• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fortifikasi konsentrat protein BIS dilakukan agar asam amino esensial yang dimiliki produk tersebut sebanding dengan asam amino pada bungkil kedelai. Adapun asam amino sintetik yang ditambahkan pada konsentrat protein BIS adalah asam amino lisina. Gambar 23 dan 24 disajikan profil asam amino konsentrat protein BIS sebelum dan setelah fortifikasi dibandingkan bungkil kedelai.

Gambar 23 Profil asam amino esensial konsentrat protein BIS sebelum fortifikasi (KPBIS) dan bungkil kedelai (BKD)

0.6 3.9 2.0 1.3 2.3 3.2 3.8 2.7 2.3 0.8 3.5 0.9 0.9 1.7 0.8 2.8 1.9 2.3 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0

Met Arg Tre His I.leu Lis Leu Fen Val

Asam Amino Esensial (AAE)

Kandungan AAE (%)

Profil asam amino esensial/AAE (Gambar 23) menunjukkan bahwa kandungan komponen AAE pada konsentrat protein BIS lebih rendah dibandingkan bungkil kedelai dan lisina merupakan asam amino yang paling difisien (0.8 vs 3.2%). Kondisi ini sejalan dengan beberapa peneliti yang melaporkan bahwa bungkil inti sawit defisien terhadap lisina dan treonina (Sundu et al. 2006).

Oleh karena itu fortifikasi kedua asam amino terutama lisina sangat penting dilakukan. Berdasarkan hasil perhitungan antara kandungan asam amino esensial pada konsentrat protein BIS dengan AAE bungkil kedelai sebagai standar maka asam amino lisina yang ditambahkan pada konsentrat protein BIS sebesar 2.4% untuk menyamai lisina pada bungkil kedelai. Gambar 24 ditampilkan profil asam amino pada konsentrat protein BIS setelah difortifikasi.

Gambar 24 Profil asam amino esensial konsentrat protein BIS terfortifikasi (BISPLUS) dan bungkil kedelai (BKD)

Profil AAE konsentrat protein BIS terfortifikasi”BISPLUS” dengan lisina (Gambar 24) terjadi perubahan dan mendekati asam amino ideal pada bungkil kedelai sebagai pakan standar, hal ini ditunjukkan dengan kandungan asam amino esensial dari kedua bahan yang hampir berdekatan, dan khusus lisina sudah menyamai dengan bungkil kedelai.

Hasil penelitian pengukuran tingkat keasaman dengan menggunakan pH meter menunjukkan bahwa konsentrat protein BIS (sebelum fortifikasi) mempunyai pH sebesar 5.25 diikuti masing-masing oleh BIS (6.52) dan BKD (6.82). Sedangkan pengujian kelarutan protein konsentrat protein BIS sebelum fortifikasi sebesar 70.24% dan setelah fortifikasi 72.34%. Peningkatan kelarutan

0.6 3.9 2.0 1.3 2.3 3.2 3.8 2.7 2.3 2.3 1.9 2.8 3.2 1.7 0.9 0.9 3.5 0.8 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0

Met Arg Tre His I.leu Lis Leu Fen Val

Asam Amino Esensial (AAE)

Kandungan AAE (%)

protein pada konsentrat protein BIS setelah fortifikasi kemungkinan disebabkan karena adanya penambahan lisina pada bahan tersebut, sehingga protein yang larut juga meningkat. Hasil ini lebih tinggi dari kelarutan protein pada BIS, namun belum bisa menyamai kelarutan bungkil kedelai. Hal ini karena asam amino yang dipakai untuk fortifikasi hanya satu buah yaitu lisina, sehingga kualitasnya belum menyamai bungkil kedelai.

Histopatologi Usus dan Hati Puyuh

Gambaran penampakan (skor lesio) usus dan hati puyuh umur 55 hari dicantumkan pada Tabel 27.

