• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Dari hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh bahwa perlakuan media dengan campuran zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas dan panjang tunas. Pada jumlah muncul bakal daun, jumlah daun, umur muncul tunas, kehadiran kalus, warna kalus dan morfogenesis tidak berpengaruh nyata pada perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh. Untuk interaksi antara genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh belum memberikan pengaruh yang nyata pada seluruh parameter yang diuji.

Persentase Muncul Tunas (%)

Hasil pengamatan terhadap parameterpersentase muncul tunaspada

perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh (Lampiran 1). Rataan persentase muncul tunas dari perlakuan genotipe dan media

dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zatpengatur tumbuh terhadap persentase muncul tunas (%) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

A1 A2 A3 A4 A5 A6 G1 100,00 40,00 40,00 80,00 80,00 80,00 70,00 G2 100,00 60,00 80,00 40,00 80,00 80,00 73,33 G3 100,00 80,00 60,00 100,00 100,00 40,00 80,00 G4 100,00 80,00 60,00 100,00 60,00 40,00 73,33 RATAAN 100,00 65,00 60,00 80,00 80,00 60,00 74,17

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada taraf 5 %. Perlakuan G1= genotipe 25 ;G2= genotipe 04 ; G3= genotipe 63 ; G4= genotipe 91. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A2= MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l;A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l;A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Gambar eksplan sebelum dan sesudah membentuk tunas pada salah satu perlakuan dapat di lihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Jumlah Tunas (Tunas)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadapparameter jumlah tunas pada

perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh (Lampiran 2-4), menunjukan bahwa perlakuan media dengan campuran zat

pengatur tumbuh memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas pada 6 MST, akan tetapi perlakuan genotipe dan interaksi dari kedua perlakuan ini belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas.

Rataan jumlah tunas dari perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap jumlah tunas (tunas) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

A1 A2 A3 A4 A5 A6

G1 1,00 0,40 0,40 0,80 0,80 0,80 0,70

G2 1,00 0,60 0,80 0,40 0,80 0,80 0,73

G3 1,00 0,80 0,60 1,00 1,00 0,40 0,80

G4 1,00 0,80 0,60 1,00 0,60 0,40 0,73

RATAAN 1,00a 0,65b 0,60b 0,80a 0,80a 0,60b 0,74

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada taraf 5 %. Perlakuan G1= genotipe 25 ;G2= genotipe 04 ; G3= genotipe 63 ; G4= genotipe 91. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A2= MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l;A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l;A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Gambar 2. Eksplan setelah membentuk tunas Gambar 1. Eksplan sebelum membentuk tunas

Tabel 2, memperlihatkan jumlah tunas tertinggi terdapat pada perlakauan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l

)

yaitu dengan rataan masing-masing (1,0) tunas dan (0,80) tunas sedangkan terendah pada perlakuan A2 (MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l), A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) dan A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) yaitu dengan rataan masing-masing (0,65) tunas dan (0,60) tunas. A1 dan A4 berbeda nyata terhadap perlakuan A2, A3 dan A6 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A5.

Panjang Tunas (cm)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameterpanjang tunas pada

perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh (Lampiran 5-7), menunjukan bahwa perlakuan media dengan campuran zat

pengatur tumbuh memberikan pengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas pada 6 MST, akan tetapi genotipe dan interaksi dari kedua perlakuan ini belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang tunas.

Rataan panjang tunas dari perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap panjang tunas (cm) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

A1 A2 A3 A4 A5 A6

G1 0,14 0,10 0,04 0,00 0,16 0,00 0,07

G2 0,15 0,03 0,06 0,13 0,38 0,12 0,14

G3 0,41 0,05 0,01 0,06 0,25 0,09 0,15

G4 0,50 0,42 0,04 0,57 0,10 0,02 0,27

RATAAN 0,30a 0,15ab 0,04b 0,19a 0,22a 0,06b 0,16

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada taraf 5 %. Perlakuan G1= genotipe 25 ;G2= genotipe 04 ; G3= genotipe 63 ; G4= genotipe 91. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A2= MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l;A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l;A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Tabel 3, memperlihatkan panjang tunas tertinggi terdapat pada perlakauan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l

