• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika bahan tanaman karet (H. brasiliensis Muell. Arg.) menurut

Steenis (2005) ialah : Kingdom : Plantae; Divisio: Spermatophyta;

Subdivisio : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae; Ordo : Euphorbiales; Famili : Euphorbiaceae;Genus : HeveaSpesies: Hevea brassiliensisMuell Arg.

Akar tanaman karet berupaakar tunggang yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi ke atas. Dengan akar seperti itu pohon karet dapat berdiri kokoh, meskipun tingginya mencapai 25 meter (Setiawan dan

Andoko, 2006).

Tanaman karet merupakan tanaman yang tumbuh tinggidan berbatang cukup besar.Tinggi pohon dewasa 15-25meter.Batang biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan tinggi di atas.Batang tanaman ini mengandung getah atau lateks (Syamsulbahri, 1996).

Tanaman karet adalah anggota famili Euphorbiaceae.Berbentuk pohon, tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Daun berselang-seling, tangkai daun panjang, 3 anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek, hijau dan memiliki panjang 3,5-30 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk elips atau bulat telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).

Daun tanaman karet adalah trifoliata. Tangkai daun panjang, serat daun tampak jelas, kasar. Daunnya tersusun melingkar batang (spiral), berambut.

Bunganya bergerombol muncul dari ketiak daun (axilary), individu bunga bertangkai pendek, bunga betina terletak diujung (Syamsulbahri, 1996).

Bunga yang keluar dari ranting – ranting yang baru bersemi itu berbentuk bunga majemuk dimana satu tangkai bunga tersusun dari banyak bunga. Bunga majemuk ini terdapat pada ujung ranting yang berdaun. Tiap – tiap karangan bunga bercabang – cabang (Setyamidjaja, 1993).

Karakteristik bunga jantan pada beberapa tetua karet cukup bervariasi, yaitu 295-500 bunga per tangkai dengan rata-rata 383,4 per tangkai dan 2065-2640 bunga per karangan dengan rata-rata 3482,6 bunga per karangan. Masing-masing bunga jantan dari setiap tetua tumbuh di setiap tangkai utama dan cabang-cabangnya, untuk satu tangkai bunga tersusun atas tiga bunga jantan (trifolia) yang berwarna kuning (Syarifah dan Woelan, 2007; Mardianto, 2011).

Buah beruang tiga, jarang yang beruang 4 hingga 6 diameter buah 3-5 cm dan terpisah 3, 4, 6. Coci bekatup dua, pericarp berbentuk endokarp berkayu. Biji besar, bulat persegi empat, tertekan pada satu atau dua sisinya, berkilat, berwarna coklat muda, dengan noda-noda cokelat tua, panjang 2-3,5 cm dan lebar 1,5–3 cm dan tebal 1,5-2,5 cm (Sianturi, 2001).

Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi, jumlah biji biasanya tiga, kadang enam, sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras.

Warnanya cokelat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas (Tim Penulis PS, 2008).

Dalam satu kapsul buah karet umumnya terdapat 3 butir biji.Buah yang masih

mencapai ukuran maksimum pada umur 3 bulan setelah penyerbukan (Pustaka Litbang

Deptan, 2012).

Kultur Jaringan

Teknik kultur jaringan dimulai ketika Schwan dan Schleiden mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom dan pada prinsinya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Jaringan tanaman dapat diisolasi dan di kultur hingga berkembang menjadi tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya (Zulkarnain, 2009).

Kultur jaringan merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian

tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara

in vitro. Yang dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan zat pengatur tumbuh, serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003).

Perbanyakan in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu melalui organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis adalah suatu proses untuk membentuk dan menumbuhkan tunas dari jaringan meristematik. Regenerasi eksplan menjadi organ dan planlet dapat diperoleh melalui jalur organogenesis langsung dan tidak langsung.Organogenesis langsung yaitu eksplan langsung menumbuhkan sel meristematik yang kemudian berdiferensiasi menjadi organ (tunas, daun atau akar), sedangkan organogenesis tidak langsung terjadi pembentukan kalus terlebih dahulu. Embriogenesis merupakan proses perkembangan sel vegetatif atau sel-sel somatik yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan (Zulkarnain 2009).

