• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media Dan Genotipe Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media Dan Genotipe Berbeda"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

INDUKSI TUNAS MIKRO TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg) PADA KOMPOSISI MEDIA DAN GENOTIPE YANG BERBEDA

SKRIPSI

OLEH : HERI HIDAYAT

100301148

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(2)

INDUKSI TUNAS MIKRO TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg) PADA KOMPOSISI MEDIA DAN GENOTIPE YANG BERBEDA

SKRIPSI

OLEH :

HERI HIDAYAT / 100301148 AGROEKOTEKNOLOGI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Penelitian : Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media Dan Genotipe Berbeda

Nama : Heri Hidayat NIM : 100301148

Program Studi : Agroekoteknologi Minat Studi : Pemuliaan Tanaman

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Luthfi A. M Siregar, SP., MSc., Ph.D Ir. Eva Sartini Bayu, MP.

Ketua Anggota

Mengetahui :

(4)

ABTRACT

HERI HIDAYAT, 2015 : Induction of Rubber Microshoots in the composition of Medium and different genotypes supervised by Luthfi A. M Siregar and Eva SartiniBayu.

The aimed of the research to determine the best genotypesfor shoot induction of rubber tree(Hevea brasiliensis Muell. Arg.) from node explants in the composition of medium. The research was carried out in the Microccuting Laboratory, PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia,from October to Desember 2014. The research used completely randomized design with two factors is genotypes with number of

collections consist of four levels ; genotype 25; genotype 04; genotype 63; genotype 91 while the medium with combination of growth regulators consist of six

levels ; MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l; MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l with five replications.

The results showed that genotypes not gave significantly to all parameters. The medium with combination of growth regulatorsgave significantly different onnumberof shoot induction, total shoot and shoot length. Interaction of genotypes and medium with combination of growth regulators have no significantly to all parameters. The medium of MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l was the best medium to induction of microshoot rubber.

(5)

ABSTRAK

HERI HIDAYAT, 2015 :Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Pada Komposisi Media dan Genotipe Berbeda,

dibimbing oleh Luthfi A. M Siregar dan Eva Sartini Bayu.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe yang sesuai pada induksi tunas mikro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dari eksplan nodus pada beberapa komposisi media secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Microcutting Tanaman Karet PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia, dimulai pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Desember 2014. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 2faktor perlakuan yaitu genotipe dengan beberapa nomor koleksi yang terdiri dari 4 taraf yaitu genotipe 25; genotipe 04; genotipe 63; genotipe 91 sedangkan media dengan campuran zat pengatur tumbuh yang terdiri dari 6 taraf yaitu MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l; MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l dengan 5 ulangan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pelakuan genotipe tidak memberikan berpengaruh nyata terhadap semua parameter. Sementara media dengan campuran zat pengatur tumbuh berpengaruh nyata terhadap jumlah muncul tunas, jumlah tunas dan panjang tunas. Interaksi perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh belum berpengaruh nyata terhadap semua peubah amatan. Media MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l merupakan media terbaik dalam induksi tunas mikro tanaman karet.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Heri Hidayat dilahirkan di Medan pada tanggal 14 Januari 1992, putra dari

pasangan Djulahar Djafar, S.IP dan Habsah Sinaga. Penulis merupakan

putrakedua dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah SD Negeri 0608003 lulus

pada tahun 2004, SMP SwastaMulia Pratama lulus tahun 2007 dan tahun 2010

penulis lulus dari SMA Swasta Harapan Mandiri dan pada tahun yang sama lulus

seleksi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SPMPRM (Seleksi Penerimaan

Masuk Perguruan RegionalMandiri)pada program studi Agroekoteknologi,

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan membantu dosen

sebagai asisten dalam menjalankan praktikum di Laboratorium Dasar Pemuliaan

Tanaman tahun 2014 – 2015 dan Laboratium Bioteknologi Pertanian tahun 2015.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT. Perkebunan

Nusantara III, Kebun Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Deli

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul“Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea

brasiliensisMuell.Arg.)Pada Komposisi Media dan Genotipe Berbeda” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi

Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Luthfi A. M. Siregar, SP. MSc. Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan

Ibu Ir. Eva Sartini Bayu,MP. selaku anggota komisi pembimbing yang telah

banyak memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua

orang tua tercinta, Djulahar Djafar, S.IP dan Ibunda Habsah Sinaga atas kasih

sayang, semua dukungan dan doanya kepada penulis. Kepada kakak saya tercinta

Lia Harsani atas segala doa dan dukungannya. Disamping itu ucapan terima kasih

penulis sampaikan kepada Bapak Irvin Fauzan Lubis, SP. MM selaku Staf urusan

Inkubasi Bisnis Karet PTPN III Kebun Gunung Pamela, staff PT. Perkebunan

Nusntara III Kebun Gunung Pamela, Laboran Asni, SP dan Rudi yang telah

banyak memberikan dukungan dan bantuan selama penulis melaksanakan

penelitian dan juga kepada seluruh teman-teman mahasiswa Agroteknologi 2010

yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak

(8)

membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi seluruh pihak yang memerlukan.

Medan, Mei 2015

(9)

DAFTAR ISI

Media Kultur Jaringan ... 11

Lingkungan In Vitro ... 12

Zat Pengatur Tumbuh ... 15

BAHAN DAN METODE ... 20

Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

Bahan dan Alat Penelitian ... 20

Metode Penelitian... 20

PELAKSANAAN PENELITIAN ... 23

Sterilisasi Alat-Alat ... 23

Pembuatan Media ... 23

Sterilisasi Bahan Tanaman di Lapangan ... 24

Pengambilan Bahan Tanaman ... 25

Sterilisasi Bahan Tanaman di Laboratorium ... 25

(10)

Penanaman ... 26

Pemeliharaan Eksplan ... 27

Peubah Amatan ... 27

Persentase Muncul Tunas (%) ... 27

Jumlah Tunas (tunas) ... 27

Panjang Tunas (cm)... 27

Persentase Terbentuk Bakal Daun (%) ... 28

Jumlah Daun (helai) ... 28

Umur Munculnya Tunas (hari)... 28

Kehadiran Kalus ... Warna Kalus ... Morfogenesis ... HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Hasil ... 29

Persentase Munculnya Tunas (%) ... 29

Jumlah Tunas (tunas) ... 30

Panjang Tunas (cm)... 31

Persentase Terbentuknya Daun (%) ... 32

Jumlah Daun (helai) ... 33

Umur Munculnya Tunas (hari)... 34

Pembahasan ... 36

Pengaruh pemberian BAP dan NAA terhadap induksi tunas tanaman karet ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

Kesimpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap persentase muncul tunas (%) ... 2. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur

tumbuh terhadap jumlah tunas (tunas) ... 3. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur

tumbuh terhadap panjang tunas (cm) ... 4. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur

tumbuh terhadap persentase terbentuknya bakal daun ... 5. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur

tumbuh terhadap persentase jumlah daun (helai) ... 6. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

ABTRACT

HERI HIDAYAT, 2015 : Induction of Rubber Microshoots in the composition of Medium and different genotypes supervised by Luthfi A. M Siregar and Eva SartiniBayu.

The aimed of the research to determine the best genotypesfor shoot induction of rubber tree(Hevea brasiliensis Muell. Arg.) from node explants in the composition of medium. The research was carried out in the Microccuting Laboratory, PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia,from October to Desember 2014. The research used completely randomized design with two factors is genotypes with number of

collections consist of four levels ; genotype 25; genotype 04; genotype 63; genotype 91 while the medium with combination of growth regulators consist of six

levels ; MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l; MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l with five replications.

The results showed that genotypes not gave significantly to all parameters. The medium with combination of growth regulatorsgave significantly different onnumberof shoot induction, total shoot and shoot length. Interaction of genotypes and medium with combination of growth regulators have no significantly to all parameters. The medium of MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l was the best medium to induction of microshoot rubber.

