantong-kantong produksi ternak sapi potong rakyat tanpa melalui penggemukan. Besarnya volume sapi-sapi impor menguasai produksi sapi potong di desa-desa seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang mengakibatkan sapi potong rakyat kalah bersaing dengan sapi impor yang harganya lebih murah. Menteri pertanian menerbitkan surat keputusan tentang pengurangan jumlah sapi

(35)

23 yang diimpor pada tahun 2010 yaitu pengurangan sekitar 41 persen dari rencana impor sebelumnya. Keputusan ini telah menimbulkan kekhawatiran kelangkaan pasokan dan kenaikan harga daging sapi, namun pada saat itu terjadi peningkatan produksi yang cukup tinggi jika dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya.Tolak ukur ketahanan pangan dapat dilihat dari ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan dalam negeri. Saat ini Indonesia belum dapat dikatakan sudah mencapai swasembada daging sapi, hal ini disebabkan negara kita belum dapat menghasilkan produksi dalam negeri sebesar 90-95 persen dan impor sebesar 5-10 persen. Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan struktur organisasi pelaksana yang bersifat operasional, mandiri, berjenjang, dan terkoordinasi sehingga kekurangberhasilan program swasembada daging sapi pada periode sebelumnya tidak terulang lagi.

Ketidakmampuan produksi nasional dalam mencukupi kebutuhan daging sapi di Indonesia mengakibatkan pemerintah hingga saat ini masih melakukan impor daging sapi dari beberapa negara penghasil sapi antara lain Australia, dan Selandia Baru. Selama kurun 2004-2011, impor daging sapi mengalami kenaikan sebesar 99 persen dengan rata-rata per tahun sebesar 14.16 persen. Kenaikan impor daging sapi tertinggi terjadi pada tahun 2008. Perkembangan impor daging sapi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kementerian Perdagangan

Gambar 7 Perkembangan Impor Daging Sapi Di Indoenesia

(36)

24

Harga Daging Sapi Dalam Negeri

Harga daging sapi dalam negeri dari tahun ke tahun menunjukkan trend naik. Hal ini terlihat dari harga daging selama sepuluh tahun terakhir yang selalu menngkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, rata-rata kenaikan harga daging sapi per tahun mencapai 9 persen. Dengan kenaikan harga tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 14.4 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 57,259/kg menjadi Rp 64,291/kg. Harga daging sapi (periode tahun 2003-2011) mengalami gejolak harga dengan koefisien variasi sebesar 27.3 persen (Badan Pusat Statistik). Kenaikan harga daging sapi si Indonesia dapat dilhat pada Gambar 8.

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kementerian Perdagangan

Gambar 8 Rata-rata Harga Daging Sapi di Indonesia

(37)

25 berhubungan erat dengan kenaikan permintaan, jumlah pasokan yang berkurang, serta impor dan harga daging sapi yang berlaku di pasar internasional.

Stabilisasi harga merupakan salah satu cara dalam mengontrol lonjakan kenaikan harga daging sapi yang sering terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Untuk mengantisipasi kenaikan harga komoditas daging sapi, pemerintah perlu segera melakukan berbagai langkah-langkah dan upaya penerobosan yang mendesak untuk dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka menengah, agar stabilitas harga atas komoditas daging sapi di pasaran dapat tetap terjaga dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selama ini fluktuasi naiknya harga komoditas daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah pasokan yang mencukupi dalam mengimbangi tingginya permintaan lewat mekanisme pasar. Upaya intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga komoditas daging sapi pada tingkat yang normal sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, adalah dengan melakukan intervensi lewat keduanya, yaitu dari sisi jumlah pasokan dan konsumsi. Pemerintah juga dapat menjaga dan mengatur titik keseimbangan atas jumlah pasokan berdasarkan hasil pemantauan mengenai peta jumlahnya, wilayah-wilayah produksinya serta tingkat konsumsi masyarakat terhadap daging sapi untuk kebutuhan per wilayah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, perkiraan mengenai jumlah pasokan yang harus tetap tersedia dapat terpantau dengan baik, apakah dengan menambah ataupun menjaga kondisi pasokannya pada pasar di wilayah tertentu. Dampak lain yang dapat dicegah adalah harga pada tingkat konsumen tidak akan dapat dipermainkan lagi oleh pihak produsen. Pemerintah tentunya dapat menjaga kecukupan secara konsisten dan cepat tanggap dalam memperhitungkan jumlah pasokan dan kebutuhan yang harus selalu tersedia di wilayah pasar-pasar tertentu, yang didasarkan pada hasil kegiatan pemantauan yang sudah dilakukan sejak awal sebelum menyalurkan pasokan komoditas daging sapi pada tingkat tertentu.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi Di Indonesia

