• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein serta Aktivitas Fisik dengan Massa Otot pada Remaja di Perdesaan dan Perkotaan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein serta Aktivitas Fisik dengan Massa Otot pada Remaja di Perdesaan dan Perkotaan."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

SITI KHOIRUL UMAMI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN

SERTA AKTIVITAS FISIK DENGAN MASSA OTOT PADA

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein serta Aktivitas Fisik dengan Massa Otot pada Remaja di Perdesaan dan Perkotaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Siti Khoirul Umami

(4)
(5)

ABSTRAK

SITI KHOIRUL UMAMI. Hubungan Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein serta Aktivitas Fisik dengan Massa Otot pada Remaja di Perdesaan dan Perkotaan. Dibimbing oleh CESILIA METI DWIRIANI dan HADI RIYADI.

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan pola konsumsi pangan sumber protein, aktivitas fisik dan massa otot pada remaja di perdesaan dan perkotaan. Desain yang digunakan adalah cross sectional study. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 152 remaja usia 12-15 tahun. Penelitian menggunakan data sekunder yaitu sebagian data penelitian “Gaya Hidup dan Aspek Gizi pada Remaja di Perdesaan dan Perkotaan” (Dwiriani et al. 2013). Usia contoh di perdesaan lebih tua, sementara uang saku dan pendidikan orang tua contoh lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan. Frekuensi konsumsi daging sapi, ikan pindang, dan susu lebih tinggi di perkotaan, tetapi contoh di perdesaan mempunyai tingkat aktivitas fisik dan massa otot lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Contoh yang mempunyai status gizi gemuk dan obesitas lebih banyak di perkotaan dibandingkan perdesaan. Tidak terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan sumber protein, aktivitas fisik dan massa otot, tetapi hanya status gizi yang mempunyai hubungan signifikan dengan massa otot.

Kata kunci: massa otot, status gizi, tingkat kecukupan energi

ABSTRACT

SITI KHOIRUL UMAMI. Relationship between Protein Source of Food Consumption Pattern and Physical Activity with Muscle Mass in Rural and Urban Adolescents. Supervised by CESILIA METI DWIRIANI and HADI RIYADI.

The purpose of this study was to analyze the correlation between protein source of food consumption pattern, physical activity, and muscle mass in rural and urban adolescents. The design of this study was cross-sectional study.The subjects were 152 adolescents aged 12-15 years old. The study used secondary data, it was a part of the research “Lifestyle and Nutritional Aspect of Rural and Urban Adolescents” (Dwiriani et al. 2013). Subjects were older in rural, meanwhile subjects pocket money and parents education level were higher in urban than rural. Frequency of beef, fish (pindang), and milk consumption were significantly higher in urban, but in rural the physical activity level and muscle mass were higher than urban areas. Overweight and obesity was significantly higher in urban than rural subjects. There was no correlation between protein source of food consumption pattern, physical activity and muscle mass, but only nutritional status had positive correlation with muscle mass.

(6)
(7)

HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN

SERTA AKTIVITAS FISIK DENGAN MASSA OTOT PADA

REMAJA DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

SITI KHOIRUL UMAMI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

v

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah analisa hubungan pola konsumsi pangan sumber protein serta aktivitas fisik dengan massa otot pada remaja di perdesaan dan perkotaan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc, Bapak Dr Ir Hadi Riyadi, MS selaku dosen pembimbing dan kepada Ibu Lely Amalia Furkon STP, MSi atas saran-saran yang telah diberikan serta kepada anggota Tim Peneliti NHF (Prof Dr Ir Faisal Anwar, Prof Dr Ir Ali Khomsan dan dr Mira Dewi, SKed, MSi) yang telah memberi ijin penulis untuk menggunakan sebagian data penelitian “Gaya Hidup dan Aspek Gizi pada Remaja di Perdesaan dan Perkotaan. Terimakasih kepada pihak DIKTI yang telah memberikan beasiswa bidik misi sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, selain itu juga kepada sahabat tersayang (Apip, Nurul, Hayu, Fani, Sakinah, Isna, Lilis, Dini, Ade, Susan, Aci, Imel dan Panji) dan seluruh keluarga Gizi Masyarakat 47 atas segala doa dan dukungannya. Penulis memohon maaf atas segala kekurangan ataupun kekhilafan yang penulis lakukan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(12)
(13)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Hipotesis 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 4

Desain, Tempat, dan Waktu 4

Cara Penarikan Contoh 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 6

Definisi Operasional 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Karakteristik Contoh Penelitian 9

Karakteristik Keluarga 10

Konsumsi Pangan 11

Aktivitas Fisik 15

Massa Otot 16

Status Gizi 18

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Konsumsi Pangan 18

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Massa Otot 19

Hubungan Aktivitas Fisik dengan Massa Otot 20

Hubungan Status Gizi dengan Massa Otot 20

Simpulan 20

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 24

(14)

viii

DAFTAR TABEL

1 Variabel, jenis, cara pengumpulan data 5

2 Kategori variabel penelitian 6

3 Sebaran contoh berdasarkan usia, jenis kelamin, uang saku 9

4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan pendidikan orang tua 10

5 Rata-rata asupan energi-protein contoh 11

6 Sebaran contoh berdasarkan TKE 12

7 Sebaran contoh berdasarkan TKP 13

8 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber protein 13

9 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi pangan 14

10 Rata-rata alokasi waktu contoh untuk aktivitas fisik 15

11 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik 16

12 Rata-rata LILA, trisep, massa otot berdasarkan lokasi 16

13 Rata-rata LILA, trisep, massa otot berdasarkan jenis kelamin 16

14 Sebaran massa otot contoh berdasarkan lokasi 17

15 Sebaran massa otot contoh berdasarkan jenis kelamin 17

16 Sebaran contoh berdasarkan status gizi 18

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 4

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan suatu bangsa dapat dicapai dengan kualitas sumber daya manusia yang baik, hal ini ditandai dengan keadaan fisik dan mental yang kuat, tingkat pendidikan, serta tingkat kesehatan yang optimal. Indonesia membutuhkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, ternyata sumber daya manusia Indonesia masih tergolong rendah, hal ini terbukti dengan kedudukan Indonesia tahun 2013 pada peringkat 121 dari 185 negara dalam Human Development Index (HDI) berdasarkan bidang tenaga kerja, kesehatan, dan pendidikan (Menkokesra 2013). Remaja merupakan generasi penerus yang menentukan kualitas SDM Indonesia selanjutnya. Apabila terjadi gangguan kesehatan pada remaja akan menurunkan derajat kesehatan dan tingkat produktivitasnya ketika dewasa (Arisman 2009).

Remaja merupakan golongan usia yang dimulai sejak 9-10 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun. Pada masa ini terjadi proses pertumbuhan yang pesat sehingga diperlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan agar tidak terjadi gangguan pertumbuhan. Menurut Arisman (2009) remaja dikategorikan rentan karena tiga hal. Pertama, proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang cepat memerlukan energi dan zat gizi lain yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan menuntut penyesuaian asupan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan obat dan alkohol akan meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi, di samping itu terdapat remaja yang mengkonsumsi makanan secara berlebihan sehingga mengalami obesitas.

