• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Patogenisitas HearNPV

Uji bioassai menunjukkan bahwa pada satu hari setelah inokulasi (1 HSI) telah terjadi mortalitas larva uji pada kerapatan 2.5x107 POBs/mL oleh perlakuan isolat HearNPV Sulawesi Selatan yaitu sebesar 3.8%, dan isolat HearNPV Jawa Timur sebesar 2.5%, sedangkan isolat HearNPV Jawa Tengah belum menunjukkan adanya kematian. Mortalitas larva uji oleh isolat HearNPV Jawa Tengah baru terlihat pada 2 HSI dengan kerapatan 2.5x103 POBs/mL yaitu sebesar 5.1%, namun pada isolat HearNPV Sulawesi Selatan justru belum menunjukkan adanya kematian larva uji pada kerapatan tersebut (Tabel 1). Isolat HearNPV Sulawesi Selatan pada kerapatan tinggi (>2.5x105 POBs/mL) mampu menyebabkan mortalitas larva uji tertinggi dibandingkan dengan kedua isolat lainnya, namun tidak demikian halnya pada kerapatan rendah (≤2.5x105 POBs/mL). Isolat HearNPV Jawa Timur pada kerapatan rendah justru menunjukkan mortalitas larva uji lebih tinggi dibandingkan dengan kedua isolat lainnya.

Analisis lanjutan dengan probit diperoleh nilai lethal concentration (LC) pada 3 HSI yaitu LC50 sebesar 6.3x105 POBs/mL dan LC90 sebesar 1.0x108

POBs/mL oleh isolat HearNPV Sulawesi Selatan (Tabel 2). Nilai ini merupakan nilai LC terendah dibandingkan dua isolat lainnya, dengan persamaan regresi y = 17.9x - 53.6 yang menunjukkan hubungan antara logaritma kerapatan dan probit persentase mortalitas larva. Nilai kemiringan (slope) yang terbentuk sebesar 17.9. Nilai slope yang positif menunjukkan hubungan yang berbanding lurus, artinya semakin tinggi nilai X maka semakin besar pula nilai Y. Ketiga isolat HearNPV memiliki nilai R2 mendekati 1, artinya koefisien korelasi antara variabel X dan Y sangat erat. Hal ini juga menunjukkan keragaman data yang cukup baik (Gambar 8).

Pada 7 HSI, isolat HearNPV asal Jawa Timur menunjukkan nilai LC50 dan

LC90 terendah yaitu pada kerapatan 6.4 POBs/mL dan 6.6x103 POBs/mL, disusul

oleh isolat HearNPV Sulawesi Selatan dengan kerapatan 9.8 POBs/mL pada LC50

dan 3.9x104 POBs/mL pada LC90, selanjutnya isolat HearNPV Jawa Tengah

dengan kerapatan 4.2x102 POBs/mL pada LC50 dan 4.0x105 POBs/mL pada LC90.

Persamaan regresi yang terbentuk dari nilai probit isolat HearNPV Jawa Timur yaitu y = 3.5x+77.5, sehingga menghasilkan kurva yang sangat landai dengan nilai kemiringan (variabel X) 3.5 (Gambar 9). Nilai LC yang rendah menunjukkan sifat patogenisitas yang tinggi (Finney1971).

Tabel 2 Nilai virulensi tiga isolat HearNPV terhadapmortalitas larva H. armigera pada 3 HSIa

Isolat HearNPV LC50 (POBs/mL) LC90 (POBs/mL) Sulawesi Selatan 6.3x105 1.0x108 Jawa Tengah 6.3x107 2.5x1013 Jawa Timur 1.0x107 2.5x1012 a

HSI : hari setelah inokulasi

Tabel 3 Nilai virulensi tiga isolat HearNPV terhadapmortalitas larva H. armigera pada 7 HSIa

Isolat HearNPV LC50 (POBs/mL) LC90 (POBs/mL) Sulawesi Selatan 9.8 3.9x104 Jawa Tengah 4.2x102 4.0x105 Jawa Timur 6.4 6.6x103 a

HSI : hari setelah inokulasi

Gambar 8 Mortalitas probit (lethal concentration) tiga isolat HearNPV terhadap H. armigera pada 3 HSI

Gambar 9 Mortalitas probit (lethal concentration) tiga isolat HearNPV terhadap H. armigera pada 7 HSI

Isolat HearNPV Jawa Timur menunjukkan kemampuan membunuh lebih cepat dibandingkan kedua isolat lainnya pada kerapatan 2.5x103 POBs/mL, hal ini terlihat dengan rendahnya nilai LT50 dan LT90 yaitu 4.1 dan 7.6 HSI (Tabel 4).

