• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian asam asetil salisilat (AAS) menimbulkan efek patologis pada organ lambung tikus. Menurut Takeuchi et al. (1998) dan Wallace et al. (1995), AAS mempunyai efek samping dapat menyebabkan kerusakan topikal mukosa lambung. Hal ini dikarenakan AAS dapat mengiritasi mukosa lambung. Berdasarkan pengamatan histopatologi, AAS berpengaruh terhadap perubahan histopatologi pada mukosa lambung. Respon histopatologi yang teramati dapat diklasifikasikan menjadi respon inflamasi dan respon inflammasi. Respon pra-inflammasi yang muncul yaitu proliferasi sel goblet dan deskuamasi epitel. Sedangkan respon inflammasi ditandai adanya erosi mukosa (ulkus), perubahan jumlah sel Chief dan sel parietal, kongesti, hemorrhagi, edema serta infiltrasi sel radang dengan derajat keparahan bervariasi pada tiap lapisan lambung.

Respon Pra-Inflammasi a. Proliferasi Sel Goblet

Salah satu komponen pertahanan mukosa lambung adalah sel goblet yang mensekresikan mukus. Menurut Setiawati (1992); Guyton dan Hall (1997), mukus disekresi oleh sel goblet dan kelenjar Brunner, berupa sekresi kental yang lengket, tidak larut dalam air. Mukus terdiri dari elektrolit dan campuran beberapa glikoprotein yang terdiri dari sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan protein dalam jumlah sedikit.

Pada saluran pencernaan, mukus memiliki beberapa sifat penting sebagai pelumas dan pelindung yang baik. Mukus mempunyai kemampuan mempermudah meluncurnya makanan di sepanjang saluran pencernaan dan mencegah eksorasi atau kerusakan kimiawi epitel. Sekresi mukus juga dapat melindungi mukosa lambung dari agen asing, berupa mikroorganisme, cacing, bahan yang bersifat asam dan lain-lain (Setiawati 1992; Guyton dan Hall 1997).

Fungsi mukus sebagai pertahanan pertama dipengaruhi oleh ketebalan dan kualitas mukus. Ketebalan mukus berhubungan erat dengan aktifitas sel goblet sebagai penghasil mukus. Gangguan dari sekresi dan fungsi mukus akan menyebabkan penetrasi obat akan mencapai epitel lambung. Kontak langsung

obat (dalam penelitian ini AAS) dengan epitel mukosa lambung akan terjadi bila lapisan mukus yang merupakan pertahanan terdepan tidak berfungsi dengan baik (Wallace et al. 1995 dan Halter et al. 2001).

Pemberian AAS berpengaruh terhadap perubahan histopatologi pada mukosa lambung yaitu peningkatan produksi mukus (jumlah sel goblet). Hasil analisis statistik pengaruh pemberian AAS terhadap jumlah sel goblet lambung kelenjar (regio fundus dan pilorus) disajikan dalam Tabel 1

Tabel 1 Pengaruh pemberian asam asetil salisilat (AAS) terhadap jumlah sel goblet pada regio fundus dan pilorus lambung tikus

Kelompok Sel goblet Fundus Sel goblet Pilorus

Kontrol (K) 11.800±6.088a 11.900±4.654a

Perlakuan (P) 18.600±10.058b 17.400±9.664b

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama nenunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) 19.77 19.93 31.14 29.15 0 5 10 15 20 25 30 35 Fundus Pilorus regio lambung % s e l g o b le Kontrol Perlakuan

Gambar 9 Grafik persentase sel goblet pada lambung kelenjar regio fundus dan pilorus kelompok kontrol dan perlakuan

Data Tabel 1 menunjukkan jumlah sel goblet dengan perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kedua kelompok. Kelompok perlakuan (P) memperlihatkan jumlah sel goblet regio fundus dan pilorus yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (K). Hal itu mengindikasikan bahwa AAS bersifat iritatif sehingga merangsang proliferasi sel goblet pada kelompok P. Peningkatan jumlah sel goblet tersebut merupakan respon untuk melindungi mukosa lambung. Peningkatan jumlah sel goblet akan menginduksi peningkatan sekresi mukus.