(15)

ABSTRAK

HERI HIDAYAT, 2015 :Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Pada Komposisi Media dan Genotipe Berbeda,

dibimbing oleh Luthfi A. M Siregar dan Eva Sartini Bayu.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe yang sesuai pada induksi tunas mikro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dari eksplan nodus pada beberapa komposisi media secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Microcutting Tanaman Karet PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia, dimulai pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Desember 2014. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 2faktor perlakuan yaitu genotipe dengan beberapa nomor koleksi yang terdiri dari 4 taraf yaitu genotipe 25; genotipe 04; genotipe 63; genotipe 91 sedangkan media dengan campuran zat pengatur tumbuh yang terdiri dari 6 taraf yaitu MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l; MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l dengan 5 ulangan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pelakuan genotipe tidak memberikan berpengaruh nyata terhadap semua parameter. Sementara media dengan campuran zat pengatur tumbuh berpengaruh nyata terhadap jumlah muncul tunas, jumlah tunas dan panjang tunas. Interaksi perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh belum berpengaruh nyata terhadap semua peubah amatan. Media MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l merupakan media terbaik dalam induksi tunas mikro tanaman karet.

(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) berasal dari Brazilia, Amerika Selatan tepatnya di wilayah Amazon Brazilia. Tanaman karet mulai

dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1864 di Jawa Barat.Sedangkan

perkebunan karet dimulai di Sumatera Utara tahun 1903, dan di Jawa tahun 1906

(Semangun, 2000). Diperkirakan ada lebih dari 3,4 juta hektar perkebunan karet di

Indonesia, 85% di antaranya (2,9 juta hektar) merupakan perkebunan karet yang

dikelola oleh rakyat atau petani skala kecil, dan sisanya dikelola oleh perkebunan

besar milik negara atau swasta (Janudianto, et al, 2013).

Luas areal perkebunan karet yang dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara

III (PTPN III) saat ini terdiri atas 45.327 ha kebun eksisting dan 9.150 ha kebun

plasma. Dengan asumsi setiap tahun dilakukan peremajaan sebesar 5 % dari luas

areal tersebut diperlukan bahan tanamn karet sebanyak 1,5 juta bibit per tahun.

Kebutuhan bahan tanam tersebut sampai saat ini diperoleh melalui cara

konvensional menggunakan batang bawah dari biji dan batang atas dari klon-klon

yang direkomendasikan. (Muluk, 2009).

Perbanyakan bibit karet sampai saat ini masih dilakukan dengan cara

okulasi, sehingga diperlukan ketersediaan batang atas dan batang bawah. Batang

atas adalah tanaman karet klonal karena diperbanyak dari bagian vegetatif

menggunakan mata tunas, sedangkan batang bawah adalah tanaman asal biji

(Haris, 2013). Batang bawah merupakan tanaman asal biji (seedling) sehingga ketersediaannya sangat tergantung pada musim biji yang umumnya hanya

(17)

klon - klon, seperti GT 1, PB 260, RRIC 100, dan AVROS 2037. Perbanyakan

batang bawah secara klonal seharusnya juga merupakan tanaman hasil seleksi.

Namun ternyata hal tersebut tidak mudah karena sebagian besar klon-klon karet

yang direkomendasikan untuk ditanam dalam skala luas kurang responsif terhadap

lingkungan kultur in vitro (Haris, 2013).

Salah satu alternatif untuk memenuhi permintaan bibit karet yang

meningkat dan tidak bergantung dengan musim serta untuk menghasilkan batang

bawah secara klonal yang homogen adalah dengan teknik kultur jaringan

tanaman. Dan microcutting merupakan salah satu teknik mikropropagasi tanaman berbasis kultur in vitro dan telah berhasil diaplikasikan untuk perbanyakan tanaman karet asal biji (seedling) dengan menggunakan tunas aksilar sebagai eksplan. Keuntungan teknik tersebut adalah terbukanya peluang untuk

menghasilkan batang bawah klonal yang selama ini belum pernah ada pada

tanaman karet. Penggunaan batang bawah klonal akan meningkatkan keseragaman

pertanaman karet di lapang, karena klon batang atas didukung oleh batang bawah

yang sama dan lebih seragam, dibandingkan dengan batang bawah asal biji yang

digunakan saat ini. Di samping itu, teknologi perbanyakan tersebut juga membuka

peluang untuk melakukan seleksi terhadap batang bawah sesuai dengan karakter

yang diinginkan, misalnya batang bawah dengan karakter tahan terhadap penyakit

akar atau toleran terhadap kondisi lahan kering.Material bahan tanam tersebut

kemudian dapat diperbanyak secara klonal.(Haris, et al, 2009).

Koleksi plasma nutfah ini sangat banyak jumlahnya, sehingga perlu

dilakukan karakterisasi ciri-ciri penting secara bertahap serta membangun suatu

(18)

dari sifat yangdiinginkan. Besarnya keragaman genetik yang dimiliki membuka

peluang untuk ditemukannya klon karet unggul baru melalui kegiatan persilangan

buatanyang lebih luas. Pada saat ini telah dikembangkan beberapa

genotipe-genotipe unggul pada beberapa perusahaan perkebunan, misalnya pada

perkebunan nusantara III yang telah menghasilkan beberapa genotipe yang berasal

dari perbanyakan seedling yang telah di okulasi dengan beberapa klon tertentu.

Genotipe tersebut di beri penomoran agar dapat diketahui genotipe yang unggul.

Di perkebunan nusantara III terdapat beberapa penomoran genotipe yaitu genotipe

01, genotipe 04, genotipe 13, genotipe 15, genotipe 16, genotipe 25, genotipe 26,

genotipe 34, genotipe 45, genotipe 63 dan genotipe 91. Dari beberapa penomoran

tersebut di peroleh beberapa genotipe unggul yaitu genotipe 25, genotipe 04,

genotipe 63, dan genotipe 91.

Perbanyakan batang bawah tanaman karet secara klonal melalui

teknologi in vitro microcutting telah berhasil dilakukan. Pengamatan di lapangan pada pertanaman muda menunjukkan pertumbuhan yang seragam

dan memiliki bentuk konikal pada batang bagian bawah (Carron et al., 2000; Carron et al., 2003). Kemudian percobaan yang dilakukan Gunatilleke dan Chandra (1998) menunjukkan adanya multiplikasi pertumbuhan eksplan karet

yang dikulturkan di medium setengah MS, medium MS dengan dan tanpa

penambahan BAP 0.5 mg/l dan IAA 0.5 mg/l. Pada penelitian yang dilakukan

Harahap (2014) di dapat medium MS terbaik untuk multiplikasi pertumbuhan

tunas aksilar karet yaitu medium MS yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan

NAA 0 mg/l, medium MS yang ditambahkan BAP 1,0 mg/l dan NAA 0 mg/l

(19)

penelitian menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan

NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan persentase munculnya

tunas. Sedangkan untuk parameter panjang tunas, jumlah daun, dan persentase

munculnya daun tidak memberikan pengaruh nyata.

Hasil penelitian Nursetiadi (2008) menunjukkan bahwa media yang

memberikan hasil yang paling optimal adalah media WPM. Pada media MS,

WPM dan B5 memberikan kecenderungan jumlah tunas yang sama. Konsentrasi

BAP 2 ppm + IBA 0,5 ppm merupakan konsentrasi yang memberikan hasil yang

paling optimal pada panjang tunas dan jumlah daun. Dengan konsentrasi BAP 0

ppm + IBA 0,5 ppm cenderung memberikan hasil yang paling optimal pada

panjang daun. Saat muncul tunas tercepat terdapat pada konsentrasi BAP 1 ppm +

IBA 0,5 ppm. Pada penelitian sebelumnya dilakukan Sundari (2014) di peroleh

medium WPM yang terbaik untuk melakukan multiplikasi tanaman aksilar karet

yaitu medium WPM yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA 0 mg/l, medium

WPM yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA 0,25 mg/l dan medium WPM

yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA 0,5 mg/l. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan NAA berpengaruh

nyata terhadap jumlah tunas dan persentase munculnya tunas.