),

A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l) danA2 (MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l) , yaitu dengan rataan masing-masing (0,30) cm dan (0,22) cm, (0,19) cm dan (0,15) sedangkan terendah pada perlakuan A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) dan A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) yaitu dengan rataan masing-masing (0,06) cm dan (0,04) cm. A1, A5 dan A4 berbeda nyata terhadap perlakuan A6 dan A3 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A2.

Jumlah Terbentuk Bakal Daun

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameter

jumlahterbentuknya bakal daun terhadap perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh (Lampiran 8-10), menunjukan bahwa perlakuan genotipe danmedia dengan campuran zat pengatur tumbuh dan interaksi dari kedua perlakuan belum memberikan pengaruh nyata terhadap panjang tunas pada 6 MST.

Rataan terbentuknya bakal daun dari perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap jumlah terbentuknya bakal daun (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

A1 A2 A3 A4 A5 A6 G1 0,20 0,20 0,20 0,00 0,00 0,00 0,10 G2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,20 0,00 0,033 G3 0,20 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,033 G4 0,20 0,20 0,00 0,40 0,00 0,00 0,133 RATAAN 0,15 0,10 0,05 0,10 0,05 0,00 7,50

Keterangan: Perlakuan G1= genotipe 25 ; G2= genotipe 04 ; G3= genotipe 63 ; G4= genotipe 91. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A2= MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l;A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Jumlah Daun (helai)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameterjumlah daun

terhadap perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh (Lampiran 13-15), menunjukan bahwa perlakuan genotipe danmedia dengan

campuran zat pengatur tumbuh dan interaksi dari kedua perlakuan belum memberikan pengaruh nyata terhadap panjang tunas pada 6 MST.Gambar eksplan memebentuk daun dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Eksplan Membentuk Daun

Rataan panjang tunas dari perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 5.

Tabel 5.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap jumlah daun (helai) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

A1 A2 A3 A4 A5 A6 G1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 G2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 0,0 0,1 G3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 G4 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 RATAAN 0,0 0,0 0,0 0,1 0,2 0,0 0,0

Keterangan: Perlakuan G1= genotipe 25 ;G2= genotipe 04 ; G3= genotipe 63 ; G4= genotipe 91. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A2= MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l;A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l;A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Umur Muncul Tunas (hari)

Hasil pengamatan terhadap parameterumur muncul tunaspada perlakuan

genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh (Lampiran 16). Rataan umur muncul tunas dari perlakuan genotipe dan media

dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 6.

Tabel 6.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap umur muncul tunas (hari) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

A1 A2 A3 A4 A5 A6 G1 29,40 28,00 28,00 31,50 31,50 35,00 30,57 G2 29,40 30,33 31,50 31,50 31,50 33,25 31,25 G3 28,00 31,50 30,33 30,80 29,40 28,00 29,67 G4 28,00 28,00 28,00 30,80 30,33 28,00 28,86 RATAAN 28,70 29,46 29,46 31,15 30,68 31,06 30,09

Keterangan: Perlakuan G1= genotipe 25 ;G2= genotipe 04 ; G3= genotipe 63 ; G4= genotipe 91. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A2= MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l;A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l;A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Tabel 7. Rekapitulasi Peubah Amatan Sidik Ragam pada Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media dan Genotipe Berbeda (6MST)

Peubah Amatan Perlakuan

G M G x M

Jumlah Muncul Tunas (Tunas)a tn ** tn

Jumlah Tunas (Tunas)a tn ** tn

Panjang Tunas (cm)a tn ** tn

Jumlah terbentuk bakal dauna tn tn tn

Panjang daun (cm)a tn tn tn

Umur muncul tunas (hari) Kehadiran Kalus Warna Kalus Morfogenesis tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn Keterangan: G= Genotipe

