• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian serta mengenai gambaran tingkat pendidikan ibu dan pengetahuan keluarga dalam pemberian makanan tambahan kepada bayi sebelum berusia 6 bulan pada suku mandailing di kelurahan pancuran kerambil kecamatan sibolga sambas. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 27 Maret 2012 di kelurahan pancuran kerambil kecamatan sibolga sambas dengan jumlah responden 30 orang.

Berdasarkan table 1 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas menunjukkan bahwa usia ibu responden < 20 tahun 6,66%, dan usia responden 20-35 tahun 93,33%. Usia ibu yang paling muda adalah 19 tahun dan paling tua adalah 35 tahun. Dan usia bayi 1-3 bulan 33,33% dan usia bayi 4-6 bulan 66,66%. Rata-rata sebagian besar responden dalam penelitian ini hanya menganyam pendidikan di bangku sekolah SMA yaitu sebanyak 45,2%, dan rata-rata hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga 48,8%, Selain itu juga responden lebih banyak berpenghasilan dibawah Rp. 700 ribu perbulan yaitu sebanyak 58,1% .

1.1 Karakteristik Responden

Tabel 5.1 Distribusi Frekwensidan persentase responden berdasarkan karakteristik responden di Kelurahan Pancuran Kerambil Kecamatan Sibolga Sambas.

Karekteristik Responden Frekuensi Persentase Usia ibu <20 tahun 2 6,66 20-35 tahun 28 93,33 >35 tahun Usia Bayi 1-3 bulan 10 33,33 4-6 bulan 20 66,66 Tingkat pendidikan Tidak sekolah 5 16,1 SD 1 3,2 SMP 5 16,1 SMA 14 45,2 Sarjana 5 16,1 Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga 15 48,8

Bertani 2 6,5 PNS/TNI/POLRI 5 16,1 Wiraswasta 8 25,8 Penghasilan Rp.< 700.000 18 58,1 Rp.800.000-1.500.000 8 25,8 Rp.>1.500.000 4 12,9 32

2. Pembahasan

2.1 Tingkat Pendidikan ibu dan keluarga tentang PMT

Tabel 5.2 Tingkat Pendidikan Ibu dan Keluarga tentang PMT (N=30)

Tingkat Pendidikan N (%)Baik N(%)Cukup N(%)Kurang Total Tinggi 3 (10) 1 ( 3,33) 1 (3,33) 5 Sedang 9 (30) 6 (20) 5 (16,66) 20 Rendah 2 (6,66) 1 (3,33 ) 2 (6,66) 5 Total 14 (46,66) 8 (26,66) 8 (26,65) 30

Tingkat pendidikan responden yaitu menunjukkan tingkat pendidikan Tinggi (Sarjana) 5 responden, tingkat pendidikan Sedang (SMP, SMA) 20 responden, tingkat pendidikan Rendah (tidak sekolah, SD) 5 responden.

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa dari 5 responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi kategori baik sebanyak 3 responden (10%), kategori cukup sebanyak 1 responden (3,33%), kategori kurang sebanyak 1 responden (3,33%). Kemudian 20 responden yang memiliki tingkat pendidikan sedang kategori baik sebanyak 9 responden (30%), kategori cukup 6 responden (20%), kategori kurang 5 responden (16,66%). Sedangkan dari 5 responden yang memiliki tingkat pendidikan Rendah kategori baik sebanyak 2 responden (6,66%), kategori cukup sebanyak 1 respoden (3,33%), kategori kurang 2 responden (6,66%).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya variasi tingkat pendidikan pada masyarakat di Kelurahan Pancuran Kerambil Kecamatan Sibolga Sambas yaitu kategori Tinggi 16,66% berpendidikan Sarjana 5 responden, Sedang 66,66% berpendidikan SMP SMA 20 responden , dan Rendah 16,66% tidak sekolah dan SD 5 responden. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan No.0306/V/1995, tentang pelaksanan wajib belajar adalah 9 tahun. Dari hasil penelitian Gambaran pendidikan Kebiasaan keluarga suku mandailing dalam pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum berusia 6 bulan masih ada ibu dan keluarga yang tidak sekolah 16,1%. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan informasi tentang keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan yang diputuskan pada tahun 1995, tentang pelaksanaan wajib belajar adalah 9 tahun. Pada masa mereka berada diusia sekolah mereka tidak tahu bahwa suatu kewajiban bagi seseorang mengecap pendidikan sampai Sekolah Menengah Sekolah Pertama. Oleh karena itu masih ada beberapa masyarakat yang tidak bersekolah karena mereka menganggap itu tidak suatu kewajiban.