Kultur in vitro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dapat

dilakukan dengan microcutting dan embriogenesis somatik (Nayanakantha & Seneviratne, 2007; Montoro et al., 2010). Teknologi in vitro

microcutting karet dikembangkan untuk menghasilkan batang bawah klonal (Carron & Enjalric, 1983) guna memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas batang bawah yang selama ini dihasilkan dari biji. Meningkatnya kebutuhan batang bawah menyebabkan ketersediaan biji tidak mencukupi lagi karena tergantung pada beberapa klon karet penghasil biji batang bawah dan pada musim biji yang hanya berlangsung satu kali dalam setahun. Di samping itu, kelemahan lain dari penggunaan bibit asal biji sebagai batang bawah adalah adanya keragaman batang bawah dan kekurang-mampuan kombinasi batang atas dan batang bawah menampilkan potensi produksi dan karakter unggul lain secara maksimal karena per-bedaan tingkat juvenilitas (Abbas dan Ginting, 1981).

Microcutting merupakan salah satu teknik mikropropagasi tanaman berbasis kultur in vitro dan telah berhasil diaplikasikan untuk perbanyakan tanaman karet asal biji (seedling) dengan menggunakan tunas aksilar sebagai eksplan (Carron dan Enjarlic, 1983). Proses perbanyakan tanaman karet melalui

teknologi microcutting terdiri atas beberapa tahap, yaitu kultur primer (primary culture), multiplikasi, conditioning (hardening), induksi dan inisiasi

perakaran serta aklimatisasi (Carron et al., 2005). Kultur primer merupakan tahap penanaman eksplan pada medium pertumbuhan steril untuk menginisiasi kultur

aseptik, yang merupakan tahap awal dalam teknologi kultur jaringan (Ahloowalia et al., 2002). Eksplan pada tahapan kultur primer merupakan

kaca dan eksplan tersebut memiliki minimal satu mata tunas aksilar (auxiliary bud). Dalam kondisi in vitro, eksplan yang bebas dari kontaminan dan

tumbuh baik dapat diperbanyak melalui subkultur berulang-ulang sehingga kultur primer merupakan tahap yang menentukan untuk keberhasilan dan keberlanjutan perbanyakan tanaman menggunakan teknologi tersebut (Haris, et al, 2009).

Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik.Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristemnya misalnya daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Apabila menggunakan embrio atau bagian-bagian biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan adalah kemasakan embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Keberhasilan tersebut membuka peluang perbanyakan tanaman karet secara in vitro, yang dapat dilakukan untuk dua tujuan.Pertama dan yang paling ideal adalah untuk perbanyakan klonal tanaman karet unggul secara massal sehingga bibit yang diperoleh tidak memerlukan batang bawah dan merupakan klon utuh (whole clone). Namun ternyata hal tersebut tidak mudah karena sebagian besar klon-klon karet yang direkomendasikan untuk ditanam dalam skala luas kurang responsif terhadap lingkungan kulturin vitro (Nurhaimi-Haris, 2013).

Eksplan

Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran

eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif.Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-sel masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan) (Yusnita, 2003).

Sumber asal eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan potensial morfogenetiknya.Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga diketemukan adanya keragaman dalam regenerasinya.Ukuran eksplan untuk dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilannya. Ukuran yang terlampau kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan, sementara bila terlampau besar akan sulit mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk dikulturkan (Armini, et al, 1992).

Kebanyakan kultur in vitro pada Hevea adalah langsung melalui kultur tunas pucuk, kultur tunas, somatik embriogenesis, dan transformasi genetik. Sebuah studidilakukandiLembaga PenelitianKaret Indiadenganklon unggul karetmenggunakaneksplan pucukyang berasal daripohon dewasa(Sinha etal, 1985;.. Shobanaetal, 1986; Asokanetal, 1988). Menurut

Sinhaetal. (1985), awalnyatunasyangberegenerasidari

beberapaklonkaretmengalami kegagalan dalam hal pembentukan akar.Asokaetal.(1988) mengkulturkan tunas ujung pucuk yangberasal daripohonklonaldan melaporkan bahwa terjadi perkembangan pada tunas dan akar(Thulaseedharan, 2002).

