• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Fertilitas

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rataan fertilitas telur itik seperti tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan fertilitas telur itik hasil IB.

Perlakuan Rataan Standar Deviasi (sd)

P0 51,67 ± 7,53

P1 56,67 ± 5,16

P2 61,67 ± 7,53

Rataan 56,67 ± 7,67

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa rataan fertilitas tertinggi terdapat pada perlakuan P2 yaitu sebesar 61,67% dan terendah pada perlakuan P0 yaitu sebesar 51,67%. Menurut Suprijatna dkk (2005) fertilitas telur itik berkisar antara 85-95%. Berdasarkan Tabel 6, semua perlakuan tidak mencapai kisaran dari fertilitas telur itik.

Daya Tetas

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rataan daya tetas telur itik seperti tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan daya tetas telur itik hasil IB.

Perlakuan Rataan Standar Deviasi (sd)

P0 41,39 ± 12,31

P1 52,22 ± 12,05

P2 58,26 ± 13,32

Rataan 50,62 ± 13,82

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa rataan daya tetas telur itik tertinggi terdapat pada perlakuan P2 yaitu sebesar 58,26% dan terendah pada perlakuan P0 yaitu sebesar 41,39%. Menurut Anonymous (1983) yang disitasi oleh Murtidjo

(1988) daya tetas telur itik untuk lama penyimpanan 7 hari adalah 47,2%. Berdasarkan Tabel 7, perlakuan P1 dan P2 sangat bagus karena persentase daya tetasnya melebihi kisaran 47,2%.

Mortalitas Fertil

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rataan mortalitas fertil telur itik seperti tertera pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan mortalitas fertil telur itik hasil IB.

Perlakuan Rataan Standar Deviasi (sd)

P0 58,61 ± 12,31

P1 47,78 ± 12,05

P2 41,75 ± 13,32

Rataan 49,38 ± 13,82

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa rataan mortalitas fertil telur itik tertinggi terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 58,61% dan terendah pada perlakuan P2 yaitu sebesar 41,75%.

Berat DOMD

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rataan berat DOMD itik lokal seperti tertera pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan berat DOMD hasil IB.

Perlakuan Rataan Standar Deviasi (sd)

P0 45,89 ± 1,31

P1 47,25 ± 1,67

P2 46,88 ± 1,43

Rataan 46,67 ± 1,51

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa rataan berat DOMD itik lokal tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 47,25gr dan terendah terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 45,89gr.

Pembahasan

Fertilitas

Untuk mengetahui pengaruh frekuensi IB terhadap rataan fertilitas telur selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman yang tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Analisis keragaman fertilitas telur itik selama penelitian.

F.Tabel SK DB JK KT F.Hitung 0,05 0,01 Perlakuan 2 300 150 3,21tn 3,68 6,36 Galat 15 700 46,67 Total 17 1000 KK = 12,05% tn = tidak nyata

Hasil analisis keragaman di atas menunjukkan bahwa frekuensi IB 3 kali semingu tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap fertilitas. Walaupun demikian, frekuensi IB 3 kali seminggu cenderung meningkatkan fertilitas terlebih jika saat di IB betina dalam masa produktif, sperma tetap hidup dan bertambah jumlahnya. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka Sastrodihardjo dan Resnawati (2003) yang menyatakan bahwa interval dan frekuensi IB selama masa produksi dapat meningkatkan daya fertil sperma karena frekuensi IB berkaitan dengan penambahan jumlah sperma dalam saluran oviduk betina selama masa produksi.

Kisaran fertilitas telur itik adalah 85-95%. Namun, tidak satupun perlakuan yang diteliti mencapai nilai kisaran tersebut. Rendahnya fertilitas yang dicapai disebabkan oleh banyaknya sperma motil yang mati atau terhambat pergerakannya saat berada dalam saluran reproduksi itik betina. Selain itu, kemungkinan waktu IB dan oviposisi kurang tepat sehingga fertilisasi di infundibulum tidak terjadi. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka menurut

Sastrodihardjo dan Resnawati (2003) yang menyatakan bahwa waktu IB dan oviposisi berkaitan dengan perkiraan waktu untuk fertilisasi di infundibulum. Kematian sperma dalam saluran reproduksi betina karena pergerakan sperma yang menuju infundibulum berlawanan arah dengan perjalanan telur ke arah kloaka untuk oviposisi.

Hal lain yang menyebabkan rendahnya fertilitas adalah metode deposisi sperma yang dilakukan. Metode IB yang digunakan pada penelitian ini adalah metode uterovaginal. Saat IB, sperma dideposisi pada bagian yang diapit oleh uterus dan vagina agar sperma setiap kali di IB dapat dengan mudah masuk kedalam sarang sperma dan disimpan untuk sementara waktu. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka menurut Setioko (1989) yang menyatakan bahwa glandula uterovaginal pada alat reproduksi unggas betina adalah tempat penyimpanan sperma dalam oviduk, yang menentukan fertilitas. Jika sebagian besar sperma disimpan dalam glandula uterovaginal maka deposisi sperma saat IB menjadi sangat penting agar sperma tidak hilang dari vagina melalui proses regurgitasi atau tidak tersimpan dalam glandula.

Daya Tetas

Untuk mengetahui pengaruh frekuensi IB pada itik lokal terhadap rataan daya tetas telur itik selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti tertera pada Tabel 11.

Tabel 11. Analisis keragaman daya tetas telur itik selama penelitian.

F.Tabel

SK DB JK KT F.Hitung 0,05 0,01

Perlakuan 2 876,53 438,27 2,77tn 3,68 6,36 Galat 15 2371,55 158,10

KK = 24,83% tn = tidak nyata

Hasil analisis keragaman di atas menunjukkan bahwa frekuensi IB pada itik lokal tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap daya tetas telur hasil IB. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah fertilitas, karena fertilitas hasil IB rendah (tidak sesuai dengan yang dikemukakan yakni 85-95%) maka daya tetas juga rendah. Sesuai dengan tinjauan pustaka menurut North (1984) yang menyatakan semakin tinggi fertilitas, maka daya tetas cenderung semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Meskipun rendah, namun nilai kisaran daya tetas telur yang disimpan selama 7 hari telah tercapai. Sesuai dengan tinjauan pustaka menurut Murtidjo (1988) yang menyatakan penyimpanan telur selama 7 hari daya tetas telurnya sebesar 47,2%.

Walaupun daya tetasnya rendah, daya tetas telur yang di IB 3 kali seminggu cenderung meningkat. Fertilitas yang makin tinggi tiap perlakuan meningkatkan daya tetas tiap perlakuan juga. Tetapi masih ada faktor lama penyimpanan telur yang juga menentukan daya tetas telur. Jika telur terlalu lama disimpan, akan terjadi penguapan sehingga mengurangi kualitas telur dan kemampuan menetas. Sesuai dengan pernyataan Murtidjo (1988) yang menyatakan penyimpanan yang terlalu lama mengakibatkan daya tetas dan kualitas telur menurun. Semakin lama disimpan, kesempatan pertukaran gas dan udara makin besar dan penguapan makin cepat sehingga terjadi penyusutan berat telur dan pembesaran kantong udara yang menyebabkan daya tetas telur menurun.

Untuk mengetahui pengaruh frekuensi IB pada itik lokal terhadap rataan mortalitas fertil telur itik selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti tertera pada Tabel 12.

Tabel 12. Analisis keragaman mortalitas fertil telur itik selama penelitian. F.Tabel SK DB JK KT F.Hitung 0,05 0,01 Perlakuan 2 876,53 438,27 2,77tn 3,68 6,36 Galat 15 2371,55 158,10 Total 17 3248,08 KK = 25,46% tn = tidak nyata

Hasil analisis keragaman di atas menunjukkan bahwa frekuensi IB pada itik tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap mortalitas fertil. Tetapi mortalitas fertil cenderung menurun dari tiap perlakuan. Hal ini berkaitan dengan daya tetas dan lama penyimpanan telur, karena daya tetas telur yang rendah sehingga kemampuan untuk menetas dari tiktok juga rendah. Tiktok mengalami kesulitan untuk memecah kerabang telur dan keluar dari sana. Jika waktu untuk menetas terlalu lama dan sulit, maka tiktok dapat mengalami kematian. Sesuai dengan pernyataan Murtidjo (1988) semakin tebal kulit telur maka semakin lama telur menetas yang dapat menyebabkan kematian pada anak itik.

Mortalitas fertil tidak terlalu terkait dengan frekuensi IB tetapi pada daya hidup dan motilitas sperma yang di IB. Selain itu, faktor yang mempengaruhi adalah posisi perkembangan embrio selama dalam telur. Jika embrio berkembang menuju bagian runcing telur, maka saat menetas akan terjadi kesulitan untuk memecah rongga udara yang letaknya dibagian tumpul telur. Sesuai dengan pernyataan Suprijatna dkk (2005) yang menyatakan jika embrio berkembang dengan letak kepala di bagian runcing mengakibatkan anak ayam mengalami

kesulitan saat menetas untuk memecah rongga udara, saat terjadi peralihan sistem pernafasan yaitu saat pernafasan dengan jantung dimulai anak ayam akan mengalami kesulitan yang berakibat kematian saat anak ayam hendak menetas.

Mortalitas fertil juga terjadi karena embrio melekat pada satu sisi dari telur yang berkaitan dengan pemutaran telur. Sesuai dengan pernyataan Simanjuntak (2002) yang menyatakan pemutaran telur sebaiknya 4 x sehari sampai hari ke 28 sebab Srigandono (1997) menyatakan kegagalan penetasan sering terjadi akibat malposition. Fadilah dkk (2007) menyatakan bahwa pemutaran telur (turning) bertujuan untuk mencegah embrio menempel ke selaput kerabang di salah satu sisi telur. Suprijatna dkk (2005) menyatakan setelah telur dalam mesin tetas, specific gravity (ukuran kekentalan telur) berkurang dan telur menjadi lebih encer sehingga yolk akan mudah kontak dengan bagian lain albumen yang tipis (outer thick albumen). Jika telur tidak diputar, akan terjadi persinggungan yolk dengan bagian albumen lain yang mengandung enzim lisozim yang akan menguraikan protein sehingga akan mengakibatkan kematian embrio.

Berat Day Old Mule Duck (DOMD)

Untuk mengetahui pengaruh frekuensi IB pada itik lokal terhadap rataan berat DOMD itik lokal selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti tertera pada Tabel 13.

Tabel 13. Analisis keragaman berat DOMD itik lokal selama penelitian. F.Tabel SK DB JK KT F.Hitung 0,05 0,01 Perlakuan 2 5,89 2,95 1,35tn 3,68 6,36 Galat 15 32,9 2,19 Total 17 38,79 KK = 3,17% tn = tidak nyata

Hasil analisis keragaman di atas menunjukkan bahwa frekuensi IB pada itik tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat DOMD. Berat DOMD lebih dipengaruhi oleh berat telur tetas. Satandar berat telur tetas berkisar 65-75gr/butir sedangkan telur yang digunakan beratnya berkisar 65-71gr/butir. Rataan berat DOMD yang diperoleh P0 sebesar 45,89gr, P1 sebesar 46,88gr dan P2 sebesar 47,25gr. Hasil ini menunjukkan keseragaman berat DOMD karena range rataan berat DOMD dari tiap perlakuan kecil. Menurut Jayasamudera dan Cahyono (2005) sebaiknya telur yang akan ditetaskan beratnya berkisar 65-75 gr/butir. Jika telur terlalu kecil maka DOMD akan kecil dan lemah setelah menetas. Pernyataan tersebut didukung oleh Wiharto (1988) yang menyatakan penetasan dengan berat telur seragam akan memberikan hasil yang baik karena berat anak-anak unggas yang menetas nantinya juga akan seragam. Ketidakseragaman bobot akan berpengaruh pada lama pengeraman dan masa penetasan. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh berat telur terhadap persentase daya tetas dan bobot DOD.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka didapat hasil rekapitulasi penelitian seperti tertera pada Tabel 14.

Tabel 14. Rekapitulasi fertilitas, daya tetas, mortalitas fertil dan berat DOMD selama penelitian.

Perlakuan Fertilitas Daya Tetas Mortilitas Fertil Berat DOMD (%) (%) (%) (gr) P0 51,67tn 41,39tn 58,61tn 45,89tn P1 56,67tn 52,22tn 47,78tn 47,25tn P2 61,67tn 58,26tn 41,75tn 46,88tn tn = tidak nyata

Tabel 14 di atas menunjukkan bahwa frequensi IB tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap fertilitas, daya tetas, mortalitas fertil dan berat DOMD yang dihasilkan. Walaupun demikian, pada hasil penelitian tampak bahwa perlakuan P2 memiliki efektivitas yang cukup baik dibandingkan perlakuan P0 dan P1. Hal ini dapat dilihat dari persentase fertilitas, daya tetas dan mortalitasnya.

Dokumen terkait