3. Pengetahuan Ibu dan Keluarga tentang PMT Tabel 5.3 Pengetahuan ibu dan keluarga tentang PMT

Pengetahuan Frekuensi Persentase

Baik 7 22,6 Cukup 15 48,4 Kurang 8 25,8

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa pengetahuan ibu dan keluarga tentang pemberian makanan tambahan lebih banyak pada rentang tingkat pengetahuan cukup dengan jumlah persentasi 48,4 %. Pengetahuan ibu tentang pemberian makanan tambahan diperoleh dari kebiasaan ibu, pekerjaan, pendidikan dan sumber informasi.

Menurut Notoatmodjo (2007) Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yakni karateristik individu yang bersangkutan seperti, pendidikan, motivasi, persepsi, dan pengalaman. Faktor eksternal yaitu lingkungan, ekonomi, kebudayaan, dan informasi. Faktor eksternal merupakan faktor yang lebih dominan dalam pembentukan pengetahuan seseorang.

3.1 Tujuan dan Manfaat Pemberian Makanan Tambahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan dan manfaat ibu memberikan makanan tambahan adalah agar bayi lebih sehat (50%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Boedihardjo (1994) yang menyatakan bahwa kelompok masyarakat yang menganut pandangan bahwa bayi sehat adalah bayi gemuk akan terus menerus memberikan makanan tambahan secara berlebihan. Hasil penelitian

ini sesuai dengan hasil penelitian Idrus (1994) di kota Jakarta yang menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan yang terlalu dini akan mempercepat ketidaktergantungan bayi terhadap ASI dan menganggap makanan tambahan sudah mencukupi kebutuhan gizi bayi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Kavindra (2006) yang menyatakan bahwa ibu akan beranggapan bayi yang mendapat ASI harus diberi makanan tambahan karena ASI saja tidak cukup memenuhi kebutuhan nutrisi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Soetjiningsih (1997) yang menyatakan bahwa sebagian besar produsen masih berpegang pada peraturan lama yaitu batasan ASI eksklusif sampai empat bulan sehingga makanan tambahan seperti bubur susu, biskuit masih mencantumkan untuk usia empat bulan.

3.2 Jenis Makanan Tambahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu suku Mandailing di Kelurahan Pancuran Kerambil Kecamatan Sibolga Sambas telah memberikan makanan tambahan dan susu formula sebelum bayi berusia enam bulan (60%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Pujiati (2004) di Kecamatan Brastagi yang menujukkan bahwa bayi usia 4-6 bulan (29,5%) telah mendapatkan susu formula. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Renata Pardosi (2009) di Kelurahan Mangga Perumnas Simalingkar Medan bahwa sebagian besar ibu (93,5%) telah memberikan susu formula sebelum bayi berusia

enam bulan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Markum (2002) yang menyatakan bahwa pemberian susu formula adalah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi yang komposisinya disusun untuk dapat memenuhi kebutuhan secara fisiologis yang diberikan setelah bayi berusia 6 bulan. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan pernyataan Krisnatuti (2000) yang menyatakan bahwa pemberian makanan tambahan seperti susu formula dianjurkan setelah bayi berusia 6 bulan.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian ibu memberikan buah sebagai makanan tambahan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Baso (2007) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu (33,3%) telah memberikan buah sebagai makanan tambahan. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Krisnaturti (2000) dan Sembiring (2009) yang menyatakan bahwa pemberian makanan tambahan dianjurkan setelah bayi berusia 6 bulan dan pemberian ASI saja yang dilakukan selama 6 bulan sudah mencukupi kebutuhan gizi bayi. Kemudian setelah berusia 6 bulan, pemberian ASI dapat diikuti dengan pemberian makanan tambahan hingga bayi berusia 2 tahun, dan pemberian ASI telah dapat dihentikan.

