• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di panti werdha Tresna, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di panti werdha Tresna, Bogor"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

POLA KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK, RIWAYAT PENYAKIT, RIWAYAT DEMENSIA KELUARGA DAN KEJADIAN DEMENSIA PADA LANSIA DI PANTI WERDHA TRESNA BOGOR

CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga dan kejadian demensia pada lansia di Panti Werdha Tresna Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Chairunnisa Utami Pratiwi

(3)

ABSTRAK

CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI. Pola Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Riwayat Penyakit, Riwayat Demensia Keluarga dan Kejadian Demensia Pada Lansia di Panti Werdha Tresna Bogor. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan MELLY LATIFAH.

Demensia merupakan gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di Panti Werdha Tresna, Bogor. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan subyek penelitian sebanyak 42 lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara tingkat pendidikan, tingkat kecukupan vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, , vitamin B6, vitamin C, riwayat penyakit diabetes mellitus, dan aktivitas fisik dengan kejadian demensia pada lansia. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara usia, tingkat kecukupan asam folat, riwayat hipertensi, dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia.

Kata kunci: demensia, kognitif, memori, aktivitas fisik, pola konsumsi

ABSTRACT

CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI. Patterns of Food Consumption, Physical Activity, History of the Disease, Family History of Dementia, and Incidence of Dementia in Elderly in Tresna Werdha Nursing, Bogor. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI and MELLY LATIFAH.

Dementia can be defined as cognitive and memory disorder that can affect daily activities. Dementia is not just a disease, but rather a collection of symptoms caused by some illness or certain conditions so that there is a change of personality and behavior. The study objective was to analyze the patterns of food consumption, physical activity, history of disease, family history of dementia, and incidence of dementia in elderly in Werdha Tresna, nurshing home, Bogor. Research design was cross sectional study with 42 elderly as subjects. The results showed that there were significant correlation (p < 0.05) between the level of education, adequacy of level vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, history of diabetes and physical activity with incidence of dementia in elderly. There were no significant correlation (p > 0.05) between age, adequacy of level folic acid, history of hypertension, and family history of dementia with incidence of dementia in elderly.

(4)

RINGKASAN

CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI. I14090104. Pola Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Riwayat Penyakit, Riwayat Demensia Keluarga, dan Kejadian Demensia pada Lansia di Panti Werdha Tresna Bogor. Dibawah bimbingan SRI ANNA MARLIYATI dan MELLY LATIFAH.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di panti Werdha Tresna, Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik lansia yang meliputi usia dan tingkat pendidikan; 2) mengidentifikasi pola konsumsi lansia yang meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin C, fosfor dan besi; 3) mengidentifikasi aktivitas fisik dan riwayat penyakit lansia; 4) mengidentifikasi kejadian demensia dalam keluarga contoh; 5) menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dengan kejadian demensia 6) menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia; 7) menganalisis hubungan antara riwayat penyakit dengan kejadian demensia; dan 8) menganalisis hubungan antara faktor genetik dengan kejadian demensia.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu di rumah perlindungan sosial Panti Werdha Tresna Sukmaraharja, Bogor dengan mempertimbangkan lokasi, kemudahan perizinan, dan penyelenggaraan makan yang sama untuk setiap individu yang berada di Panti Werdha. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2013.

Contoh dalam penelitian ini adalah lansia yang tinggal di Panti Werdha Tresna Sukmaraharja, Bogor. Contoh ditentukan secara purposive dengan kriteria atau persyaratan bahwa contoh sehat, dapat berkomunikasi dengan baik, bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Dari total contoh yang berjumlah 60 orang dari panti, terpilih 42 orang yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari contoh yang memenuhi kriteria serta dengan mempertimbangkan jika ada contoh yang drop out selama penelitian berlangsung.

Data karakteristik contoh (nama, umur, status gizi, besar keluarga, status pernikahan, dan tingkat pendidikan) dan variabel lain seperti faktor genetik, riwayat penyakit, tingkat kecukupan zat gizi, dan aktivitas fisik dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excell. Faktor genetik dari masing- masing contoh didapat dari kuesioner yang ditanyakan kepada contoh. Setelah itu dapat diketahui apakah ada keluarga dari contoh yang mengalami demensia. Selain itu, data riwayat kesehatan contoh yang ada di panti juga direkap untuk mengetahui riwayat penyakit yang pernah dialami oleh contoh. Hubungan antar variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Spearman

dan uji pengaruh menggunakan Regresi Logistik menggunakan SPSS version 16.0.

Lansia yang menjadi contoh dalam penilitian berjumlah 42 orang dengan kisaran usia antara 60 tahun sampai 82 tahun. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia berusia diatas 65 tahun. dengan tingkat pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD). Sebagian besar lansia memiliki status pernikahan menikah, dengan rata-rata keluarga dengan kategori kecil yaitu ≤4 orang. Lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia sebagian besar memiliki status gizi normal.

(5)

besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia memiliki frekuensi makan 3 kali sehari. Sebagian besar lansia lebih banyak mengkonsumsi nasi sebagai pangan sumber karbohidratnya. Pangan sumber hewani yang banyak dikonsumsi lansia adalah telur ayam, sedangkan pangan nabati yang biasa dikonsumsi adalah tahu dan tempe. Sayuran yang biasa dikonsumsi lansia dipanti Werdha Tresna adalah diantaranya bayam, kangkung, sawi, wortel, kol, daun singkong, dan daun papaya. Buah- buahan yang biasa dikonsumsi adalah diantaranya jambu, papaya, mangga, pisang, melon, rambutan, jeruk, dan apel.

Tingkat kecukupan energi sebagian besar lansia yang mengalami demensia tergolong lebih, dan untuk lansia yang tidak mengalami demensia tergolong normal atau cukup. Tingkat kecukupan ptotein sebagian besar lansia yang mengalami demensia tergolong defisit berat, dan untuk lansia yang tidak mengalami demensia tergolong cukup. Seluruh lansia memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang cukup (≥77% AKG).Tingkat kecukupan vitamin B1, vitamin B2, asam folat sebagian besar lansia dari kedua kelompok (mengalami demensia dan tidak mengalami demensia) tergolong defisit, yaitu <77% AKG harian. Tingkat kecukupan vitamin B6 dan vitamin C sebagian besar lansia yang mengalami demensia tergolong defisit, yaitu <77% AKG harian, dan untuk lansia yang tidak mengalami demensia tergolong cukup, yaitu ≥77% AKG harian. Tingkat kecukupan fosfor dan besi sebagian besar lansia dari kedua kelompok (mengalami demensia dan tidak mengalami demensia) tergolong cukup, yaitu ≥77% AKG harian.