Menurut Smith et al. (1974), jumlah sel goblet pada mukosa bervariasi dan dapat meningkat apabila ada stimulan seperti pakan atau senyawa kimia iritatif. Gambaran histopatologi proliferasi sel goblet regio fundus dan pilorus lambung disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Sel goblet (tanda panah) pada kelompok K (A) dan proliferasi sel goblet (tanda panah) pada kelompok P (B). Pewarnaan PAS, perbesaran 400 x, bar 20 µm.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, meskipun terjadi proliferasi sel goblet pada kelompok P akan tetapi kemampuan mukus untuk melindungi mukosa lambung diduga menurun akibat pemberian AAS. Menurut Wilson dan Lester (1994), AAS dapat menyebabkan perubahan kualitas mukus lambung sehingga dapat mempermudah degradasi mukus oleh pepsin. Menurut Nadi (1992), pada binatang percobaan yang diberi aspirin terjadi kerusakan mukosa lambung disertai berkurangnya glikoprotein mukus dan hipersekresi lambung

.

Secara tidak langsung, tebal lapisan mukus akan berkurang dan mempermudah terjadi kerusakan atau erosi pada mukosa lambung (Gambar 12 dan 13). Hal ini dikarenakan AAS termasuk bahan efektif yang dapat menembus barier mukus dan masuk ke lapisan epitel mukosa dalam konsentrasi rendah sekalipun (Malik 1992).

Tembusnya barier mukus dapat memungkinkan terjadinya difusi balik ion H+. Asam dalam konsentrasi tinggi dari arah lumen dapat kembali ke arah epitel mukosa sehingga merusak lapisan sel epitel (Wilson dan Lester 1994). Mekanisme patofisiologi mukosa lambung akibat difusi balik H+ dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Konsekuensi patofisiologis dari difusi balik ion H+ lambung. (Wilson dan Lester 1994).

Penghancuran barier epitel

Asam kembali berdifusi ke mukosa

Penghancuran sel mukosa

↑Pepsinogen → Pepsin Asam ↑ Histamin ↑

Perangsangan kolinergik ↑ Fungsi pertahanan mukosa ↓ Motilitas ↑ Pepsinogen ↑ Vasodilatasi ↑ Permeabilitas terhadap protein

Plasma bocor ke intertitium Edema

Plasma bocor ke lumen lambung Kerusakan kapiler dan vena kecil

Hemorrhagi

Ulkus

Kerusakan barier mukus akan diikuti dengan respon deskuamasi epitel, erosi mukosa, kongesti, hemorrhagi, edema dan infiltrasi sel-sel radang. Gambaran perubahan histopatologi ketiga regio lambung tikus disajikan secara deskriptif dalam Tabel 2.

Tabel 2 Gambaran perubahan histopatologi lambung tikus pada kelompok kontrol dan perlakuan setelah pemberian AAS

Regio Lambung Lambung

nonkelenjar Fundus Pilorus

Perubahan histopatologi

K P K P K P Deskuamasi

epitel ^ - Ringan (+) Ringan (+) Sedang (++) Ringan (+) (+++) Berat Erosi

mukosa* - Ringan (+) Ringan (+) Sedang (++) Ringan (+) (+++) Berat

Kongesti * Ringan

(+) Sedang (++) Ringan (+) Ringan (+) Ringan (+) Ringan (+) Hemorrhagi * Ringan

(+) Ringan (+) Ringan (+) Ringan (+) Ringan (+) Ringan (+)

Edema * Ringan (+) Sedang (++) Ringan (+) Sedang (++) Ringan (+) Ringan (+)

Keterangan : Tanda (–) menunjukkan tidak ditemukan perubahan histopatologi;

Tanda ^ menunjukkan perubahan histopatologi sebagai respon pra-inflammasi; Tanda * menunjukkan perubahan histopatologi sebagai respon inflammasi

b. Deskuamasi epitel

Deskuamasi merupakan kejadian lepasnya sel epitel dari permukaan jaringan (Anonim 2006). Menurut Smith et al. (1974), deskuamasi epitel mukosa lambung merupakan respon pertahanan jaringan terhadap suatu rangsangan (iritan). Deskuamasi epitel juga turut dipengaruhi oleh adanya reaksi fisiologis tubuh. Dalam keadaan normal, lapisan sel-sel epitel saluran pencernaan terus menerus berganti dan regenerasi dengan cara deskuamasi setiap 1-3 hari (Malik 1992).