Nilai koefisien regresi variabel rentang waktu setelah inokulasi (X) sebesar 9.1, artinya jika ada penambahan rentang waktu 1 hari setelah isolat HearNPV Jawa Timur diinokulasikan, maka mortalitas H. armigera (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 9.1 (Gambar 10). Pada kerapatan 2.5x107 POBs/mL, isolat HearNPV Sulawesi Selatan dan Jawa Timur menunjukkan nilai LT50 dan LT90

yang tidak berbeda nyata (Tabel 5). Kedua isolat tersebut mampu mematikan 50% populasi larva uji pada 2.7 HSI dan 90% pada 4-5 HSI. Nilai koefisien regresi variabel rentang waktu setelah inokulasi (X) pada isolat HearNPV Sulawesi Selatan sebesar 19.5 dan Jawa Timur sebesar 14.6. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara rentang waktu setelah inokulasi dengan tingkat mortalitas, semakin banyak rentang waktu setelah inokulasi virus maka semakin meningkatkan mortalitas larva uji. Ketiga isolat HearNPV memiliki nilai R2 mendekati 1, artinya keragaman data cukup baik (Gambar 11).

a HSI : hari setelah inokulasi

Tabel 4 Kecepatan membunuh tiga isolat HearNPV terhadaplarva H. armigera pada kerapatan 2.5 x 103 POBs/mL

a

HSI : hari setelah inokulasi

Gambar 10 Mortalitas probit (lethal time) tiga isolat HearNPV terhadap H. armigera pada kerapatan 2.5x103 POBs/mL

Tabel 5 Kecepatan membunuh isolat HearNPV terhadaplarva H. armigera pada kerapatan 2.5 x 107 POBs/mL Isolat HearNPV LT50 (HSI)a (HSI)LT90 a Sulawesi Selatan 4.9 8.7 Jawa Tengah 5.6 12.7 Jawa Timur 4.1 7.6 Isolat HearNPV LT50 (HSI)a LT90 (HSI)a Sulawesi Selatan 2.7 4.4 Jawa Tengah 3.2 6.0 Jawa Timur 2.7 4.8

Gambar 11 Mortalitas probit (lethal time) tiga isolat HearNPV terhadap H. armigera pada kerapatan 2.5x107 POBs/mL

Larva yang terinfeksi HearNPV menunjukkan tanda terjadinya perubahan warna integumen menjadi pucat kecoklatan dan tampak seperti berminyak. Tubuh terlihat membengkak dan rapuh hingga mengeluarkan cairan berbau menyengat berisikan jutaan polihedra NPV. Larva yang mati ditemukan berada pada permukaan wadah bagian atas. Secara patologis, tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh isolat HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur cenderung sama. Berbeda halnya dengan larva sehat memiliki ukuran tubuh lebih besar dan tubuh berwarna kuning cerah (Gambar 12).

Sampai pada hari terakhir pengamatan (15 HSI), larva yang mati maksimal berada pada instar 3. Jika dibandingkan pada siklus normal larva H. armigera sehat (kontrol), pada hari ke-15 telah memasuki instar 4. Adapun satu individu larva H. armigera pada pengujian isolat HearNPV Jawa Tengah berhasil memasuki fase pupa, namun tidak berkembang secara sempurna (cacat), dan akhirnya mati dengan bentuk kepala larva masih terlihat (Gambar 13).

Gambar 12 Tanda dan gejala larva H. armigera terinfeksi oleh tiga isolat HearNPV pada 4 HSI, (a) Sulawesi Selatan, (b) Jawa Tengah, (c) Jawa Timur, dan (d) kontrol.