Ketika remaja terjadi berbagai proses pertumbuhan, seperti pertambahan berat badan, tinggi badan, serta komposisi tubuh salah satunya adalah massa otot (IDAI 2011). Penelitian Kim et al. (2006) dan Boye et al. (2002) menunjukkan masa otot pada remaja laki-laki lebih banyak dibandingkan remaja perempuan. Otot memiliki fungsi penting bagi tubuh, yaitu membantu pergerakan, mempertahankan postur tubuh, dan menstabilkan sendi (Ganong 1990). Massa otot pada tubuh dipengaruhi oleh jumlah asupan energi, protein, serta tingkat aktivitas fisik. Protein akan dicerna menjadi asam amino dan selanjutnya akan memasuki sirkulasi darah melalui vena porta dan dibawa menuju hati. Sebagian akan digunakan oleh hati dan sebagian akan ke sel-sel jaringan, termasuk otot (Almatsier 2009). Otot mengandung protein miosin, aktin, tropomiosin, dan troponin (Ganong 1990). Jumlah asupan protein ditentukan oleh kebiasaan individu dalam mengkonsumsi makanan, terutama pangan sumber protein.

(16)

2

penelitian Leheudre dan Adlercreutz (2009) terdapat hubungan antara asupan protein hewani terhadap massa otot pada wanita usia dewasa. Oleh karena itu diperlukan asupan yang cukup baik energi maupun protein sehingga proses pertumbuhan berlangsung secara optimal.

Berdasarkan hasil Riskesdas (2010) konsumsi energi pada remaja usia 13-15 tahun di Jakarta yang kurang dari 70% kebutuhan sebanyak 48.6%. Sementara konsumsi protein pada usia 13-15 tahun yang memenuhi kurang dari 80% kebutuhan sebanyak 28.1%. Selanjutnya, di Jawa Barat konsumsi energi pada usia 13-15 tahun yang memenuhi kurang dari 70% kebutuhan sebanyak 59.1%. Sementara asupan protein pada usia 13-15 tahun yang memenuhi kurang dari 80% kebutuhan sebanyak 44.2%. Dapat diketahui bahwa konsumsi energi dan protein pada remaja masih banyak yang termasuk dalam kategori kurang. Hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan perkembangan remaja.

Selain dari asupan protein, hal lain yang mempengaruhi massa otot adalah aktivitas fisik. Menurut Simopoulos dan Pavlou (2001) aktivitas fisik dapat meminimalkan terjadinya kehilangan massa otot. Berdasarkan Stookey et al. (2001) aktivitas fisik dapat meningkatkan massa otot. Tetapi penelitian Finne et al. (2011) pada remaja usia 11-17 tahun di Jerman menunjukkan bahwa pada usia remaja terjadi penurunan aktivitas fisik, dimana level aktivitas fisik akan semakin rendah dengan bertambahnya usia. Selain itu menurut Spittaels et al. (2012) aktivitas fisik pada perempuan lebih banyak dalam kategori ringan dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat mempengaruhi komposisi tubuh, salah satunya adalah massa otot. Padahal otot memiliki fungsi penting bagi tubuh. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan pola konsumsi pangan sumber protein serta aktivitas fisik pada remaja mengingat remaja merupakan fase pertumbuhan yang pesat, sehingga membutuhkan asupan protein dan aktivitas fisik yang sesuai agar pertumbuhannya berlangsung optimal.

Tujuan

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pola konsumsi pangan sumber protein serta aktivitas fisik dengan massa otot pada remaja di perdesaan dan perkotaan.

Tujuan Khusus:

1. Mengidentifikasi karakteristik remaja (usia, jenis kelamin, uang saku) dan keluarga (usia orang tua, dan pendidikan orang tua) di perdesaan dan perkotaan.

2. Menganalisis konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan massa otot remaja di perdesaan dan perkotaan.

3. Menganalisis hubungan karakteristik remaja dan keluarga dengan pola konsumsi pangan sumber protein pada remaja di perdesaan dan perkotaan. 4. Menganalisis hubungan konsumsi pangan, aktivitas fisik dan status gizi

(17)

3

Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara karakteristik remaja dan keluarga dengan pola konsumsi pangan sumber protein.

2. Terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan sumber protein dengan massa otot.

3. Terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan massa otot. 4. Terdapat hubungan antara status gizi dengan massa otot.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola konsumsi pangan sumber protein dan aktivitas fisik, serta hubungannya dengan massa otot pada remaja di pedesaan dan perkotaan. Selanjutnya, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil langkah dan kebijakan dalam peningkatan status gizi dan kesehatan remaja.

KERANGKA PEMIKIRAN

Masa remaja merupakan periode perubahan yang berlangsung pesat dimana terjadi pertumbuhan yang berlangsung secara cepat. Proses pertumbuhan berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran berat, panjang, umur tulang, dan keseimbangan metabolik (Supariasa et al. 2001). Perubahan komposisi tubuh pada remaja juga terjadi selain perubahan berat badan dan tinggi badan, salah satunya adalah massa otot.

Otot merupakan jaringan tunggal terbesar pada tubuh manusia. Otot memiliki fungsi penting bagi tubuh, yaitu membantu pergerakan, mempertahankan postur tubuh, dan menstabilkan sendi (Ganong 1990). Massa otot dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti asupan makanan, aktivitas fisik, status gizi dan hormon. Sumber zat gizi yang dominan dalam pembentukan massa otot adalah energi dan protein. Waterlow (1992) yang menyatakan bahwa pada anak yang menderita PEM (Protein Energy Malnutrition) akan mengalami kehilangan massa otot, sehingga massa otot digunakan sebagai pengukuran status gizi secara tidak langsung di Jamaica. Penelitian Stookey et al. (2001) menunjukkan bahwa protein dapat meningkatkan massa otot pada kelompok usia dewasa serta rendahnya konsumsi energi menyebabkan penurunan massa otot. Berdasarkan penelitian Leheudre dan Adlercreutz (2009) terdapat hubungan antara asupan protein hewani dengan massa otot. Asupan protein dipengaruhi oleh pola konsumsi makanan sumber protein. Pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu karakteristik individu dan keluarga (uang saku dan pendidikan orang tua), karakteristik makanan (rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, kombinasi makanan), dan karakteristik lingkungan ( musim, pekerjaan, mobilitas, status sosial masyarakat).

(18)

4

ukuran otot meningkat, sehingga massa otot tubuh juga bertambah (Mader 2001). Hal yang dapat mempengaruhi massa otot adalah hormon. Peningkatan hormon androgen mempengaruhi proses perkembangan dan pertumbuhan, namun hormon seks pada perempuan, estrogen dan progesteron mengakibatkan peningkatan penimbunan lemak lebih banyak dibandingkan dengan penambahan jaringan otot. Hormon testosteron dan hormon anabolik adrenal androgen pada laki-laki mengakibatkan penambahan massa otot pada laki-laki menjadi lebih banyak dibandingkan penambahan lemak (Almatsier et al. 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengamati hubungan antara variabel pola konsumsi pangan sumber protein dan aktivitas fisik pada remaja di perdesaan dan perkotaan. Gambar 1 menggambarkan kerangka pemikiran penelitian.