Berdasarkan data Tabel 2, pemberian AAS dapat menyebabkan deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan yang berbeda pada kedua kelompok. Pada regio lambung nonkelenjar kelompok K tidak memperlihatkan deskuamasi epitel, sedangkan kelompok P memperlihatkan derajat deskuamasi epitel ringan. Hal ini dikarenakan pada regio lambung

nonkelenjar terdapat lapisan keratin tebal yang melapisi permukaan mukosa lambung. Pada regio lambung kelenjar (fundus dan pilorus), kelompok K memperlihatkan derajat deskuamasi epitel ringan, sedangkan kelompok P memperlihatkan derajat deskuamasi epitel sedang pada regio fundus dan berat pada regio pilorus.

Deskuamasi epitel pada kelompok K diduga karena respon fisiologis akibat proses regenerasi epitel. Sedangkan deskuamasi epitel pada kelompok P diduga berkaitan dengan pemberian AAS. Sediaan AAS yang bersifat asam dapat mengiritasi mukosa lambung sehingga merangsang terjadi deskuamasi epitel lambung. Deskuamasi epitel dengan derajat paling berat ditemukan pada regio pilorus lambung kelenjar kelompok P. Hal ini disebabkan regio pilorus lebih peka terhadap asam dibandingkan kedua regio lainnya. Gambaran histopatologi deskuamasi epitel lambung tikus disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Deskuamasi epitel lambung kelenjar (fundus) dengan derajat keparahan ringan pada kelompok K (A), deskuamasi epitel dengan derajat keparahan sedang (B) dan berat (C) pada kelompok P. Pewarnaan HE, perbesaran 200 x, bar 30 µm.

Respon Inflammasi

Sediaan AAS merupakan salah satu bahan iritan yang dapat menyebabkan peradangan pada lambung (gastritis). Menurut Guyton dan Hall (1997), gastritis merupakan respon peradangan mukosa lambung terhadap cedera atau kerusakan

jaringan yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau lokal. Pada kejadian gastritis superfisial akut akibat pemberian AAS dapat ditemukan erosi mukosa, perubahan jumlah sel Chief dan sel parietal, kongesti, hemorrhagi, edema disertai dengan infiltrasi sel-sel radang pada tiap lapisan ketiga regio lambung.

a. Erosi mukosa lambung

Berdasarkan data Tabel 2, regio lambung nonkelenjar kelompok K tidak memperlihatkan erosi mukosa ditunjukkan dengan lapisan keratin yang utuh dan kontinu. Sedangkan kelompok P memperlihatkan erosi mukosa dengan derajat keparahan ringan. Disebut erosi apabila kerusakan mukosa yang terjadi memiliki kedalaman kurang dari 5 mm. Apabila kerusakan mukosa yang terjadi berupa diskontinuitas atau robekan mukosa dengan diameter 5 mm atau lebih hingga mencapai submukosa disertai dengan nekrosis disebut ulkus (Spechler 2002).

Terdapat persentasi 20% kejadian erosi mukosa pada lambung nonkelenjar kelompok P telah mengarah ke pembentukan ulkus dengan dua derajat keparahan, sedang dan berat. Secara mikroskopis, erosi mukosa pada lambung nonkelenjar dengan derajat keparahan sedang terlihat dengan adanya akumulasi cairan edema di bawah lapisan keratin, hemorrhagi, edema submukosa disertai dengan infiltrasi sel radang (Gambar 14 C). Sedangkan erosi mukosa dengan derajat keparahan berat telah mengarah ke pembentukan ulkus (Gambar 14 D). Secara mikroskopis, bentukan ulkus pada lambung nonkelenjar ditandai dengan diskontinuitas lapis keratin, atrofi lapis epitel, kongesti, hemorrhagi, edema submukosa dan infiltrasi sel radang yang didominasi sel radang netrofil. Gambaran histopatologi lambung nonkelenjar dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

Pada regio lambung kelenjar (fundus dan pilorus) kedua kelompok memperlihatkan adanya erosi mukosa. Kelompok K memperlihatkan derajat erosi mukosa ringan pada regio fundus dan pilorus sedangkan kelompok P memperlihatkan erosi mukosa dengan derajat sedang pada regio fundus dan berat pada regio pilorus. Erosi mukosa lambung kelenjar yang terjadi pada kelompok K diduga disebabkan hewan coba yang digunakan adalah hewan non-Specific Pathogen Free (SPF). Umumnya hewan non-SPF dapat terpapar beberapa agen eksogenous yang menyebabkan gangguan non spesifik.