Sebagian besar lansia yang mengalami demensia sudah tidak aktif, yaitu sebesar 66.7%, dan lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar masih aktif, yaitu sebesar 55.6%. Sebagian besar lansia dari kedua kelompok (mengalami demensia dan tidak mengalami demensia) tidak ada riwayat penyakit. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia tidak diketahui riwayat demensia keluarganya, yaitu sebesar 50%. Sebesar 25% lansia yang mengalami demensia diketahui tidak ada riwayat keluarga yang mengalami demensia dan ada riwayat keluarga yang mengalami demensia. Lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar tidak ada riwayat keluarga yang mengalami demensia yaitu sebesar 72.2%. sebagian kecil atau sebsar 16.7% dan 11.1% lansia yang tidak mengalami demensia memiliki riwayat demensia keluarga dan tidak diketahui riwayat demensia keluarganya.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN ANTARA POLA KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK, RIWAYAT PENYAKIT DAN RIWAYAT DEMENSIA KELUARGA DENGAN KEJADIAN DEMENSIA PADA

LANSIA DI PANTI WERDHA TRESNA BOGOR

CHAIRUNNISA UTAMI PRATIWI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)
(9)

Judul Skripsi : Pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di panti werdha Tresna, Bogor

Nama : Chairunnisa Utami Pratiwi

NIM : I14090104

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, Msi Pembimbing I

Melly Latifah, Ir., M.Si. Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT atas segala kemudahan dan izin-Nya sehingga skripsi dengan judul “Hubungan antara pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia di Panti Werdha Tresna Bogor” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Strata-1 Program Studi Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku kepala Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. 2. Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, Msi, selaku Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasinya.

3. Ibu Melly Latifah, Ir., M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasinya.

4. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

5. Seluruh staff Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis.

6. Orangtua, saudara- saudara serta keluarga penulis yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, perhatian, dan dukungan baik moril maupun ma\teril.

7. Teman-teman Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) 2009 yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

8. Seluruh sivitas akademika Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis.

Bogor, Juli 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 6

Desain, tempat, dan waktu penelitian 6

Jumlah dan cara penarikan contoh 6

Jenis dan cara pengambilan data 6

Pengolahan dan analisis data 7

DEFINISI OPERASIONAL 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 11

Karakteristik lansia 12

Status gizi lansia 14

Pola konsumsi pangan 14

Aktivitas fisik 32

Riwayat penyakit 33

Riwayat demensia keluarga 34

Keadaan kognitif lansia 35

Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin A dengan kejadian demensia 38 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin B1 dengan kejadian demensia 39 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin B2 dengan kejadian demensia 39 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin B6 dengan kejadian demensia 39 Hubungan antara tingkat kecukupan asam folat dengan kejadian demensia 40 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin C dengan kejadian demensia 40

(12)

Hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian demensia 41 Hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia 42 Hubungan antara riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia 42 Hubungan antara riwayat penyakit dengan kejadian demensia 42 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian demensia 43

SIMPULAN DAN SARAN 43

Simpulan 43

Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 45

RIWAYAT HIDUP 47

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data, jenis data, dan cara pengumpulan data ... 7

Tabel 2 Jenis dan kategori variabel pengolahan data ... 8

Tabel 3 Sebaran lansia berdasarkan karakteristik dan kondisi demensia ... 12

Tabel 4 Sebaran lansia berdasarkan lama tinggal di panti ... 17

Tabel 5 Sebaran lansia berdasarkan status gizi ... 15

Tabel 6 Kebiasaan makan lansia ... 16

Tabel 7 Frekuensi konsumsi bagan pangan per minggu ... 19

Tabel 8 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi ... 24

Tabel 9 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan energi ... 25

Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan protein ... 26

Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A ... 27

Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1 ... 28

Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B2 ... 29

Tabel 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B6 ... 29

Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan asam folat ... 30

Tabel 16 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C ... 31

Tabel 17 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan fosfor ... 32

Tabel 18 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan besi ... 32

Tabel 19 Sebaran lansia berdasarkan tingkat aktivitas fisik ... 33

Tabel 20 Sebaran lansia berdasarkan riwayat penyakit ... 34

Tabel 21 Sebaran lansia berdasarkan riwayat demensia keluarga ... 35

Tabel 22 Distribusi lansia berdasarkan keadaan kognitif ... 37

Tabel 23 Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin dengan demensia ... 39

Tabel 24 Hubungan antara beberapa variabel dengan demensia ... 71

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 5

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lansia (Usia lanjut) merupakan seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan Depkes RI (2006), seseorang dikatakan usia lanjut dini apabila usianya mencapai 60-64 tahun dan dikatakan lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif apabila berusia diatas 65 tahun. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, pasal 1 ayat 2, yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (Hamid 2007).

Di Indonesia sendiri pada tahun 2000, jumlah lansia meningkat mencapai 9.99% dari seluruh penduduk Indonesia dengan usia harapan hidup 65-70 tahun. Jumlah ini akan terus meningkat dan pada tahun 2020 diproyeksikan jumlah lansia akan mencapai 11.34%. Pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 30 juta orang dengan usia harapan hidup 70-75 tahun (Badan Penelitian Statistik 2000). Peningkatan usia harapan hidup di Indonesia akan meningkatkan jumlah penduduk usia lanjut. Perlu diwaspadai adanya peningkatan penyakit yang berhubungan dengan proses degeneratif, diantaranya demensia, yang gejalanya berupa ketidakmampuan untuk hidup mandiri dan akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Proses penuaan otak abnormal merupakan bagian dari proses degenerasi pada seluruh organ tubuh. Hal ini akan menimbulkan berbagai gangguan neuropsikologis dan masalah yang terbesar adalah demensia (Saunderajen 2012).

Demensia merupakan suatu gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu ataupun tidak menganggu (Volicer, Hurley, Mahoney 1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku. Demensia sangat berkaitan dengan lanjut usia.

(15)

2

Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pola makan yang baik dan beraneka ragam dapat memperbaiki mutu gizi makanan seseorang (Slamet 2009). Zat gizi mikro diketahui berkaitan dengan kejadian demensia pada lansia, terutama vitamin B kompleks. Kekurangan vitamin B kompleks pada lansia dapat meningkatkan resiko terjadinya demensia. Vitamin B kompleks berperan dalam metabolisme energi (ATP) yang diperlukan sel-sel otak dan memperbaiki fungsi verbal memory dan nonverbal abstract reasoning sel-sel otak. Asam folat berpengaruh pada kemampuan kognitif otak dan mood. Kekurangan asam folat, niasin, dan vitamin B12 dapat memperparah demensia.

Zat besi memiliki beberapa fungsi esensial dalam tubuh seperti alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim dalam jaringan tubuh. Kekurangan zat besi akan meningkatkan resiko terjadinya demensia pada lansia. Mineral zat besi (Fe) berperan sebagai kofaktor esensial dalam sintesis neurotransmitter dan mielinisasi sel-sel otak. Kekurangan pasokan Fe berakibat anemia dan otak mengalami gejala “4L”, cepat lelah, letih, lemah, dan lesu.

