• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Agustus 2007 di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Materi penelitian Hewan Coba

Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan model yang digunakan adalah tikus putih Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley sebanyak 20 ekor, jenis kelamin jantan berumur 2 bulan dengan bobot ± 250 gram. Hewan model diambil dari bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan IPB. Hewan model dibedakan menjadi dua kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok 10 ekor tikus.

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)

Pada penelitian ini digunakan golongan obat OAINS yaitu asam asetil salisilat (AAS) dengan dosis 400 mg per ekor tikus (Manan 2007). Sediaan AAS digunakan dalam bentuk murni berupa kristal putih.

Alat penelitian dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Tikus putih galur Sprague Dawley jantan berumur 2 bulan sebanyak 20 ekor.

2. Kandang tikus sebanyak 40 buah dan 40 buah botol air minum. Kandang tikus modifikasi terbuat dari boks plastik ditutupi kawat ram, bedding kawat ram dan dialasi dengan menggunakan kertas buram.

3. Air minum AQUA®.

5. Sonde lambung untuk tikus (1,5 x 80 mm) Knopfkanule 370144, Germany

6. Spuit berukuran 1 ml dan 3 ml.

7. Antibiotik Tetracyclin 250 mg, anthelmintik Albendazole 5% dan asam asetil salisilat murni (AAS) serta 1 buah botol obat.

8. Timbangan digital Precisa 3000 D.

9. Alat nekropsi (gunting, scalpel, pinset anatomis, pinset fisiologis, jarum fiksator, alas nekropsi, stiroform, wadah penyimpan organ), kaca pembesar berlampu untuk pengamatan Patologi Anatomi serta larutan pengawet Buffer Neutral Formaldehyde (BNF) 10 %.

10. Bahan untuk processing jarinngan: alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Alkohol absolut (p.a), xylol (p.a). p.a= pro analysis.

11. Bahan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE).

12. Bahan untuk pewarnaan khusus mukosa (Periodic Acid Schift-Alcian Blue).

13. Kamera digital untuk dokumentasi hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dan histopatologi.

14. Mikoroskop cahaya binokuler. 15. Mikroskop Video Mikrometer 16. Counter

Metode kerja

Persiapan pakan dan adaptasi tikus dalam kandang

Sebelum tikus digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu dipersiapkan pakan tikus berbentuk pelet dengan komposisi bahan : jagung (73,943 %), bungkil (14,505%), dedak (6,8 %), kapur (1,5 %), tepung tulang (1,263%), minyak (1%), metionin (0,362%), lisin (0,31%), garam (0,213%) dan vitamin+mineral mix (0,016%). (formulasi dan pembuatan pakan dilakukan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor). Setiap hari tikus diberi 25 gram pakan per ekor. Pakan kemudian diiradiasi dengan kekuatan 10 KGray di BATAN, Jakarta Selatan untuk tujuan sterilisasi.

Adaptasi pada tikus dilakukan selama tiga minggu disertai dengan pemberian terapi obat antibiotik Tetracyclin 250 mg selama 3 hari dan anthelmintik Albendazole 5%. Tetracyclin 250 mg diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB sedangkan Albendazole 5% (Sanbe) diberikan dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB. Pemberian Albendazole diulangi dengan jarak pemberian 1 minggu. Dilanjutkan dengan pemberian anti Cryptococcus, Fluconazole 50 mg/KgBB satu kali pemberian selama 3 hari. Terapi obat bertujuan untuk menghilangkan bias yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi mukosa lambung dan saluran pencernaan lain. Berat badan tikus ditimbang seminggu sekali. Sisa pakan ditimbang setiap hari.

Perlakuan pemberian asam asetil sallisilat

Pemberian asam asetil salisilat (AAS) dilakukan pada kelompok tikus yang mendapat perlakuan terdiri dari 10 ekor tikus jantan secara per oral menggunakan sonde lambung dengan dosis tunggal 400 mg dalam 2 ml larutan aquadest selama 3 hari. Pemberian asam asetil salisilat dilakukan sekali dalam sehari pada sore hari. Sebelum pemberian, tikus dipuasakan sebelumnya selama 2-3 jam. Tikus kontrol diberi aquadest dengan sonde lambung.

Tahap nekropsi tikus

1. Pembiusan tikus

Anestesi memakai kapas yang telah dibasahi dengan eter dan dimasukkan ke dalam wadah kaca unaerobic jar. Tikus selanjutnya dinekropsi.

2. Teknik nekropsi

Tikus diletakkan di atas stiroform yang telah dilapisi aluminium foil pada posisi dorsal (terlentang) kemudian difiksasi dengan menggunakan jarum pentul pada keempat ekstremitasnya. Untuk mempermudah nekropsi, permukaan abdomen tikus dibasahi dengan alkohol 70%. Tahap nekropsi dilakukan pada linea alba dengan membuka lapisan kulit dan fascia. Rongga abdomen dibuka sampai batas bawah diafragma. Organ yang diambil adalah lambung. Organ tersebut dimasukkan ke dalam larutan BNF 10% dan disimpan sampai proses berikutnya.

3. Trimming organ dan prosesing jaringan

Sebelum dilakukan tahap dehidrasi dan embedding, organ dipotong tipis berukuran 3 mm sesuai dengan bagian yang akan diamati yaitu bagian lambung nonkelenjar, fundus, dan pylorus.