Erosi mukosa lambung kelenjar dengan derajat keparahan berat terjadi pada regio pilorus kelompok P. Pemberian AAS dosis toksik akut 400 mg dapat menyebabkan erosi mukosa lambung dan memugkinkan difusi balik ion H+ ke ke mukosa. Menurut Wilson dan Lesser (1994), mukosa pilorus lebih peka terhadap difusi balik ion H+, sehingga kerusakan mukosa lebih sering terjadi pada regio pilorus dibanding fundus. Terdapat persentasi 20% kejadian erosi mukosa pada lambung kelenjar regio pilorus kelompok P telah mengarah ke pembentukan ulkus. Secara mikroskopis, bentukan ulkus pada regio pilorus ditandai dengan diskontinuitas mukosa lambung meluas hingga lapis submukosa, nekrosa sel parietal dan sel Chief, kongesti, hemorrhagi dan infiltrasi sel radang yang didominasi sel radang netrofil (Gambar 16 B).

Pada daerah di sekitar erosi mukosa atau ulkus terdapat fokus erosi yang terdiri atas sel parietal dan sel Chief yang nekrosa. Menurut Abrams (1994), jika jaringan yang nekrosis terletak pada permukaan tubuh (misalnya, sepanjang epitel saluran pencernaan), maka jaringan itu akan dengan mudahnya mengelupas, sambil meninggalkan celah pada permukaan yang membentuk ulkus pada lambung kelenjar. Gambaran histopatologi erosi mukosa pada lambung kelenjar dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.

Mekanisme kerja AAS dalam menimbulkan peradangan dan kerusakan mukosa lambung nonkelenjar dan lambung kelenjar dikarenakan absorbsi AAS.

Sediaan AAS akan diabsorpsi oleh lambung bila pH intragastrik kurang dari 3,5 sehingga akan merusak mukosa lambung (Nadi 1992). Selain mengiritasi mukosa lambung secara langsung, AAS bekerja menghambat sintesis prostaglandin melalui penghambatan aktifitas enzim siklooksigenase (COX) (Hudson et al. 1997; Takeuchi et al. 1998; Kartasasmita 2002). Prostaglandin berefek positif pada mukosa saluran pencernaan, sehingga penghambatan sintesis prostaglandin akan menurunkan ketahanan mukosa dan memicu kerusakan mukosa lambung (Kartasasmita 2002). Menurut Nadi (1992), pada binatang percobaan yang diberi aspirin terjadi kerusakan mukosa Iambung disertai berkurangnya glikoprotein mukus dan hipersekresi lambung. Terjadinya hipersekresi getah lambung dan pepsin atau berkurangnya mikrosirkulasi dari lambung menjadi penyebab utama timbulnya lesi mukosa.

Gambar 13 Gambaran regio lambung nonkelenjar tanpa erosi mukosa pada kelompok K (A) dan kelompok P (B). Perbesaran 200 x, bar 30 µm.

Gambar 14 Gambaran regio lambung nonkelenjar dengan erosi mukosa (tanda panah) dengan derajat keparahan sedang (C) dan berat (D) pada kelompok P. K= lapis keratin; EP = epitel pipih banyak lapis; MM = muskularis mukosa; S= submukosa; TM= tunika muskularis. U= bentukan ulkus; A = atrofi epitel; H = hemorrhagi; E= edema; K= kongesti; dan S= infiltrasi sel-sel radang. Pewarnaan HE, perbesaran 40 x H TM SM TM SM K EP MM MM EP K K A S S E E A U

C D

SM TM EP MM K K EP MM SM TM

A B

Gambar 15 Erosi mukosa (tanda panah) pada lambung kelenjar regio fundus (A) dan regio pilorus (B) kelompok P. FE= fokus erosi terdiri dari sel nekrosa dan piknosis. Pewarnaan HE, perbesaran 200x, bar 30 µm.