Zat pengatur tumbuh BAP merupakan sitokinin yang berfungsi

mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar, mendorong pembelahan sel

dan pertumbuhan (Dewi, 2008). Menurut Wattimena (1992) salah satu faktor yang

menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah zat pengatur tumbuh.

(20)

akan mendorong pembelahan sel dan pembentukan morfogenesis tanaman. Media

kultur jaringan yang dirncang untuk tanaman berkayu seperi buah-buahan adalah

woody plant Medium / WPM hasil komposisi dari Llyoyd dan McCown, 1981. NAA adalah zat pengatur tumbuh sintetik yang mampu mengatur berbagai proses

pertumbuhan dan pemanjangan sel (George dan Sherrington, 1984).

Untuk memenuhi kebutuhan batang bawah klonal karet dan untuk

menemukan media yang cocok untuk pertumbuhan karet secara in vitro, maka peneliti tertarik untuk melakukan perbanyakan tanaman karetsecara in vitroterhadap beberapa komposisi media dengan nomor genotipe yang berbeda.

Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan mediayang sesuai pada induksi tunas mikrotanaman

karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg.) dari eksplan nodus pada beberapa nomor genotipe berbedasecara in vitro.

Hipotesis Penelitian

­Ada perbedaan pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro tanaman

karet(Hevea brasiliensis Muell.Arg.) pada beberapa komposisi media.

­Ada perbedaan pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro tanaman

karet(Hevea brasiliensis Muell.Arg.) pada genotipe berbeda

­Ada interaksi perbedaan pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro tanaman

(21)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan gelar sarjanadiFakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi bagi

(22)

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman

Sistematika bahan tanaman karet (H. brasiliensis Muell. Arg.) menurut

Steenis (2005) ialah : Kingdom : Plantae; Divisio: Spermatophyta;

Subdivisio : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae; Ordo : Euphorbiales;

Famili : Euphorbiaceae;Genus : HeveaSpesies: Hevea brassiliensisMuell Arg.

Akar tanaman karet berupaakar tunggang yang mampu menopang

batang tanaman yang tumbuh tinggi ke atas. Dengan akar seperti itu pohon karet

dapat berdiri kokoh, meskipun tingginya mencapai 25 meter (Setiawan dan

Andoko, 2006).

Tanaman karet merupakan tanaman yang tumbuh tinggidan berbatang

cukup besar.Tinggi pohon dewasa 15-25meter.Batang biasanya tumbuh lurus dan

memiliki percabangan tinggi di atas.Batang tanaman ini mengandung getah atau

lateks (Syamsulbahri, 1996).

Tanaman karet adalah anggota famili Euphorbiaceae.Berbentuk pohon, tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Daun

berselang-seling, tangkai daun panjang, 3 anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek,

hijau dan memiliki panjang 3,5-30 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan

berbentuk elips atau bulat telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi

atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar

2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).

Daun tanaman karet adalah trifoliata. Tangkai daun panjang, serat daun

(23)

Bunganya bergerombol muncul dari ketiak daun (axilary), individu bunga

bertangkai pendek, bunga betina terletak diujung (Syamsulbahri, 1996).

Bunga yang keluar dari ranting – ranting yang baru bersemi itu berbentuk

bunga majemuk dimana satu tangkai bunga tersusun dari banyak bunga. Bunga

majemuk ini terdapat pada ujung ranting yang berdaun. Tiap – tiap karangan

bunga bercabang – cabang (Setyamidjaja, 1993).

Karakteristik bunga jantan pada beberapa tetua karet cukup bervariasi,

yaitu 295-500 bunga per tangkai dengan rata-rata 383,4 per tangkai dan

2065-2640 bunga per karangan dengan rata-rata 3482,6 bunga per karangan.

Masing-masing bunga jantan dari setiap tetua tumbuh di setiap tangkai utama dan

cabang-cabangnya, untuk satu tangkai bunga tersusun atas tiga bunga jantan (trifolia) yang berwarna kuning (Syarifah dan Woelan, 2007; Mardianto, 2011).

Buah beruang tiga, jarang yang beruang 4 hingga 6 diameter buah 3-5 cm

dan terpisah 3, 4, 6. Coci bekatup dua, pericarp berbentuk endokarp berkayu. Biji

besar, bulat persegi empat, tertekan pada satu atau dua sisinya, berkilat, berwarna

coklat muda, dengan noda-noda cokelat tua, panjang 2-3,5 cm dan lebar 1,5–3 cm

dan tebal 1,5-2,5 cm (Sianturi, 2001).

Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi, jumlah biji biasanya tiga,

kadang enam, sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras.

Warnanya cokelat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas

(Tim Penulis PS, 2008).

Dalam satu kapsul buah karet umumnya terdapat 3 butir biji.Buah yang masih

(24)

mencapai ukuran maksimum pada umur 3 bulan setelah penyerbukan (Pustaka Litbang

Deptan, 2012).

Kultur Jaringan

Teknik kultur jaringan dimulai ketika Schwan dan Schleiden

mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom

dan pada prinsinya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Jaringan

tanaman dapat diisolasi dan di kultur hingga berkembang menjadi tanaman

normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya

(Zulkarnain, 2009).

Kultur jaringan merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian

tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara

in vitro. Yang dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan zat pengatur tumbuh, serta

kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003).

Perbanyakan in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu melalui organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis adalah suatu proses

untuk membentuk dan menumbuhkan tunas dari jaringan meristematik.

Regenerasi eksplan menjadi organ dan planlet dapat diperoleh melalui jalur

organogenesis langsung dan tidak langsung.Organogenesis langsung yaitu eksplan

langsung menumbuhkan sel meristematik yang kemudian berdiferensiasi menjadi

organ (tunas, daun atau akar), sedangkan organogenesis tidak langsung terjadi

pembentukan kalus terlebih dahulu. Embriogenesis merupakan proses

perkembangan sel vegetatif atau sel-sel somatik yang diperoleh dari berbagai

(25)

Kultur in vitro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dapat

dilakukan dengan microcutting dan embriogenesis somatik (Nayanakantha & Seneviratne, 2007; Montoro et al., 2010). Teknologi in vitro

microcutting karet dikembangkan untuk menghasilkan batang bawah klonal (Carron & Enjalric, 1983) guna memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas

batang bawah yang selama ini dihasilkan dari biji. Meningkatnya kebutuhan

batang bawah menyebabkan ketersediaan biji tidak mencukupi lagi karena

tergantung pada beberapa klon karet penghasil biji batang bawah dan pada musim

biji yang hanya berlangsung satu kali dalam setahun. Di samping itu, kelemahan

lain dari penggunaan bibit asal biji sebagai batang bawah adalah adanya

keragaman batang bawah dan kekurang-mampuan kombinasi batang atas dan

batang bawah menampilkan potensi produksi dan karakter unggul lain secara

maksimal karena per-bedaan tingkat juvenilitas (Abbas dan Ginting, 1981).

Microcutting merupakan salah satu teknik mikropropagasi tanaman berbasis kultur in vitro dan telah berhasil diaplikasikan untuk perbanyakan

tanaman karet asal biji (seedling) dengan menggunakan tunas aksilar sebagai eksplan (Carron dan Enjarlic, 1983). Proses perbanyakan tanaman karet melalui

teknologi microcutting terdiri atas beberapa tahap, yaitu kultur primer (primary culture), multiplikasi, conditioning (hardening), induksi dan inisiasi

perakaran serta aklimatisasi (Carron et al., 2005). Kultur primer merupakan tahap penanaman eksplan pada medium pertumbuhan steril untuk menginisiasi kultur

aseptik, yang merupakan tahap awal dalam teknologi kultur jaringan

(26)

kaca dan eksplan tersebut memiliki minimal satu mata tunas aksilar

(auxiliary bud). Dalam kondisi in vitro, eksplan yang bebas dari kontaminan dan tumbuh baik dapat diperbanyak melalui subkultur berulang-ulang sehingga kultur

primer merupakan tahap yang menentukan untuk keberhasilan dan keberlanjutan

perbanyakan tanaman menggunakan teknologi tersebut (Haris, et al, 2009).

Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat

yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan,

penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara

yang baik.Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi

sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu

bagian meristemnya misalnya daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji

dan sebagainya. Apabila menggunakan embrio atau bagian-bagian biji yang lain

sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan adalah kemasakan embrio, waktu

imbibisi, temperatur dan dormansi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Keberhasilan tersebut membuka peluang perbanyakan tanaman karet

secara in vitro, yang dapat dilakukan untuk dua tujuan.Pertama dan yang paling ideal adalah untuk perbanyakan klonal tanaman karet unggul secara massal

sehingga bibit yang diperoleh tidak memerlukan batang bawah dan merupakan

klon utuh (whole clone). Namun ternyata hal tersebut tidak mudah karena sebagian besar klon-klon karet yang direkomendasikan untuk ditanam dalam skala

luas kurang responsif terhadap lingkungan kulturin vitro (Nurhaimi-Haris, 2013).

Eksplan

Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan

(27)

eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus

dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan

awal kultur. Umumnya, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah

jaringan muda yang sedang tumbuh aktif.Jaringan tanaman yang masih muda

mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-sel masih aktif membelah diri, dan

relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan) (Yusnita, 2003).

Sumber asal eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan potensial

morfogenetiknya.Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga

diketemukan adanya keragaman dalam regenerasinya.Ukuran eksplan untuk

dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilannya. Ukuran yang terlampau kecil

akan kurang daya tahannya bila dikulturkan, sementara bila terlampau besar akan

sulit mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ

memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk dikulturkan (Armini, et al, 1992). Kebanyakan kultur in vitro pada Hevea adalah langsung melalui kultur tunas pucuk, kultur tunas, somatik embriogenesis, dan transformasi genetik.

Sebuah studidilakukandiLembaga PenelitianKaret Indiadenganklon unggul

karetmenggunakaneksplan pucukyang berasal daripohon dewasa(Sinha etal, 1985;.. Shobanaetal, 1986; Asokanetal, 1988). Menurut

Sinhaetal. (1985), awalnyatunasyangberegenerasidari

beberapaklonkaretmengalami kegagalan dalam hal pembentukan

akar.Asokaetal.(1988) mengkulturkan tunas ujung pucuk yangberasal daripohonklonaldan melaporkan bahwa terjadi perkembangan pada tunas dan

(28)

Menurut Gunawan (1995), ukuran eksplan yang dikulturkan turut

menentukan keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang

terlalu kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan. Sedangkan bila

ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan eksplan yang steril.

Kondisi fisiologi eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan

teknik kultur jaringan. Pada umumnya bagian-bagian vegetatif lebih siap

beregenerasi daripada bagian generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari

tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit berproliferasi daripada mata tunas yang

diperoleh dari tanaman yang sedang aktif tumbuh(Zulkarnain, 2009).

Terdapat beberapa informasi tentang mikropropagasiHevea

menggunakaneksplan yang berbeda, sebagian besar berasal dari bibit

(Thulaseedharan et al., 2000). Akan tetapi, bagian tanaman karet yang efisien untuk perbanyakan skala besar klon Hevea masih belum berkembang. Paranjothy dan Glandimethi (1976) mencoba mengkulturkan tunas ujung pucuk

(panjang 2-3 cm), yang berasal dari perbanyakan pertama dengan biji. Walaupun

tunas ini mengalami perakaran di medium cair MS, namun tunas tersebut

mengalami kegagalan pertumbuhan pada medium MS padat. Kemudian

Enjarlic dan Carron (1982), menggunakan tunas yang berasal dari tanaman asal

biji yang berumur 1-3 tahun di rumah kaca sebagai eksplan untuk dikembangkan

menjadi tanaman berakar.

Untuk mendapatkan bahan tanaman okulasi yang baik diperlukan entres

yang baik dan dari kelompok klon anjuran. Klon-klon anjuran adalah klon-klon

(29)

a. Klon Penghasil Lateks : BPM 24, BPM 27, BPM 109, IRR 104, PB 217,

dan PB 260.

b. Klon Penghasil Lateks Kayu : BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100,

AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118.

c. Klon Penghasil Kayu : IRR 70, IRR 71, IRR 72, dan IRR 78.

Klon-klon anjuran lainnya yang sudah dilepas sperti BPM 1, BPM 1-7,

BPM 109, AVROS 2037, GT 1, PR 255, PR 300, RRIM 600, RRIM 712 masih

dapat digunakan dengan beberapa pertimbangan antara lain dengan

memperhatikan kepentingan pengguna untuk penanaman klon tersebut pada

wilayah tertentu dan spesifikasi tertentu (Budiman, 2012).

Media Kultur Jaringan

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan

perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Media kultur tersebut, fisiknya dapat

berbentuk cair atau padat. Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang

dikulturkan secara invitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman

yang ditumbuhkan di tanah, meliputi hara-hara makro dan mikro Komponen

media kultur yang lengkap sebagai berikut.

1. Air distilasi (akuades) atauair bebas ion sebagai pelarut atau solven.

2. Hara makro dan mikro

3. Gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energi

4. Vitamin, asam amino dan bahan organik lain

5. Zat Pengatur Tumbuh

6. Suplemen berupa bahan-bahan alami, jika diperlukan

(30)

(Yusnita, 2003).

Media yang digunakan secara luas adalah media Murashige & Skoog (MS)

yang dikembangkan pada tahun 1962.Dari berbagai komposisi dasar ini

kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan ½ dari konsentrasi dari

garam-garam makro yang digunakan (½ MS) atau menggunakan komposisi garam

makro berdasarkan MS, tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller.

Zat pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi

kultur (Gunawan, 1995).

ParanjothydanGandhimathi(1975) menyatakanupaya pertama

merekapada kultur pucuk karet. Mereka mampu mengkulturkan ujung tunas

daribibit yangtumbuh dalam kulturaseptikpadamodifikasi media

MSdanmenginduksiperakaran, proliferasitunasdan pada tunastidak didapatkan

hasiloleh mereka. Carrondan lainnyamenyatakan bahwaproduksiplanlet

berasal dari pemotongan noduspadabibitdan beberapa dariklon yang terpilih.

Hanya beberapaplanletdapat diperoleh darisatueksplanoleh Carron etal. Pada

tahun 1982 dan1985. Jika metode iniakanberhasil digunakan

dalampropagasiHevea, harus adaproliferasicepat daritunasdarieksplan (Gunatilleke dan Chandra, 1988).

Penggunaan media tumbuh anggrek saat ini sangat bervariasi. Variasi

media tersebut biasanya dalam bentuk modifikasi komponen penting dalam

media yaitu dengan menambahkan zat-zat lainnya pada media yang mungkin

dapat meningkatkan pertumbuhan eksplan, seperti menambahkan zat-zat

pengatur tumbuh, vitamin, air kelapa, asam-asam amino, maupun jus

(31)

(MS), Woody Plant Medium (WPM), Vacin dan Went (VW) telah dicoba

diteliti. Misalnya penelitian Apriani (1996) menggunakan MS + air kelapa, jus

pisang dan tomat, dan penelitian Yulinda (2003) menggunakan VW + air

kelapa, bubur pisang, bubur ubi kayu, ragi dan ampas kedelai. Mereka

menghasilkan modifikasi yang cukup baik. Namun belum ada data atau

penelitian yang menggunakan media standar Knudson C dengan modifikasi

tambahan seperti media di atas.

Lingkungan in Vitro

Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan

dimensi lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Prof. Murashige

menyarankan untuk mengasumsikan kebutuhan lama penyinaran pada kultur

jaringan tanaman merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas

tanaman yang bersangkutan di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah

diferensiasi jaringan (Yusnita, 2003).

Sel-sel tanaman membutuhkan pH sedikit asam barkisar antara 5,5 –

5,8. Pengaturan pH biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH atau HCl.

Pada umumnya terdapat penurunan pH setelah disterilkan dalam autoclave.

(Gunawan, 1995).

Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang

optimal umumnya adalah berkisar di antara 200-300C.Sedangkan temperatur

optimum untuk pertumbuhan kalus endosperm adalah sekitar 250C.(Hendaryono

(32)

Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman

meliputi temperatur, penyinaran, kualitas panjang penyinaran, intensitas

penyinaran, serta ukuran wadah kultur (Gunawan, 1995).

Kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang

diperlukan terpenuhi. Syarat tersebut adalah pemilihan eksplan, yaitu bagian

tanaman yang digunakan dalam kulturisasi. Penggunaan media yang cocok dan

keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik

( Nugroho dan Sugito, 2000).

Pengaruh intensitas cahaya terhadap pembentukan akar bergantung pada

cara pemeberian cahaya tersebut. Protokorm Cymbidium yang berwarna hijau akan membentuk akar dan tunas bila diberi intensitas cahaya 2200 sampai 2500

lux. Untuk keperluan kultur jaringan cahaya putih dari lampu flourscent dengan

intensitas 1000 lux untuk fase inisiasi dan subkultur, sedangkan untuk fase

pengakaran dan persiapan planlet sebelum dilakukan aklimatisasi menggunakan

intensitas 3000 sampai 10000 lux. Lama penyinaran yang dianjurkan adalah 16

jam per hari (Wattimena, et all, 1992).

Suhu yang umum digunakan untuk pengkulturan berbagai jenis tanaman

adalah ± 26°C. Untuk kebanyakan tanaman, suhu yang terlalu rendah (kurang dari

20°C) dapat menghambat pertumbuhan dan suhu yang terlalu tinggi (lebih dari

32°C) menyebabkan tanaman merana (Yusnita, 2003).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan

nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesiskan pada

(33)

dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan

morfologis (Wattimena, et al, 1992).

Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat

penting adalah sitokinin dan auksin (Gunawan, 1992). NAA (Naftaleine Asetat Acid) adalah zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin.Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa auksin dapat meningkatkan

sintesa protein.Dengan adanya kenaikan sintesa protein, maka dapat digunakan

sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan.Adapun kinetin (6-furfury amino purine) tergolong zat pengatur tumbuh dalam kelompok sitokinin.Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan

morfogenesis.Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan

auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Auksin yang paling banyak digunakan pada kultur in vitro adalah indole-3-acetic acid (IAA), α-naphthylacetic acid (α-NAA), dan 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D). Jenis-jenis auksin yang lain seperti 2,4,5-trichlorophenoxyacetid acid (2,4,5-T), indole-3-butyric acid (IBA), dan P-chlorophenoxyyacetic acid (4-CPA) juga merupakan senyawa yang efektif, tetapi penggunaanya tidak sebanyak tiga jenis auksin yang disebut terlebih dahulu.

2,4,5-T dapat meningkatkan pembentukan kalus pada kultur in vitro tanaman biji-bijian, sedangkan IBA sangat efektif untuk menginduksi perakaran.IAA merupan

auksin yang disintesis secara alamiah di dalam tubuh tanaman, namun senyawa ini

mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik.Oleh

(34)

L-1).Sementara itu α-NAA yang merupakan auksin sintetik tidak mengalami

oksidasi enzimatik seperti halnya IAA. Senyawa tersebut dapat diberikan pada

medium kultur pada konsentrasi yang lebih rendah, berkisar antara 0,1-2,0 mg L-1

(Zulkarnain, 2009).

Sitokinin merupakan nama kelompok hormon tumbuh yang sangat penting

sebagai pemacu pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan. Seperti

halnya pada auksin, selain sitokinin alami juga terdapat sintesisnya yang

tergolong dalam zat pengatur tumbuh. Kinetin adalah merupakan sitokinin yang

pertama kali ditemukan oleh mahasiswa profesor Skoog’s bernama Carlos Miller

(1954) pada laboratorium di Universitas Wisconsin, yaitu senyawa yang sangat

aktif yang terbentuk dari hasil penguraian sebagian DNA tua sperma ikan hering

atau DNA yang diautoklaf yang menyebabkan terus tumbuhnya kalus tembakau

(Santoso dan Nursandi, 2001).

Sitokinin yang paling banyak digunakan pada kulturin vitro adalah kinetin, benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin. Zeatin adalah sitokinin yang disintesis

secara alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah sitokinin sintetik (Zulkarnain,

2009).

Sitokinin merupakan senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel

yang dikenal dengan proses sitokinesis. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses

fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong pembelahan sel. Salah satu jenis

ZPT dari golongan sitokinin yang sering dipakai dalam kultur jaringan yaitu BAP

(6-benzylaminopurine). 6-Benzilaminopurine (BAP) merupakan salah satu

sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak

(35)

konsentrasi tinggi dan masa yang panjang dapat menentukan kemampuan

pembentukan jumlah tunas dan bentuk tunas. Pada konsentrasi BAP yang lebih

tinggi dan masa induksi yang lebih lama menyebabkan penampakan abnormal dan

menyebabkan penurunan jumlah regenerasi yang diperoleh sedangkan

napthalene-3-acetic acid (NAA) adalah auksin sintetik yang sering ditambahkan dalam media

tanam karena mempunyai sifat lebih stabil dari pada Indol-3-acetic acid (IAA).

IAA dapat mengalami degradasi yang disebabkan adanya cahaya atau enzim

oksidatif. Oleh karena sifatnya yang labil IAA jarang digunakan dan hanya

merupakan hormon alami yang ada pada jaringan tanaman yang digunakan

sebagai eksplan. Sedangkan NAA tidak mudah terurai oleh enzim yang

dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Gunawan, 1995).

Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan

kelompok sitokinin.Kedua kelompok zat pengatur tumbuh tersebut berinteraksi

pula dengan senyawa senyawa kimia lainya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor

lingkungan, seperti cahaya dan suhu.Pada kondisi tertentu auksin dapat bereaksi

dengan menyerupai sitokinin, atau sebaliknya (Kyte, 1983). Meskipun demikian,

baik auksin maupun sitokinin, keduanya sering kali diberikan secara bersamaan

pada medium kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun

ratio yang dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama,

terdapat keragaman yang tinggi antargenus, antarspesies, bahkan antar kultivar

dalam hal jenis takaran auksin dan sitokinin untuk menginduksi terjadinya

morfogenesis (Kyte,1983;Torres,1989) (Zulkarnain, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan Harahap (2014) di dapat medium MS

(36)

ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA 0 mg/l, medium MS yang ditambahkan

BAP 1,0 mg/l dan NAA 0 mg/l dan medium MS yang ditambahkan BAP 1,5 mg/l

dan NAA 0,1 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur

tumbuh BAP dan NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan persentase

munculnya tunas. Sedangkan untuk parameter panjang tunas, jumlah daun, dan

persentase munculnya daun tidak memberikan pengaruh nyata. Sedangkan pada

penelitian Sundari (2014) di peroleh medium WPM yang terbaik untuk melakukan

multiplikasi tanaman aksilar karet yaitu medium WPM yang ditambahkan BAP

0,5 mg/l dan NAA 0 mg/l, medium WPM yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan

NAA 0,25 mg/l dan medium WPM yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA

0,5 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh

BAP dan NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan persentase

(37)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Microcutting Tanaman Karet PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela Tebing Tinggi, Sumatera

Utara, Indonesia.Penelitian ini dimulai pada bulan September 2014 sampai

dengan Desember 2014.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah nodus dari

bahan tanaman karet yang di tanam di rumah kasa, komposisi media yang

digunakan larutan stok media MS dan WPM sebagai media tumbuh tanaman

dengan NAA dan BAP sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan,

eksplan yang digunakan berasal dari beberapa klon yang merupakan koleksi

PTPN III dengan beberapa nomor koleksi dengan panjang 2 – 2,5 cm. Bahan

penyusun media lainnya, agar, aquadest steril.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), tabung uji, autoklaf, steri box, timbangan analitik, rak kultur, hot plate dengan magnetik stirer, erlenmeyer, gelas ukur, kaca tebal, pipet ukur,

pinset, gunting, scalpel, lampu bunsen, pH meter, oven, kertas plano, aluminium

foil, kompor gas, minisar, mikropipet, tip, pipet tetes.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(38)