Tabel 27 Rataan skor lesio usus dan hati puyuh umur 55 hari di bawah mikroskop Peubah Perlakuan R-1 R-2 R-3 Duodenum 0.72b±0.10 1.22a±0.26 0.82b±0.11 Jejunum 0.64b±0.11 1.14a±0.36 0.66b±0.12 Ileum 0.68b±0.22 1.30a±0.25 0.76b±0.13 Hati 1.76a±0.24 2.06a±0.25 1.02b±0.61

Ket. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) R1 (Ransum mengandung 12% konsentrat protein BIS terfortifikasi/BISPLUS), R2 (Ransum mengandung 12% bungkil inti sawit /BIS), R3 (Ransum mengandung 12% bungkil kedelai/BKD)

Angka pada tabel diperoleh dari rerata hasil pengamatan usus halus (duodenum, jejunum, ileum) dan hati pada 10 titik fokus kemudian dibuat skala dengan tingkat kerusakan sebagai berikut :

Hati (0 = 0.0 - 0.59; 1 = 0.60 – 1.19; 2 = 1.20 – 1.79; 3 = 1.80 – 2.30 (0 = sel hepatosit tersusun radier, normal, 1 = terjadi vaso dilatasi, pelebaran pembuluh darah, 2 = degenerasi berbutir/cloudy swelling, degenerasi lemak, 3 = nekrosa /radang). Usus (0 = 0.0 - 0.59; 1 = 0.60 – 1.19; 2 = 1.20 – 1.79; 3 = 1.80 – 2.30), (0 = vili usus teratur, kripta lieberkuhn teratur, normal, 1 = vili usus memendek, 2 = vili usus terkoyak, , 3 = nekrosa /radang).

Skor lesio usus dan hati pada puyuh umur 55 hari (Tabel 27) dipengaruhi oleh perlakuan ransum. Skor lesio duodenum pada puyuh yang memperoleh perlakuan R1 dan R3 tidak berbeda nyata (p>0.05), namun keduanya berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan R2 masing-masing sebesar 0.72, 0.82 dan 1.22. Bagian usus halus (jejunum dan ileum) mempunyai skor lesio yang polanya sama dengan duodenum, namun terjadi penurunan nilai. Angka skor lesio jejunum pada puyuh yang mendapatkan perlakuan R1 dan R3 nyata lebih rendah (p<0.05) dibandingkan dengan perlakuan R2, masing-masing sebesar 0.64, 0.66 dan 1.14. Skor lesio ileum pada puyuh yang mendapat perlakuan R1 sebesar 0.68, sedangkan R2 dan R3 masing-masing sebesar 1.30 dan 0.76. Data yang

diperoleh dari penelitian ini mengindikasikan bahwa konsentrat protein BIS terfortifikasi (BISPLUS) tidak memberikan efek negatif terhadap kondisi usus puyuh yang tercermin pada skor lesio relatif sama dengan bungkil kedelai dan jauh lebih rendah dari puyuh yang diberi BIS. Hal ini terkait dengan kualitas kedua bahan tersebut terutama kandungan asam aminonya, sehingga nutrien didalamnya dapat terserap dengan baik pada saat makanan berada diusus halus. Penyerapan tersebut terutama terjadi pada jejunum dan ileum. Asam amino esensial pada BISPLUS, BIS dan bungkil kedelai masing-masing sebesar 16.80,

6.02 dan 21.17% (Gambar 19). Semakin kecil skor lesio yang dimiliki

mengindikasikan kondisi organ makin baik (mendekati keadaan normal) dan sebaliknya semakin besar menunjukkan tingkat kerusakan yang makin parah.