3.3 Makanan Tambahan Yang Baik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memberikan telur,ikan (63,33%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Manalu

(2008) yang menunjukkan bahwa ibu yang memberikan makanan tambahan ikan asin 1-3 kali sehari (80,49%), telur dan daging 1 kali seminggu (19,51%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Sediaoetama (1991) yang menyatakan bahwa protein merupakan zat gizi yang sangat penting,karena paling erat hubungannya dengan proses kehidupan .Kebutuhan protein terutama dipenuhi dari makanan lauk pauk seperti daging, ikan, unggas, telur, susu, dan kacangan-kacangan. Namun pernyataan ini tidak sesuai bagi bayi yang masih berusia kurang dari 6 bulan yang seharusnya pemberian ASI sudah mencukupi kebutuhan gizi bayi (Krisnatuti, 2000). Hasil penelitian Manalu (2008) yang menunjukkan bahwa semua bayi yang diteliti kekurangan konsumsi buah untuk frekuensi 1-3 kali seminggu (100%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Satyanegara (2004) dan Moehji (1998) yang menyatakan bahwa setelah usia bayi 6 bulan dapat diperkenalkan buah-buahan yang sudah dihaluskan dan diberikan 1 kali sehari pada siang hari dan setelah bayi berusia 8-12 bulan dapat diperkenalkan buah-buahan yang sudah dilunakkan dalam 2 kali sehari pada pagi dan siang hari.

3.4 Waktu Pemberian Makanan Tambahan

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu (46,66%) telah memberikan susu formula sepanjang hari. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Marpaung (1991) di padang luar yang menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan yang pertama kali diberikan terbanyak pada bayi

berusia 3-6 bulan, serta hasil penelitian Baso (2007) juga menunjukkan bahwa pada usia 4-6 bulan (58,6%) telah diberikan makanan tambahan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Moehji (1998) yang menyatakan bahwa jarak pemberian waktu ASI dan susu formula biasanya sekitar setiap 3 jam sekali pemberian. Dianjurkan juga agar jangan memberikan susu formula lebih dahulu kemudian diberi ASI karena susu formula hanya penambah ASI apabila ibu tidak mampu menyusui. Pada malam hari terkadang ibu menyusui hanya sekedar menidurkan bayinya dan ibu tidak perlu lagi menambah susu formula. Pemberian susu formula ini dapat diberikan setelah bayi berusia 6 bulan (Krisnatuti,2000). Hasil penelitian ini tidak juga sesuai dengan pernyataan (Satyanegara, 2004) yang menyatakan bahwa pemberian makanan tambahan pada siang hari adalah waktu paling mudah untuk mengganti ASI dan susu formula. Bayi yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan seperti ini, kemudian dapat diperkenalkan pada pagi hari dan pemberian pada malam hari adalah waktu yang paling akhir untuk pengenalan makanan tambahan. Pemberian makanan tambahan ini dianjurkan setelah bayi berusia enam bulan atau setelah pemberian ASI eksklusif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memberikan nasi tim pagi (15,2%), siang (10,8%), dan sore (13%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia dalam Sembiring (2009) yang menyakatakan bahwa pemberian nasi tim dianjurkan pada saat makan pagi, makan siang, dan makan sore setelah bayi berusia 7 bulan hingga 12 bulan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai juga dengan pernyataan Moehji (1998) yang menyatakan bahwa nasi tim diberikan jika bayi sudah mampu menerima makanan lumat yang dapat dimulai pada usia 6-8 bulan. Apabila nasi campur tidak dapat diberikan maka dapat diganti dengan nasi tim yang pada umumnya diberikan pada saat makan pagi, makan siang, dan makan sore.

3.5 Resiko Pemberian Makanan Tambahan

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar ibu (66,66%) menyatakan bahwa bayi mereka mengalami diare setelah diberikan makanan tambahan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Akre (1990) bahwa pemberian makanan tambahan lain selain ASI kepada bayi kurang dari 4 bulan dapat menyebabkan diare. Hasil penelitian juga sesuai dengan hasil penelitian Puspitaningrum (2006) di wilayah kerja Puskesmas grandungmangru yang menunjukkan bahwa dari 343 bayi (71,6%) yang telah diberikan makanan tambahan berupa susu formula terdapat sebanyak 39 bayi (8,1%) yang mengalami diare dan hasil penelitian Lubis (2006) juga menunjukkan bahwa pemberian susu hanya dengan satu botol diidentifikasi sebagai faktor resiko terjadinya diare. Hasil penelitian sesuai dengan pernyataan Satyanegara (2004) yang menyatakan bahwa diare dapat diakibatkan oleh infeksi virus pada saluran cerna karena pencucian botol minuman bayi yang tidak bersih, serta pemberian makanan tambahan terlalu dini akan membuat iritasi usus bayi karena saluran pencernaan pada bayi belum matur. Diare ditandai dengan pengeluaran tinja yang lunak, berair dan lebih dari

4-8 kali sehari. Resiko pemberian makanan tambahan sebelum umur adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat sehingga menjurus ke obesitas alergi, kemungkinan pencernaan sehingga terjadi gangguan pencernaan/diare (Pujiadi 2000).

Dokumen terkait