(38)

26

Tabel 3 Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Populasi Sapi Di Indonesia

Variabel Koefisien Prob. VIF

Sebelum melakukan estimasi model, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik pada model. Pertama, uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term menyebar normal atau tidak. Hasil uji normalitas ( kolmogorov-smirnov) menunjukkan tidak terjadi pelanggaran asumsi dalam model yang digunakan. Nilai Prob. Chi Square sebesar 0.150 lebih besar dari nilai α = 0.05

maka terima H0, artinya asumsi residual menyebar normal terpenuhi.

Heteroskedastisitas merupakan gejala yang terjadi dalam model regresi linear jika variannya berbeda-beda atau bervariasi. Pengujian masalah heteroskedastisitas dapat dilihat dengan melakukan uji homoskedastisitas. Hasil uji homoskedastisitas menunjukkan nilai Prob. Chi Square sebesar 0.483 lebih

besar dibandingkan nilai α = 0.05 maka terima H0 artinya asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.

Autokorelasi merupakan korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi error masa yang lalu dan error masa sekarang. Hasil uji

(39)

27 Tabel 4 Hasil Estimasi model terhadap skor komponen utama W1

Jumlah Populasi Sapi = 16.3 - 0.0436 W1

Variabel Koefisien SE Koefisien T P

Konstanta 16.2725 0.0007 24720.82 0.000

W1 -0.0436363 0.0003352 -130.16 0.000

R-squared 99.9%

Adjusted R-squared 99.9%

Berdasarkan hasil estimasi menggunakan regresi komponen utama, nilai determinasi R-Square sebesar 99.9 persen yang digunakan untuk menguji

goodness-of-fit dari model regresi. Hal ini berarti sebesar 99.9 persen produksi daging sapi di Indonesia yang mampu dijelaskan dengan variabel independen sedangkan sisanya yaitu sebesar 0.1 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Nilai probabilitas W1 signifikan terhadap produksi dilihat dari nilai Prob.

Chi Square yaitu sebesar 0.000 lebih kecil dari nilai α = 5 persen maka komponen yang terdiri dari semua variabel independen berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi.

Tabel 5 Hasil Estimasi Dengan Regresi Komponen Utama

Variabel Koefisien St. Dev T-hit T-tabel Ket Harga Daging Sapi 0.029 6.32072E-06 4664.64 1.96 signifikan Kredit 0.022 5.1943E-06 4270.11 1.96 signifikan Teknologi Produksi 0.018 2.25944E-06 8089.34 1.96 signifikan Harga Pakan Ternak -0.017 5.88268E-06 2983.16 1.96 signifikan

Keterangan: signifikan pada taraf nyata 5%

Pengujian dengan menggunakan uji F-statistik menunjukkan bahwa nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0.000 < 0.05), sehingga dapat dikatakan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang digunakan dalam model mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel terikat yaitu jumlah populasi sapi pada tingkat kepercayaan 5 persen sehingga model penduga sudah layak menduga parameter yang ada dalam fungsi. Nilai t-hitung lebih besar dari nilai t-tabel membuktikan bahwa semua peubah bebas berpengaruh nyata terhadap produksi.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel bebas yang terdiri dari harga daging sapi, kredit, teknologi produksi, kredit dan harga pakan ternak dalam model tersebut signifikan memengaruhi jumlah populasi sapi di Indonesia pada taraf nyata 5 persen. Masing-masing variabel akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Harga Daging Sapi

(40)

28

terjadi peningkatan harga daging sapi maka akan terjadi peningkatan pada jumlah populasi sapi yang dilihat dari peningkatan produksinya. Secara teoritis kenaikan harga daging sapi, tentunya memengaruhi peningkatan pada produksi karena semakin tinggi harga tersebut maka suatu perusahaan yang memproduksi barang tersebut lebih banyak karena akan memberikan keuntungan yang lebih bagi perusahaan.