Data yang diperoleh dari penelitian ini semakin memperkuat sinyalemen sebelumnya bahwa BIS yang digunakan tersebut masih mengandung cangkang (walaupun sudah digiling halus) disamping juga ada faktor serat yang tinggi maupun zat yang lain dan terakumulasi pada saat makanan didalam usus terjadi perobekan mukosa usus sehingga terjadinya kelainan atau pemendekan villi usus yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya gangguan proses penyerapan zat makanan oleh villi usus. Menurut Iskandar et al. (2008) keberadaan cangkang merupakan masalah serius yang dihadapi dalam menggunakan BIS sebagai pakan ternak, karena keberadaan benda asing tersebut dapat mengoyak permukaan usus bila dikonsumsi oleh ternak. Lebih lanjut dilaporkan oleh Ramli et al. (2008) bahwa kandungan serat yang tinggi pada BIS akan mengadsorpsi nutrien, sehingga peluang terjadinya penyerapan nutrien oleh usus halus menjadi berkurang dan ikatan kompleks nutrien-serat kasar akan diekskresikan melalui feses. Adanya daya ikat kation pada serat juga akan menyebabkan ketidakseimbangan mineral, sehingga metabolisme energi terganggu. Keberadaan serat bersifat adsorptif dan mempunyai daya ikat kation terhadap nutrien pada saluran pencernaan, sehingga kadar nutrien yang diadsopsi menjadi rendah (James & Gropper 1990)

Kondisi hati puyuh yang memperoleh ketiga perlakuan mempunyai skor lesio >1, artinya telah terjadi pelebaran pembuluh darah baik untuk perlakuan R1 maupun R3, bahkan pada perlakuan R2 telah terjadi degenerasi berbutir

sampai dengan degenerasi lemak. Hati pada puyuh yang memperoleh perlakuan R2 memiliki skor lesio yang nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R3 masing-masing sebesar 2.06, 1.76 dan 1.02. Dengan demikian organ hati pada puyuh yang memperoleh perlakuan R2 sudah terjadi perubahan yang serius. Hal ini sangat terkait dengan proses penyerapan (absorpsi) pada saat zat makanan melewati usus. Bila suatu zat makanan mengalami gangguan penyerapan maka organ hati bekerja keras untuk menerima zat yang telah terserap tersebut untuk disalurkan ke jantung dan ke paru-paru kemudian dikembalikan ke jantung lagi, selanjutnya disalurkan ke sel- sel dan terjadi sintesa protein dalam tubuh ataupun telur. Menurut Ressang (1984) hati merupakan organ yang berperan dalam sekresi empedu, metabolisme lemak, karbohidrat, zat besi, fungsi detoksifikasi serta metabolisme dan penyerapan vitamin. Morfopatologi hati tidak selalu dapat ditemui karena hati memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam regenerasi jaringan hati.

Gambar 25, 26, 27 dan 28 menyajikan gambaran histopatologis (HP) usus dan hati pada puyuh petelur umur 55 hari.

A B C

Gambar 25 Gambaran histopatologis duodenum puyuh umur 55 hari (perbesaran obyektif 10x)

A (Ransum mengandung 12% konsentrat protein BIS terfortifikasi/BISPLUS), B (Ransum mengandung 12% bungkil inti sawit /BIS), C (Ransum mengandung 12% bungkil kedelai/BKD).Pewarnaan menggunakan Hematoksilin Eosin (HE)

1) kripta lieberkuhn, 2) villi usus yang masih bagus, 3) villi usus yang sudah terkoyak/terjadi pemendekan, 4) submucosa, 5) jaringan lympatic, 6) Serosa

Gambaran histopatologi duodenum puyuh umur 55 hari (Gambar 25) menunjukkan bahwa puyuh yang memperoleh ransum BISPLUS maupun bungkil kedelai memperlihatkan kondisi kripta lieberkuhn yang lebih teratur dibandingkan dengan puyuh yang memperoleh BIS, begitu juga dengan villi