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pola konsumsi pangan sumber protein dan aktivitas fisik dengan massa otot pada remaja

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang berhubungan tetapi tidak diteliti : Hubungan antar variabel yang diteliti

: Hubungan antar variabel yang tidak diteliti

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian ini dilakukan menggunakan desain cross sectional study. Desain

cross sectional study merupakan desain penelitian dengan variabel sebab atau faktor risiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan dalam kurun waktu yang bersamaan (Notoatmodjo 2005). Data dalam

Karakteristik contoh dan keluarga

Konsumsi Pangan: - Asupan Energi-Protein

- Pola konsumsi pangan sumber protein

Aktivitas fisik

Karakteristik lingkungan Karakteristik

makanan

Massa otot

Hormon

(19)

5

penelitian ini merupakan data sekunder yaitu sebagian data penelitian “Gaya Hidup dan Aspek Gizi Remaja di Perdesaan dan Perkotaan” (Dwiriani et al. 2013) yang melakukan penelitian pada 220 siswa dan siswi SMP 1 Jasinga dan SMP Giri Taruna yang mewakili daerah perdesaan serta SMP N 92 dan SMP N 242 Jakarta Selatan yang mewakili daerah perkotaan. Penelitian ini berlangsung dari bulan Juli sampai Agustus 2014.

Cara Penarikan Contoh

Contoh adalah siswa serta siswi kelas 2 SMP yang memenuhi dua kriteria inklusi yaitu:

1.Berusia di bawah 18 tahun

2.Mengisi kuesioner secara lengkap

Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh 152 dari 220 contoh.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data karakteristik remaja meliputi usia, jenis kelamin dan uang saku. Sedangkan karakteristik keluarga meliputi usia dan tingkat pendidikan orang tua. Data pola konsumsi pangan sumber protein dilakukan dengan wawancara menggunakan Food Frequency Quesioner (FFQ). Data asupan energi dan protein yang dilakukan dengan wawancara FoodRecall 24 jam selama 2 hari. Data aktivitas fisik yang dilakukan selama 24 jam selama 2 hari diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data massa otot diperoleh dengan melakukan pengukuran lingkar lengan atas dan trisep. Variabel, jenis data, cara pengumpulan, dan alat yang digunakan dalam penelitian ini secara lengkap disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, jenis, cara, dan alat pengumpulan data

(20)

6

Tabel 1 Variabel, jenis, cara, dan alat pengumpulan data

No. Variabel Cara pengumpulan Alat 5. Antropometri:

Variabel yang diteliti pada penelitian ini terdiri dari karakteristik remaja dan keluarga (usia contoh dan usia orang tua, jenis kelamin, uang saku, pendidikan orang tua), pola konsumsi pangan sumber protein, asupan energi-protein, serta aktivitas fisik (jenis dan lama aktivitas). Kategori variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kategori variabel penelitian

No Variabel Kategori Dasar

(21)

7

Tabel 2 Kategori variabel penelitian (lanjutan)

No Variabel Kategori Dasar kategori 3. Tingkat

Kecukupan Protein

1. Defisit tingkat berat : < 70% AKP 2. Defisit tingkat sedang: 70–79% AKP 3. Kurang: 80 – 89% AKP

1. Wasted (persentil ke 0.0-5.0)

2. Below average (persentil ke 5.1-15.0) 3. Average (persentil ke 15.1-85.0) 4. Above average (persentil ke 85.1-95.0) 5. High muscle (persentil ke 95.1-100.0)

Frisancho dan Tracker (1987)

Hasil data food recall makanan total sehari-hari selama 2 hari yang dikonsumsi perhari dicatat, dikonversi beratnya dalam gram, dirata-ratakan kemudian dihitung kandungan energi dan zat gizinya menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM 2010). Setelah konsumsi energi dan zat-zat gizi diketahui, selanjutnya dihitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) terutama energi dan protein bagi setiap individu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

TKGi = Ki x 100% AKGi

Keterangan:

TKGi = tingkat kecukupan zat gizi i Ki = konsumsi zat gizi i

AKGi = angka kecukupan gizi i

(22)

8

cAMA = (MUAC- (π x TSK))2 - 6.5 (perempuan) 4π

cAMA = (MUAC- (π x TSK))2 - 10.0 (laki-laki)

Sumber: Gibson (2005)

Keterangan:

cAMA : CorrectedArm Muscle Area atau Luas massa otot (cm2) MUAC : Mid Upper Arm Circumference atau LILA (cm)

TSK : Tricep Skinfold Thickness atau tebal trisep (cm)

Selanjutnya, massa otot dikelompokkan berdasarkan kategori menurut Frisancho dan Tracer (1987).

Aktifitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam

physical activity level (PAL) atau tingkat aktifitas fisik. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut FAO/WHO/UNU (2001):

Keterangan : PAL : Physical activity level (tingkat aktifitas fisik)

PAR: Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu)

Data yang diperoleh dilanjutkan dengan pengolahan data yang meliputi proses cleaning dan analisis. Data yang diperoleh diolah menggunakan Microsoft Excel 2010 dan program SPSS 16.0 for Windows. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif, uji beda dan uji korelasi. Data yang diolah secara deskriptif terdiri dari karakteristik remaja (usia, jenis kelamin, uang saku) dan keluarga (usia orang tua, pendidikan orang tua), pola konsumsi pangan sumber protein, aktivitas fisik, massa otot, asupan energi-protein, dan status gizi. Uji normalitas Kolmogorov Smirnov dilakukan sebelum uji hubungan dan uji dilakukan. Uji beda Independent t Test digunakan untuk menganalisis perbedaan usia ibu, status gizi, asupan energi, dan tingkat kecukupan energi contoh di perdesaan dan perkotaan. Uji beda Mann Whitney digunakan dalam analisis perbedaan usia contoh, uang saku, usia ayah, frekuensi konsumsi pangan sumber protein, asupan protein, tingkat kecukupan protein, dan aktivitas fisik, tingkat pendidikan orang tua contoh di perdesaan dan perkotaan. Uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Rank Spearman. Uji korelasi digunakan untuk menganalisis hubungan pola konsumsi pangan sumber protein, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan energi, dan aktivitas fisik serta status gizi dengan massa otot.

(23)

9

Definisi Operasional

Pola konsumsi pangan sumber protein adalah frekuensi konsumsi pangan sumber protein selama satu bulan terakhir.

Aktivitas fisik adalah kegiatan yang dilakukan oleh contoh selama 2 hari yang meliputi jenis dan lama kegiatan.

Massa otot adalah jumlah simpanan otot dalam tubuh, yang diukur dengan mengukur LILA dan otot trisep.

Remaja adalah siswa siswi SMP yang dijadikan contoh penelitian.

Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan.

Perdesaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perdesaan.

Karakterisitik remaja dan kelurga adalah data yang berisi usia, jenis kelamin, jumlah uang saku, usia orang tua, pendidikan orang tua.

Asupan energi-protein adalah jumlah asupan makanan yang dikonsumsi oleh selama 24 jam selama 2 hari.

Status Gizi adalah keadaan tubuh contoh yang ditentukan berdasarkan Z-score.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh Penelitian

Sebaran contoh penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, dan uang saku contoh dapat diketahui pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia, jenis kelamin, dan uang saku

Karakteristik Perkotaan Perdesaan

p

Contoh n % n %

Usia

12 tahun 0 0.0 2 2.8

13 tahun 47 57.3 26 37.1 0.008 14 tahun 33 40.2 31 44.2

15 tahun 2 2.5 11 15.9

Total 82 100 70 100

Jenis Kelamin

Laki-laki 35 42.7 32 45.7 Perempuan 47 57.3 38 54.3

Total 82 100 70 100

Uang saku (Rp)

≤ 2 333 1 1.2 7 10.0

2 334 -11 838 73 89.0 61 87.1 0.000

≥ 11 839 8 9.8 2 2.8 Rata-rata ± SD (Rp) 8548.7 ± 4190.3 5371.4 ± 2121.3

(24)

10

menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata usia contoh di perdesaan dan perkotaan. Jumlah contoh berjenis kelamin perempuan lebih banyak di kedua wilayah. Sebagian besar contoh, baik di perdesaan maupun perkotaan memiliki uang saku dalam kategori sedang, yaitu antara Rp 2 334 – 11 838. Berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan perbedaan yang nyata uang saku contoh di perdesaan dan perkotaan. Rata-rata uang saku contoh di perkotaan lebih banyak dibandingkan uang saku contoh di perdesaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Dapi et al. (2005) dimana uang saku remaja di perkotaan lebih besar dibandingkan perkotaan.

Karakteristik Keluarga

Sebaran contoh berdasarkan usia dan pendidikan orang tua dapat diketahui pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan pendidikan orang tua

(25)

11

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar usia ibu dan ayah contoh baik di perdesaan maupun perkotaan berada pada rentang usia dewasa akhir. Hasil uji beda Independent t test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia ibu contoh di perdesaan dan perkotaan. Sedangkan berdasarkan uji beda

Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata usia ayah contoh di perdesaan dan perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 8.5% ibu dan 4.3% ayah contoh yang tidak sekolah, 1.4% ibu contoh di perdesaan yang memiliki tingkat pendidikan hingga universitas. Tingkat pendidikan ibu dan ayah contoh di perdesaan sebagaian besar adalah SD dengan persentase masing-masing 64.29% dan 57.14%. Tingkat pendidikan ibu dan ayah contoh di perkotaan sebagian besar adalah SMA dengan persentase masing-masing 59.76% dan 56.10%, tidak terdapat orang tua contoh di perkotaan yang tidak sekolah dan terdapat 17.1% ibu dan 29.3% ayah contoh yang memiliki tingkat pendidikan hingga universitas di perkotaan. Hasil ini sejalan dengan Skhiri et al. (2008) dimana tingkat pendidikan orang tua di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata tingkat pendidikan orang tua contoh di perdesaan dan perkotaan.

Konsumsi Pangan

Energi dan zat gizi bagi tubuh dapat diperoleh dari konsumsi makanan. Berikut adalah rata-rata asupan energi protein contoh di perkotaan dan perdesaan.

Tabel 5 Rata-rata asupan energi-protein contoh

Zat gizi Asupan p

Perkotaan Perdesaan

Energi (Kal) 1702 ± 724 1548 ± 483 0.071 Protein (g) 44.3 ± 34.2 34.7 ± 12 0.001

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa rata-rata asupan energi di perdesaan lebih sedikit dibandingkan di perkotaan. Hasil tersebut sejalan dengan Lachat et al. (2009) dimana asupan energi remaja di perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan Vietnam. Intake energi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan disebabkan makanan yang dikonsumsi contoh di perkotaan lebih beragam dengan porsi yang lebih besar dibandingkan di perdesaan. Jumlah intake energi paling rendah di perdesaan dan perkotaan masing-masing sebesar 827 Kal dan 852 Kal. Intake energi yang rendah disebabkan contoh hanya makan dua kali sehari dengan porsi yang kecil dan menu yang tidak beragam. Ketidakberagaman menu yang dikonsumsi contoh misalnya contoh hanya makan dengan nasi dan sayur, atau nasi dan lauk saja. Menu makanan yang baik terdiri dari nasi,sayur, lauk pauk, serta buah. Jumlah intake tertinggi di perdesaan dan perkotaan masing-masing sebesar 2476 Kal dan 2588 Kal. Intake energi yang tinggi disebabkan contoh makan utama sebanyak 3 sampai 4 kali sehari dan juga mengkonsumsi selingan 1 sampai 2 kali.

(26)

12

dengan Dwiningsih dan Pramono (2013) dimana tidak terdapat perbedaan asupan energi pada remaja di perkotaan dan perdesaan Semarang. Menurut Gropper et al.

(2009) apabila asupan energi kurang akan menyebabkan pengurangan massa jaringan tubuh, termasuk otot.

Pengeluaran energi digunakan untuk Basal Metabolic Rate dan aktivitas fisik. Keseimbangan energi tubuh dapat dicapai ketika jumlah energi yang masuk sama dengan jumlah energi yang keluar. Berdasarkan data diperoleh rata-rata intake energi di perkotaan dan perdesaan masing-masing 1702 Kal dan 1548 Kal. Perhitungan kebutuhan energi berdasarkan jumlah energi yang digunakan untuk BMR dan aktivitas fisik masing-masing-masing sebesar 1905 Kal dan 1916 Kal. Rata-rata tingkat kecukupan energi (perbandingan intake energi dengan kebutuhan energi untuk BMR dan aktivitas fisik) di perkotaan mencapai 91% sedangkan di perdesaan sebesar 82%, sehingga dapat diketahui bahwa keseimbangan energi tubuh remaja di perkotaan dan perdesaan tidak tercapai, dimana intake remaja lebih rendah dibandingkan kebutuhannya. Keseimbangan akan tercapai ketika tingkat kecukupannya sebesar 100%. Perbandingan keseimbangan energi berdasarkan jenis kelamin di peroleh hasil yang sama, dimana jumlah energi yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan jumlah intake energi pada laki-laki dan perempuan. Jumlah intake energi pada laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 1792 Kal dan 1504 Kal, sedangkan pengeluaran energinya masing-masing sebesar 2309 Kal dan 1775 Kal. Rata-rata tingkat kecukupan energi pada laki-laki sebesar 89% sedangkan perempuan sebesar 85%.

Tubuh juga memerlukan protein untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan. Apabila asupan energi kurang, asupan protein akan digunakan untuk mecukupi kebutuhan energi (Almatsier et al. 2011). Asupan protein contoh di perkotaan lebih banyak dibandingkan perdesaan. Hal ini dikarenakan di perkotaan contoh lebih sering mengkonsumsi makanan tinggi protein seperti daging ayam dan susu. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata asupan protein di perkotaan dan perdesaan. Hasil ini sejalan dengan Sondhya dan Akhter (2013) dimana asupan protein pada remaja di perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan dan terdapat perbedaan yang signifikan asupan protein di perkotaan dan perdesaan Bangladesh. Jumlah asupan energi dan protein yang dikonsumsi contoh kemudian diklasifikasikan tingkat kecukupannya berdasarkan Depkes (1996) (Tabel 6 dan Tabel 7).

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi

(27)

13

Sebanyak 47.5% contoh di perkotaan dan 51.4% contoh di perdesaan memiliki TKE dalam kategori defisit berat (Tabel 6). Hasil uji beda independent t test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata TKE contoh di perkotaan dan perdesaan. Hasil ini sejalan dengan Dwiningsih dan Pramono (2013) dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata TKE remaja di perdesaan dan perkotaan Semarang.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein

Kategori Perkotaan Perdesaan berada dalam kategori defisit berat. Jumlah contoh yang termasuk dalam kategori cukup di perkotaan lebih banyak dibandingkan perdesaan. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata TKP contoh di perdesaan dan perkotaan. Hasil ini sejalan dengan Dwiningsih dan Pramono (2013) dimana tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan protein pada remaja di perdesaan dan perkotaan.

Rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber protein contoh di perdesaan dan perkotaan dapat diketahui pada Tabel 8.

Tabel 8 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber protein (kali/minggu)

Jenis makanan Perkotaan Perdesaan Daging ayam 2.6 ± 1.8 1.8 ± 1.4

(28)

14

menurut pedoman gizi seimbang adalah 2-4 kali sehari. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa frekuensi konsumsi pangan sumber protein di perdesaan berada pada batas minimal konsumsi pangan sumber protein menurut pedoman gizi seimbang. Jenis makanan yang memiliki rata-rata konsumsi lebih tinggi di perkotaan adalah daging ayam, susu sapi, telur, sosis/nuget, tahu, dan tempe, yaitu sebanyak 4 dan 3 kali per minggu, sedangkan jenis pangan yang paling sering dikonsumsi di perdesaan adalah telur, tahu dan tempe sebanyak 2 kali per minggu. Hasil ini sejalan dengan Dapi et al. (2005) dimana jenis makanan yang paling sering dikonsumsi remaja di perkotaan adalah daging, ikan, telur, susu dan produk olahannya.

Pola konsumsi pangan merupakan frekuensi pangan yang biasa dikonsumsi dan biasanya berkembang dari pangan yang berada di sekitarnya (Suhardjo 1989). Menurut Norton dan Wilson (2009) untuk meningkatkan massa otot diperlukan peningkatan frekuensi konsumsi protein. Pengukuran pola konsumsi pangan ini menggunakan Food Frequency Questionnaires (FFQ) selama satu bulan terakhir. Kuesioner frekuensi konsumsi pangan mempunyai dua komponen utama, yaitu daftar pangan dan frekuensi konsumsi pangan. Metode ini mempunyai kekurangan dan kelebihan. Kelebihan metode ini adalah relatif murah, dapat dilakukan sendiri oleh responden, dan tidak membutuhkan latihan khusus. Kekurangan metode ini yaitu tidak dapat menghitung intake zat gizi sehari, cukup menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam bahan kuesioner, responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi (Supariasa et al. 2001).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber protein

Perkotaan Perdesaan

(29)

15

yang selalu mengkonsumsi daging ayam, susu, tahu dan tempe. Jumlah contoh di perkotaan yang selalu mengkonsumsi daging ayam, susu, tahu, dan tempe lebih tinggi di perkotaan dengan persentase masing-masing 7.3%, 28%, 21.9%, dan 21.9% contoh di perkotaan serta 1.4%, 1.4%, 2.8%, dan 5.7% contoh di perdesaan. Berdasarkan kategori kadang-kadang dalam mengkonsumsi tahu dan tempe, persentase contoh di perkotaan lebih sedikit dibandingkan perdesaan, masing-masing sebesar 24.3% dan 23.1% contoh perkotaan serta 48.5% dan 41.4% contoh di perdesaan. Berdasarkan data, tidak terdapat contoh di kedua wilayah yang selalu mengkonsumsi jenis-jenis ikan, tetapi jumlah contoh yang kadang-kadang mengkonsumsi ikan lebih banyak di daerah perdesaan dibandingkan perkotaan. Contoh di perdesaan tidak ada yang selalu mengkonsumsi telur, sedangkan di perkotaan terdapat 13.4% contoh yang selalu mengkonsumsi telur.

Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi konsumsi daging sapi, ikan pindang, dan susu diantara perkotaan dan perdesaan. Hasil ini sejalan dengan Dapi et al. (2005) dimana terdapat perbedaan yang signifikan frekuensi konsumsi daging, ikan, telur, dan susu pada remaja di perkotaan dan perdesaan Kamerun, Afrika.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjang yang lain dan memerlukan energi (Almatsier 2009). Tabel 10 menunjukkan rata-rata alokasi waktu beberapa aktivitas contoh selama 2 hari.

Tabel 10 Rata-rata alokasi waktu contoh untuk melakukan aktivitas (jam/hari)

Jenis Aktivitas Perkotaan Perdesaan Sekolah 6.3 ± 1.0 4.9 ± 1.4 Tidur siang 0.9 ± 1.2 0.8 ± 0.9 Belajar 1.3 ± 0.9 0.6 ± 0.9 Bermain/bersantai 3.8 ± 1.5 3.5 ± 2.0 Olahraga dan seni 0.1 ± 1.7 0.6 ± 0.4 Menonton TV 3.1 ± 1.5 2.8 ± 2.2 Tidur malam 7.8 ± 1.3 8.2 ± 1.1 Perjalanan ke sekolah 0.3 ± 0.2 0.2 ± 0.1 Perjalanan selain ke sekolah 0.4 ± 0.4 0.3 ± 0.5 Aktivitas pribadi 2.3 ± 1.1 3.5 ± 4.1 Pekerjaan RT 0.3 ± 0.3 0.9 ± 1.2

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa aktivitas yang membutuhkan alokasi waktu lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan adalah sekolah, belajar, menonton TV. Aktivitas yang membutuhkan alokasi waktu lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan adalah aktivitas pribadi, olahraga, dan pekerjaan rumah tangga. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa lama tidur siang contoh di perkotaan sedikit lebih tinggi dibandingkan perdesaan, tetapi lama tidur malam contoh di perdesaan sedikit lebih tinggi dibandingkan perkotaan.