M= media dengan campuran zat pengatur tumbuh

G x M = interaksi genotipe dengan media dengan campuran zat pengatur tumbuh ** = sangat nyata pada taraf 5 %

tn = tidak nyata a = transformasi data

Pada semua kultur yang dilakukan tidak ada satupun yang menunjukan kehadiran kalus.Ketidakhadiran kalus pada tunas mikro tanaman karet merupakan hal yang diharapkan dalam penelitian ini, sebab microcutting pada tahap primary culture merupakan tahapan awal sehingga tidak diharapkan kehadiran kalus dan hingga akhir pnelitian tidak ditemukan kehadiran kalus.

Warna Kalus

Ketidakhadiran kalus hingga akhir penelitian menyebabkan tidak adanya warna kalus yang diamati secara visual.

Morfogenesis

Berdasarkan kemunculan tunas mikro tanaman karet, maka tidak diperoleh kemunculan tunas diluar jaringan meristem aksilar (pangkal batang, ujung batang, bagian lain dari eksplan).

Pembahasan

Pengaruh genotipe terhadap induksi tunas mikro tanaman karet

Dari hasil analisis data secara statistik diketahui bahwa perlakuan genotipe belum menunjukkan pengaruh nyata terhadap semua peubah amatan. Hal ini diduga karena genotipe memberikan respon yang sama terhadap pertumbuhan induksi tunas mikro terhadap semua media dan zat penagatur tumbuh serta pengaruhsumber asal dari genotipe serta kodisi fisiologis eksplan. Nugroho dan Sugito (2000) menyatakan kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat tersebut adalah pemilihan eksplan, yaitu bagian tanaman yang digunakan dalam kulturisasi.Penggunaan media yang cocok dan keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik kemudian didukung Armini, et al (1992) menyatakan bahwa sumber asal eksplan dapat

mempengaruhi pertumbuhan dan potensial morfogenetiknya.Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga diketemukan adanya keragaman dalam regenerasinya.Ukuran eksplan untuk dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilannya. Kemudian Zulkarnain (2009) mengemukakan Kondisi fisiologi eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan teknik kultur jaringan. Pada umumnya bagian-bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit berproliferasi daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif tumbuh.

Pengaruh media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap induksi tunas mikro tanaman karet

Dari hasil analisis data secara statistik diperoleh bahwa perlakuan media dengan campuran zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persentase muncul tunas, jumlah tunas, panjang tunas tetapi belum berpengaruh nyata pada persentase muncul daun, jumlah daun, umur muncul tunas, kehadiran kalus, warna kalus serta morfogenesis.

Pada peubah amatan persentase muncul tunas, perlakuan memberikan respon untuk menginduksi tunas tanaman karet. Rataan tertinggi pada jumlah muncul tunas terdapat pada perlakauan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l

)

yaitu dengan rataan masing-masing (1,0) tunas dan (0,80) tunas sedangkan terendah pada perlakuan A2 (MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l), A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) dan A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) yaitu dengan rataan masing-masing (0,65) tunas dan (0,60) tunas. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan media yang diberikan zat pengatur tumbuh BAP

yang dikombinasikan dengan konsentrasi NAA tepat dimana konsentrasi BAP lebih tinggi dari NAA memberikan respon terhadap induksi tunas tanaman karet, diindikasi karena adanya hormon endogen yang terdapat pada tanaman karet yaitu sitokinin sehingga pada perlakuan media dengan campuran zat pengatur tumbuh dengan BAP dalam konsentrasi yang tinggi dari NAA tetap dapat menginduksi tunas karet. Hasil penelitian ini didukung oleh penlitian Seneviratne et al (1996) tentang potensi penggunaan berbagai eksplan untuk pertumbuhan tunas aksilar tanaman karet secara in vitro, yang menunjukkan bahwa pada pemberian BAP yang lebih tinggi dari NAA pada medium dengan eksplan buku yang aktif yaitu yang memiliki daun, pada 8 minggu setelah tanam perlakuan S0 (tanpa hormon) dan S1 (2 ppm kinetin + 1 ppm BAP + 0.2 ppm NAA) diperoleh 90 % terhadap persentase munculnya tunas dan pada 12 minggu setelah tanam seluruh perlakuan baik S0 dan S1 serta S2 ( 7.5 ppm Kinetin + 3.75 BAP + 0.2 ppm NAA) dan S3 ( 10 ppm Kinetin + 5 pm BAP + 0.2 NAA) memberikan respon sebesar 100 % terhadap persentase munculnya tunas. Mulyaningsih dan Nikmatullah (2006) menyatakan bahwa dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagai komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan ZPT dalam media, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, megubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Level zat pengatur