1 1 2 2 3 4 5 6

ususnya, walaupun ada beberapa bagian yang tidak teratur. Sedangkan puyuh yang memperoleh ransum mengandung BIS terlihat villi ususnya sudah banyak yang tidak teratur susunannya, bahkan ada yang sudah rusak (nekrosis), walaupun susunan kripta lieberkuhn cukup baik. Hal ini mengindikasikan bahwa puyuh yang diberikan pakan mengandung 12% BISPLUS secara histologis mempunyai kondisi duodenum yang sama dengan puyuh diberi pakan mengandung 12% bungkil kedelai. Hasil sebaliknya dapat dilihat dari puyuh yang diberi pakan mengandung 12% BIS khususnya pada kondisi villi yang sudah tidak beraturan dan bahkan mengalami kerusakan dan berpengaruh terhadap produksi dan kualitas telur, dalam hal ini kerabang telur yang tipis (Tabel 30). Data yang diperoleh dari penelitian ini sangat terkait dengan proses penyiapan pakan dan evaluasi fisiko-kimianya serta sangat erat hubungannya dengan produksi yang dihasilkan dari penelitian tahap sebelumnya. Menurut Moran (1985) bahwa usus halus bagian kripta lieberkuhn menghasilkan enzim amilase, protease dan lipase yang berfungsi untuk memecah zat makanan menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga mudah untuk diserap tubuh. Selain itu usus halus juga mencerna secara kimiawi dan mentransfer material nutrisi dari lumen ke pembuluh darah dan limfa.

A B C

Gambar 26 Gambaran histopatologis jejunum puyuh umur 55 hari (perbesaran obyektif 20x)

A (Ransum mengandung 12% konsentrat protein BIS terfortifikasi/BISPLUS), B (Ransum mengandung 12% bungkil inti sawit /BIS), C (Ransum mengandung 12% bungkil kedelai/BKD). Pewarnaan menggunakan Hematoksilin Eosin (HE)

1) kripta lieberkuhn, 2) villi usus yang masih bagus, 3) villi usus yang sudah terkoyak/terjadi pemendekan

Gambaran histopatologis jejunum puyuh umur 55 hari (Gambar 26) yang memperoleh pakan mengandung 12% BISPLUS dan 12% bungkil kedelai, kondisi villi lebih panjang dan membesar dibandingkan dengan puyuh yang

1 1

2 3

memperoleh 12% BIS sebagaimana halnya pada duodenum. Jejunum merupakan bagian usus halus, dimana di tempat tersebut terjadi penyerapan utama zat makanan. Permukaan bagian usus halus adalah membran mukosa yang terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi dan membentuk sel goblet guna memproduksi mukosa (Frandson 1996). Dalam keadaan normal selaput lendir usus dilapisi oleh isi usus yang bercampur getah usus, getah pankreas, empedu, lendir usus dan flora kuman-kuman. Usus halus ternak unggas relatif sederhana dan pendek, namum memiliki efisiensi yang tinggi, dibagi atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum dan illeum (Dibner & Richards 2004). Bagian jejunum merupakan tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan zat makanan terbanyak. Selaput lendir di lumen usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperti jari yang disebut dengan villi, yang berfungsi sebagai tempat penyerapan zat makanan dan sekresi enzim pencernaan. Selanjutnya dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi usus halus (sel goblet) adalah pakan, jika pakan yang dikonsumsi mempunyai kualitas baik dan tidak mengandung racun maka usus akan berada dalam kondisi yang cukup baik untuk melakukan fungsinya dalam mencerna dan menyerap makanan, dalam arti lain bahwa usus akan merespon setiap pakan yang diberikan (Uni et al. 2003). Menurut Choct (1997) polisakarida bukan pati (PBP) mempengaruhi aktivitas saluran pencernaan dan interaksinya dengan mikroflora usus, termasuk penyerapan nutrien dan viskositas digesta meningkat, sehingga penyerapan nutrien terhambat di usus halus (NRC 1994). Mathlouthi et al. (2002) melaporkan bahwa suplementasi enzim pada pakan berserat dapat meningkatkan ukuran vili dan rasio antara tinggi vili dengan kedalaman kripta (crypt depth) pada ayam pedaging.