Potongan dilakukan sesuai dengan bagian seperti tertera dalam Gambar 3 dibawah ini potongan 1

Potongan 1 : bagian lambung nonkelenjar

Potongan 2 : bagian fundus potongan 2 Potongan 3 : bagian pilorus potongan 3

Gambar 8 Lambung monogastrik. (Anonim 2002). Potongan tipis organ kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette dan diproses secara otomatis dalam tissue processor (SakuraTM, Japan) untuk proses dehidrasi. Dalam proses dehidrasi digunakan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70 %, 80%, 90%, 95%, hingga 100% (absolute), diikuti clearing dengan larutan Xylene sebanyak 3 kali dan kemudian embedding menggunakan paraffin (ShendonTM, UK). Dilanjutkan dengan pembuatan blok jaringan dalam paraffin cair yang mempunyai titik leleh 56-57˚ C dalam mesin embedding tissue (SakuraTM, Japan). Setelah dingin blok disimpan hingga trimming.

4. Trimming

ƒ Blok yang telah mengeras kemudian disimpan dalam refrigerator hingga akan dipotong menggunakan mikrotom setebal 3-4 μm (Spencer, USA). ƒ Hasil potongan mikrotom dibentangkan di atas permukaan air dengan suhu

40˚ C, kemudian diletakkan di atas object glass yang telah dilapisi Ewitt sebagai pelekat dan dikeringkan.

ƒ Sebelum diwarnai, potongan organ di atas object glass diinkubasikan dalam inkubator Memert, Jerman dengan suhu 55˚ C selama semalam.

ƒ Kemudian diwarnai dengan Hematoxylin Eosin menurut metode Meyer (Humason 1985).

Fundus

Pemeriksaan Histopatologi (HP)

Pemeriksaan histopatologi organ lambung dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif pada regio lambung nonkelenjar dan lambung kelenjar. Lambung kelenjar dibedakan menjadi dua regio, fundus dan pilorus.

Pemeriksaan kuantitatif organ lambung dilakukan dengan beberapa parameter antara lain:

1. Perhitungan jumlah sel goblet per satuan panjang 1000 µm menggunakan mikroskop videomikrometer pada 10 lapang pandang. Untuk mernghitung jumlah sel goblet digunakan pewarnaan PAS-AB.

2. Perhitungan jumlah sel perietal dan sel Chief dengan pewarnaan HE pada 10 lapang pandang.

3. Perhitungan jumlah infiltrasi sel radang pada tiap lapisan lambung pada 10 lapang pandang.

Pemeriksaan kualitatif dilakukan terhadap keutuhan lapisan epitel penutup, deskuamasi epitel, kongesti, hemorrhagi, edema pada ketiga regio lambung dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Hasil pemeriksaan kualitatif dikelompokkan menjadi tiga derajat keparahan yaitu ringan (+), sedang (++) dan berat (+++) yang disajikan secara deskriptif.

Deskuamasi epitel : Terjadi pelepasan sel epitel.

• Ringan (+) : Terdapat 25 % epitel vili yang mengalami deskuamasi • Sedang (++) : Terdapat 50 % epitel vili yang mengalami deskuamasi • Berat (+++) : Terdapat 75 % atau lebih epitel vili yang mengalami

deskuamasi

Kongesti : Pembuluh darah berdilatasi dan terisi butir-butir darah

merah.

• Ringan (+) : Terdapat 25 % pembuluh darah yang mengalami kongesti dari total jumlah pembuluh darah

• Sedang (++) : Terdapat 50 % pembuluh darah yang mengalami kongesti dari total jumlah pembuluh darah

• Berat (+++) : Terdapat 75 % atau lebih pembuluh darah yang mengalami kongesti dari total jumlah pembuluh darah.

Hemorraghi : Butir-butir darah keluar dari pembuluh darah dan tersebar diantara jaringan.

• Ringan (+) : Terdapat 25 % fokus hemorrhagi pada lapisan mukosa dan submukosa dari keseluruhan lapang pandang.

• Sedang (++) : Terdapat 50 % fokus hemorrhagi pada lapisan mukosa dan submukosa dari keseluruhan lapang pandang.

• Berat (+++) : Terdapat 75 % atau lebih fokus hemorrhagi pada lapisan mukosa dan submukosa dari keseluruhan lapang pandang.

Edema : Terjadi akumulasi cairan dengan jumlah yang abnormal pada kompartemen ekstrasel. Terjadi peregangan lapisan mukosa dan submukosa.

• Ringan (+) : Terdapat 25 % bagian lapisan mukosa dan submukosa yang mengalami edema dari keseluruhan lapang pandang. • Sedang (++) : Terdapat 50 % bagian lapisan mukosa dan submukosa

yang mengalami edema dari keseluruhan lapang pandang. • Berat (+++) : Terdapat 75 % atau lebih bagian lapisan mukosa dan

submukosa yang mengalami edema dari keseluruhan lapang pandang.

Evaluasi kuantitatif dan kualitatif tersebut dilakukan pada 10 lapang pandang dengan pembesaran 40× objektif dan 10× okuler.

INTREPETASI DATA

Data yang diperoleh secara kuantitatif berupa jumlah sel goblet, jumlah sel Chief, jumlah sel parietal dan jumlah sel radang dianalisis menggunakan uji sidik ragam rancangan acak lengkap (one-way ANOVA) dengan program SPSS 13 untuk membandingkan kelompok control (K) dan perlakuan (P). Jika perlakuan berpengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan (p=0.05).

Dokumen terkait