(30)

16

perkotaan (69.5%) memiliki aktivitas fisik dalam kategori sangat ringan (Tabel 11). Aktivitas fisik contoh di perdesaan hanya berada dalam kategori sangat ringan dan ringan. Aktivitas fisik contoh di perdesaan berada dalam kategori sangat ringan, ringan, dan sedang. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata aktivitas fisik contoh di perdesaan dan perkotaan. Hasil tersebut sejalan dengan Rodrigues et al. (2012) dimana jumlah remaja yang memiliki aktivitas dalam kategori ringan lebih banyak di perkotaan dan jumlah remaja yang melakukan aktivitas fisik dalam kategori sedang lebih banyak di perdesaan.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik

Kategori Perkotaan Perdesaan

p

aktivitas n % n %

Sangat Ringan (<1.4) 57 69.51 37 52.86

Ringan (1.4-1.69) 25 30.49 30 42.86 0.005 Sedang (1.7-1.99) 0 0 3 4.28

Berat (2-2.4) 0 0 0 0

Total 82 100 70 100

PAL 1.36 ± 0.06 1.42 ± 0.12

Massa Otot

Ketika remaja selain terjadi perubahan tinggi badan dan berat badan, juga terjadi perubahan komposisi tubuh, salah satunya massa otot. Pengukuran massa otot dapat dilakukan dengan mengukur lingkar lengan atas dan ketebalan trisep (Supariasa et al. 2001), yang kemudian dihitung menggunakan rumus untuk mengukur massa otot. Tabel 12 menunjukkan rata-rata lingkar lengan atas (LILA), trisep, dan corrected Arm Muscle Area (cAMA) contoh di perkotaan dan perdesaan.

Tabel 12 Rata-rata LILA, trisep, cAMA contoh berdasarkan lokasi

Pengukuran Perkotaan Perdesaan LILA (cm) 23.6 ± 3.4 22.6 ± 2.3 Trisep (cm) 1.3 ± 0.6 1.2 ± 0.7

cAMA (cm2) 23.2 ± 7.7 20.6 ± 6.2

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata LILA, trisep dan

cAMA di perkotaan lebih besar dibandingkan perdesaan. Hasil ini tidak sejalan dengan Dapi et al. (2005) dalam penelitiannya pada remaja di perdesaan dan perkotaan Kamerun, Afrika. Tabel 13 menunjukkan rata-rata LILA, trisep dan

cAMA pada laki-laki dan perempuan.

Tabel 13 Rata-rata LILA, trisep, cam berdasarkan jenis kelamin

Pengukuran Laki-laki Perempuan LILA (cm) 22.8 ± 5.6 21.8 ± 4.7 Trisep (cm) 0.8 ± 0.4 1.6 ± 0.5

(31)

17

Rata-rata LILA dan cAMA pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Rata-rata trisep lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hasil ini sejalan dengan Bann et al. (2014) dimana massa otot remaja laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dalam penelitiannya pada remaja di Skotlandia.

Hasil pengukuran LILA dan trisep dimasukkan ke dalam rumus, sehingga dapat diperoleh massa otot. Massa otot dikategorikan ke dalam 5 kategori, yaitu

wasted, below average, average, above average, dan high muscle (Tabel 14). Cut off massa otot berdasarkan Frisancho dan Tracer (1987) hanya berlaku pada usia 2-17 tahun.

Tabel 14 Sebaran massa otot contoh berdasarkan lokasi

Massa Otot Perkotaan Perdesaan p

n % n %

Wasted 50 60.9 50 71.4

Below average 9 10.9 9 12.8 0.039

Average 20 24.3 10 14.4

Above average 3 3.7 0 0.0

High muscle 0 0.0 1 1.4

Total 82 100 70 100

cAMA(cm2) 23.2 ± 7.7 20.6 ± 6.2

Sebagian besar contoh di perkotaan (60.9%) dan perdesaan (71.4%) memiliki massa otot dalam kategori wasted. Jumlah contoh yang memiliki massa otot dalam kategori average di perkotaan lebih banyak dibandingkan daerah perdesaan. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata massa otot contoh di perkotaan dan perdesaan. Hasil tersebut sejalan dengan Dapi et al. (2005) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara massa otot remaja di perkotaan dan perdesaan Kamerun.

Pengklasifikasian massa otot berdasarkan Frisancho dan Tracker (1987) dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan tinggi badan contoh. Tabel 15 menunjukkan sebaran massa otot contoh berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 15 Sebaran massa otot contoh berdasarkan jenis kelamin

Massa Otot Laki-laki Perempuan

n % n %

Wasted 48 71.6 52 61.2

Below average 12 17.9 6 7.1

Average 5 7.5 25 29.4

Above average 1 1.5 2 2.4

High muscle 1 1.5 0 0.0

Total 67 100 85 100

cAMA(cm2) 23.4 ± 8.5 21.0 ± 5.8

(32)

18

contoh laki-laki yang mempunyai massa otot dalam kategori high muscle, sedangkan pada perempuan tidak terdapat contoh yang mempunyai massa otot dalam kategori high muscle.

Status Gizi

Tabel 16 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan kategori WHO (2007) di perkotaan dan perdesaan.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U)

Status Gizi Perkotaan Perdesaan p

n % n %

Sangat kurus

0 0.0 1 1.4

Kurus 4 4.8 6 8.6

Normal 60 73.3 60 85.7 0.012 Gemuk 16 19.5 3 4.3

Obes 2 2.4 0 0.0 Total 82 100 70 100

Z-Score -0.1 ± 1.2 -0.6 ± 1.0

Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh baik di perkotaan dan perdesaan memiliki status gizi normal. Jumlah contoh yang berstatus gizi gemuk di perkotaan lebih banyak dibandingkan di perdesaan. Hasil uji beda Independent T Test menunjukkan perbedaan yang nyata status gizi di perkotaan dan perdesaan, hasil ini sejalan dengan Dwiningsih dan Pramono (2013). Status gizi menurut Gibson (2005) yaitu keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan utilitas zat gizi dalam makanan.

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein

(33)

19

sejalan dengan Choi et al. (2011) dimana semakin tinggi pendidikan orang tua akan meningkatkan konsumsi protein yang berasal dari daging, unggas, dan produk olahannnya.

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Massa Otot

Asupan energi adalah jumlah energi dari semua makanan dan minuman yang dikonsumsi. Menurut Stookey et al. (2001) asupan energi yang kurang atau rendah mengakibatkan penurunan massa otot. Hasil uji Rank Spearman antara TKE dengan massa otot menunjukkan terdapat hubungan yang negatif (p = 0.001; r = -0.256), artinya semakin tinggi TKE maka massa otot akan semakin berkurang. Hasil ini sejalan dengan Stookey et al. (2005), dimana tingkat kecukupan energi lebih dari 120% mengakibatkan penurunan massa otot. Hal ini diduga berkaitan dengan keseimbangan energi tubuh. Keseimbangan energi tubuh dapat dicapai ketika jumlah intake energi sama dengan jumlah energi yang dikeluarkan. Energi tubuh yang tidak seimbang maka akan dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan berat badan (Gropper et al. 2009). Salah satu hal yang menyebabkan pengeluaran energi adalah aktivitas fisik. Penelitian Stookey et al. (2001) menunjukkan bahwa aktivitas yang dapat meningkatkan massa otot adalah aktivitas sedang dan berat. Berdasarkan data penelitian sebagian besar aktivitas fisik contoh adalah sangat ringan. Menurut Yagi et al. (2014) menunjukkan semakin sedikit mengeluarkan energi maka massa lemak akan bertambah dan semakin banyak massa lemak akan menurunkan massa otot.