A B C

Gambar 27 Gambaran histopatologis ileum puyuh umur 55 hari (perbesaran obyektif 20x)

A (Ransum mengandung 12% konsentrat protein BIS terfortifikasi/BISPLUS), B (Ransum mengandung 12% bungkil inti sawit /BIS), C (Ransum mengandung 12% bungkil kedelai/BKD). Pewarnaan menggunakan Hematoksilin Eosin (HE)

1) kripta lieberkuhn, 2) villi usus yang masih bagus, 3) villi usus yang sudah terkoyak/terjadi pemendekan, 4) submucosa, 6) serosa

Secara umum gambaran histopatologis ileum (Gambar 27) pada puyuh yang mendapatkan pakan dari ketiga perlakuan mempunyai kripta lieberkuhn yang lebih sedikit dibanding pada duodenum dan jejunum. Puyuh yang memperoleh perlakuan R2 mempunyai villi yang pendek, sedikit dan tidak teratur dibandingkan puyuh yang memperoleh perlakuan R1 dan R3. Hal ini mengisyaratkan bahwa ileum merupakan bagian terakhir dari usus halus dan tentu saja sebagai tempat terjadinya penyerapan yang terakhir zat makanan dari bagian usus halus seperti mineral, sehingga struktur villi lebih pendek dibandingkan dua bagian usus halus sebelumnya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kondisi usus pada puyuh yang memperoleh ransum mengandung 12% BIS menunjukkan kerusakan yang sangat serius terutama keadaan villi usus yang tidak utuh/terkikis sebagai akibat struktur fisik ransum mengandung BIS (keberadaan cangkang) yang mengganggu keutuhan villi usus tersebut, disamping juga dipengaruhi keberadaan serat dan kandungan polisakarida bukan pati yang cukup tinggi pada BIS akan berdampak terhadap proses penyerapan zat makanan (Ramli et al. 2008). Hal ini merupakan informasi dasar bahwa BIS perlu dilakukan sentuhan teknologi tertentu (termasuk yang paling ringan) dengan melakukan penyaringan awal secara baik agar mengurangi keberadaan batok, sehingga dampak negatif penggunaan BIS sebagai komponen ransum bisa diminimalisir. 1 1 2 3 4 6

A B C

Gambar 28 Gambaran histopatologis hati puyuh umur 55 hari (perbesaran obyektif 10x)

A (Ransum mengandung 12% konsentrat protein BIS terfortifikasi/BISPLUS), B (Ransum mengandung 12% bungkil inti sawit /BIS), C (Ransum mengandung 12% bungkil kedelai/BKD). Pewarnaan menggunakan Hematoksilin Eosin(HE)

1) vena sentral yang normal, 2) terjadinya pembendungan darah divena sentral, 3) pembuluh darah (sinusoid), 4) eritrosit

Gambaran histopatologi hati puyuh yang memperoleh perlakuan R1 dan R3 menunjukkan kondisi yang cukup baik yang ditandai dengan tidak adanya kelainan baik berupa radang maupun kerusakan jaringan, sedangkan perlakuan R2 terlihat hati mengalami pembendungan (kongesti). Kongesti merupakan gambaran tertahannya aliran darah di dalam pembuluhnya dan dapat berakibat terjadi perluasan pembuluh darah (vasodilatasi). Data yang diperoleh dari histopatologis hati ini sangat terkait dengan skor lesio yang ada pada masing- masing perlakuan (Tabel 27) yaitu sebesar 1.76 pada perlakuan R1, sedangkan perlakuan R2 dan R3 masing-masing sebesar 2.06 dan 1.02. Beberapa faktor dapat menyebabkan kongesti diantaranya bahan toksik (racun), antinutrisi maupun faktor pembatas lainnya. Bahan atau zat makanan yang terkandung dalam BIS sangat mungkin sebagai penyebab terjadinya vasodilatasi vena centralis hati, sehingga mengakibatkan kelainan kondisi histologi hati dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R3. Namun demikian diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bahan makanan yang bersifat antinutrisi tersebut. 1 1 2 3 4

Penampilan Puyuh

Konsumsi Ransum, Konsumsi Protein, Pertambahan Bobot Badan, Konversi Ransum, Protein Eficiensi Ratio (PER) dan Bobot Badan Akhir.

Tabel 28 Rataan konsumsi ransum, konsumsi protein, bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, konversi ransum dan protein eficiency ratio pada puyuh umur 21- 41 dan 42-55 hari

Peubah Umur (hari) Perlakuan R1 R2 R3 Konsumsi Ransum (g/ekor) 21–41 228.50a± 4.81 252.46a± 9.17 235.61a± 9.27 42–55 455.87b±10.44 490.67a±13.24 444.25b±9.47 Konsumsi Protein (g/ekor) 21–41 49.95a±1.05 53.71a±1.95 50.68a±2.88 Pertambahan Bobot Badan (g/ekor) 21–41 53.89b± 2.52 53.83b± 1.59 57.29a± 2.60 42–55 14.77a± 4.24 10.04.b±5.93 5.59c± 4.01 Konversi Ransum 21-41 4.25b± 0.22 4.70a± 0.26 4.15b± 0.18 42–55 3.18b± 0.11 3.50a± 0.14 2.97b± 0.23 Protein Eficiensi Ratio (PER) 21-41 1.05a±0.05 0.96b±0.05 1.08a±0.05

Bobot Badan Akhir 41 108.68b± 2.29 108.82b± 1.96 112.10a± 3.46 55 124.65a± 3.50 116.65b± 3.97 117.49b± 3.23

Ket. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan prbedaan nyata (p<0.05). R1 (Ransum mengandung 12% konsentrat protein BIS terfortifikasi/BISPLUS), R2 (Ransum mengandung 12% bungkil inti sawit /BIS), R3 (Ransum mengandung 12% bungkil kedelai/BKD), PER (Protein Eficiency Ratio) dihitung dengan cara membagi pertambahan bobot badan dengan konsumsi protein pada perlakuan yang bersangkutan

Konsumsi ransum puyuh umur 21- 41 hari untu ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05), jumlah konsumsi pada perlakuan R1, R2 dan R3 masing-masing sebesar 228.50, 252.46 dan 235.61 gram/ekor. Konsumsi pakan puyuh yang mendapat perlakuan R2 lebih tinggi dari R3. Sementara itu pada umur 42–55 hari konsumsi ransum puyuh yang memperoleh perlakuan R2 nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan R1 dan R3, tidak terjadi perbedaan konsumsi antara R1 dengan R3. Jumlah konsumsi pakan pada perlakuan tersebut masing-masing sebesar 455.87, 490.67 dan 444.25 gram/ekor untuk perlakuan R1, R2 dan R3. Tingginya konsumsi ransum pada puyuh yang memperoleh perlakuan R2 dibandingkan dengan R1 dan R3 diduga tekstur ransum yang mengandung BIS lebih kasar sehingga puyuh cenderung mengkonsumsi makanan yang kasar dikarenakan tingkah laku unggas

merupakan pemakan biji-bijian dibandingkan dengan mengkonsumsi tepung. Berdasarkan pengamatan terhadap tekstur ransum maka perlakuan R1 merupakan ransum yang paling halus kemudian diikuti R3 dan R2, dengan demikian konsumsi R1 paling rendah, selain itu juga kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi pH dari pakan ketiga perlakuan. pH ransum perlakuan R1, R2 dan R3 masing-masing sebesar 5.25, 6.52 dan 6.28. Pada kondisi pH yang rendah akan mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi oleh puyuh.

Konsumsi protein puyuh umur 21-41 hari R1 dan R3 nyata lebih rendah dibandingkan R2 masing-masing sebesar 49.95, 50.68 dan 53.71 gram/ekor, hal ini sangat terkait dengan jumlah ransum yang dikonsumsi pada setiap perlakuan. Konsumsi ransum puyuh yang memperoleh ransum R2 paling tinggi kemudian disusul R3 dan R1 masing-masing sebesar 252.46, 237.61 dan 228.50 gram/ekor.