Menurut Gunawan (1995), ukuran eksplan yang dikulturkan turut menentukan keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang terlalu kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan. Sedangkan bila ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan eksplan yang steril.

Kondisi fisiologi eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan teknik kultur jaringan. Pada umumnya bagian-bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit berproliferasi daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif tumbuh(Zulkarnain, 2009).

Terdapat beberapa informasi tentang mikropropagasiHevea

menggunakaneksplan yang berbeda, sebagian besar berasal dari bibit (Thulaseedharan et al., 2000). Akan tetapi, bagian tanaman karet yang efisien

untuk perbanyakan skala besar klon Hevea masih belum berkembang. Paranjothy dan Glandimethi (1976) mencoba mengkulturkan tunas ujung pucuk (panjang 2-3 cm), yang berasal dari perbanyakan pertama dengan biji. Walaupun tunas ini mengalami perakaran di medium cair MS, namun tunas tersebut mengalami kegagalan pertumbuhan pada medium MS padat. Kemudian Enjarlic dan Carron (1982), menggunakan tunas yang berasal dari tanaman asal

biji yang berumur 1-3 tahun di rumah kaca sebagai eksplan untuk dikembangkan menjadi tanaman berakar.

Untuk mendapatkan bahan tanaman okulasi yang baik diperlukan entres yang baik dan dari kelompok klon anjuran. Klon-klon anjuran adalah klon-klon yang direkomendasikan untuk pertanaman komersial yang telah dilepas seperti :

a. Klon Penghasil Lateks : BPM 24, BPM 27, BPM 109, IRR 104, PB 217, dan PB 260.

b. Klon Penghasil Lateks Kayu : BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118. c. Klon Penghasil Kayu : IRR 70, IRR 71, IRR 72, dan IRR 78.

Klon-klon anjuran lainnya yang sudah dilepas sperti BPM 1, BPM 1-7, BPM 109, AVROS 2037, GT 1, PR 255, PR 300, RRIM 600, RRIM 712 masih dapat digunakan dengan beberapa pertimbangan antara lain dengan memperhatikan kepentingan pengguna untuk penanaman klon tersebut pada wilayah tertentu dan spesifikasi tertentu (Budiman, 2012).

Media Kultur Jaringan

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Media kultur tersebut, fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara invitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhkan di tanah, meliputi hara-hara makro dan mikro Komponen media kultur yang lengkap sebagai berikut.

1. Air distilasi (akuades) atauair bebas ion sebagai pelarut atau solven. 2. Hara makro dan mikro

3. Gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energi 4. Vitamin, asam amino dan bahan organik lain 5. Zat Pengatur Tumbuh

6. Suplemen berupa bahan-bahan alami, jika diperlukan 7. Agar-agar atau gelrite sebagai pemadat media

(Yusnita, 2003).

Media yang digunakan secara luas adalah media Murashige & Skoog (MS) yang dikembangkan pada tahun 1962.Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan ½ dari konsentrasi dari garam-garam makro yang digunakan (½ MS) atau menggunakan komposisi garam makro berdasarkan MS, tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller. Zat pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi kultur (Gunawan, 1995).

ParanjothydanGandhimathi(1975) menyatakanupaya pertama

merekapada kultur pucuk karet. Mereka mampu mengkulturkan ujung tunas daribibit yangtumbuh dalam kulturaseptikpadamodifikasi media MSdanmenginduksiperakaran, proliferasitunasdan pada tunastidak didapatkan hasiloleh mereka. Carrondan lainnyamenyatakan bahwaproduksiplanlet berasal dari pemotongan noduspadabibitdan beberapa dariklon yang terpilih. Hanya beberapaplanletdapat diperoleh darisatueksplanoleh Carron etal. Pada

tahun 1982 dan1985. Jika metode iniakanberhasil digunakan

dalampropagasiHevea, harus adaproliferasicepat daritunasdarieksplan (Gunatilleke dan Chandra, 1988).