Selain zat besi ada pula vitamin A dan vitamin C yang berkaitan dengan kejadian demensia. Vitamin A dan Vitamin C dikenal sebagai antioksidan yang berperan untuk mengurangi jumlah LDL teroksidasi dalam darah yang menjadi pemicu terbentuknya arterosklerosis. Berkurangnya jumlah LDL teroksidasi dalam darah akan turut menurunkan resiko terjadinya strok yang merupakan faktor resiko dari demensia.

Menurut Sjostrom et al. (2008), aktivitas fisik merupakan bentuk dari perilaku yang menghasilkan pengeluaran energi (energi expenditure) karena pergerakan otot tubuh termasuk lengan dan kaki. Aktifvitas fisik diketahui berkaitan dengan kejadian demensia pada lansia. Berdasarkan meta-analisis dari 18 studi, melakukan senam atau aerobik dan latihan kekuatan dapat mencegah terjadinya demensia (Ham et al. 2007).

Berdasarkan hasil studi epidemiologi diketahui bahwa faktor usia merupakan faktor terkuat untuk terjadinya demensia pada lansia. Berkaitan dengan usia, riwayat keluarga dengan demensia juga menjadi faktor resiko untuk terjadinya demensia; seseorang dengan kedua orangtua yang mengalami demensia memiliki resiko 54% lebih besar untuk mengalami demensia pada usia 80 tahun. Resiko ini 1.5 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan seseorang yang memiliki salah satu orangtua yang mengalami demensia dan sekitar 5 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan seseorang dengan kedua orangtua yang tidak mengalami demensia. (Ham et al. 2007).

(16)

3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia di panti Werdha Tresna, Bogor.

Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi karakteristik lansia yang meliputi usia, besar keluarga, status pernikahan,tingkat pendidikan, dan lamanya lansia tinggal di panti. 2. Mengidentifikasi pola konsumsi lansia yang meliputi energi, protein,

vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin C, fosfor dan besi.

3. Mengidentifikasi aktivitas fisik, status gizi dan riwayat penyakit lansia. 4. Mengidentifikasi kejadian demensia dalam keluarga contoh.

5. Menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dengan kejadian demensia.

6. Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia. 7. Menganalisis hubungan antara riwayat penyakit dengan kejadian demensia. 8. Menganalisis hubungan antara riwayat demensia keluarga dengan

kejadian demensia.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau pengetahuan mengenai hubungan antara pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai pola konsumsi pangan yang baik untuk meningkatkan status kesehatan pada lansia. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu mencegah kejadian demensia pada lansia dengan adanya faktor resiko yang terlibat didalamnya.

KERANGKA PEMIKIRAN

(17)

4

Demensia adalah kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya memori jangka pendek, gangguan global fungsi mental, termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil, dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran atau situasi stress, sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan, aktivitas harian dan sosial.

Berdasarkan hasil studi epidemiologi diketahui bahwa faktor usia merupakan faktor terkuat untuk terjadinya demensia pada lansia. Berkaitan dengan usia, riwayat keluarga dengan demensia juga menjadi faktor resiko untuk terjadinya demensia; seseorang dengan kedua orangtua yang mengalami demensia memiliki resiko 54% lebih besar untuk mengalami demensia diusia 80 tahun. Resiko ini 1.5 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan seseorang yang memiliki salah satu orangtua yang mengalami demensia dan sekitar 5 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan seseorang dengan kedua orangtua yang tidak mengalami demensia. Beberapa faktor resiko lain diantaranya adalah mutasi gen berupa riwayat down syndrome, riwayat trauma pada kepala, faktor resiko kardiovaskular seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes mellitus juga diketahui berkaitan dengan kejadian demensia. Selain faktor resiko ada pula

protective factor atau faktor penunjang untuk mengurangi resiko demensia, diantaranya yaitu tingkat pendidikan, aktivitas fisik, dan diet (Ham et al. 2007).

Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah seseorang berada diatas batas normal, yaitu dimana sistol berada diatas 140 mmHg dan diastol berada diatas 90 mmHg (JNC 2007). Tekanan darah yang melebihi batas normal atau biasa disebut hipertensi akan meningkatkan resiko terjadinya strok. Apabila strok telah terjadi maka resiko dari terjadinya demensia pada lansia akan meningkat. Menurut Final Report dari pemerintah Australia (2005) penyakit strok merupakan faktor resiko besar untuk terjadinya demensia. Penelitian yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya menyatakan bahwa sekitar 70% penderita strok mengalami gangguan kognitif (ringan-berat) dan sekitar 25-30% diantaranya berkembang menjadi demensia.

Tingkat pendidikan, aktivitas fisik, dan diet diketahui berhubungan dengan kejadian demensia pada lansia. Dalam sebuah penelitian perbandingan antara lansia usia diatas 75 tahun dengan minimal 8 tahun pendidikan dan kurang dari 8 tahun pendidikan, diketahui lansia dengan pendidikan dibawah 8 tahun mengalami demensia lebih banyak 2.6 kali apabila dibandingkan dengan lansia yang memiliki pendidikan minimal 8 tahun (Ham et al. 2007). Aktivitas fisik diketahui mampu menopang aliran darah ke otak dengan meurunkan tekanan darah, dan menurunkan kadar lipid dalam darah. Aliran darah yang lancar ke otak mampu menutrisi otak dengan baik sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya lesi pada otak.

(18)

5 keseluruhan. Zat gizi mikro diketahui berkaitan dengan kejadian demensia pada lansia, terutama vitamin B kompleks. Kekurangan vitamin B kompleks pada lansia dapat meningkatkan resiko terjadinya demensia. Vitamin A dan Vitamin C dikenal sebagai antioksidan yang berperan untuk mengurangi jumlah LDL teroksidasi dalam darah yang menjadi pemicu terbentuknya arterosklerosis. Berkurangnya jumlah LDL teroksidasi dalam darah akan turut menurunkan resiko terjadinya stroke yang merupakan faktor resiko dari demensia. Besi memiliki beberapa fungsi esensial dalam tubuh seperti alat angkut oksigen dari paru- paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim dalam jaringan tubuh.

Untuk lebih jelasnya, hubungan antar variabel dalam penelitian ditampilkan dalam gambar 1 dibawah ini.

Protective Factors

Tingkat Pendidikan Aktivitas fisik Pola konsumsi

Demensia

Diabetes Melitus

Usia Resiko

kardiovaskular Riwayat

demensia di keluarga

Riwayat trauma kepala

Hipertensi

Hiperlipidemia

(19)

6

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

METODE

Desain, tempat, dan waktu penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional. Hal ini berarti penelitian dilakukan pada satu titik waktu untuk menentukan apakah paparan berkaitan dengan terjadinya penyakit, dimana hasil penyakit dan paparan diukur pada saat yang sama.Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposif, yaitu di Panti Werdha Tresna, Bogor, dengan mempertimbangkan lokasi, kemudahan perizinan, akses dan populasi yang homogen. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2013.