Pertambahan bobot badan puyuh umur 21- 41 hari yang memperoleh ransum R3 nyata lebih tinggi dari R1 dan R2, masing-masing sebesar 57.29, 53.89 dan 53.83 gram/ekor. Sedangkan puyuh umur 42 - 55 hari yang memperoleh perlakuan R1 menghasilkan pertambahan bobot badan nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R3, masing-masing sebesar 14.77, 10.04 dan 5.59 gram/ekor. Puyuh yang memperoleh perlakuan R3 pada umur 21-41 hari menghasilkan pertambahan bobot badan nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan perlakuan R1 dan R2. Hal ini terkait dengan kualitas nutrien perlakuan R3 terutama asam amino yang cukup baik sehingga zat makanan yang ada didalamnya dapat terserap dengan baik pada tubuh ternak. Selain itu juga tergambar dari skor lesio dan histologi usus dan hati yang lebih baik dari perlakuan lain. Sedangkan pada umur 42-55 hari puyuh yang memperoleh perlakuan R1 menghasilkan pertambahan bobot badan nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini diduga kemungkinan puyuh yang memperoleh perlakuan R1 mengalami keterlambatan perkembangan alat reproduksi, sehingga nutrisi pada ransum tersebut masih dipergunakan untuk pembentukan ovarium untuk produksi telur. Dugaan ini terkait dengan umur induk pertama bertelur yang lebih lambat (48.4 hari) dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R3 (Tabel 29). Jika dibandingkan data pertambahan bobot badan kedua periode umur tersebut maka puyuh umur 21- 42 hari menghasilkan

pertambahan bobot badan yang lebih besar dibandingkan umur 42-55 hari. Hal ini diduga puyuh pada umur 21- 42 hari tersebut masih dalam periode pertumbuhan sehingga asupan nutrisi pakan pada periode ini masih digunakan untuk pembentukan daging, sedangkan pada periode layer asupan nutrisi yang diberikan sebagian besar digunakan untuk pembentukan perkembangan alat reproduksi termasuk ovarium dan telur. Pada penelitian ini pertambahan berat badan pada puyuh umur 42-55 hari yang memperoleh bungkil kacang kedelai (R3) jauh lebih kecil dari periode sebelumnya (57.29 vs 5.59 gram/ekor). Data tersebut juga terkait dengan produksi telur yang dihasilkan pada puyuh yang memperoleh perlakuan R3 lebih tinggi dari perlakuan lain (47.41%) (Tabel 27), sedangkan pada perlakuan R1 tergambar dari bobot akhir pada umur 55 hari secara nyata lebih besar dari perlakuan lain.

Pada penelitian ini angka konversi ransum puyuh umur 21-42 hari yang mendapatkan perlakuan R1 dan R3 nyata lebih rendah (p<0.05) dibandingkan R2 masing-masing sebesar 4.25, 4.15 dan 4.70, sedangkan pada umur 42-55 hari angka konversi lebih kecil dari periode sebelumnya tapi mempunyai pola yang sama yaitu sebesar 3.19 untuk R1 diikuti R3 dan R2 masing-masing sebesar 2.97 dan 3.50. Konversi pakan erat kaitannya dengan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan maupun produksi telur. Beberapa faktor yang mempengaruhi konversi pakan antara lain imbangan energi dan protein ransum, pembatasan waktu makan serta sumber energi dan protein ransum yang digunakan (Pirgozliev et al. 2002). Semakin kecil nilai konversi ransum menggambarkan tingkat efisiensi puyuh dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsinya menjadi daging atau telur. Dengan demikian puyuh yang memperoleh perlakuan R1 dan R3 lebih efisien dalam menggunakan pakan untuk berproduksi. Hal ini sangat terkait dengan retensi protein dan energi metabolis (Tabel 23 dan 24) serta didukung fakta gambaran penampakan serta skor lesio usus dan hati dari perlakuan tersebut yang cukup baik dibandingkan dengan puyuh yang memperoleh ransum mengandung BIS. Secara umum konversi yang diperoleh dari penelitian ini lebih baik dari penelitian Nur (2001) yang melaporkan bahwa konversi ransum puyuh yang diberi selenium 0.2 ppm dan vitamin E 25 IU masing-masing sebesar 4.61 dan 4.92. Baylan et al. (2006) melaporkan bahwa