Namun, sekarang ini harga daging sapi di dalam negeri dari tahun ke tahun kenyataannya terus mengalami kenaikan. Kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat erat berkaitan dengan kenaikan permintaan daging sapi dalam negeri, jumlah pasokan yang masih kurang, serta impor dan harga daging sapi yang berlaku di pasar internasional. Tingginya permintaan daging sapi ini sangat signifikan pada saat menghadapi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) sehingga berpotensi pada kenaikan harga daging sapi, apalagi jika tidak diimbangi dengan pasokan yang cukup maka lonjakan kenaikan harga akan semakin meningkat tajam. Hal ini juga menjadi kesempatan yang besar bagi peternak sapi di Indonesia. Para peternak sapi tergiur untuk memotong daging sapi dalam jumlah yang besar, sehingga mereka mulai memotong sapi betina untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Masalahnya, dengan melakukan pemotongan pada sapi betina akan memengaruhi penurunan produksi, hal ini disebabkan karena sapi betina terlibat dalam pemotongan daging, seharusnya sapi betina digunakan untuk mempertahankan produksi salah satunya untuk pembibitan, bukan untuk pemotongan dan dijual menjadi pasokan daging sapi dalam negeri.

b. Kredit

Variabel kredit memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata lima persen terhadap populasi sapi dengan nilai probabilitas (p_value) 0.011 dan memiliki korelasi yang positif. Koefisien variabel kredit yang diperoleh sebesar 0.022, menunjukkan bahwa peningkatan kredit sebesar satu persen saja akanmeningkatkan produksi sebesar 0.022 persen, cateris paribus. Koefisien tersebut sekaligus dapat menunjukkan nilai elastisitas dari variabel kredit. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa kredit memiliki korelasi yang positif terhadap peningkatan populasi sapi. Dalam usaha meningkatkan populasi sapi, Kementrian Pertanian membuat program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dengan tujuan agar terjadi penambahan populasi sapi di Indonesia. Program tersebut dicanangkan agar target swasembada 2014 lebih cepat tercapai. Melalui program ini, populasi sapi dalam negeri berhasil meningkat sekitar 40,000 ekor sapi per tahun. Namun hingga saat ini program ini belum mampu mencapai target swasembada yaitu target penambahan populasi sapi sebanyak 200 ribu ekor sapi per tahun. Sehingga perlu diterapkan kebijakan yang lebih efektif mengenai sasaran dalam mencapai swasembada daging sapi terkait penyaluran kredit usaha pembibitan sapi terhadap peternak sapi rakyat di Indonesia.

c. Teknologi Produksi

Gambar

Gambar 1 Konsumsi Daging Sapi di Indonesia
Gambar 4 Kerangka Pemikiran
Gambar 5 Produksi Daging Sapi di Indonesia
Gambar 6 Jumlah Populasi Daging Sapi di Indonesia
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi faktor lingkungan sosial seperti tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan kuantil indeks kepemilikan merupakan determinan variabel yang dapat dimodifikasi

Adapun variabel yang lebih dominan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada usaha mikro di kota Jambi tahun 1993 sampai 2010 adalah upah ril dibandingkan

Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari beberapa

Dapat disimpulkan bahwa semakin besar fraksi etanol dalam pelarut, morfologi permukaan coat- ing semakin seragam dengan struktur pori yang teratur yang

MARKET BRIEF BAN (TIRE) ITPC BUSAN35 TABEL 3.2 STANDAR BAN BERDASARKAN ROLLING RESISTANCE COEFFICIENTDAN WET GRIP Selain menggunkan standar ban yang berdasarkan

Bagi seorang pelajar pula, ianya berkaitan dengan penerimaan oleh orang lain terhadap diri seseorang pula, ianya berkaitan dengan penerimaan oleh orang lain terhadap diri

Hasil penelitian yang dilakukan pada AKSESPlus adalah, (a) model pengukuran kinerja AKSESPlus dengan Balanced Scorecard, dengan detail sebagai berikut: strategy map,

Berdasarkan banyaknya kasus bolos pada jam pelajaran maka penyusun ingin mengajukan sebuah sistem baru yang mudah diterapkan yaitu si santos (sistem sepatu anti