Faktor I : Genotipe dengan beberapa nomor koleksi dengan 4 taraf

G1 : Genotipe 25

G2 : Genotipe 04

G3 : Genotpe 63

G4 : Genotipe 91

Faktor II : Media dengan campuran zat pengatur tumbuh dengan 6 taraf

A1 : MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l

A2 : MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l

A3 : MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l

A4 : WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l

A5 : WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l

A6 : WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan sebagai berikut:

G1A1 G2A1 G3A1 G4A1

G1A2 G2A2 G3A2 G4A2

G1A3 G2A3 G3A3 G4A3

G1A4 G2A4 G3A4 G4A4

G1A5 G2A5 G3A5 G4A5

G1A6 G2A6 G3A6 G4A6

Jumlah perlakuan : 24

Jumlah ulangan : 5

Jumlah eksplan tiap tabung uji : 1

Jumlah seluruh eksplan : 120

(39)

Adapun model liner dari sidik ragam penelitian sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ε ijk

i = 1,2,3,4 j = 1,2,3,4,5,6 k = 1,2,3…10

Yijk = Nilai pengamatan unit percobaan pada perlakuan Genotipe ke-i, Media

dengan campuran zat pengatur tumbuh ke-j, dan ulangan ke-k

µ = Nilai tengah umum αi = Pengaruh Genotipe ke-i

βj = Pengaruh Media dengan campuran zat pengatur tumbuh ke-j

(αβ)ij = Nilai tambah pengaruh interaksi Genotipe ke-i danMedia dengan

zat pengatur tumbuh ke-j

εijk = Galat percobaan

Jika perlakuan (Genotipe, Media dengan campuran zat pengatur tumbuh

dan interaksi) berbedanyata dalam sidik ragam maka dilanjutkan dengan Uji Jarak

(40)

PELAKSANAAN PENELITIAN Sterilisasi Alat-Alat

Sebelumsemua alat-alat disterilisasi dan alat-alat kaca digunakan untuk

kultur in vitromaka terlebih dahulu dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya tabung dibungkus dengan plastik tahan panas atau letakkan pada rak tabung sedangkan

untuk botol dapat langsung diletakkan pada autoklaf. Setelah itu, semua botol dan

tabung uji dan alat lainnyadisterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC dengan

tekanan 17,5 psi selama 60 menit. Kemudian tabung uji dan botol disterilisasi

kering didalam oven pada temperatur 150oC selama 1-2 jam.

Pembuatan Media

MS (Murashige and Skoog)

Media yang digunakan adalah media Murashige and Skoog (MS) padat.Sebelum dilakukan pembuatan media MS, dilakukan pembuatan larutan

stok hormon BAP dan NAA. Larutan stok hormon masing-masing dibuat

100mg/100ml. Larutan stok BAP dan NAA disaring menggunakan minisar guna

meningkatkan sterilitas dari hormon tersebut dan dilakukan di Laminar.

Pada pembuatan media MS, tahap pertama adalah membuat larutan stok

bahan kimia hara makro dengan pembesaran 10x, hara mikro dengan pembesaran

100x, larutan iron dengan pembesaran 50x, larutan vitamin dengan pembesaran

100x, sukrosa 50 gr, myo-inositol 0,1 gr dan agar 5 gr. Tahap berikutnya, sukrosa

dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah berisi akuades 1000 ml, lalu diaduk

dengan menggunakan magnetic stirrer sebagai pengaduk. Kemudian ditambahkan

myo-inositol diaduk hingga larut. Dimasukkan larutan stok hara makro 100ml,

(41)

ditempatkan menjadi 5000 ml. Keasaman diukur dengan pH meter. pH yang

dikehendaki adalah 5,8, untuk mengatur pH yaitu menaikkan atau menurunkan pH

dapat digunakan larutan NaOH dan HCl 0,1 N. Letakkan agar mikrobiologi dan

dimasak di atas kompor gas sampai larutan mendidih dan bening (semua agar

telah larut). Larutan dipindahkan ke erlenmeyer berukuran 5000ml dan ditutup

dengan aluminium foil. Hasil Media MS secara keseluruhan di sterilisasi dengan

tekanan 1 atm pada suhu 121°C selama 1 jam 30 menit di autoklaf. Setelah proses

sterilisasi selesai, media dimasukkan ke ruang kultur dan dimasukkan ke ruangan

laminaruntuk dibagikan ke 16 tabung erlenmeyer berukuran 500ml dengan

masing-masing tabung berisi 250ml. Teteskan BAP dan NAA ke masing-masing

tabung uji sesuai perlakuan. Lalu setiap perlakuan ditepatkan hingga

masing-masing perlakuan menjadi 300ml. Dituangkan media ke dalam tabung uji

berisikan 13ml/tabung dan ditutup kain kasa steril yang dibalut dan diikat benang.

Sehingga didapat ± 23 tabung uji. Tabung uji diberi label sesuai dengan

perlakuan. Selanjutnya disimpan dalam ruang kultur sebelum digunakan.

WPM(Woody Plant Medium)

Media yang digunakan adalah mediaWoody Plant Medium

(WPM).Sebelum dilakukan pembuatan media WPM, dilakukan pembuatan

larutan stok hormon BAP dan NAA. Larutan stok hormon masing-masing dibuat

100mg/100ml. Kemudian larutan stok BAP dan NAA disaring menggunakan

minisar guna meningkatkan sterilitas dari hormon tersebut dan dilakukan di

laminar.

Pada pembuatan media WPM, tahap pertama adalah membuat larutan stok

(42)

100x, larutan iron dengan pembesaran 50x, larutan vitamin dengan pembesaran

100x, sukrosa 50 g, myo-inositol 0,1 g dan agar 5 g. Tahap berikutnya, sukrosa

dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah berisi aquades 1000 ml, lalu diaduk dengan menggunakan magnetik stirer sebagai pengaduk. Kemudian ditambahkan

myo-inositol diaduk hingga larut. Dimasukkan larutan stok hara makro 100ml,

larutan stok hara mikro 10ml, iron 20ml dan vitamin 10ml. Kemudian larutan

ditepatkan menjadi 5000ml dengan menambahkan aquades. Keasaman diukur

dengan pH meter. pH yang dikehendaki adalah 5,8, untuk mengatur pH yaitu

menaikkan atau menurunkan pH dapat digunakan larutan KOH dan HCl 0,1 N.

Ditambahkan agar biotek dan dimasak di atas kompor gas sampai larutan

mendidih dan bening (semua agar telah larut). Larutan dipindahkan ke erlenmeyer

berukuran 5000ml dan ditutup dengan aluminium foil dan diikat dengan tali

plastik. Kemudian media WPM di sterilisasi dengan tekanan 17,5 psi pada suhu

121°C selama 1 jam 30 menit di autoklaf. Setelah proses sterilisasi selesai, media

dimasukkan ke ruang kultur dan dimasukkan ke laminar untuk dibagikan ke 16

tabung erlenmeyer berukuran 500ml dengan masing-masing tabung berisi 250ml.

Teteskan BAP dan NAA ke masing-masing tabung uji sesuai perlakuan. Lalu

setiap perlakuan ditepatkan hingga masing-masing perlakuan menjadi 300ml.

Dituangkan media ke dalam tabung uji berisikan 13ml/tabung dan ditutup kain

kasa steril yang dibalut dan diikat benang. Sehingga diperoleh ± 23 tabung uji dari

setiap perlakuannya. Tabung uji diberi label sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya

disimpan dalam ruang kultur sebelum digunakan.

(43)

Bahan tanaman batang bawah tanaman karet berasal dari seedlingkaret yang berada di rumah kasa tanaman karet PT. Perkebunan Nusantara III, Kebun

Gunung Pamela. Sterilisasi lapangan ialah dengan memberikan fungisida

berbahan kimia mankozeb yang dicampurkan dengan air, dioleskan pada bahan

tanaman yang akan dijadikan eksplan di rumah kaca. Ditunggu selama 1 malam

untuk fungisida bereaksi mencegah jamur pada bahan tanaman. Dipotong bahan

tanaman yang akan dijadikan eksplan dan diberi label sesuai dengan genotipe

yang diambil.