tumbuh endogen ini kemudian merupakan trigerring factor untuk proses-proses yang tumbuh dan morfogenesis.

Pada peubah amatan jumlah tunas, perlakuan memberikan respon untuk menginduksi tunas tanaman karet. Rataan tertinggi pada jumlah tunas terdapat pada perlakauan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l

)

yaitu dengan rataan masing-masing (1,0) tunas dan (0,80) tunas sedangkan terendah pada perlakuan A2 (MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l), A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) dan A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) yaitu dengan rataan masing-masing (0,65) tunas dan (0,60) tunas. Hal ini dapat dilihat dari hasil media memberikan respon yang sama terhadap pertumbuhan jumlah tunas akan tetapi yang berengaruh dalam pertumbuhan jumlah tunas adalah pemberian zat pengatur tumbuh BAP yang lebih besar konsentrasi nya dari NAA dikarena di dalam BAP merupan sitokinin yang memebantu untuk merangsang pertumbuhan tunas. Hal ini dikemukakan oleh Dewi (2008)Zat pengatur tumbuh BAP merupakan sitokinin yang berfungsi mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar, mendorong pembelahan sel dan pertumbuhanMenurut Wattimena (1992) salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah zat pengatur tumbuh. Benzil Amino Purin (BAP) adalah zat pengatur tumbuh golongan sitokinin yang jika dikombinasikan dengan Naphtalane Asetic Acid (NAA) dari golongan auksin akan mendorong pembelahan sel dan pembentukan morfogenesis tanaman.

Pada penelitian ini memperlihatkan panjang tunas tertinggi terdapat pada perlakauan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l +

NAA 0,25 mg/l

),

A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l) danA2 (MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l) , yaitu dengan rataan masing-masing (0,30) cm dan (0,22) cm, (0,19) cm dan (0,15) sedangkan terendah pada perlakuan A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) dan A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) yaitu dengan rataan masing-masing (0,06) cm dan (0,04) cm. Dapat dikatakan bahwa media yang digunakan memberikan respon yang sama untuk pertumbuhan panjang tunas. Selain itu pemberian BAP dan NAA dapat merangsang pertumbuhan panjang tunas. Dapat dikatakan bahwa pemberian BAP dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi dari NAA dapat menyebabkan panjang tunas yang tinggi. Sebaliknya makin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan dari NAA pada media, maka panjang tunas yang dihasilkan semakin pendek. Kondisi ini diseabakan akibat masa inkubasi eksplan yang lama pada media yang mengandung sehingga berpengaruh pada perpanjangan batang terhambat.Hal ini didukung oleh penelitian Seneviratne et al (1996) bahwa pada perlakuan S2 ( 7.5 ppm Kinetin + 3.75 BAP + 0.2 ppm NAA), pemberian BAP yang lebih tinggi dari NAA menghasilkan panjang tunas yang tertinggi sebesar 17 mm. Azwin (2007) bahwa konsentrasi BAP yang tinggi dapat menyebabkan tinggi tanaman terhambat. Herawan (2004) menyatakan bahwa BAP merupakan sitokinin yang keberadaannya dalam medium tumbuh memacu pembelahan sel-sel di bagian apikal bakal tunas, sehingga mempengaruhi perkembangan tunas. Sitokinin disintesis di dalam akar dan didistribusi ke tunas untuk pertumbuhan tunas. Penambahan sitokinin dari luar sangat diperlukan karena akar yang mensintesis sitokinin belum terbentuk dalam tahap induksi kultur jaringan.