(34)

20

Hubungan Aktivitas Fisik dengan Massa Otot

Aktivitas fisik merupakan gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjang lain serta memerlukan energi (Almatsier 2009). Aktivitas fisik mempunyai beberapa tingkatan, yaitu sangat ringan, ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Aktivitas fisik mempunyai beberapa manfaat, yaitu mencegah kematian dini, menjaga kesehatan sendi, otot, dan tulang (Hoeger dan Hoeger 2005). Penelitian Starling et al. (1999) dan Kulkarni et al. (2013) menyatakan bahwa aktivitas fisik dapat meningkatkan massa otot. Hasil uji Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara aktivitas fisik dan massa otot. Hasil ini sejalan dengan Stookey et al. (2001) dimana aktivitas fisik yang berhubungan dengan peningkatan massa otot adalah aktivitas dengan kategori sedang dan berat, namun berdasarkan data penelitian sebagian besar contoh memiliki aktivitas dalam kategori sangat ringan.

Hubungan Status Gizi dengan Massa Otot

Protein memiliki peranan utama untuk mendukung proses pertumbuhan. Tubuh yang mengalami kekurangan energi maka protein akan di pecah menjadi glukosa untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. Pemecahan protein menjadi energi akan mengakibatkan melemahnya otot-otot tubuh (Almatsier 2009). Waterlow (1992) menyatakan bahwa pada anak yang menderita PEM (Protein Energy Malnutrition) akan mengalami kehilangan massa otot, sehingga massa otot digunakan sebagai pengukuran status gizi secara tidak langsung di Jamaica. Hasil uji Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara status gizi dengan massa otot. Hasil ini sejalan dengan Dapi et al. (2005) dimana terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan massa otot pada remaja di perkotaan dan perdesaan Kamerun.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(35)

21

pindang, dan susu contoh di perdesaan dan perkotaan berbeda secara signifikan, dimana frekuensi konsumsi di perkotaan lebih tinggi. Aktivitas fisik contoh di kedua lokasi berbeda secara signifikan, dimana aktivitas fisik di perkotaan hanya berada dalam kategori sangat ringan dan ringan, sedangkan aktivitas fisik di perdesaan berada dalam kategori sangat ringan, ringan, dan sedang. Status gizi dan massa contoh di perkotaan dan perdesaan berbeda secara signifikan, dimana sebagian besar adalah normal dan massa otot contoh dalam kategori wasted.

Berdasarkan uji hubungan Rank Spearman uang saku contoh berhubungan positif dengan frekuensi konsumsi daging sapi, susu sapi, daging ayam (p<0.05) dan berkorelasi negatif (p<0.05) dengan frekuensi konsumsi ikan asin. Pendidikan orang tua berhubungan positif dengan frekuensi konsumsi daging ayam, daging sapi, susu sapi, dan telur. Berdasarkan hasil uji, tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan protein, pola konsumsi pangan sumber protein dan aktivitas fisik dengan massa otot, terdapat hubungan negatif antara tingkat kecukupan energi dengan massa otot. Variabel yang mempunyai hubungan positif dengan massa otot adalah status gizi.

Saran

Bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan juga pengukuran komposisi tubuh yang lain, misalnya massa lemak tubuh. Selain itu perlu ditambahkan variabel lain, seperti kebiasaan olahraga terutama olahraga kekuatan. Bagi pihak sekolah dan orang tua diharapkan meningkatkan perhatian terhadap konsumsi dan aktivitas fisik anak karena tingkat kecukupan energi dan protein masih sangat kurang, serta aktivitas fisik anak sebagian besar adalah sangat ringan, dikarenakan hal tersebut dapat mempengaruhi proses pertumbuhan anak.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia

, Susirah S, Moesijanti S. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia.

Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.

Bann D, Cooper R, Hardy D, Sayer AA, Adams J, Kuh D. 2014. Birth Weight and Growth from Infancy to Late Adolescence in Relation to Fat and Lean Mass in Early Old Age: Findings from the MRC National Survey of Health and Development. Intr Jour Obes. 38: 69-75.

Boye KR, Triantafillia D, Friedrich M, Eckhard S, Christina N, Stefan W, Thomas R. 2002. Anthropometric Assesment of Muscularity During Growth: Estimating Fat-Free Mass with 2 Skinfold-Thickness Measurements is Superior to Measuring Midupper Arm Muscle Area in Healthy Prepubertal Children. Am J Clin Nutr. 76: 628-32.

(36)

22

Dapi LN, Nouedui C, Janlert U, Haglin L. 2005. Adolescents Food Habits and Nutritional Status in Urban and Rural Areas in Cameroon, Africa.

Scandinavian Journal of Nutrition. 49: 151-158.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.

Dwiningsih, Pramono A. 2013. Perbedaan Asupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat dan Status Gizi pada Remaja yang Tinggal di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan. Jour of Nutr College Universitas Diponegoro, 2:232-241. Dwiriani CM, Riyadi H, Khomsan A, Anwar F, Dewi M. 2013. Lifestyle and

Nutritional Aspect of Rural and Urban Adolescents. Neys van Hoogstraten Foundation (NHF): The Netherland.

[FAO] Food And Nutrition Technical Report Series. 2001. Human Energy Requirements. Rome: FAO/WHO/UNU.

Finne E, Jens B, Thomas L, Petra K. 2011. Age, Puberty, Body Dissatisfacion, and Physical Activity Decline in Adolescent. Result of the German Health Interview and Examination Survey (KiGGS). Intr Jour of Behav Nutr and Phyisical Activity. 8:119.

Frisancho AR, Tracker DP. 1987. Standards of Arm Muscle Bay Stature for The Assesment of Nutritional Status of Children. American Journal of Phyisical Antrhropology. 73:459-465.

Ganong, W. 1990. Fisiologi kedokteran. Buku kedokteran

Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Assesment. Oxford University Press. Gropper SS, Smith JL, Groff J. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism

Fifth Edition. USA: Cecange Learning.

Hoeger WW, Hoeger SA. 2005 Lifetime Phyisical Fitness and Wellness a Personalized Program. USA : Thomson Wadsworth.

[IDAI] Ikatan Dokter Anak Indonesia. Seputar Kesehatan Anak dan Remaja. [internet]. [diunduh 2013 27 April]. Tersedia pada. http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/nutrisi-pada-remaja.html.

Kementrian Perekonomian dan Keejahteraan Rakyat. 2013. HDI naik tiga peringkat. [Internet]. [diunduh 2013 27 April]. Tersedia pada. http://www.menkokesra.go.id/content/menko-kesra-hdi-naik-tiga-peringkat. Kim J, Wei S, Dympna G, Alfredo JJ, Zimian W, Jack W, Stanley H, Steven BH.