Pengambilan Bahan Tanaman

Bahan tanaman yang digunakan ialah yang telah diberikan fungisida

berbahan kimia mankozeb.Bahan tanaman yang digunakan ialah bibit karet yang

telah latern (daun terbuka sempurna) dan berwarna hijau terang, batang tanaman

kokoh dan berwarna hijau, serta berpayung dua. Batang bawah dari tanaman karet

itu sendiri berasal dari seedlingkaret pendukung klon tertentu yang selanjutnya diokulasi dengan persilangan stump dan menghasilkan beberapa genotipe berbeda

(kodefikasi genotipe dari Balai Penelitian Karet Sungei Putih). Bagian yang

diambil ialah buku-buku yang terdapat dari setiap batang tersebut.

Sterilisasi Bahan Tanaman di Laboratorium

Eksplan yang telah diambil dari rumah kaca kemudian dicuci di bawah air

bersih yang mengalir dengan menggunakan kuas untuk menghilangkan olesan

dithane. Eksplan dimasukkan ke dalam toples kemudian dimasukkan alkohol 70

% dan diguncang selama 1 menit, setelah itu alkohol dibuang dan toples diisi

kembali dengan H2O2 17 % dan didiamkan selama 20 menit, setelah itu

(44)

kemudian dibuang. Eksplan direndam di dalam toples dengan aquades selama 2 x

15 menit, dan kemudian air tersebut dibuang. Dan eksplan sudah siap ditanam.

Persiapan Ruang Tanam

Seluruh permukaan laminarsebelumnya dibersihkan terlebih dahulu

dengan di lap menggunakan alkohol 96% lalu di sterilkan dengan sinar Ultra

Violet selama 1 jam sebelum proses penanaman dilakukan. Semua alat dan bahan

yang akan dipakai harus disemprot dengan alkohol 96% dan beberapa alat seperti

pinset, gunting, scalpel setelah disemprot lalu dibakar di dalam ke dalam

laminarselama 1 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko bahan

penelitian terkontaminasi.Steri box dihidupkan dan disediakan alkohol 70% untuk membersihkan alat yang telah digunakan.

Penanaman

Eksplan yang digunakan adalah nodus dari bahan tanaman karet yang telah

di sterilisasi sebelumnya.Kemudian nodus-nodus disterilasi dengan standar yang

dimiliki Laboratorium Microcutting Karet Kebun Gunung Pamela, lalu langsung ditanam pada tabung uji yang sudah berisikan agar sebanyak 13ml/tabung

uji.Eksplan yang digunakan berukuran 1,5 - 2 cm, apabila ukuran eksplan belum

sesuai maka dipotong menggunakan gunting steril dan tajam. Eksplan yang akan

dikulturkan ke dalam media tanam diletakkan di piringan kaca tebal dengan alas

kertas plano. Kemudian eksplan ditanamkan ke dalam tabung uji sesuai dengan

perlakuan, setiap tabung uji terdiri dari 1 eksplan.Kemudian ujung tabung uji

ditutup dengan menggunakan kain kasa steril yang dibalut dan diikat benang.

(45)

diletakkan di rak kultur di bawah cahaya dan ruangan memiliki air conditioner

dengan suhu 18oC.

Pemeliharaan Eksplan

Tabung-tabung uji diletakkan pada rak kultur di dalam ruang kultur.

Ruangan ini diusahakan bebas dari bakteri dan cendawan, dimana setiap hari

disemprot dengan alkohol 96% atau dan disemprot formalin agar bebas dari

organisme yang menyebabkan terjadi kontaminasi. Dalam penelitian ini suhu

ruangan kultur yang digunakan + 20-25°C, paling optimum 18oC dan intensitas

cahaya 2000 lux serta dengan kondisi ruangan memilikipendingin udara. Apabila

mengalami kontaminasi, segera diambil dari rak kultur agar mencegah

kontaminasi ke tabung lainnya.

Peubah Amatan

Jumlah Muncul Tunas (Tunas)

Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian (6MST) berdasarkan

jumlah tunas yang muncul dari keseluruhan ulangan.

Persentase terbentuknya tunas = jumlah tunas yang terbentuk x 100% jumlah eksplan per perlakuan

Jumlah Tunas (tunas)

Dihitung pada akhir penelitian (6MST) dengan menghitung banyaknya

tunas baru yang terbentuk dari setiap eksplan.

Panjang Tunas (cm)

Panjang tunas diukur pada tunas tertinggi dengan menggunakan kertas

milimeter yang diukur dari tempat munculnya tunas (pangkal) sampai ujung tunas

tertinggi..Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian (6 MST).

(46)

Jumlah daun dihitung dari bakal daun yang terbentuk pada eksplan.

Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian (6 MST). Persentase terbentuknya

bakal daun dihitung dengan rumus:

Persentase terbentuknya bakal daun = jumlah bakal daunx 100% jumlah eksplan per perlakuan

Jumlah Daun (helai)

Daun yang dihitung adalah daun yang trifoliat yang sudah berwarna coklat

kehijauan yang sudah kelihatan struktur atau tulang daunnya. Pengamatan

dilakukan pada akhir penelitian (6MST).

Umur Muncal Tunas (Hari)

Umur muncul tunas dihitung dari awal penanaman hingga terbentuknya

tunas dalam satuan hari.

Kehadiran Kalus

Kehadiran kalus dilihat dari ada atau tidaknya kemunculan kalus dari

bekas potongan (pelukaan) eksplan atau dari bagian manapun dari eksplan.

Diobservasi kehadiran kalus pada akhir penelitian (6MST).

Warna Kalus

Dilihat dari penampakan warna kalus yang muncul. Warna kalus dilihat

pada akhir penelitian (6MST).

Morfogenesis

Kemunculan tunas adventif dari jaringan pangkal batang, ujung batang

(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Dari hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh bahwa perlakuan media

dengan campuran zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh sangat nyata

terhadap jumlah tunas dan panjang tunas. Pada jumlah muncul bakal daun, jumlah

daun, umur muncul tunas, kehadiran kalus, warna kalus dan morfogenesis tidak

berpengaruh nyata pada perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat

pengatur tumbuh. Untuk interaksi antara genotipe dan media dengan campuran

zat pengatur tumbuh belum memberikan pengaruh yang nyata pada seluruh

parameter yang diuji.

Persentase Muncul Tunas (%)

Hasil pengamatan terhadap parameterpersentase muncul tunaspada

perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh

(Lampiran 1). Rataan persentase muncul tunas dari perlakuan genotipe dan media

dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zatpengatur tumbuh terhadap persentase muncul tunas (%) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada taraf 5 %. Perlakuan G1= genotipe 25 ;G2= genotipe 04 ; G3= genotipe 63 ; G4= genotipe 91. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A2= MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l;A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l;A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Gambar eksplan sebelum dan sesudah membentuk tunas pada salah satu

(48)

Jumlah Tunas (Tunas)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadapparameter jumlah tunas pada

perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh

(Lampiran 2-4), menunjukan bahwa perlakuan media dengan campuran zat

pengatur tumbuh memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas pada

6 MST, akan tetapi perlakuan genotipe dan interaksi dari kedua perlakuan ini

belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas.

Rataan jumlah tunas dari perlakuan genotipe dan media dengan campuran

zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap jumlah tunas (tunas) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

(49)

Tabel 2, memperlihatkan jumlah tunas tertinggi terdapat pada perlakauan

A1 (MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0

mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l

)

yaitu dengan rataan

masing-masing (1,0) tunas dan (0,80) tunas sedangkan terendah pada perlakuan A2 (MS

+ BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l), A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) dan A6

(WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) yaitu dengan rataan masing-masing

(0,65) tunas dan (0,60) tunas. A1 dan A4 berbeda nyata terhadap perlakuan A2,

A3 dan A6 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A5.