Dari hasil analisis data diketahui bahwa perlakuan media media dengan campuran zat pengatur tumbuh belum menunjukan pengaruh nyata terhadap persentase tebentuk bakal daun .hal ini diduga karena media yang diberikan belum memberikan rangsangan pada eksplan kemudian pemeberian BAP dan NAA yang ada diberikan pada media belum mencapai keseimbangan sehingga tidak mendukung tejadinya suatu proses morfogenesis. Hal ini sesuai dengan Dewi (2008) yang menyatakan bahwa pada umumnya keseimbangan konsentrasi dari beberapa ZPT-lah yang akan mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Wattimena (1992) juga menyatakan konsentrasi yang diperlukan dari masing-masing ZPT auksin dan sitokinin tergantung dari jenis eksplan, genotipe, kondisi kultur serta jenis auksin dan sitokinin yang dipergunakan.

Dalam penelitian ini jumlah daun tertinggi adalah pada perlakuan A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l) yaitu dengan rataan 0,2 daun

sedangkan untuk perlakuan yang lain daun belum terbentuk. Rasio hormon yang diberikan diduga berpengaruh terhadap terbentuknya daun secara normal. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa baik auksin maupun sitokinin, keduanya sering kali diberikan secara bersamaan pada medium kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun ratio yang dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak terlalu sama, terdapat keragaman yang tinggi antargenus, antarspesies, bahkan antarkultivar dalam hal jenis takaran auksin dan sitokinin untuk menginduksi terjadinya morfogenesis. Jumlah daun yang dihasilkan berhubungan dengan fungsi BAP dalam mendorong pembelahan sel dan proses organogenesis dalam proses mikropopagasi karena BAP dapat menginduksi pembentukan daun dan penggandaan tunas. Oleh karena itu, untuk

menghasilkan jumlah tunas maksimum, penentuan jenis zat pengatur tumbuh dengan kombinasi metode pengkulturan merupakan salah satu kunci penting dalam kultur jaringan.

Perbandingan konsentrasi BAP dan NAA yang ada pada media WPM juga mempengaruhi terbentuknya daun. Perbandingan BAP dan NAA pada perlakuan A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l) merupakan perbandingan hormon yang paling rendah. Maka dapat dikatakan, perbandingan hormon BAP dan NAA dengan konsentrasi rendah lebih mempengaruhi jumlah daun.Sebaliknya konsentrasi BAP dan NAA yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan daun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Azwin (2007) pada tanaman

Aquilaria malaccencis, semakin tinggi konsentrasi ZPT yang diberikan maka jumlah daun A. malaccencis yang dihasilkan semakin rendah. Penambahan ZPT yang lebih tinggi tidak mampu meningkatkan jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ZPT pada media mampu merangsang pembelahan sel di meristem apikal tunas dibanding pada konsentrasi yang lebih tinggi. Abidin (1994) menambahkan bahwa aplikasi dari auksin dan sitokinin dalam berbagai perbandingan akan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda. Apabila dalam perbandingan konsentrasi sitokinin lebih besar dari auksin, maka hal ini akan mendorong pertumbuhan tunas dan daun. Sebaliknya jika sitokinin lebih rendah dari auksin, maka hal ini akan mendorong pertumbuhan akar, sedangkan apabila perbandingan sitokinin dan auksin berimbang, maka pertumbuhan dari tunas, akar dan daun akan berimbang pula.