Gambar 16 Erosi mukosa lambung kelenjar regio pilorus (tanda panah). Derajat keparahan sedang (A) dan berat (B) pada kelompok P. FE = fokus erosi terdiri dari sel nekrosa dan piknosis. M= mukosa; MM=

muskularis mukosa; S= submukosa. Pewarnaan HE, perbesaran 200 x, bar 30 µm. M M M SM MM MM FE FE FE FE

A B

M M M M SM SM MM MM MM FE FE FE FE

A B

b. Pengaruh AAS terhadap sel parietal dan sel Chief

Mekanisme difusi balik ion H+ (Gambar 11) dapat menimbulkan berbagai akibat diantaranya, peningkatan keasaman di sekitar lapisan sel epitelial dan peningkatan sekresi pepsinogen lambung kelenjar. Keasaman di sekitar epitelial lambung kelenjar dipengaruhi oleh sekresi asam sel parietal dan pemberian AAS. Sediaan AAS dapat menurunkan pH lambung dan merangsang pembebasan histamin. Pembebasan histamin dapat merangsang sel parietal meningkatkan produksi asam lambung. Sedangkan, peningkatan pepsinogen akibat pemberian AAS erat kaitannya dengan jumlah dan kemampuan sekresi sel Chief.

Pada kelompok P, peningkatan sekresi pepsinogen dan asam lambung tidak disertai dengan peningkatan jumlah sel Chief dan sel parietal. Pengaruh pemberian AAS terhadap jumlah sel chief dan sel parietal regio lambung fundus dan pilorus disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Pengaruh pemberian asam asetil salisilat (AAS) terhadap jumlah sel kelenjar utama (sel chief dan sel parietal) regio fundus dan pilorus lambung tikus.

Sel Chief Sel Parietal Kelompok

Fundus Pilorus Fundus Pilorus

Kontrol 254.230±59.663ab 322.950±55.142b 239.610±41.741c 7.500±5.592a

Perlakuan 224.020±65.386a 292.210±99.802ab 199.700±41.550b 7.140±3.410a

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama nenunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) 16.49 20.89 14.69 18.46 15.53 0.51 12.95 0.48 0 5 10 15 20 25

fundus pilorus fundus pilorus kontrol Perlakuan % sel kel en ja sel Chief Sel Parietal

Gambar 17 Grafik persentase sel Chief dan sel parietal regio fundus dan pilorus kelompok kontrol dan perlakuan

Regio pilorus pada kelompok K maupun P memiliki jumlah sel parietal lebih sedikit dibandingkan dengan regio fundus. Hal ini berkaitan dengan struktur

histologi regio pilorus yang terdiri dari sedikit sel parietal. Dari hasil analisis statistik (Tabel 3), jumlah sel Chief-sel parietal pada regio fundus dan pilorus kelompok K dan P tidak berbeda nyata (p>0.05). Jumlah sel Chief dan sel parietal pada kelompok P lebih sedikit dibandingkan kelompok K. Penurunan jumlah sel Chief dan sel parietal ini diduga karena sejumlah sel turut lepas saat mukosa erosi. Selain itu, sebagian kecil sel Chief dan sel parietal mengalami kerusakan sel akibat pemberian AAS dosis toksik akut 400 mg.

Dalam keadaan pH lambung kurang dari 3.5, AAS akan diabsorpsi oleh lambung sehingga akan merusak mukosa lambung. Salah satu kerusakan mukosa lambung yang dapat terjadi adalah erosi mukosa lambung disertai dengan apoptosis dan nekrosa sel (Nadi 1992). Menurut (Jubb et al. 1993), pada level tertentu jika jumlah sel yang rusak terlalu tinggi maka kerusakan sel akan bersifat permanen dan akhirnya terjadi kematian sel (nekrosa).

Nekrosa merupakan proses kematian sel atau kematian kelompok sel yang masih merupakan bagian dari organisme hidup dengan penyebab yang bervariasi. Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme. Umumnya sel yang mengalami nekrosa menunjukkan perubahan pada inti dan sitoplasma. Inti akan mengecil dan berwarna biru (lebih gelap), mirip sel limfosit, akibat penggumpalan kromatin inti. Proses ini disebut piknosis. Inti juga mungkin pecah (karyorhexis) dan bahkan menghilang (karyolisis), sedangkan pada sitoplasma akan terlihat asidofilik (Jubb et al. 1993).