suplementasi asam amino 0.81 sampai 1.06% pada puyuh memperbaiki angka konversi ransum seiring dengan lamanya pemeliharaan. Pemberian treonina sebanyak 1.06% pada puyuh umur 1-7, 1-14, 1-21, 1-28 dan 1-35 hari memiliki angka konversi ransum masing-masing sebesar 1.85,2.45, 2.60, 2.75 dan 3.22.

Protein Eficiensi Ratio (PER) merupakan suatu prosedur evaluasi nilai gizi protein yang saat ini cukup banyak digunakan. Rataan nilai PER pada puyuh umur 21- 42 hari yang memperoleh perlakuan R1 dan R3 nyata lebih tinggi (p<0.05) dari perlakuan R2 masing-masing sebesar 1.05, 1.08 dan 0.96. Semakin tinggi nilai PER menunjukkan penggunaan protein ransum makin efisien untuk menghasilkan pertambahan bobot badan tertentu. Data ini memberi informasi bahwa puyuh yang mendapatkan perlakuan R1 dan R3 lebih efisien dalam memanfaatkan protein pakan dibandingkan dengan perlakuan R2. Data sebaliknya ditunjukkan oleh puyuh yang memperoleh perlakuan R2 yang mempunyai nilai PER paling rendah. Hal ini terkait dengan adanya serat kasar yang tinggi pada BIS pada puyuh yang memperoleh perlakuan R2. Sebagaimana dilaporkan oleh Ramli et al. (2008) bahwa serat pada BIS akan mengadsorpsi nutrien, sehingga peluang terjadinya penyerapan nutrien oleh usus halus menjadi berkurang, dan ikatan kompleks nutrien-serat kasar akan diekskresikan melalui ekskreta (Ramli et al. 2008). Menurut James dan Gropper (1990) serat bersifat adsorptif dan mempunyai daya ikat kation terhadap nutrien pada saluran pencernaan, sehingga kadar nutrien yang diabsorpsi, termasuk protein menjadi rendah. Nilai PER sangat terkait dengan kandungan protein pakan. Bila dihubungkan dengan konsumsi protein pada puyuh yang memperoleh perlakuan R2 paling tinggi dibandingkan perlakuan lain, namun nilai PER nya justru paling rendah. Informasi ini juga didukung pada penelitian tahap sebelumnya terutama kandungan asam amino esensial dan retensi protein (Tabel 19 dan 21). Kandungan asam amino esensial pada BIS paling rendah dibandingkan dengan bungkil kedelai maupun konsentrat protein BIS masing-masing sebesar yaitu masing-masing sebesar 6.2, 21.17 dan 19.16%, sedangkan retensi protein untuk perlakuan R1, R2 dan R3 masing-masing sebesar 69.82, 61.19 dan 70.57%. Lebih jauh Schaafsma (2000) melaporkan bahwa nilai PER beberapa bahan sumber protein seperti telur, susu sapi, daging sapi, kacang kedelai dan gandum

berturut-turut sebesar 3.8, 3.1, 2.9, 2.1 dan 1.5. Kecernaan bahan-bahan tersebut cukup tinggi yaitu telur (98%), susu sapi (95%), daging sapi (98%), kacang kedelai (95%) dan gandum (91%).

Perlakuan ransum nyata (p<0,05) mempengaruhi bobot badan akhir,

Dokumen terkait