2006. Total Body Skeletal Muscle Mass: Estimation by Dual-Energy X-Ray Absorptiometry in Children and Adolescents. Am J Clin Nutr. 84:1014-20. Kulkarni B, Kuper H, Radhakrishna KV, Hills AP, Byrne NM, Taylor A, Sullivan

R, Bowen L,Wells JC, Shlomo YB, Smith GD, Ebrahim S, Kinra S. 2013. The Association of Early Life Supplemental Nutrition With Lean Body Mass and Grip Strength in Adulthood: Evidence From APCAPS. Am J Epidemiol. 179 (6): 700-709.

Lachat C, Khanh LNB, Khan NC, Dung NQ, Anh NDV, Roberfroid D, Kolsteren P. 2009. Eating Out of Home in Vietnamese Adolescent: Sosioeconomic Factor and Dietary Associations. Am J Clin Nutr. 90:1648-55.

Leheudre MA, Adlercreutz H. 2009. Relationship between Protein Intake and Muscle Mass Index in Healthy Women. British Journal of Nutrition. 102: 1803-1810.

(37)

23

Martin DW, Peter AM, Daryl KG, Victor WR. 1987. Harper’s Review of

Biochemistry. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Norton LE, Wilson GJ. 2009. Sport Nutrition [Internet]. [diunduh 2014 10 Agustus];9(2): Tersedia pada. http://www.biolayne.com/wp-content/uploads/Norton-J-Ag-Food-Ind-Hi-Tech-2008.pdf.

Notoatmodjo S.2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Rodrigues AM, Silva MJ, Mota J, Padez C, Martins RA, Cumming SP, Riddoch C,

Malina RM. 2012. Urban-Rural Contrast in Fitness, Physical Activity, and Sedentary Behavior in Adolescent. OxfordJournals. 10:1063.

Simopolous A dan Pavlou K. 2001. Nutrition and Fitness: Metabolics Studies in Health and Disease. Washington: The Center for Genetics, Nutrition and Health.

Spittaels H, Cauwenberghe EV, Verbestel V, Meester FD, Dyck DV, Verlogne M, Haerens L, Deforche B, Cardon G, Bourdeaudhuij ID. 2012. Objectively Measured Sedentary Time and Physical Activity Time Across The Lifespan: A Cross-Sectional Study In Four Age Groups. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 9: 149.

Starling RD, Ades PP, Poehlman ET. 1999. Physical Activity, Protein Intake, And Appendicular Skeletal Muscle Mass In Older Men. Am J Clin Nutr 1999 70:91–6.

Stookey JD, Linda A, June S, Barry MP. 2001. Patterns of Long-Term Change in Body Composition ari Associated with Diet, Activity, Income, and Urban Residence pamong Older Adults in China. J Nutr 131: 2433-2440.

, Adair LS, Popkin BM. 2005. Do Protein and Energy Intakes Explain Long-Term Changes in Body Composition. J Of Nutr, Health, & Aging. 9: 1-13 Suhardjo.1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor. Pusat Antar Universitas (IPB).

Supariasa IDN, Bachtiar B, Ibnu F. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Skhiri HA, Romdhane HB, Traissac P, Duvernay SE, Delpeuch F, Achour N, Maire B. 2008. Nutritional Status of Tunisian Adolecents: Assosiated Gender, Environmental and Socio Economic Factors. Publich Health Nutrition

11:1306-1317.

Sondhya FY, Akhter N. 2013. Nutritional Status of Adolescents in Bangladesh: Comparison of Severe Thinness Status of A Low–Income Family's Adolescents Between Urban and Rural Bangladesh. J Educ Health Promot, 2013. 2: 27.

SyafitriY, Syarief H, Baliwati YF. 2009. Kebiasaan Jajan Siswa Sekolah Dasar.

Jurnal Gizi dan Pangan. 4(3): 167-175.

Waterlow J. 1992. Protein Energy Malnutrition. London: University of London. WHO dan CDC. 2007. WHO Antroplus for Personal Computers Manual Software

for Assesing Growth of the World’s Children and Adolescents. Geneva: WHO (http://www.who.int/growthref/tools/en/).

Winarno,FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

(38)

24

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil uji Rank Spearman variabel independent dengan massa otot

Variabel p r

Status Gizi 0.000 0.444

TKP 0.071 -0.147

TKE 0.001 -0.256

Aktivitas Fisik 0.943 0.006

Ffq daging ayam 0.321 -0.081

Ffq daging sapi 0.266 0.091

Ffq daging kambing 0.814 0.190

Ffq ikan laut 0.914 -0.009

Ffq ikan pindang 0.544 -0.050

Ffq ikan tawar 0.514 -0.053

Ffq ikan asin 0.725 -0.029

Ffq susu sapi 0.600 0.043

Ffq telur 0.670 0.035

Ffq nuget/sosis 0.860 -0.014

Ffq tahu 0.978 0.002

Ffq tempe 0.675 0.034

(39)

25

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonosobo, 14 Oktober 1992 dari Ayah Suprihadi dan Ibu Fadhilah. Penulis adalah putri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA N 1 Wonosobo dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan organisasi yaitu sebagai staf divisi Human Resource and Development Ecoagrifarma tahun 2012 dan menjadi sekretaris umum Ecoagrifarma tahun 2013. Penulis juga aktif dalam kegiatan Gizi Bakti Masyarakat (GBM) tahun 2011-2012 . Bulan Juli-Agustus 2013 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Bersama Masyarakat (KKBM) di Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung dan pada bulan Februari 2014 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di RSI Pondok Kopi Jakarta.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pola konsumsi pangan sumber protein dan aktivitas fisik dengan massa otot pada remaja
Tabel 1  Variabel, jenis, cara, dan alat pengumpulan data
Tabel 1  Variabel, jenis, cara, dan alat pengumpulan data
Tabel 2  Kategori variabel penelitian (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di

Tema yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah gizi kebugaran, dengan judul Asupan Energi- Protein dan Kebiasaan Olahraga Kaitannya dengan Massa Otot dan Daya

Pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani berdasarkan golongan pendapatan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri, harga barang lain dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketersediaan pangan pokok (beras), pola konsumsi pangan, tingkat konsumsi energi dan protein, kondisi

Secara kuantitas terjadi penurunan tingkat konsumsi energy protein dan skor Pola Pangan Harapan tahun 2015 dibandingkan tahun 2014 apablia memperhatikan

Hubungan Kebiasaan Konsumsi Fast Food, Aktivitas Fisik, Pola Konsumsi, Karakteristik Remaja Orang Tua dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Studi Kasus pada Siswa

Ol eh karena it u, perlu dianalisis f akt or ekologi baik f isik maupun sosial ekonomi yang berpengaruh t erhadap konsumsi pangan di berbagai karakt erist ik wilayah

Tema yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah gizi kebugaran, dengan judul Asupan Energi- Protein dan Kebiasaan Olahraga Kaitannya dengan Massa Otot dan Daya