Menurut Abrams (1994), jika jaringan yang nekrosis terletak pada permukaan tubuh (misalnya, sepanjang epitel saluran pencernaan), maka jaringan itu akan dengan mudahnya mengelupas, sambil meninggalkan celah pada permukaan yang membentuk ulkus. Proses ini diduga dapat menurunkan jumlah sel Chief dan sel parietal regio fundus dan pilorus pada kelompok P. Gambaran histopatologi sel parietal yang mengalami nekrosa dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Gambaran histopatologi sel parietal lambung kelenjar yang mengalami piknosis (tanda panah hitam) dan sel parietal yang masih normal (tanda panah kuning) pada kelompok P. Pewarnaan HE, perbesaran 100 x, bar 50 µm (A) dan perbesaran 400 x, bar 20 µm (B).

c. Kongesti

Berdasarkan data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat kongesti dengan berbagai derajat keparahan yang sama pada kedua kelompok. Kongesti merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi butir-butir darah di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Akumulasi darah tersebut dapat mengakibatkan pembendungan di dalam pembuluh darah (Smith et al 1992; Wilson dan Lester 1994). Kongesti yang berlebihan dapat menimbulkan hemorrhagi (perdarahan) sehingga cairan akan bercampur dengan sel darah merah (Kusumawidjaja 1996).

Baik pada kelompok kontrol (K) maupun kelompok perlakuan dijumpai kongesti dengan derajat keparahan ringan pada regio lambung fundus dan pilorus. Kongesti pada pembuluh darah di submukosa secara mikroskopis terlihat dengan adanya dilatasi pembuluh darah yang berisi penuh darah. Kejadian kongesti pada kedua kelompok diduga disebabkan oleh faktor pembiusan sebelum nekropsi dengan menggunakan eter. Menurut Handoko (1995), eter merupakan anastetik yag sangat kuat, dapat menekan kontraktilitas otot jantung, menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit dan pembuluh darah organ-organ.

FE

FE

Selain akibat pembiusan dengan eter, pemberian AAS dapat menyebabkan kongesti dan hemorrhagi pada kelompok perlakuan (P). Kongesti pada kelompok P diduga diawali dengan adanya vasodilatasi pembuluh darah dan perlambatan aliran darah. Dilatasi pembuluh darah disertai perlambatan aliran darah akibat pembebasan histamin dapat meningkatkan akumulasi butir-butir darah dalam pembuluh darah sehingga terjadi kongesti (Gambar 19).

d. Hemorrhagi

Berdasarkan data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat hemorrhagi dengan berbagai derajat keparahan yang sama pada kedua kelompok. Hemorrhagi merupakan keluarnya darah dari sistem kardiovaskular, disertai penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh dan atau disertai keluarnya darah dari tubuh. (Smith et al 1992; Wilson dan Lester 1994). Dari hasil pengamatan, hemorrhagi lebih banyak ditemukan pada lapis mukosa dan submukosa baik pada kelompok K maupun kelompok P.

Pada kedua kelompok kejadian hemorrhagi lebih banyak ditemukan pada lapis mukosa dan submukosa. Hemorrhagi pada kelompok P diduga akibat pembebasan histamin yang menyebabkan pembuluh darah berdilatasi, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadi kerusakan mukosa kapiler (Gambar 11). Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan kerusakan endotel kapiler inilah yang dapat menyebabkan sel-sel darah keluar dari pembuluh darah (diapedesis) (Smith et al 1992; Wilson dan Lester 1994).

Hemorrhagi pada kelompok P diduga juga dipengaruhi oleh kelainan mekanisme homeostasis pembekuan darah. Sediaan AAS merupakan inhibitor irreversibel siklooksigenase yang berfungsi mensintesis tromboksan (Kartasasmita 2002). Tromboksan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pembekuan darah. Tromboksan menyebabkan tombosit menyumbat kebocoran dalam pembuluh darah dengan mengadakan agregasi pada pembuluh darah dan menghambat aliran darah (Wilson dan Lester 1994). Secara tidak langsung, hambatan terhadap siklooksigense oleh AAS dapat menghambat aktivitas tromboksan. Penurunan dan atau ketiadaan tromboksan dalam aliran darah dapat meningkatkan potensi terjadi hemorrhagi.