Jumlah dan cara penarikan contoh

Contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang tinggal di Panti Werdha Tresna, Bogor. Contoh harus memiliki kriteria sebagai berikut, bersedia untuk menjadi subjek penelitian, sehat, dan memiliki tingkat kesadaran yang masih baik. Contoh yang sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan memiliki gangguan pendengaran tidak dimasukkan dalam penelitian.

Jenis dan cara pengambilan data

(20)

7 Tabel 1 Data, jenis data, dan cara pengumpulan data

Variabel Data Jenis

Pola konsumsi - Jumlah pangan - Jenis pangan

Aktivitas fisik - Durasi melakukan aktivtas fisik - Kebiasaan Olahraga

Keadaan kognitif -Daya ingat -Orientasi

(21)

8

Data karakteristik contoh (nama, umur, besar keluarga, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya lansia tinggal di panti) dan variabel lain seperti status gizi, keadaan kognitif, riwayat demensia keluarga, riwayat penyakit, tingkat kecukupan zat gizi, keadaan kognitif, dan aktivitas fisik dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excel. Hubungan antar variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Spearman dan uji pengaruh menggunakan Regresi Logistik menggunakan SPSS version 16.0. Pengkategorian variabel-variabel dalam penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data

Variabel Kategori Pengukuran Literatur

Data Primer

(22)

9 Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data (lanjutan)

Variabel Kategori Pengukuran Sumber Data

Keadaan kognitif 0 normal

Riwayat penyakit (0) tidak ada riwayat penyakit

Berat badan adalah massa tubuh dalam satuan kilogram yang ditimbang menggunakan timbangan bathroom scale merk camry. Tinggi Badan adalah pengukuran tinggi badan contoh dengan cara pengukuran tinggi badan dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1.Data tinggi badan didapat melalui pengukuran langsung. Lansia yang sudah tidak dapat berdiri diukur tinggi badannya melalui konversi dari pengukuran tinggi lutut. Konversi tinggi badan dari tinggi lutut didapat melalui rumus Chumlea (1984) berikut :

TB wanita = 84,88 – (0,24 x usia dalam tahun) + (1,83 x tinggi lutut dalam cm) Data konsumsi pangan diketahui melalui metode recall 2x24 jam dan FFQ. Metode recall 2x24 jam dipilih utnuk mengetahui data konsumsi pangan contoh dan FFQ digunakan untuk melihat/ memperoleh gambaran pola konsumsi pangan contoh yang diharapkan mampu memperkuat data yang telah didapat dari recall 2x24 jam. Data konsumsi pangan yang telah didapatkan dari recall 2x24 jam dikonversikan ke dalam satuan energi, protein, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitain B6, asam folat, vitamin C, fosfor, dan besi, merujuk pada Daftar Komposisi Bahan Makanan dan Nutri Survey Indonesia. Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994) sebagai berikut:

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan:

KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

(23)

10

berat apabila hanya memenuhi <70% AKG, defisit sedang apabila memenuhi 70-79% AKG, defisit ringan apabila memenuhi 80-89% AKG, berlebih apabila memenuhi >120% AKG. Zat gizi mikro dikatakan normal apabila memenuhi >77% AKG dan kurang apabila <77% AKG (Gibson 2005).

DEFINISI OPERASIONAL

Lansia merupakan seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan, usianya diatas 60 tahun.

Contoh adalah lansia yang tinggal di Panti werdha tresna Bogor, bersedia menjadi subjek penelitian, sehat, dan memiliki kesadaran yang masih baik.

Pola Konsumsi Pangan adalah susunan jenis dan frekuensi konsumsi makan yang dapat dilihat dari kebiasaan mengkonsumsi jenis-jenis pangan meliputi makanan pokok, pangan hewani, pangan nabati, sayur, buah, dan air putih dengan menggunakan Food Frequencies Questionnaries (FFQ), serta tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin C, fosfor, dan besi contoh yang dihitung melalui perbandingan konsumsi yang didapat melalui

Recall 2x24 jam dengan angka kecukupan zat gizi menurut WKNPG (2004).

Status Gizi adalah keadaan kesehatan tubuh contoh yang dipengaruhi oleh asupan zat gizi masa lampau yang ditentukan berdasarkan IMT (kg/m2) yang mengacu pada Depkes (2005).

Karakteristik contoh adalah data-data lansia yang meliputi usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.

Tekanan darah adalah kuatnya darah menekan dinding pembuluh darah saat dipompa dari jantung menuju keseluruhan jaringan.

Riwayat demensia keluarga adalah informasi mengenai orangtua lansia apakah ada yang mengalami demensia.

Demensia merupakan suatu kondisi dimana terjadi gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.

Diabetes melitus merupakan suatu kondisi dimana glukosa darah berada diatas batas normal, glukosa darah puasa berada diatas 120 mg/dl dan glukosa darah 2 jam sesudah makan berada diatas 200 mg/dl.

Konsumsi merupakan suatu kegiatan untuk memasukkan makanan dalam tubuh untuk keberlangsungan kegiatan sehari- hari.

Zat gizi mikro adalah zat- zat yang dibutuhkan tubuh untuk menjaga agar tubuh tetap sehat meliputi vitamin (Vitamin A, Vitamin B, Vitamin C) dan mineral (fosfor dan besi).

Tingkat pendidikan merupakan perbedaan pendidikan yang ditempuh oleh masing- masing contoh.

(24)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Panti werdha yang djadikan lokasi penelitian adalah Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha (RPSTW) yang berlokasi Jl Pulo Empang RT 004/05 Paledang, Bogor Tengah, Bogor 16122 Jawa Barat. Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha menampung sekitar 60 orang lansia. Panti Werdha Tresna atau biasa disebut Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor merupakan lembaga atau satuan kerja yang berfungsi untuk memberikan pelayanan sosial bagi penyandang masalah sosial lanjut usia terlantar. Rumah perlindungan sosial Tresna Werdha Bogor merupakan pelaksana dari UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung dan pemeliharaan Taman Makam Pahlawan yang mempunyai fungsi dan tanggung jawab dalam rangka pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial baik yang bersifat administratif maupun teknis terhadap sasaran pelayanan secara langsung kepada para lansia. Sumber dana Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor bersumber dari DPA Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Yayasan Dharmais, dan bantuan tidak tetap dari donatur.