Penggunaan media tumbuh anggrek saat ini sangat bervariasi. Variasi media tersebut biasanya dalam bentuk modifikasi komponen penting dalam media yaitu dengan menambahkan zat-zat lainnya pada media yang mungkin dapat meningkatkan pertumbuhan eksplan, seperti menambahkan zat-zat pengatur tumbuh, vitamin, air kelapa, asam-asam amino, maupun jus buah-buahan. Modifikasi terhadap beberapa media standar Murashige dan Skoog

(MS), Woody Plant Medium (WPM), Vacin dan Went (VW) telah dicoba diteliti. Misalnya penelitian Apriani (1996) menggunakan MS + air kelapa, jus pisang dan tomat, dan penelitian Yulinda (2003) menggunakan VW + air kelapa, bubur pisang, bubur ubi kayu, ragi dan ampas kedelai. Mereka menghasilkan modifikasi yang cukup baik. Namun belum ada data atau penelitian yang menggunakan media standar Knudson C dengan modifikasi tambahan seperti media di atas.

Lingkungan in Vitro

Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Prof. Murashige menyarankan untuk mengasumsikan kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan (Yusnita, 2003).

Sel-sel tanaman membutuhkan pH sedikit asam barkisar antara 5,5 – 5,8. Pengaturan pH biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH atau HCl. Pada umumnya terdapat penurunan pH setelah disterilkan dalam autoclave. (Gunawan, 1995).

Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimal umumnya adalah berkisar di antara 200-300C.Sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan kalus endosperm adalah sekitar 250C.(Hendaryono

Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman meliputi temperatur, penyinaran, kualitas panjang penyinaran, intensitas penyinaran, serta ukuran wadah kultur (Gunawan, 1995).

Kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat tersebut adalah pemilihan eksplan, yaitu bagian tanaman yang digunakan dalam kulturisasi. Penggunaan media yang cocok dan

keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik ( Nugroho dan Sugito, 2000).

Pengaruh intensitas cahaya terhadap pembentukan akar bergantung pada cara pemeberian cahaya tersebut. Protokorm Cymbidium yang berwarna hijau akan membentuk akar dan tunas bila diberi intensitas cahaya 2200 sampai 2500 lux. Untuk keperluan kultur jaringan cahaya putih dari lampu flourscent dengan intensitas 1000 lux untuk fase inisiasi dan subkultur, sedangkan untuk fase pengakaran dan persiapan planlet sebelum dilakukan aklimatisasi menggunakan intensitas 3000 sampai 10000 lux. Lama penyinaran yang dianjurkan adalah 16 jam per hari (Wattimena, et all, 1992).

Suhu yang umum digunakan untuk pengkulturan berbagai jenis tanaman adalah ± 26°C. Untuk kebanyakan tanaman, suhu yang terlalu rendah (kurang dari 20°C) dapat menghambat pertumbuhan dan suhu yang terlalu tinggi (lebih dari 32°C) menyebabkan tanaman merana (Yusnita, 2003).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman

dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena, et al, 1992).

Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin (Gunawan, 1992). NAA (Naftaleine Asetat Acid) adalah zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin.Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa auksin dapat meningkatkan sintesa protein.Dengan adanya kenaikan sintesa protein, maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan.Adapun kinetin (6-furfury amino purine) tergolong zat pengatur tumbuh dalam kelompok sitokinin.Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis.Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Auksin yang paling banyak digunakan pada kultur in vitro adalah indole-3-acetic acid (IAA), α-naphthylacetic acid (α-NAA), dan 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D). Jenis-jenis auksin yang lain seperti 2,4,5-trichlorophenoxyacetid acid (2,4,5-T), indole-3-butyric acid (IBA), dan P-chlorophenoxyyacetic acid (4-CPA) juga merupakan senyawa yang efektif, tetapi penggunaanya tidak sebanyak tiga jenis auksin yang disebut terlebih dahulu. 2,4,5-T dapat meningkatkan pembentukan kalus pada kultur in vitro tanaman biji-bijian, sedangkan IBA sangat efektif untuk menginduksi perakaran.IAA merupan auksin yang disintesis secara alamiah di dalam tubuh tanaman, namun senyawa ini mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik.Oleh karena itu, IAA biasanya diberikan pada konsentrasi yang relatif tinggi (1-30 mg

L-1).Sementara itu α-NAA yang merupakan auksin sintetik tidak mengalami oksidasi enzimatik seperti halnya IAA. Senyawa tersebut dapat diberikan pada medium kultur pada konsentrasi yang lebih rendah, berkisar antara 0,1-2,0 mg L-1 (Zulkarnain, 2009).