Pada penelitian ini umur muncul tunas adalah waktu yang dibutuhkan untuk melihat respon tanaman dalam mengahasilkan tunas baru. Dalam penelitian

ini waktu yang dibutuhkan suatu eksplan utuk induksi tunas paling cepat yaitu berkisar 21-23 hari. Sementara itu untuk umur muncul tunas tertinggi ada pada perlakuan A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) yaitu dengan rata-rata umur muncul tunas sebesar 17,8 hari. Waktu pembentukan tunas tanaman karet dapat ditentukan oleh bagian eksplan pada saat penanaman. Pengamatan menunjukkan bahwa eksplan yang lebih cepat tumbuh adalah pada bagian buku tanaman yang memiliki mata tunas, sedangkan bagian buku tanaman yang tidak memiliki mata tunas tidak menunjukkan respon terbentuknya tunas. Hal ini sesuai dengan penelitian Kosmiatin et al. (2005) yang menyatkan bahwa waktu induksi tunas tercepat diperoleh dari eksplan buku tanpa daun. Eksplan yang relatif lebih mudah diinduksi tunasnya adalah eksplan yang memiliki jaringan meristem atau bakal tunas seperti tunas terminal dan bakal tunas pada buku. Pemberian BAP 0.5 mg/l merupakan konsentrasi yang tepat untuk menginduksi tunas. Gunawan (1996) menyatakan pada konsentrasi BAP yang tinggi dan masa induksi yang lebih lama menyebabkan penampakan tunas abnormal dan menyebabkan penurunan jumlah tunas yang diperoleh.

Dari data hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada terbentuknya kalus pada induksi tunas mikro karet akibat perlakuan media dengan zat pengatur tumbuh. Dikarenakan pada penelitian ini diharapkan terjadinya organogenesis langsung (pembentukan tunas tanpa di dahului terbentuknya kalus. Pembentukan kalus sendiri diawali dengan pembentukan eksplan pada bagian potongan dan di daerah yang mengalami pelukaan.Penebalan tersebut merupakan interaksi antara eksplan dengan media tumbuh, zat pengatur tumbuh dan lingkungan tumbuh sehingga eksplan bertambah besar. Parrot et al., (1988) melaporkan auksin yang

banyak digunakan untuk embrio somatik (pembentukan kalus) adalah 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) 5-40 mg/l atau NAA 0,8-10 mg/l. Umumnya salah satu tujuan kehadiran kalus adalah untuk produksi metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang tidak terlibat langsung dalam pertumbuhan, perkembangan atau reproduksi makhluk hidup yang funsinya masih belum diketahui secara pasti.Senyawa ini biasanya dipergunakan untuk pertahanan dan perkembangan tanaman. Gangga et al. (2007) pada penelitiannya analisis pendahuluan metabolit sekunder dari kalus mahkota dewa menggunakan ZPT 2,4-D dan BAP, menyatakan bahwa terbentuknya kalus tanaman mahkota dewa secara in vitromengandung metabolit sekunder yaitu golongan alkaloid, flovanoid, saponin, tannin.

Pengaruh interaksi genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap induksi tunas mikro tanaman karet

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, interaksi genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua peubah amatan. Namun untuk peubah amatan panjang tunas, perlakuan G4A4 (Genotipe 91 dan WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l) menghasilkan panjang tunas tertinggi dengan rataan yaitu 0,57 cm dan terendah terdapat pada perlakuan G1A6 (Genotipe 25 dan WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) yaitu 0 cm dalam arti perlakuan ini tidak memiliki panjang tunas yang dimiliki perlakuan lain. Seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelum nya bahwa dalam pemberian BAP dan NAA dapat merangsang pertumbuhan panjang tunas. Dapat dikatakan bahwa pemberian BAP dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi dari NAA dapat menyebabkan panjang tunas yang tinggi. Sebaliknya makin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan dari NAA

pada media, maka panjang tunas yang dihasilkan semakin pendek. Zulkarnain (2009) menambahkan bahwa konsentrasi medium menjadi faktor penting dalam sitokinintidak diberikan pada tingkat konsentrasi yang optimum. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa mendapatkan hasil yang maksimum dari perlakuan zat pengatur tumbuh maka komponen medium lainnya harus berada pada kadar yang optimum.

Dokumen terkait