Lansia yang menjadi sasaran pelayanan di RPSTW adalah lanjut usia yang berusia 60 tahun keatas dengan karakteristik seperti berikut : lanjut usia yang nyata-nyata terlantar baik karena tidak ada atau tidak diketahui keluarganya, maupun mereka yang tidak diurus keluarganya sebagaimana layaknya, lanjut usia yang karena suatu sebab tertentu mereka tidak mau hidup di lingkungan keluarganya melainkan ingin dilayani di RPSTW. RPSTW mampu menampung hingga 60 lansia. Kegiatan yang ada di panti beragam, ada kegiatan kerohanian seperti pengajian dan shalat bersama, kegiatan senam lansia yang dilaksanakan dua kali dalam seminggu, kegiatan keterampilan seperti memasak dan membuat pernak pernik, serta kegiatan hiburan maupun kegiatan lain dari donatur.

Luas lahan RPSTW sekitar 1.810 m² dengan sarana dan fasilitas yang tersedia seperti berikut ini : asrama I ukuran 28,7 m x 7,25 m = 286 m², asrama II ukuran 3m X 12m = 36 m², asrama III ukuran 3m x 12 m = 36 m², asrama IV ukuran 4m x 24m = 96m ², aula 4m x 7 m = 28m², gasibu 2,5 m x 5 m = 12,5 m2, dapur 1 buah, 4m x 5m² = 20 m², kamar mandi 5 buah, ukuran 1,85 m X 2 m = 18m², kamar emergensi 3 buah, ukuran 1,85m x 2 m = 28,7m², mushola 1 buah, 4 m x 5m = 20 m², dan tempat pemakaman 1000 m².

(25)

12

memperbaiki, membina, dan mengembangkan kelayakan taraf hidup dan penghidupan manusia, terutama mereka yang mengalami hambatan sosial baik fisik maupun mental psikologis para lansia yang disebabkan oleh berbagai hal.

Karakteristik lansia Usia

Lansia yang menjadi contoh dalam penelitian berjumlah 42 orang dengan kisaran usia antara 60 tahun sampai 82 tahun. Pengelompokan usia dibagi menjadi dua, yaitu rentang usia 60 sampai 64 tahun dan usia diatas 65 tahun berdasarkan kriteria Depkes tahun 2006. Pengelompokan juga dibedakan berdasar kejadian demensia pada lansia, yaitu demensia dan tidak demensia, seperti terlihat pada Tabel 3. Sebagian besar lansia berusia diatas 65 tahun dengan persentase sebesar 83.3% untuk lansia yang mengalami demensia dan sebesar 72.2% untuk lansia yang tidak mengalami demensia. Rata-rata usia lansia adalah 69.5 ± 6.1 tahun.

Tabel 3 Sebaran lansia berdasarkan karakteristik dan kondisi demensia

Variabel Demensia Tidak demensia Total

n % n % n %

Usia

60-64 4 16.7 5 27.8 9 21.4

>65 20 83.3 13 72.2 33 78.6

Total 24 100 18 100 42 100

Tingkat pendidikan

Tidak sekolah 13 54.2 4 22.2 17 40.5

Tidak tamat SD 1 4.2 1 5.6 2 4.8

SD 5 20.8 6 33.3 11 26

SMP 2 8.3 5 27.8 7 16.7

SMA 2 8.3 2 11.1 4 9.6

Perguruan tinggi 1 4.2 0 0.0 1 2.4

Total 24 100 18 100 42 100

Status pernikahan

Menikah 8 33.3 8 44.4 16 38.1

Tidak menikah 5 20.8 2 11.1 7 16.7

Cerai hidup 2 8.3 3 16.7 5 11.9

Cerai mati 9 37.5 5 27.8 14 33.3

Total 24 100 18 100 42 100

Besar keluarga

Kecil 18 75.0 12 66.7 30 71.4

Sedang 6 25.0 4 22.2 10 23.8

Besar 0 0.0 2 11.1 2 4.8

(26)

13 Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu unsur penting untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan di masa yang akan datang akan menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Hasil Susenas Juli 2009 memperlihatkan pendidikan penduduk lansia yang relatif masih rendah, yaitu tidak/belum pernah sekolah dan tidak tamat SD. Penduduk lansia yang tamat SD hanya sebesar 23.01 persen, persentase penduduk lansia yang tamat SMP hanya sebesar 5.85 persen, SMA sebesar 6.83 persen dan Perguruan Tinggi (PT) hanya sebesar 2.51 persen. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk lansia memperlihatkan kualitas SDM lansia yang rendah.

Tingkat pendidikan lansia pada penelitian ini berkisar antara tidak sekolah sampai perguruan tinggi, dimulai dari tidak sekolah, tidak tamat SD, SD, SMP. SMA, dan perguruan tinggi. Pengelompokan tingkat pendidikan didasarkan pada sebaran tingkat pendidikan lansia dan keadaan demensia, seperti terlihat pada Tabel 3. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia tidak sekolah (54.2%) dan sebagian besar lansia yang tidak mengalami demensia merupakan tamatan Sekolah Dasar (33.3%).

Status pernikahan

Status pernikahan lansia dikelompokkan menjadi 4, yaitu menikah, tidak menikah, cerai hidup, dan cerai mati. Pengelompokkan juga dibedakan berdasar kejadian demensia pada lansia, yaitu demensia dan tidak demensia seperti terlihat pada Tabel 3. Sebagian besar lansia dari kedua kelompok memiliki status pernikahan menikah, yaitu sebesar 33.3% untuk lansia yang mengalami demensia dan sebesar 44.4% untuk lansia yang tidak mengalami demensia.

Besar keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya atau jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain dari pengelolaan sumber daya yang sama. Menurut BKKBN (1998), besar keluarga dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥7 orang). Berdasarkan pengelompokkan tersebut, diketahui sebagian besar lansia dari kedua kelompok memiliki besar keluarga yang tergolong kecil yaitu ≤4 orang. Lansia yang mengalami demensia diketahui sebesar 75% dan lansia yang tidak mengalami demensia diketahui sebesar 66.7%.

Lama tinggal di panti

(27)

14

kesulitan pada penyesuaian diri dengan peran sosial secara luwes. Lansia merasa asing dengan lingkungan sosialnya yang baru pada saat Lansia tersebut dipindahkan ke panti werdha yang sebelumnya belum pernah mereka tinggali. Disana mereka bertemu banyak teman seusia yang beragam sifat dan karakternya. Menurut Hurlock (1980), salah satu perubahan mental yang terjadi pada lansia adalah mental yang kaku sehingga mereka juga membutuhkan usaha yang lebih untuk beradaptasi dengan situasi baru di Panti werdha. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh ketidakcocokan sifat dan karakter pada masing-masing individu. Hal inilah yang menghambat afeksi dan emosi positif serta evaluasi kognitif Lansia sehingga Lansia tersebut menjadi tidak sejahtera.

Tabel 4 Sebaran lansia berdasarkan lama tinggal di panti Lama tinggal di panti Demensia Tidak demensia

(tahun) n % n %

0 – 5 16 66.7 12 66.7

5 – 10 3 12.5 4 22.2

10 – 15 4 16.7 1 5.6

>15 1 4.2 1 5.6

Total 24 100 18 100

Status gizi lansia

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat- zat gizi (Almatsier 2009). Menurut Riyadi (2003), status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi. Indeks masa tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Penentuan batasan berat badan normal pada orang dewasa berdasarkan penilaian indeks masa tubuh dihitung menurut rumus berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter persegi. Batas ambang nilai IMT menurut Depkes (2005) untuk orang Indonesai adalah <18.5 kg/m2 termasuk dalam kategori kurus, 18.5-25.0 kg/m2 untuk kategori normal, dan >25 kg/m2 untuk kategori gemuk.

(28)

15 Tabel 5 Sebaran lansia berdasarkan status gizi

Status gizi Demensia Tidak demensia

n % n %

Kurus 8 33.3 2 11.1

Normal 15 62.5 10 55.6

Gemuk 1 4.2 6 33.3

Total 24 100 18 100

Pola konsumsi pangan

Pola konsumsi pangan dapat diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologi, budaya, sosial, dan ekonomi (Riyadi 2006). Menurut Suhardjo (1989), kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan, distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya. Pola konsumsi pangan lansia dalam penelitian ini dilihat melalui 3 aspek, yaitu kebiasaan makan, konsumsi berbagai pangan, dan tingkat kecukupan zat gizi lansia.

Kebiasaan makan Frekuensi makan sehari

(29)

16

Tabel 6 Kebiasaan makan lansia

Kebiasaan makan Klasifikasi Demensia Tidak demensia

n % n %

Frekuensi makan sehari (kali) 1-2 1 4.2 5 27.8

3 23 95.8 11 61.1

>3 0 0.0 2 11.1

Kebiasaan sarapan pagi Selalu 20 83.3 14 77.8

kadang- kadang 3 12.5 4 22.2

Jarang 1 4.2 0 0.0

tidak pernah 0 0.0 0 0.0

Waktu sarapan pagi 05.30 - 06.30 17 70.8 14 77.8

06.31 - 07.30 7 29.2 2 11.1

> 07.30 0 0.0 2 11.1

Menu sarapan nasi dan lauk pauk 29 96.7 12 100.0

Roti 1 3.3 0 0.0

Minuman yang biasa diminum teh manis 16 66.7 6 33.3

pagi/ malam air putih 3 12.5 9 50.0

lainnya (kopi/

sirup) 5 20.8 3 16.7

Kebiasaan minum rutin Selalu 8 33.3 12 66.7

kadang- kadang 6 25.0 5 27.8

Jarang 10 41.7 1 5.6

tidak pernah 0 0.0 0 0.0

Waktu terbiasa konsumsi susu Balita 5 20.8 9 50.0

SD 2 8.3 4 22.2

SMP 1 4.2 0 0.0

SMA 0 0.0 0 0.0

baru baru ini 15 62.5 5 27.8

tidak pernah 1 4.2 0 0.0

Frekuensi konsumsi susu 0 3 12.5 5 27.8

(minggu) 1 12 50.0 3 16.7

2 9 37.5 7 38.9

3 0 0.0 2 11.1

7 0 0.0 1 5.6

Kebiasaan makan siang Selalu 23 95.8 15 83.3

kadang- kadang 1 4.2 3 16.7

Jarang 0 0.0 0 0.0

tidak pernah 0 0.0 0 0.0

Menu makan siang N+LH+LN+S 21 87.5 16 88.9

N+LH+S 0 0.0 0 0.0

N +S 0 0.0 0 0.0

N+LH+LN+S 1 4.2 1 5.6

N+LH 0 0.0 1 5.6

(30)

17 Tabel 6 Kebiasaan makan lansia (lanjutan)

Kebiasaan makan Klasifikasi

Demensia Tidak demensia

n % n %

N+LH/LN+kecap 1 4.2 0 0.0

Kebiasaan ngemil Selalu 8 33.3 10 55.6

kadang- kadang 5 20.8 5 27.8

Jarang 10 41.7 3 16.7

tidak pernah 1 4.2 0 0.0

Konsumsi air putih sehari 8 gelas 1 4.2 6 33.3

5 gelas 3 12.5 6 33.3

3 gelas 15 62.5 4 22.2

<3 gelas 5 20.8 2 11.1

Membeli makanan diluar panti selalu 3 12.5 8 44.4

kadang- kadang 6 25.0 4 22.2

jarang 4 16.7 5 27.8

tidak pernah 11 45.8 1 5.6

Keterangan : N : Nasi

LH : Lauk hewani LN : Lauk nabati S : Sayuran

Kebiasaan sarapan

Sarapan (makan pagi) adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari (Khomsan 2005). Khomsan (2005) menegaskan bahwa dengan melakukan sarapan dapat menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian. Ada dua manfaat sarapan diantaranya yaitu sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah yang terjamin normal, maka gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik, sehingga berdampak positif terhadap produktifitas kerja. Manfaat sarapan yang kedua adalah sarapan dapat memberikan kontribusi penting terhadap beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh, seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral. Melewatkan sarapan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa, sehingga menimbulkan rasa pusing, gemetar, dan rasa lelah. Jika hal ini terjadi maka tubuh akan membongkar persediaan tenaga yang ada dalam jaringan lemak tubuh.

(31)

18

sekitar pukul 06.00 pagi. Menu sarapan pagi dikelompokkan berdasar sebaran kebiasan menu sarapan pada lansia. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan keseluruhan lansia yang tidak mengalami demensia memiliki menu sarapan nasi dan lauk pauk.

Kebiasaan minum

Asupan air pada lansia harus lebih diperhatikan karena osmoreseptor kurang sensitif sehingga mereka kerap tidak merasa haus. Kecukupan asupan air, meskipun telah dihitung secara cermat, harus dipantau melalui ekskresi urin; volume urin sehari minimal setengah liter. Jenis minuman sebaiknya sari buah, karena disamping memasok cairan, sari buah juga menyuplai vitamin (Arisman 2004).

Sebagian besar lansia yang mengalami demensia memiliki kebiasaan minum rutin yang tergolong jarang (41.7%), sedangkan lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar selalu memiliki kebiasaan minum yang tergolong rutin (66.7%). Minuman yang biasa diminum lansia ketika pagi atau malam adalah teh manis dan air putih. Sebesar 66.7% lansia yang mengalami demensia biasa minum teh manis ketika pagi atau malam hari, dan sebesar 50% lansia yang tidak mengalami demensia biasa minum air putih ketika pagi atau malam hari. Konsumsi air putih rata-rata untuk lansia yang mengalami demensia sebagian besar adalah sebanyak 3 gelas sehari, dan 5 sampai 8 gelas sehari untuk lansia yang tidak mengalami demensia.

Susu merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang baik bagi tubuh. Konsumsi susu untuk lansia yang mengalami demensia lebih sedikit apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini terlihat dari frekuensi konsumsi susu dalam seminggu. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia, yaitu sebesar 50% mengkonsumsi susu 1 kali dalam seminggu, sedangkan lansia yang tidak mengalami demensia mengkonsumsi susu sebanyak 2 kali dalam seminggu. Lansia yang mengalami demensia sebagian besar mulai terbiasa mengkonsumsi susu baru-baru ini atau ketika baru masuk panti, sedangkan lansia yang tidak mengalami demensia sebagian besar terbiasa mengkonsumsi susu sejak balita.

Kebiasaan ngemil

(32)

19 Konsumsi bahan pangan sumber karbohidrat

Tujuan mengisi FFQ adalah melengkapi data konsumsi makanan yang tidak dapat diperoleh melalui ingatan 24 jam. Contoh diberi tugas untuk melaporkan frekuensi makanan yang lazim dikonsumsi berdasarkan daftar makanan dalam periode waktu tertentu. Data yang didapat dengan FFQ merupakan data frekuensi : berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan orang menyantap makanan tertentu (Arisman 2004). Frekuensi konsumsi bahan pangan lansia dapat dilihat pada Tabel 7, dimana diketahui rata-rata konsumsi bahan pangan dalam seminggu, maksimum konsumsi bahan pangan dalam satu minggu, dan minimum konsumsi bahan pangan dalam satu minggu. Frekuensi konsumsi tersebut didapat dari konsumsi bahan pangan dalam sebulan terakhir.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kuesioner FFQ, diketahui sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia lebih banyak mengkonsumsi nasi sebagai pangan sumber karbohidratnya. Rata-rata sebanyak 20 sampai 21 kali dalam seminggu lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia mengkonsumsi nasi. Minimum dan maksimum konsumsi nasi dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia adalah sebanyak 14 kali dan 21 kali. Bahan pangan sumber karbohidrat lain yang juga dikonsumsi lansia adalah jagung, singkong, biskuit dan mie. Rata-rata konsumsi bahan pangan tersebut jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi nasi. Banyaknya rata-rata konsumsi nasi dalam seminggu berkaitan dengan makanan yang disediakan panti Werdha Tresna untuk lansia. Bahan pangan sumber karbohidrat yang disediakan sehari-hari adalah nasi. Lansia yang mengalami demensia rata-rata hanya mengkonsumsi jagung, singkong, dan biskuit sebanyak 1 sampai 2 kali dalam seminggu, dan mie hanya 1 kali dalam seminggu. Lansia yang tidak mengalami demensia rata-rata hanya mengkonsumsi jagung dan singkong sebanyak 2 sampai 3 kali seminggu, biskuit sebanyak 3 sampai 4 kali seminggu, dan mie sebanyak 1 kali seminggu.

Tabel 7 Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu

(33)

20

Tabel 7 Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu (lanjutan)

No. Jenis pangan Demensia Tidak demensia

Rata-rata ± standar deviasi

(34)

21 Tabel 7 Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu (lanjutan)

No. Jenis pangan Demensia Tidak demensia

Rata-rata ± standar deviasi

Konsumsi bahan pangan sumber protein hewani

(35)

22

4 sampai 5 kali dalam seminggu. Konsumsi telur ayam yang tinggi ini berkaitan dengan menu yang disediakan di panti lebih banyak berbahan baku telur ayam. Hampir setiap harinya menu yang disediakan salah satunya berbahan baku telur ayam. Selain telur ayam, konsumsi pangan hewani yang cukup banyak yaitu daging ayam. Sebanyak 2 sampai 3 kali dalam seminggu lansia yang mengalami demensia mengkonsumsi daging ayam, sedangkan lansia yang tidak mengalami demensia mengkonsumsi daging ayam sebanyak 3 sampai 4 kali dalam seminggu. Konsumsi pangan hewani terendah adalah daging kambing. Maksimum konsumsi daging kambing untuk lansia yang mengalami demensia adalah sebanyak 1 kali dalam sebulan, dan lansia yang tidak mengalami demensia tidak ada yang mengkonsumsi daging kambing dalam sebulan terakhir. Hal ini berkaitan dengan banyaknya lansia yang mengidap hipertensi sehingga pemilihan bahan pangan dibatasi untuk daging kambing.

Konsumsi bahan pangan sumber protein nabati

Sumber protein tidak hanya berasal dari pangan hewani namun juga berasal dari pangan nabati. Pangan nabati yang biasa dikonsumsi lansia di panti Werdha Tresna diantaranya tahu, tempe, oncom, kacang tanah, dan kacang hijau. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensia lebih banyak mengkonsumsi tempe dan tahu sebagai pangan nabatinya. Rata-rata konsumsi tempe dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini terlihat dari rata-rata konsumsi tempe dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia adalah sebanyak 8 sampai 9 kali, sedangkan untuk lansia yang tidak mengalami demensia adalah sebanyak 6 sampai 7 kali. Minimum konsumsi tempe dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia adalah sebanyak 7 kali dan sebanyak 0 kali untuk lansia yang tidak mengalami demensia. Maksimum konsumsi tempe dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia adalah sebanyak 21 kali atau dapat dikatakan satu hari sebanyak 3 kali, sedangkan untuk lansia yang tidak mengalami demensia adalah sebanyak 14 kali dalam seminggu. Rata-rata konsumsi tahu dalam seminggu untuk lansia yang mengalami demensia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini terlihat dari rata-rata konsumsi tahu dalam seminggu, dimana untuk lansia yang mengalami demensia sebanyak 7 sampai 8 kali sedangkan untuk lansia yang tidak mengalami demensia sebanyak 6 sampai 7 kali.

Konsumsi buah dan sayur

(36)

23 selesai makan nasi, artinya sebagai penutup hidangan atau pencuci mulut setelah makan.

Sayur merupakan sumber zat pengatur, yaitu sumber vitamin dan mineral. Sayuran merupakan salah satu sumber provitamin A, vitamin C, vitamin B, Ca, Fe, menyumbang sedikit kalori serta sejumlah elemen mikro. Vitamin dan mineral dibutuhkan oleh tubuh sehingga apabila kekurangan vitamin dan mineral dalam susunan hidangan sehari-hari dalam waktu yang lama, maka akan menderita berbagai penyakit kekurangan vitamin dan mineral. Selain itu sayuran juga merupakan sumber serat pangan (dietary fiber) serta sejumlah antioksidan yang telah terbukti mempunyai peranan penting untuk menjaga kesehatan tubuh (Muchtadi 2000).