Gambar 13 Tanda dan gejala pupa H. armigera terinfeksi HearNPV, (a) pupa sakit, (b) Kontrol (sehat)

Bentuk dan Ukuran Polihedra

Pada perbesaran 400x, polihedra HearNPV yang diamati menggunakan mikroskop cahaya nyaris sama di antara ketiga isolat berbentuk seperti butiran- butiran kecil (Gambar 14). Pengamatan lebih lanjut menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), juga menunjukkan bentuk polihedra pada isolat HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan ukuran yang tidak jauh berbeda pula. Polihedra isolat HearNPV Sulawesi Selatan berukuran

a

b

c

d

d= 0.84 µm, isolat HearNPV Jawa Tengah berukuran d= 0.92 µm, dan polihedra isolat HearNPV Jawa Timur berukuran d= 0.87 µm (Gambar 15).

Gambar 14 Polihedra HearNPV di bawah mikroskop cahaya (400x)

Gambar 15 Polihedra tiga isolat HearNPV melalui SEM 5000x,

(a) Sulawesi Selatan, (b) Jawa Tengah, dan (c) Jawa Timur

Karakter Molekuler

Amplifikasi DNA HearNPV dengan primer forward dan reverse gen lef-8 menunjukkan hasil yang baik, terlihat dari terbentuknya pita DNA 1, 2, dan 3. Ukuran pita yang terlihat sesuai dengan target yang diinginkan yaitu berukuran sekitar 789 pb (pasang basa) (Gambar 16).

Pengurutan DNA dilakukan untuk menentukan persentase kemiripan isolat HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berdasarkan gen lef-8. Identitas suatu gen yang telah diketahui sekuennya dapat ditentukan dengan membandingkan data sekuen yang terdapat pada GenBank. Dari hasil analisis penjajaran dengan menggunakan software bioedit menunjukkan bahwa isolat HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menghasilkan daerah conserve yang sama, sehingga mengindikasikan bahwa ketiganya merupakan

strain HearNPV yang sama dengan homologi 100%. Hasil ini kemudian diblast melalui situs online www.ncbi.nlm.nih.gov diperoleh beberapa spesies NPV yang memiliki kemiripan cukup tinggi dengan isolat HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Tabel 7).

Gambar 16 Hasil visualisasi DNA HearNPV (1) Sulawesi Selatan, (2) Jawa Tengah, dan (3) Jawa Timur menggunakan primer gen lef-8

Tabel 6 BLAST-N gen lef-8, genom penuh (www.ncbi.nlm.nih.gov) Asal Kode akses Panjang

DNA (pb) Persentase kemiripan Query discovery Max/total score H. armigera NPV SP1B- Spanyol KJ701033.1 132265 100 99 1410/1410 H. zea sNPV- Brazil KM596835.1 129694 99 99 1399/1399 H. armigera NPV-Australia JN584482.1 130992 99 99 1376/1376 H.armigera NPV G4- Cina AF271059.2 131405 99 99 1376/1376 H. armigera NPV NNg1- Nigeria AP010907.1 132425 99 99 1376/1376

Parameter yang diamati pada hasil BLASTN yaitu Query discovery dan Max/total score. Melalui parameter Query discovery dapat diketahui berapa persen dari total panjang urutan nukleotida sampel yang cukup baik untuk disejajarkan dengan urutan nukleotida yang dimiliki oleh GenBank NCBI, sedangkan parameter max/total score dapat diketahui persen kesamaan antara urutan nukleotida sampel yang disejajarkan dengan urutan nukleotida bank data (Agustin 2013). Hasil BLASTN pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ketiga isolat HearNPV sampel asal Indonesia (Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) memiliki nilai max/total score yang cukup tinggi dengan HearNPV asal

789 pb 1 2 3 750 pb 500 pb 250 pb 1 kb marker

spanyol (No. akses KJ701033.1) dengan persentase kemiripan 100%, dan query discovery 99%.

Tabel 7 Homologi HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur gen lef-8 dengan sampel dari GenBank

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 ID 2 1 ID 3 1 1 ID 4 1 1 1 ID 5 1 1 1 1 ID 6 0.987 0.987 0.987 0.987 0.987 ID 7 0.989 0.989 0.989 0.989 0.989 0.992 ID 8 0.987 0.987 0.987 0.987 0.987 1 0.992 ID 9 0.984 0.984 0.984 0.984 0.984 0.982 0.979 0.982 ID Ket : 1. HearNPV Sulawesi Selatan, 2. HearNPV Jawa Tengah, 3. HearNPV

Jawa Timur, 4. HearNPV Spanyol, 5. HezeNPV Brazil, 6. HearNPV Australia, 7. HearNPV Nigeria, 8. HearNPV Cina, 9. HearNPV India Ketiga isolat HearNPV asal Indonesia ini menunjukkan kekerabatan tinggi dengan homologi 100% pada isolat Helicoverpa zea NPV asal Brazil (No. akses: KM596835.1), dan H. armigera NPV Spanyol (No. akses: KJ701033.1), serta homologi >98% pada HearNPV India (No. akses: FJ157286.1), Nigeria (No. akses: AP010907.1), Australia (No. akses: JN584482.1), dan Cina (No. akses: AF271059.2). Selain kelima spesies HearNPV dan HezeNPV hasil blast, juga digunakan spesies pembanding yang merupakan NPV dari Lepidoptera lainnya (Tabel 8). Hal ini bertujuan untuk melihat jarak genetik/kekerabatan antara isolat HearNPV dan spesies Lepidoptera NPV lainnya.

Konstruksi pohon filogeni menunjukkan terbentuknya dua cluster, isolat HearNPV Indonesia berada dalam cluster yang sama dengan NPV genus Helicoverpa lainnya, sedangkan NPV Lepidoptera dari genus lain (Hemerocampa sp./Lymantriidae, Spodoptera sp./Noctuidae, Leucoma sp./Lymantriidae, dan Spilarctia sp./Arctiidae) berada pada cluster terpisah (Gambar 17).

Tabel 8 Spesies Lepidoptera NPV gen lef-8 sebagai pembanding Helicoverpa NPV hasil BLASTN, genom sebagian (www.ncbi.nlm.nih.gov)

Kode akses Spesies Lepidoptera NPV Panjang (pb)

AY706558.1 Hemerocampa vetusta nucleopolyhedrovirus isolate A24-5 lef-8 gene, partial cds., Jerman

699 AB451187.1 Spodoptera litura NPV lef-8 gene for late

expression factor 8, isolate: Act-1, Jepang

446 JX454582.1

AY729809.1

Spodoptera littoralis NPV isolate 3032 late expression factor 8 (lef-8) gene, Columbia Leucoma salicis nucleopolyhedrovirus late expression factor 8(lef-8) gene, partial cds., Polandia

715

479 KT149869.1 Spilarctia obliqua nucleopolyhedrovirus isolate

IISR-NPV-02 lef-8 (lef-8) gene, India

688

Gambar 17 Pohon filogeni Lepidoptera NPV diolah dengan software Mega 5

Pembahasan

Uji patogenisitas menunjukkan bahwa isolat HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur virulen terhadap larva uji, H. armigera. Kerapatan polihedra berkorelasi positif terhadap persentase mortalitas larva uji. Dengan meningkatnya kerapatan HearNPV yang diinokulasikan pada larva instar pertama H. armigera, maka semakin tinggi pula persentase mortalitas H. armigera. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak jumlah polihedra yang tertelan oleh larva yang dapat meningkatkan peluang terjadinya infeksi pada sel-sel jaringan tubuh,

HearNPV_SulSel HezeNPV_Brazil (KM596835.1) HearNPV_Spanyol (KJ701033.1) HearNPV_JaTim HearNPV_JaTeng HearNPV_India(FJ157286.1) HearNPV_Nigeria (AP010907.1) HearNPV_Australia (JN584482.1) HearNPV_Cina (AF271059.2) LesaNPV_Polandia (AY729809.1) SpobNPV_India (KT149869.1) HeveNPV_Jerman (AY706558.1) SpliNPV_Jepang (AB451187.1) SpltNPV_Columbia (JX454582.1)

sebaliknya pada kerapatan polihedra yang rendah akan memperpanjang periode laten bagi virus dalam tubuh serangga (Laoh et al. 2003). Pada kerapatan rendah (2.5x103 POBs/mL), rerata ketiga isolat mampu mematikan seluruh populasi larva uji setelah 10 HSI. Pada kerapatan tinggi (2.5x107 POBs/mL), rerata ketiga isolat mampu mematikan seluruh populasi larva uji pada 7 HSI. Percobaan yang dilakukan oleh Gundannavar et al. (2004) pada isolat HearNPV dengan kerapatan 106 POBs/mL dapat menyebabkan mortalitas H. armigera sebesar 50-100% dalam kurun waktu 5-8 HSI. Pada kerapatan yang lebih rendah yaitu 103 POBs/mL, mortalitas larva uji mencapai 66.67% pada 10 HSI. Narayanan dan Jayaraj (2002) menunjukkan analisis regresi hubungan antara berat larva pada tiap instar yang berbeda dan jumlah polihedra; kerapatan 3.5x105 POBs/mL diperoleh waktu mematikan sebagian populasi larva uji yaitu 3.5 HSI untuk instar awal dan 8 HSI untuk instar-5. Isolat HearNPV asal Yogyakarta dengan kerapatan 2x108 POBs/mL dapat menyebabkan mortalitas H. armigera sebesar 85% dalam kurun waktu satu minggu, pada kerapatan yang lebih rendah yaitu 2x105 POBs/mL dapat memakan waktu 2 minggu (Asri et al. 2003).

Kerapatan infektif untuk NPV bervariasi terhadap usia larva, semakin tua larva uji yang digunakan maka kerapatan yang diperlukan juga semakin meningkat. Apabila dihubungkan dengan berat larva, dapat diasumsikan bahwa untuk infeksi optimal menggunakan larva instar-3 atau 4 dengan berat 40-70 mg, dapat digunakan dosis 105 OB (occlusion body) per serangga (dosis permukaan) dengan hasil saat pemanenan HearNPV dapat mencapai 3x109 OB per larva. Pada larva uji instar awal (<instar-3) dengan berat larva berkisar 20 mg mudah terinfeksi dengan dosis lebih rendah namun cenderung mati pada ukuran larva yang masih kecil dengan produksi OB yang sedikit, sehingga sangat sulit untuk mencapai 1 x 109 OB per larva saat panen HearNPV. Hal yang berbeda terjadi pada larva instar akhir (instar-5 sampai 6) sulit untuk menginfeksi dan diperlukan jumlah inokulum yang diperlukan sangat besar. Selanjutnya periode larva cukup pendek menjadi pupa, OB yang diproduksi jarang melebihi 1x108 OB per larva (Grzywacz et al 2011). Menurut Pourmirza et al. (2000), tidak ada perbedaan kerentanan yang signifikan antar instar larva dalam mengekspresikan polihedra/mg dalam masing-masing berat larva. Dengan demikian, penggunaan instar-1 (neonate) sebagai larva uji dapat dilakukan dengan pertimbangan kebugaran larva yang seragam mudah diperoleh, jumlah larva uji yang dibutuhkan cukup besar, dan kemudahan dalam memperoleh larva uji bebas kontaminan cukup praktis dilakukan melalui sterilisasi permukaan telur (Grzywacz et al. 2011).

Kerapatan yang digunakan untuk inokulasi merupakan hal yang sangat penting dan harus dioptimalkan. Terlalu banyak virus yang digunakan menjadikannya boros dan tidak efisien sehingga dapat membunuh larva kecil sebelum mereka dapat tumbuh cukup besar untuk menghasilkan virus yang maksimal. Terlalu sedikit akan meninggalkan beberapa larva terinfeksi. Setiap sistem virus / hama akan memiliki dosis optimum sendiri. Occlussion body (OB) yang digunakan sebagai tolok ukur penghitungan kerapatan ini mengandung sejumlah virion. NPV memproduksi dua tipe virion, yaitu budded virions (BVs) untuk perpindahan infeksi virus dalam inang dari satu sel ke sel lainnya, dan occlusion derived virions (ODVs) berupa badan oklusi yang berperan dalam perpindahan virus dari satu individu inang ke inang lainnya. Jumlah polihedra