Sitokinin merupakan nama kelompok hormon tumbuh yang sangat penting sebagai pemacu pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan. Seperti halnya pada auksin, selain sitokinin alami juga terdapat sintesisnya yang tergolong dalam zat pengatur tumbuh. Kinetin adalah merupakan sitokinin yang pertama kali ditemukan oleh mahasiswa profesor Skoog’s bernama Carlos Miller (1954) pada laboratorium di Universitas Wisconsin, yaitu senyawa yang sangat aktif yang terbentuk dari hasil penguraian sebagian DNA tua sperma ikan hering atau DNA yang diautoklaf yang menyebabkan terus tumbuhnya kalus tembakau (Santoso dan Nursandi, 2001).

Sitokinin yang paling banyak digunakan pada kulturin vitro adalah kinetin, benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin. Zeatin adalah sitokinin yang disintesis secara alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah sitokinin sintetik (Zulkarnain, 2009).

Sitokinin merupakan senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel yang dikenal dengan proses sitokinesis. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong pembelahan sel. Salah satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang sering dipakai dalam kultur jaringan yaitu BAP (6-benzylaminopurine). 6-Benzilaminopurine (BAP) merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Penggunaan BAP dengan

konsentrasi tinggi dan masa yang panjang dapat menentukan kemampuan pembentukan jumlah tunas dan bentuk tunas. Pada konsentrasi BAP yang lebih tinggi dan masa induksi yang lebih lama menyebabkan penampakan abnormal dan menyebabkan penurunan jumlah regenerasi yang diperoleh sedangkan napthalene-3-acetic acid (NAA) adalah auksin sintetik yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempunyai sifat lebih stabil dari pada Indol-3-acetic acid (IAA). IAA dapat mengalami degradasi yang disebabkan adanya cahaya atau enzim oksidatif. Oleh karena sifatnya yang labil IAA jarang digunakan dan hanya merupakan hormon alami yang ada pada jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Sedangkan NAA tidak mudah terurai oleh enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Gunawan, 1995).

Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan kelompok sitokinin.Kedua kelompok zat pengatur tumbuh tersebut berinteraksi pula dengan senyawa senyawa kimia lainya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti cahaya dan suhu.Pada kondisi tertentu auksin dapat bereaksi dengan menyerupai sitokinin, atau sebaliknya (Kyte, 1983). Meskipun demikian, baik auksin maupun sitokinin, keduanya sering kali diberikan secara bersamaan pada medium kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun ratio yang dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama, terdapat keragaman yang tinggi antargenus, antarspesies, bahkan antar kultivar dalam hal jenis takaran auksin dan sitokinin untuk menginduksi terjadinya morfogenesis (Kyte,1983;Torres,1989) (Zulkarnain, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan Harahap (2014) di dapat medium MS terbaik untuk multiplikasi pertumbuhan tunas aksilar karet yaitu medium MS yang

ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA 0 mg/l, medium MS yang ditambahkan BAP 1,0 mg/l dan NAA 0 mg/l dan medium MS yang ditambahkan BAP 1,5 mg/l dan NAA 0,1 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan persentase munculnya tunas. Sedangkan untuk parameter panjang tunas, jumlah daun, dan persentase munculnya daun tidak memberikan pengaruh nyata. Sedangkan pada penelitian Sundari (2014) di peroleh medium WPM yang terbaik untuk melakukan multiplikasi tanaman aksilar karet yaitu medium WPM yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA 0 mg/l, medium WPM yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA 0,25 mg/l dan medium WPM yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l dan NAA 0,5 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan persentase munculnya tunas.

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait