• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Contoh Penelitian

Sebaran contoh penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, dan uang saku contoh dapat diketahui pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia, jenis kelamin, dan uang saku

Karakteristik Perkotaan Perdesaan

p Contoh n % n % Usia 12 tahun 0 0.0 2 2.8 13 tahun 47 57.3 26 37.1 0.008 14 tahun 33 40.2 31 44.2 15 tahun 2 2.5 11 15.9 Total 82 100 70 100 Jenis Kelamin Laki-laki 35 42.7 32 45.7 Perempuan 47 57.3 38 54.3 Total 82 100 70 100 Uang saku (Rp) ≤ 2 333 1 1.2 7 10.0 2 334 -11 838 73 89.0 61 87.1 0.000 ≥ 11 839 8 9.8 2 2.8 Rata-rata ± SD (Rp) 8548.7 ± 4190.3 5371.4 ± 2121.3

Sebagian besar contoh di perkotaan (57.3%) berusia 13 tahun, sedangkan di perdesaan (44.2%) berusia 14 tahun. Berdasarkan uji beda Mann Whitney

10

menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata usia contoh di perdesaan dan perkotaan. Jumlah contoh berjenis kelamin perempuan lebih banyak di kedua wilayah. Sebagian besar contoh, baik di perdesaan maupun perkotaan memiliki uang saku dalam kategori sedang, yaitu antara Rp 2 334 – 11 838. Berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan perbedaan yang nyata uang saku contoh di perdesaan dan perkotaan. Rata-rata uang saku contoh di perkotaan lebih banyak dibandingkan uang saku contoh di perdesaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Dapi et al. (2005) dimana uang saku remaja di perkotaan lebih besar dibandingkan perkotaan.

Karakteristik Keluarga

Sebaran contoh berdasarkan usia dan pendidikan orang tua dapat diketahui pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan pendidikan orang tua

Karakteristik Perkotaan Perdesaan

p

keluarga n % n %

Usia ibu

Dewasa awal (26-35 tahun) 9 10.8 16 22.8

Dewasa akhir (36-45 tahun) 57 69.5 40 57.1 0.188 Lansia awal (46-55 tahun) 14 17.0 13 18.6

Lansia akhir (56-65 tahun) 2 2.7 1 1.5

Total 82 100 70 100

Rata-rata ± SD (tahun) 41.01 ± 5.2 39.36 ± 7.9 Usia ayah

Dewasa awal (26-35 tahun) 2 2.4 9 12.8 Dewasa akhir (36-45 tahun) 51 62.2 32 45.7

Lansia awal (46-55 tahun) 24 29.2 21 30.0 0.836 Lansia akhir (56-65 tahun) 5 6.2 8 11.5

Total 82 100 70 100 Rata-rata ± SD (tahun) 44.85 ± 6.3 45.14 ± 8.2 Pendidikan ibu Tidak sekolah 0 0.0 6 8.5 SD 11 13.4 45 64.3 SMP 8 9.7 10 14.3 SMA 49 59.8 9 12.8 0.000 Universitas 14 17.1 0 0.0 Total 82 100 70 100 Pendidikan ayah Tidak sekolah 0 0.0 3 4.3 SD 6 7.3 40 57.1 SMP 6 7.3 15 21.4 SMA 46 56.1 11 15.7 0.000 Universitas 24 29.3 1 1.4 Total 82 100 70 100

11

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar usia ibu dan ayah contoh baik di perdesaan maupun perkotaan berada pada rentang usia dewasa akhir. Hasil uji beda Independent t test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia ibu contoh di perdesaan dan perkotaan. Sedangkan berdasarkan uji beda

Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata usia ayah contoh di perdesaan dan perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 8.5% ibu dan 4.3% ayah contoh yang tidak sekolah, 1.4% ibu contoh di perdesaan yang memiliki tingkat pendidikan hingga universitas. Tingkat pendidikan ibu dan ayah contoh di perdesaan sebagaian besar adalah SD dengan persentase masing-masing 64.29% dan 57.14%. Tingkat pendidikan ibu dan ayah contoh di perkotaan sebagian besar adalah SMA dengan persentase masing-masing 59.76% dan 56.10%, tidak terdapat orang tua contoh di perkotaan yang tidak sekolah dan terdapat 17.1% ibu dan 29.3% ayah contoh yang memiliki tingkat pendidikan hingga universitas di perkotaan. Hasil ini sejalan dengan Skhiri et al. (2008) dimana tingkat pendidikan orang tua di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata tingkat pendidikan orang tua contoh di perdesaan dan perkotaan.

Konsumsi Pangan

Energi dan zat gizi bagi tubuh dapat diperoleh dari konsumsi makanan. Berikut adalah rata-rata asupan energi protein contoh di perkotaan dan perdesaan. Tabel 5 Rata-rata asupan energi-protein contoh

Zat gizi Asupan p

Perkotaan Perdesaan

Energi (Kal) 1702 ± 724 1548 ± 483 0.071 Protein (g) 44.3 ± 34.2 34.7 ± 12 0.001

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa rata-rata asupan energi di perdesaan lebih sedikit dibandingkan di perkotaan. Hasil tersebut sejalan dengan Lachat et al. (2009) dimana asupan energi remaja di perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan Vietnam. Intake energi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan disebabkan makanan yang dikonsumsi contoh di perkotaan lebih beragam dengan porsi yang lebih besar dibandingkan di perdesaan. Jumlah intake energi paling rendah di perdesaan dan perkotaan masing-masing sebesar 827 Kal dan 852 Kal. Intake energi yang rendah disebabkan contoh hanya makan dua kali sehari dengan porsi yang kecil dan menu yang tidak beragam. Ketidakberagaman menu yang dikonsumsi contoh misalnya contoh hanya makan dengan nasi dan sayur, atau nasi dan lauk saja. Menu makanan yang baik terdiri dari nasi,sayur, lauk pauk, serta buah. Jumlah intake tertinggi di perdesaan dan perkotaan masing-masing sebesar 2476 Kal dan 2588 Kal. Intake energi yang tinggi disebabkan contoh makan utama sebanyak 3 sampai 4 kali sehari dan juga mengkonsumsi selingan 1 sampai 2 kali.

Hasil uji beda independent t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata asupan energi di perkotaan dan perdesaan, hasil ini sejalan

12

dengan Dwiningsih dan Pramono (2013) dimana tidak terdapat perbedaan asupan energi pada remaja di perkotaan dan perdesaan Semarang. Menurut Gropper et al.

(2009) apabila asupan energi kurang akan menyebabkan pengurangan massa jaringan tubuh, termasuk otot.

Pengeluaran energi digunakan untuk Basal Metabolic Rate dan aktivitas fisik. Keseimbangan energi tubuh dapat dicapai ketika jumlah energi yang masuk sama dengan jumlah energi yang keluar. Berdasarkan data diperoleh rata-rata intake energi di perkotaan dan perdesaan masing-masing 1702 Kal dan 1548 Kal. Perhitungan kebutuhan energi berdasarkan jumlah energi yang digunakan untuk BMR dan aktivitas fisik masing-masing-masing sebesar 1905 Kal dan 1916 Kal. Rata-rata tingkat kecukupan energi (perbandingan intake energi dengan kebutuhan energi untuk BMR dan aktivitas fisik) di perkotaan mencapai 91% sedangkan di perdesaan sebesar 82%, sehingga dapat diketahui bahwa keseimbangan energi tubuh remaja di perkotaan dan perdesaan tidak tercapai, dimana intake remaja lebih rendah dibandingkan kebutuhannya. Keseimbangan akan tercapai ketika tingkat kecukupannya sebesar 100%. Perbandingan keseimbangan energi berdasarkan jenis kelamin di peroleh hasil yang sama, dimana jumlah energi yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan jumlah intake energi pada laki-laki dan perempuan. Jumlah intake energi pada laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 1792 Kal dan 1504 Kal, sedangkan pengeluaran energinya masing-masing sebesar 2309 Kal dan 1775 Kal. Rata-rata tingkat kecukupan energi pada laki-laki sebesar 89% sedangkan perempuan sebesar 85%.

Tubuh juga memerlukan protein untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan. Apabila asupan energi kurang, asupan protein akan digunakan untuk mecukupi kebutuhan energi (Almatsier et al. 2011). Asupan protein contoh di perkotaan lebih banyak dibandingkan perdesaan. Hal ini dikarenakan di perkotaan contoh lebih sering mengkonsumsi makanan tinggi protein seperti daging ayam dan susu. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata asupan protein di perkotaan dan perdesaan. Hasil ini sejalan dengan Sondhya dan Akhter (2013) dimana asupan protein pada remaja di perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan dan terdapat perbedaan yang signifikan asupan protein di perkotaan dan perdesaan Bangladesh. Jumlah asupan energi dan protein yang dikonsumsi contoh kemudian diklasifikasikan tingkat kecukupannya berdasarkan Depkes (1996) (Tabel 6 dan Tabel 7).

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi

Kategori Perkotaan Perdesaan

n % n % Defisit berat 39 47.5 36 51.4 Defisit sedang 14 17.1 7 10.0 Kurang 6 7.3 13 18.5 Cukup 8 9.8 2 2.9 Lebih 15 18.3 12 17.2 Total 82 100 70 100 Rata-rata ± SD (%) 76.4 ± 26.98 73.98 ± 22.49

13

Sebanyak 47.5% contoh di perkotaan dan 51.4% contoh di perdesaan memiliki TKE dalam kategori defisit berat (Tabel 6). Hasil uji beda independent t test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata TKE contoh di perkotaan dan perdesaan. Hasil ini sejalan dengan Dwiningsih dan Pramono (2013) dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata TKE remaja di perdesaan dan perkotaan Semarang.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein

Kategori Perkotaan Perdesaan

n % n % Defisit berat 55 67.1 57 81.5 Defisit sedang 4 4.8 7 10.0 Kurang 8 9.8 3 4.2 Cukup 10 12.2 1 1.5 Lebih 5 6.1 2 2.8 Total 82 100 70 100 Rata-rata ± SD (%) 63.6 ± 27.8 54.2 ± 22.2

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa sebagian besar TKP contoh berada dalam kategori defisit berat. Jumlah contoh yang termasuk dalam kategori cukup di perkotaan lebih banyak dibandingkan perdesaan. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata TKP contoh di perdesaan dan perkotaan. Hasil ini sejalan dengan Dwiningsih dan Pramono (2013) dimana tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan protein pada remaja di perdesaan dan perkotaan.

Rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber protein contoh di perdesaan dan perkotaan dapat diketahui pada Tabel 8.

Tabel 8 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber protein (kali/minggu)

Jenis makanan Perkotaan Perdesaan Daging ayam 2.6 ± 1.8 1.8 ± 1.4 Daging sapi 0.7 ± 0.9 0.4 ± 0.9 Daging kambing 0.1 ± 0.1 0.1 ± 0.1 Ikan laut 1.0 ± 1.9 1.1 ± 1.3 Ikan pindang 0.4 ± 0.6 0.9 ± 1.3 Ikan tawar 0.9 ± 0.9 0.9 ± 0.9 Ikan asin 0.7 ± 0.8 1.4 ± 1.4 Susu sapi 3.7 ± 4.2 1.1 ± 1.5 Telur 3.4 ± 2.0 2.9 ± 1.3 Sosis/ nugget 2.0 ± 1.5 1.6 ± 1.4 Tahu 4.1 ± 4.1 2.6 ± 1.6 Tempe 4.0 ± 4.4 2.6 ± 1.7 Kacang-kacangan 1.5 ± 2.0 1.4 ± 1.3

Tabel 8 menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi konsumsi sebagian besar jenis makanan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber protein di perkotaan adalah 3 kali per hari sedangkan di perdesaan 2 kali per hari. Anjuran konsumsi pangan sumber protein

14

menurut pedoman gizi seimbang adalah 2-4 kali sehari. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa frekuensi konsumsi pangan sumber protein di perdesaan berada pada batas minimal konsumsi pangan sumber protein menurut pedoman gizi seimbang. Jenis makanan yang memiliki rata-rata konsumsi lebih tinggi di perkotaan adalah daging ayam, susu sapi, telur, sosis/nuget, tahu, dan tempe, yaitu sebanyak 4 dan 3 kali per minggu, sedangkan jenis pangan yang paling sering dikonsumsi di perdesaan adalah telur, tahu dan tempe sebanyak 2 kali per minggu. Hasil ini sejalan dengan Dapi et al. (2005) dimana jenis makanan yang paling sering dikonsumsi remaja di perkotaan adalah daging, ikan, telur, susu dan produk olahannya.

Pola konsumsi pangan merupakan frekuensi pangan yang biasa dikonsumsi dan biasanya berkembang dari pangan yang berada di sekitarnya (Suhardjo 1989). Menurut Norton dan Wilson (2009) untuk meningkatkan massa otot diperlukan peningkatan frekuensi konsumsi protein. Pengukuran pola konsumsi pangan ini menggunakan Food Frequency Questionnaires (FFQ) selama satu bulan terakhir. Kuesioner frekuensi konsumsi pangan mempunyai dua komponen utama, yaitu daftar pangan dan frekuensi konsumsi pangan. Metode ini mempunyai kekurangan dan kelebihan. Kelebihan metode ini adalah relatif murah, dapat dilakukan sendiri oleh responden, dan tidak membutuhkan latihan khusus. Kekurangan metode ini yaitu tidak dapat menghitung intake zat gizi sehari, cukup menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam bahan kuesioner, responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi (Supariasa et al. 2001).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber protein

Perkotaan Perdesaan

Jenis makanan Selalu Kadang - kadang Selalu Kadang-kadang % % % % Daging ayam 7.3 34.1 1.4 25.7 Daging sapi 0.0 7.3 0.0 8.5 Daging kambing 0.0 0.0 0.0 0.0 Ikan laut 0.0 6.1 0.0 17.1 Ikan pindang 0.0 2.4 0.0 15.7 Ikan tawar 0.0 9.7 0.0 10.0 Ikan asin 0.0 3.6 0.0 22.8 Susu sapi 28.0 15.8 1.4 15.7 Telur 13.4 50.0 0.0 65.7 Sosis/ nugget 0.0 34.1 0.0 30.0 Tahu 21.9 24.3 2.8 48.5 Tempe 21.9 23.1 5.7 41.4 Kacang-kacangan 7.3 10.9 0.0 21.4

Frekuensi konsumsi pangan sumber protein dikategorikan menjadi selalu apabila frekuensi konsumsi pangan sebanyak 1 kali atau lebih per hari, dan termasuk dalam kategori kadang-kadang apabila frekuensi konsumsi pangan 3-6 kali per minggu. Tabel 9 menunjukkan bahwa di kedua wilayah terdapat contoh

15

yang selalu mengkonsumsi daging ayam, susu, tahu dan tempe. Jumlah contoh di perkotaan yang selalu mengkonsumsi daging ayam, susu, tahu, dan tempe lebih tinggi di perkotaan dengan persentase masing-masing 7.3%, 28%, 21.9%, dan 21.9% contoh di perkotaan serta 1.4%, 1.4%, 2.8%, dan 5.7% contoh di perdesaan. Berdasarkan kategori kadang-kadang dalam mengkonsumsi tahu dan tempe, persentase contoh di perkotaan lebih sedikit dibandingkan perdesaan, masing-masing sebesar 24.3% dan 23.1% contoh perkotaan serta 48.5% dan 41.4% contoh di perdesaan. Berdasarkan data, tidak terdapat contoh di kedua wilayah yang selalu mengkonsumsi jenis-jenis ikan, tetapi jumlah contoh yang kadang-kadang mengkonsumsi ikan lebih banyak di daerah perdesaan dibandingkan perkotaan. Contoh di perdesaan tidak ada yang selalu mengkonsumsi telur, sedangkan di perkotaan terdapat 13.4% contoh yang selalu mengkonsumsi telur.

Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi konsumsi daging sapi, ikan pindang, dan susu diantara perkotaan dan perdesaan. Hasil ini sejalan dengan Dapi et al. (2005) dimana terdapat perbedaan yang signifikan frekuensi konsumsi daging, ikan, telur, dan susu pada remaja di perkotaan dan perdesaan Kamerun, Afrika.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjang yang lain dan memerlukan energi (Almatsier 2009). Tabel 10 menunjukkan rata-rata alokasi waktu beberapa aktivitas contoh selama 2 hari. Tabel 10 Rata-rata alokasi waktu contoh untuk melakukan aktivitas (jam/hari)

Jenis Aktivitas Perkotaan Perdesaan Sekolah 6.3 ± 1.0 4.9 ± 1.4 Tidur siang 0.9 ± 1.2 0.8 ± 0.9 Belajar 1.3 ± 0.9 0.6 ± 0.9 Bermain/bersantai 3.8 ± 1.5 3.5 ± 2.0 Olahraga dan seni 0.1 ± 1.7 0.6 ± 0.4 Menonton TV 3.1 ± 1.5 2.8 ± 2.2 Tidur malam 7.8 ± 1.3 8.2 ± 1.1 Perjalanan ke sekolah 0.3 ± 0.2 0.2 ± 0.1 Perjalanan selain ke sekolah 0.4 ± 0.4 0.3 ± 0.5 Aktivitas pribadi 2.3 ± 1.1 3.5 ± 4.1 Pekerjaan RT 0.3 ± 0.3 0.9 ± 1.2

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa aktivitas yang membutuhkan alokasi waktu lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan adalah sekolah, belajar, menonton TV. Aktivitas yang membutuhkan alokasi waktu lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan adalah aktivitas pribadi, olahraga, dan pekerjaan rumah tangga. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa lama tidur siang contoh di perkotaan sedikit lebih tinggi dibandingkan perdesaan, tetapi lama tidur malam contoh di perdesaan sedikit lebih tinggi dibandingkan perkotaan.

Aktivitas fisik terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu sangat ringan, ringan, sedang dan berat. Sebagian besar contoh baik di perdesaan (52.8%) maupun

16

perkotaan (69.5%) memiliki aktivitas fisik dalam kategori sangat ringan (Tabel 11). Aktivitas fisik contoh di perdesaan hanya berada dalam kategori sangat ringan dan ringan. Aktivitas fisik contoh di perdesaan berada dalam kategori sangat ringan, ringan, dan sedang. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata aktivitas fisik contoh di perdesaan dan perkotaan. Hasil tersebut sejalan dengan Rodrigues et al. (2012) dimana jumlah remaja yang memiliki aktivitas dalam kategori ringan lebih banyak di perkotaan dan jumlah remaja yang melakukan aktivitas fisik dalam kategori sedang lebih banyak di perdesaan. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik

Kategori Perkotaan Perdesaan

p aktivitas n % n % Sangat Ringan (<1.4) 57 69.51 37 52.86 Ringan (1.4-1.69) 25 30.49 30 42.86 0.005 Sedang (1.7-1.99) 0 0 3 4.28 Berat (2-2.4) 0 0 0 0 Total 82 100 70 100 PAL 1.36 ± 0.06 1.42 ± 0.12 Massa Otot

Ketika remaja selain terjadi perubahan tinggi badan dan berat badan, juga terjadi perubahan komposisi tubuh, salah satunya massa otot. Pengukuran massa otot dapat dilakukan dengan mengukur lingkar lengan atas dan ketebalan trisep (Supariasa et al. 2001), yang kemudian dihitung menggunakan rumus untuk mengukur massa otot. Tabel 12 menunjukkan rata-rata lingkar lengan atas (LILA), trisep, dan corrected Arm Muscle Area (cAMA) contoh di perkotaan dan perdesaan. Tabel 12 Rata-rata LILA, trisep, cAMA contoh berdasarkan lokasi

Pengukuran Perkotaan Perdesaan LILA (cm) 23.6 ± 3.4 22.6 ± 2.3 Trisep (cm) 1.3 ± 0.6 1.2 ± 0.7

cAMA (cm2) 23.2 ± 7.7 20.6 ± 6.2

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata LILA, trisep dan

cAMA di perkotaan lebih besar dibandingkan perdesaan. Hasil ini tidak sejalan dengan Dapi et al. (2005) dalam penelitiannya pada remaja di perdesaan dan perkotaan Kamerun, Afrika. Tabel 13 menunjukkan rata-rata LILA, trisep dan

cAMA pada laki-laki dan perempuan.

Tabel 13 Rata-rata LILA, trisep, cam berdasarkan jenis kelamin

Pengukuran Laki-laki Perempuan LILA (cm) 22.8 ± 5.6 21.8 ± 4.7 Trisep (cm) 0.8 ± 0.4 1.6 ± 0.5

17

Rata-rata LILA dan cAMA pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Rata-rata trisep lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hasil ini sejalan dengan Bann et al. (2014) dimana massa otot remaja laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dalam penelitiannya pada remaja di Skotlandia.

Hasil pengukuran LILA dan trisep dimasukkan ke dalam rumus, sehingga dapat diperoleh massa otot. Massa otot dikategorikan ke dalam 5 kategori, yaitu

wasted, below average, average, above average, dan high muscle (Tabel 14). Cut off massa otot berdasarkan Frisancho dan Tracer (1987) hanya berlaku pada usia 2-17 tahun.

Tabel 14 Sebaran massa otot contoh berdasarkan lokasi

Massa Otot Perkotaan Perdesaan p

n % n % Wasted 50 60.9 50 71.4 Below average 9 10.9 9 12.8 0.039 Average 20 24.3 10 14.4 Above average 3 3.7 0 0.0 High muscle 0 0.0 1 1.4 Total 82 100 70 100 cAMA(cm2) 23.2 ± 7.7 20.6 ± 6.2

Sebagian besar contoh di perkotaan (60.9%) dan perdesaan (71.4%) memiliki massa otot dalam kategori wasted. Jumlah contoh yang memiliki massa otot dalam kategori average di perkotaan lebih banyak dibandingkan daerah perdesaan. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata massa otot contoh di perkotaan dan perdesaan. Hasil tersebut sejalan dengan Dapi et al. (2005) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara massa otot remaja di perkotaan dan perdesaan Kamerun.

Pengklasifikasian massa otot berdasarkan Frisancho dan Tracker (1987) dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan tinggi badan contoh. Tabel 15 menunjukkan sebaran massa otot contoh berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 15 Sebaran massa otot contoh berdasarkan jenis kelamin

Massa Otot Laki-laki Perempuan

n % n % Wasted 48 71.6 52 61.2 Below average 12 17.9 6 7.1 Average 5 7.5 25 29.4 Above average 1 1.5 2 2.4 High muscle 1 1.5 0 0.0 Total 67 100 85 100 cAMA(cm2) 23.4 ± 8.5 21.0 ± 5.8

Tabel 15 menunjukkan bahwa 71.6% contoh laki-laki dan 61.2% contoh perempuan mempunyai massa otot dalam kategori wasted. Jumlah contoh yang mempunyai massa otot dalam kategori average lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa terdapat 1.5%

18

contoh laki-laki yang mempunyai massa otot dalam kategori high muscle, sedangkan pada perempuan tidak terdapat contoh yang mempunyai massa otot dalam kategori high muscle.

Status Gizi

Tabel 16 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan kategori WHO (2007) di perkotaan dan perdesaan.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U)

Status Gizi Perkotaan Perdesaan p

n % n % Sangat kurus 0 0.0 1 1.4 Kurus 4 4.8 6 8.6 Normal 60 73.3 60 85.7 0.012 Gemuk 16 19.5 3 4.3 Obes 2 2.4 0 0.0 Total 82 100 70 100 Z-Score -0.1 ± 1.2 -0.6 ± 1.0

Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh baik di perkotaan dan perdesaan memiliki status gizi normal. Jumlah contoh yang berstatus gizi gemuk di perkotaan lebih banyak dibandingkan di perdesaan. Hasil uji beda Independent T Test menunjukkan perbedaan yang nyata status gizi di perkotaan dan perdesaan, hasil ini sejalan dengan Dwiningsih dan Pramono (2013). Status gizi menurut Gibson (2005) yaitu keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan utilitas zat gizi dalam makanan.

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein

Menurut Suhardjo (1989) terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan yaitu karakteristik individu, karakteristik makanan, dan karakteristik sosial. Berdasarkan uji hubungan Rank Spearman uang saku berhubungan positif nyata (p<0.05) dengan frekuensi konsumsi daging sapi, susu sapi, daging ayam, namun berkorelasi negatif (p<0.05) dengan konsumsi ikan asin. Jumlah uang saku merupakan indikator keadaan ekonomi keluarga, semakin baik keadaan ekonomi keluarga maka uang saku remaja akan semakin tinggi (Syafitri et al. 2009). Menurut Dapi et al. (2005) peningkatan status ekonomi akan mengakibatkan seorang lebih sering mengkonsumsi makanan modern. Daging sapi, daging ayam, dan susu merupakan jenis pangan yang bersifat lebih modern dibandingkan ikan asin, sehingga ketika status ekonomi meningkat akan menyebabkan peningkatan konsumsi daging sapi, daging ayam, serta susu dan menurunkan konsumsi ikan asin. Pendidikan ibu dan ayah berkorelasi positif dengan frekuensi konsumsi daging ayam, daging sapi, susu sapi, dan telur. Hasil ini

19

sejalan dengan Choi et al. (2011) dimana semakin tinggi pendidikan orang tua akan meningkatkan konsumsi protein yang berasal dari daging, unggas, dan produk olahannnya.

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Massa Otot

Asupan energi adalah jumlah energi dari semua makanan dan minuman yang dikonsumsi. Menurut Stookey et al. (2001) asupan energi yang kurang atau rendah mengakibatkan penurunan massa otot. Hasil uji Rank Spearman antara TKE dengan massa otot menunjukkan terdapat hubungan yang negatif (p = 0.001; r = -0.256), artinya semakin tinggi TKE maka massa otot akan semakin berkurang. Hasil ini sejalan dengan Stookey et al. (2005), dimana tingkat kecukupan energi lebih dari 120% mengakibatkan penurunan massa otot. Hal ini diduga berkaitan dengan keseimbangan energi tubuh. Keseimbangan energi tubuh dapat dicapai ketika jumlah intake energi sama dengan jumlah energi yang dikeluarkan. Energi tubuh yang tidak seimbang maka akan dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan berat badan (Gropper et al. 2009). Salah satu hal yang menyebabkan pengeluaran energi adalah aktivitas fisik. Penelitian Stookey et al. (2001) menunjukkan bahwa aktivitas yang dapat meningkatkan massa otot adalah aktivitas sedang dan berat. Berdasarkan data penelitian sebagian besar aktivitas fisik contoh adalah sangat ringan. Menurut Yagi et al. (2014) menunjukkan semakin sedikit mengeluarkan energi maka massa lemak akan bertambah dan semakin banyak massa lemak akan menurunkan massa otot.

Protein merupakan sumber energi yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Stookey et al. (2001) asupan protein dapat meningkatkan massa otot. Hasil uji Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara TKP dengan massa otot. Hasil ini sejalan dengan Leheudre dan Adlercreutz (2009) dimana tidak terdapat hubungan antara asupan protein dengan massa otot pada wanita dewasa. Hal ini diduga oleh biovailabilitas pangan sumber protein yang dikonsumsi. Menurut Winarno (2008) protein hewani memiliki bioavailabitas lebih tinggi dibandingkan protein nabati. Berdasarkan data hasil penelitian, contoh lebih sering mengkonsumsi pangan nabati dibandingkan hewani. Salah satu hal yang berhubungan dengan jumlah asupan protein adalah kebiasaan konsumsi pangan sumber protein. Kebiasaan makan sering kali merupakan pola yang berulang sepanjang hidup. Pola konsumsi pangan merupakan frekuensi pangan yang biasa dikonsumsi dan berkembang dari pangan yang berada di sekitar (Suhardjo 1989). Hasil uji Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi pangan sumber protein dengan massa otot. Hasil ini sejalan dengan Leheudre dan Adlercreutz (2009) dimana tidak terdapat hubungan antara asupan protein dengan massa otot pada wanita. Hal ini diduga dipengaruhi oleh mutu protein dalam pangan yang akan mempengaruhi bioavailabilitasnya. Menurut Winarno (2008) serealia dan kacang-kacangan merupakan bahan makanan yang mengandung protein bermutu rendah dibandingkan protein yang berasal dari hewan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan remaja lebih sering mengkonsumsi pangan sumber protein nabati lebih banyak dibandingkan protein hewani, yaitu masing-masing sebesar 30.26% dan 17.11%.

20

Hubungan Aktivitas Fisik dengan Massa Otot

Dokumen terkait