Panjang Tunas (cm)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameterpanjang tunas pada

perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh

(Lampiran 5-7), menunjukan bahwa perlakuan media dengan campuran zat

pengatur tumbuh memberikan pengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas pada

6 MST, akan tetapi genotipe dan interaksi dari kedua perlakuan ini belum

memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang tunas.

Rataan panjang tunas dari perlakuan genotipe dan media dengan campuran

zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap panjang tunas (cm) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

(50)

Tabel 3, memperlihatkan panjang tunas tertinggi terdapat pada perlakauan

A1 (MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25

mg/l

),

A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l) danA2 (MS + BAP 1 mg/l +

NAA 0 mg/l) , yaitu dengan rataan masing-masing (0,30) cm dan (0,22) cm, (0,19)

cm dan (0,15) sedangkan terendah pada perlakuan A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l +

NAA 0,5 mg/l) dan A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) yaitu dengan

rataan masing-masing (0,06) cm dan (0,04) cm. A1, A5 dan A4 berbeda nyata

terhadap perlakuan A6 dan A3 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A2.

Jumlah Terbentuk Bakal Daun

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameter

jumlahterbentuknya bakal daun terhadap perlakuan genotipe dan media dengan

campuran zat pengatur tumbuh (Lampiran 8-10), menunjukan bahwa perlakuan

genotipe danmedia dengan campuran zat pengatur tumbuh dan interaksi dari

kedua perlakuan belum memberikan pengaruh nyata terhadap panjang tunas pada

6 MST.

Rataan terbentuknya bakal daun dari perlakuan genotipe dan media

dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap jumlah terbentuknya bakal daun (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

(51)

Jumlah Daun (helai)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameterjumlah daun

terhadap perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh

(Lampiran 13-15), menunjukan bahwa perlakuan genotipe danmedia dengan

campuran zat pengatur tumbuh dan interaksi dari kedua perlakuan belum

memberikan pengaruh nyata terhadap panjang tunas pada 6 MST.Gambar eksplan

memebentuk daun dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Eksplan Membentuk Daun

Rataan panjang tunas dari perlakuan genotipe dan media dengan campuran

zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 5.

Tabel 5.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap jumlah daun (helai) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

A1 A2 A3 A4 A5 A6

G1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

G2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 0,0 0,1

G3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

G4 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0

RATAAN 0,0 0,0 0,0 0,1 0,2 0,0 0,0

(52)

Umur Muncul Tunas (hari)

Hasil pengamatan terhadap parameterumur muncul tunaspada perlakuan

genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh

(Lampiran 16). Rataan umur muncul tunas dari perlakuan genotipe dan media

dengan campuran zat pengatur tumbuh dapat di lihat pada Tabel 6.

Tabel 6.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap umur muncul tunas (hari) (6MST).

GENOTIPE MEDIA RATAAN

Keterangan: Perlakuan G1= genotipe 25 ;G2= genotipe 04 ; G3= genotipe 63 ; G4= genotipe 91. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l; A2= MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l;A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l;A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l

Tabel 7. Rekapitulasi Peubah Amatan Sidik Ragam pada Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media dan Genotipe Berbeda (6MST)

M= media dengan campuran zat pengatur tumbuh

G x M = interaksi genotipe dengan media dengan campuran zat pengatur tumbuh ** = sangat nyata pada taraf 5 %

tn = tidak nyata a = transformasi data

(53)

Pada semua kultur yang dilakukan tidak ada satupun yang menunjukan

kehadiran kalus.Ketidakhadiran kalus pada tunas mikro tanaman karet merupakan

hal yang diharapkan dalam penelitian ini, sebab microcutting pada tahap primary culture merupakan tahapan awal sehingga tidak diharapkan kehadiran kalus dan hingga akhir pnelitian tidak ditemukan kehadiran kalus.

Warna Kalus

Ketidakhadiran kalus hingga akhir penelitian menyebabkan tidak adanya

warna kalus yang diamati secara visual.

Morfogenesis

Berdasarkan kemunculan tunas mikro tanaman karet, maka tidak diperoleh

kemunculan tunas diluar jaringan meristem aksilar (pangkal batang, ujung batang,

bagian lain dari eksplan).

Pembahasan

Pengaruh genotipe terhadap induksi tunas mikro tanaman karet

Dari hasil analisis data secara statistik diketahui bahwa perlakuan genotipe

belum menunjukkan pengaruh nyata terhadap semua peubah amatan. Hal ini

diduga karena genotipe memberikan respon yang sama terhadap pertumbuhan

induksi tunas mikro terhadap semua media dan zat penagatur tumbuh serta

pengaruhsumber asal dari genotipe serta kodisi fisiologis eksplan. Nugroho dan

Sugito (2000) menyatakan kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila

syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat tersebut adalah pemilihan eksplan,

yaitu bagian tanaman yang digunakan dalam kulturisasi.Penggunaan media yang

cocok dan keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik kemudian

(54)

mempengaruhi pertumbuhan dan potensial morfogenetiknya.Eksplan yang berasal

dari satu jenis organ misalnya, juga diketemukan adanya keragaman dalam

regenerasinya.Ukuran eksplan untuk dikulturkan juga mempengaruhi

keberhasilannya. Kemudian Zulkarnain (2009) mengemukakan Kondisi fisiologi

eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan teknik kultur jaringan. Pada

umumnya bagian-bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian

generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat,

lebih sulit berproliferasi daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang

sedang aktif tumbuh.

Pengaruh media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap induksi tunas mikro tanaman karet

Dari hasil analisis data secara statistik diperoleh bahwa perlakuan media

dengan campuran zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh sangat nyata

terhadap persentase muncul tunas, jumlah tunas, panjang tunas tetapi belum

berpengaruh nyata pada persentase muncul daun, jumlah daun, umur muncul

tunas, kehadiran kalus, warna kalus serta morfogenesis.

Pada peubah amatan persentase muncul tunas, perlakuan memberikan

respon untuk menginduksi tunas tanaman karet. Rataan tertinggi pada jumlah

muncul tunas terdapat pada perlakauan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l),

A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA

0,25 mg/l

)

yaitu dengan rataan masing-masing (1,0) tunas dan (0,80) tunas

sedangkan terendah pada perlakuan A2 (MS + BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l), A3

(MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l) dan A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA

0,5 mg/l) yaitu dengan rataan masing-masing (0,65) tunas dan (0,60) tunas. Hal

Gambar

Tabel 1.  Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zatpengatur tumbuh terhadap persentase muncul tunas (%) (6MST)
Gambar 2. Eksplan
Tabel 3.Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur tumbuh terhadap panjang tunas (cm) (6MST)
Tabel 4.  Pengaruh perlakuan genotipe dan media dengan campuran zat pengatur  tumbuh terhadap jumlah terbentuknya bakal daun (6MST)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Produksi adalah menghasilkan sesuatu dengan megolah bahan mentah menjadi bahan baku atau bahan jadi. Konsumsi adalah

The loss of information based on the num- ber of bits used for the lossy compression was evaluated and the compression rates for the modeling approach itself as well as both

• PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (MBSS) is a leading Indonesian provider of integrated one-stop sea logistics and transportation solutions for bulk materials, particularly

This study attempts to analyze the spatial-temporal extent change of vegetation greenness, Land Surface Temperature (LST), and Normalized Difference Snow Index (NDSI)

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pengetahuan dengan minat ibu hamil trimester III dalam melakukan pregnancy massage di Wilayah Kerja Puskesmas

ungkapan yang mengandung isim maushul Pemahaman konsep dengan sistem diskusi, presentasi power point Tadribat lughawiyy ah Kualitas hasil penugasan , keaktifan,

Berdasarkan hasil penclitian yang dilakukan Wahyuni (2004) tentang kemampuan adesi Streptococcus agalactiae dari susu sapi perah mastitis subklinis pada sel epitel ambing,

Al-Jurjani (1969: 152) mengemukakan bahwa yang dlmaksud dengan kata adil adalah memberihan kepada seseorang apa yang menjadi haknya dan mengambil sesuatu yang menjadi