Sediaan AAS dapat mengubah permeabilitas jaringan epitel dan memungkinkan difusi balik asam klorida dengan akibat kerusakan jaringan, khususnya pembuluh darah. Histamin yang dikeluarkan merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein (Gambar 10) Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak dan mengakibatkan hemorrhagi interstitsial (Wilson dan Lester 1994). Gambaran histopatologi kongesti dan hemorrhagi disajikan dalam Gambar 19.

e. Edema

Pada kelompok K ditemuka edema dengan derajat ringan pada semua bagian lambung, sedangkan pada kelompok P ditemukan edema lapis mukosa dan lapis submukosa dengan derajat sedang pada lambung nonkelenjar dan regio fundus (data Tabel 2). Edema pada lapis mukosa ditandai dengan merenggangnya jarak antar sel-sel kelenjar. Sedangkan edema pada lapis submukosa ditandai dengan peregangan antara lapis muskularis mukosa dengan lapis submukosa.

Tembusnya barier mukus lambung kelompok P oleh AAS memungkinkan terjadi mekanisme difusi balik H+. Asam dalam konsentrasi tinggi dari arah lumen dapat kembali ke arah epitel mukosa sehingga merusak lapisan mukosa (Wilson dan Lester 1994). Kerusakan sel Chief dan sel parietal pada regio fundus dan pilorus merangsang pelepasan mediator inflammasi (MI) antara lain histamin,bradikinin, leukotrin, serotonin, prostaglandin dan sebagainya. Mediator inflammasi bertugas menyelenggarakan berbagai aktivitas respon inflammasi hingga terjadi persembuhan (Mac Farlare et al. 2000).

Pelepasan mediator peradangan ini dapat meningkatkan permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler dapat memungkinkan larutan mediator mencapai jaringan sehingga terjadi edema (Malik 1992). Menurut Spector (1993) peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat menyebabkan protein mudah lolos masuk ke jaringan melalui celah-celah yang muncul diantara sel-sel endotel. Jaringan yang mengalami edema terlihat sebagai ruangan yang meluas dan terisi cairan (Smith et al. 1974). Gambaran histopatologi edema lambung kelenjar disajikan pada Gambar 20.

Gambar 19 Gambaran histopatologi kongesti (K) dan hemorrhagi (tanda panah kuning) disertai infiltrasi sel radang (tanda panah hitam) pada regio pilorus kelompok P. M= mukosa; MM= muskularis mukosa; S= submukosa. Pewarnaan HE, perbesaran 400x, bar 20 µm.

Gambar 20 Gambaran histopatologi edema pada submukosa (A) dan mukosa lambung (B) regio fundus kelompok P. M= mukosa; MM= muskularis mukosa; S= submukosa; TM= tunika muskularis. Pewarnaan HE, perbesaran 40 x (A) dan 400 x, bar 20 µm (B).

K M SM MM SM

TM

M

M

MM MM

A B

f. Infiltrasi sel-sel radang

Kerusakan sel (apoptosis dan nekrosa) pada regio fundus dan pilorus merangsang pelepasan mediator inflamasi (MI). Rangkaian tugas MI diawali dengan peradangan akut dan diakhiri dengan persembuhan. Proses peradangan akut disertai dengan dilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan pembentukan edema radang. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah akan menyebabkan protein, eritrosit dan leukosit keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan. Fungsi leukosit dan sel radang lainnya di fokus radang adalah untuk memfagosit dan mendegradasi agen yang menyerang seperti bakteri dan mikroba lain; bahan yang merusak seperti AAS; sel dan jaringan nekrotik serta antigen asing (Mac Farlare et al. 2000; Mansjoer 2003).

Pada kejadian gastritis akut akibat AAS dapat ditemukan infiltrasi sel radang pada tiap lapis mukosa lambung. Sel-sel radang yang mula-mula keluar dari dinding pembuluh darah adalah netrofil dan makrofag (Mansjoer 2003). Infiltrasi sel radang pada lapisan mukosa lambung regio lambung nonkelenjar,

Dokumen terkait