yang dalam hal ini juga memiliki virion merupakan faktor yang sangat diperlukan virus dalam proses infeksi primer pada tubuh serangga inang yang menyebabkan terikatnya virion tersebut ke reseptor mikrovili dan terjadinya fusi antara membran ODV dan mikrovili pada sel mesenteron (Simon et al. 2013). Replikasi virion terjadi di dalam inti sel (nukleus) mesenteron. Nukleus lama-kelamaan akan membengkak karena dipenuhi oleh massa padat yang disebut viroplan. Selama infeksi berlangsung di luar mesenteron, proses perbanyakan nukleokapsid berjalan dengan cepat sehingga membentuk banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel tubuh serangga akhirnya mengakibatkan kematian. Proses ini membutuhkan waktu 4 hari sampai 3 minggu bergantung pada jenis virus, serangga inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi dan keadaan suhu. Menurut Ignoffo & Couch (1981), dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi keruh. Pada tahap selanjutnya (sekunder) akan menyerang sel-sel organ tubuh. Pembentukan badan oklusi (polihedra) terjadi sebagai hasil infeksi sekunder pada jaringan sel hemolimf, trakea, hipodermis,dan badan lemak.

Isolat HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menunjukkan pola perkembangan dalam hal menginfeksi serangga uji yang berbeda. Pada kerapatan rendah, perlakuan isolat HearNPV Jawa Timur cukup baik memberikan hasil yang maksimal, sedangkan pada kerapatan tinggi perlakuan isolat HearNPV Sulawesi Selatan mampu menjadi pilihan yang tepat dalam menurunkan populasi larva uji dalam jumlah yang cukup besar, dan waktu yang lebih singkat. Brown (1982) menyatakan virus yang berasal dari spesies inang yang sama namun dari lokasi geografis yang berbeda menunjukkan variasi dalam virulensi, karakter biologi, dan perbedaan dalam susunan DNA. Isolat HearNPV Sulawesi Selatan cenderung memiliki kemampuan mematikan inang secara cepat. Hal ini ditunjukkan oleh nilai LC50 dan LC90 yang rendah pada hari

ketiga setelah inokulasi virus dilakukan. Namun kerapatan virus yang digunakan untuk mematikan lebih dari 50% populasi larva uji ini minimal berada pada kisaran 2.5x105 POBs/mL. Pada kerapatan dibawah nilai ini, isolat HearNPV Sulawesi Selatan kurang memberikan hasil yang maksimal. Sebaliknya terjadi pada isolat HearNPV Jawa Timur yang bekerja secara konstan, dimulai pada kerapatan rendah telah mampu menurunkan populasi larva uji dengan cukup baik walaupun cenderung lebih lamban yaitu pada 6 HSI. Hasil percobaan ini sesuai dengan pendapat Starnes et al. (1993) bahwa kematian ulat akibat NPV mulai terjadi pada 3-4 HSI, bergantung pada strain virus, jenis inang, stadia inang, banyaknya polihedra, dan suhu. Variasi beberapa fenotip isolat virus HearNPV dari beberapa wilayah geografis dapat dikarakterisasi berdasarkan tiga sifat dalam siklus hidupnya yaitu patogenisitas, kecepatan membunuh, dan jenis virion yang dihasilkan (Hodgson et al. 2001).

Perbedaan isolat NPV diduga memengaruhi mekanisme kerja virus tersebut dalam mematikan inangnya. Menurut Grzywacs et al. (2011), virion yang terlepas melewati membran peritrofik pada saluran pencernaan dan melebur dengan mikrovili pada sel epitel kolumnar. Virion mengandung nukleokapsid yang di dalamnya terdapat DNA, akan masuk ke dalam sitoplasma dan menuju inti sel melalui pori pada inti sel. Hal ini merupakan siklus replikasi awal dari virus. Nukleokapsid beristirahat, dan DNA mulai bereplikasi. Selama kurang lebih satu jam setelah infeksi, virus mulai bereplikasi. Nukleus mengalami pembengkakan

pada delapan jam setelah infeksi. Setelah itu progeni virus membentuk tunas disebut peplomer (budded virus) untuk bermigrasi di luar sel. Produksi polihedra ini biasa nya memakan waktu 48 jam. Pada tahap ini siklus primer telah selesai dan selanjutnya memulai siklus kedua dengan menginfeksi jaringan tubuh lainnya. Derajat patogenisitas (virulensi) virus ini didasarkan pada kemampuan virus membunuh organisme sasaran dalam waktu yang singkat, dalam hal ini nilai LC dan LT yang rendah digunakan sebagai parameter pengujian. Isolat HearNPV Jawa Timur mampu mematikan larva uji dalam jumlah cukup besar pada kerapatan minimum, serta dalam waktu yang cukup singkat. Selanjutnya disusul oleh isolat HearNPV Sulawesi Selatan, kemudian Jawa Tengah.

Menurut Fuxa (1994), larva yang terinfeksi virus masih tetap menunjukkan aktivitas makan karena energi yang dihasilkan dari aktivitas makan tersebut diperlukan untuk bertahan hidup. Infeksi virus akan menyebabkan metabolisme sel larva serangga terganggu, sehingga menurunkan potensi energi yang dihasilkan larva yang seharusnya digunakan untuk tumbuh dan berkembang (Bong & Sikorowski 1991). Infeksi virus ini menyebabkan perpanjangan waktu menuju pupa yang berarti menghabiskan energi larva (Sanjaya 2000). Secara umum, gejala awal pada serangga yang terinfeksi NPV ditandai dengan perubahan warna tubuh dan perubahan perilaku serangga tersebut. Pada penelitian ini, ketiga isolat menunjukkan tanda dan gejala infeksi yang sama. Larva yang terinfeksi NPV memiliki gejala aktifitas makan yang cenderung berkurang dan gerakan tubuh yang berangsur-angsur menjadi lambat, tekstur tubuh lunak, dan integumen berubah warna, serta hemolimfa menjadi keruh, selanjutnya mengakibatkan kematian. Di lapangan larva yang terinfeksi NPV sering terlihat menggantung dengan kedua tungkai semu menempel pada daun atau ranting tanaman membentuk huruf “V” terbalik atau terkulai pada helaian daun (Samsudin 2011). Toprak et al. (2005) menambahkan bahwa gejala infeksi virus pada serangga akan menunjukkan adanya perubahan bertingkat dalam warna integumen yang semakin bertambah gelap dan tampak berminyak. Kutikula larva yang terinfeksi NPV menipis dan menjadi rapuh akibat kinerja gen cathepsin dan enzim kitinase yang terdapat dalam genom Baculovirus. Adapun perkembangan fase larva yang terinfeksi NPV cenderung lebih lamban dan lama. Hal ini disebabkan oleh adanya fungsi gen ecdysteroidglucosyl transferase (egt) yang dimiliki oleh NPV (Etebari et al. 2007) yang berfungsi menonaktifkan hormon ecdysteroid serangga inang sehingga stadia larva dari serangga yang terinfeksi virus akan semakin panjang (Koul & Dhaliwal 2002).

Pada pengamatan dengan menggunakan SEM, ukuran polihedra dari ketiga isolat HearNPV cenderung sama, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Cheng (1998) mengemukakan ukuran dan bentuk polihedra (OB) cukup bervariasi bergantung pada spesies. Beberapa bentuk polihedra yang pernah dilaporkan yaitu berbentuk kuboid, dodecahedral, tetrahedral dan bentuk tidak beraturan. Lima isolat HearNPV dari wilayah geografis yang berbeda di India menunjukkan variasi dalam ukuran, virulensi dan pemotongan situs restriksi pada pita DNA elektroforesis. Diameter rerata dari polihedra 1.9 µm dan tidak berbeda secara segnifikan di antara kelima isolat tersebut. Hasil visualisasi elektroforesis dengan SDS-PAGE menunjukkan pola polihedrin yang sama. Namun demikian, virulensi kelimanya cukup berbeda signifikan dengan nilai LC50 terendah ditunjukkan oleh

dari Coimbatore (Somasekar et al. 1993). Menurut Guo et al 2006, bentuk dan ukuran polihedra tidak berkontribusi dalam hal patogenisitas dan kecepatan isolat HearNPV dalam membunuh larva H. armigera. Secara patologis, pembentukan badan oklusi menghasilkan keturunan virus untuk menginfeksi individu serangga lain. Penelitian yang dilakukan Guo et al. (2006) pada dua isolat HearNPV asal Cina menunjukkan patogenisitas yang berbeda, namun secara mikroskopis, penampang kedua isolat tersebut tidak jauh berbeda, baik dari ukuran maupun

Dokumen terkait