Vitamin A, vitamin C dan vitamin E mempunyai aktivitas sebagai antioksidan, yang telah diteliti mampu mencegah kematian sel saraf dan dapat meningkatkan fungsi saraf dengan memelihara homeostasis mitokondria. Vitamin E dapat memodulasi jalur sinyal transduksi dan berpartisipasi dalam jalur sintesis neurotransmiter. Kekurangan beberapa vitamin B, termasuk tiamin (B1), riboflavin (B2), niasin (B3), piridoksin (B6), folat (B9) dan kobalamin (B12) telah dilaporkan terkait dengan disfungsi kognitif dalam banyak studi. Beberapa studi telah merumuskan patofisiologi penyakit terkait vitamin B, salah satunya hubungan antara kekurangan vitamin B dengan gangguan metabolik pada jaringan otak, seperti phospholipids dan myelin, serta sinyal molekul, seperti neurotransmitter (Koseoglu 2011).

Sayuran yang biasa dikonsumsi lansia di panti Werdha Tresna diantaranya bayam, kangkung, sawi, wortel, kol, daun singkong, dan daun papaya. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia dan tidak mengalami demensi lebih banyak mengkonsumsi wortel dan kol untuk kelompok sayuran. Rata-rata konsumsi sebanyak 2 sampai 3 kali dalam seminggu. Wortel dan kol yang banyak dikonsumsi ini berkaitan dengan seringnya menu soup yang dihidangkan oleh panti untuk lansia. Soup yang dihidangkan tersebut biasanya terdiri dari wortel dan kol.

Buah-buahan yang biasa dikonsumsi diantaranya jambu, papaya, mangga, pisang, melon, rambutan, jeruk, dan apel. Sebagian besar lansia yang mengalami demensia lebih banyak mengkonsumsi pisang dan papaya. Hal ini terlihat dari rata-rata konsumsi pisang dan papaya dalam seminggu yang lebih besar dibanding jenis buah- buahan lain, yaitu sebanyak 1 sampai 2 kali seminggu. Lansia yang tidak mengalami demensia lebih banyak mengkonsumsi papaya dan jeruk. Hal ini terlihat dari rata-rata konsumsi papaya dan jeruk yang lebih tinggi dibandingkan jenis buah- buahan yang lain, yaitu sebanyak 1 sampai 2 kali dalam seminggu.

Asupan dan tingkat kecukupan Energi dan zat gizi

(37)

24

gizi dibagi angka kecukupan gizi. Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh individu atau sekelompok orang pada periode tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Konsumsi pangan yang ditunjukkan dari asupan zat gizi, dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lansia disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi

Variabel Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan

(38)

25 Energi

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004, diketahui angka kecukupan energi untuk wanita diatas 60 tahun adalah 1600 kkal. Rata-rata Angka Kecukupan Gizi untuk energi yang telah dikonversi sesuai berat badan masing masing lansia adalah sebesar 1321 kkal. Rata rata konsumsi energi lansia yang mengalami demensia lebih rendah apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini seperti terlihat pada Tabel 8. Lansia yang sudah mengalami demensia mengalami penurunan nafsu makan sehingga konsumsi hariannya menjadi lebih rendah apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Lansia yang mengalami demensia hanya makan apabila disediakan dan disuapi oleh pramuwherda. Perbedaan rata-rata konsumsi adalah sekitar 300 kkal untuk energi. Meskipun terdapat perbedaan untuk asupan energi lansia yang mengalami demensia dan tidak demensia, rata-rata tingkat kecukupan energi dari kedua kelompok lansia tergolong cukup yaitu berada pada rentang 100-119% AKE.

Tingkat kecukupan energi didapat dari konsumsi pangan yang dikonversi menjadi satuan kkal dan dibagi dengan angka kecukupan energi harian lansia sesuai umur dan berat badan. Tingkat kecukupan energi dikatakan defisit berat apabila hanya memenuhi <70%AKE, defisit sedang apabila hanya memenuhi 70-79% AKE, defisit ringan apabila hanya memenuhi 80-89% AKE, normal apabila memenuhi 90-119% AKE, dan lebih apabila memenuhi ≥120% AKE (Gibson 2005). Berdasarkan hasil recall 2x24 jam, diketahui sebagian besar lansia yang mengalami demensia mengalami kelebihan untuk kecukupan energinya, yaitu sebesar 37.5%. Sebaran lansia berdasar tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada Tabel 8. Lansia yang mengalami demensia sebagian besar memiliki berat badan kurang dari berat badan ideal sehingga kecukupan energinya pun lebih rendah. Kecukupan energi yang lebih rendah harus diimbangi dengan asupan yang lebih rendah pula agar tingkat kecukupan didapat normal. Kebutuhan akan kalori menurun seiring dengan pertambahan usia, karena metabolisme seluruh sel dan kegiatan otot berkurang (Arisman 2004). Kebutuhan yang menurun tidak diimbangi dengan adanya penurunan porsi makan sehingga didapat tingkat kecukupan energi yang berlebih. Sebagian besar lansia yang tidak mengalami demensia memiliki tingkat kecukupan energi normal atau cukup (44.4%). Persentase tingkat kecukupan energi terbesar kedua untuk lansia yang mengalami demensia adalah normal (33.3%) sedangkan untuk lansia yang tidak mengalami demensia adalah lebih (33.3%).

Tabel 9 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan energi

Tingkat Kecukupan E Demensia Tidak demensia

n % n %

Defisit berat 2 8.4 1 5.6

Defisit sedang 5 20.8 2 11.1

Defisit ringan 0 0 1 5.6

Normal 8 33.3 8 44.4

Lebih 9 37.5 6 33.3

(39)

26 Protein

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004, diketahui angka kecukupan protein untuk wanita diatas 60 tahun adalah 50 gram. Rata-rata Angka Kecukupan Gizi untuk protein yang telah dikonversi sesuai berat badan masing-masing lansia adalah sebesar 40.4 gram. Rata-rata konsumsi protein lansia yang mengalami demensia lebih rendah apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini seperti terlihat pada Tabel 8. Lansia yang sudah mengalami demensia mengalami penurunan nafsu makan sehingga konsumsi hariannya menjadi lebih rendah apabila dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Perbedaan rata-rata konsumsi adalah sekitar 10 gram untuk protein. Perbedaan rata-rata asupan menyebabkan adanya perbedaan untuk tingkat kecukupan harian protein lansia. Rata-rata tingkat kecukupan protein untuk lansia yang mengalami demensia tergolong defisit ringan karena hanya memenuhi 80-89% AKP, sedangkan untuk lansia yang tidak mengalami demensia tergolong normal karena sudah memenuhi sekitar 90-119% AKP (Tabel 8)

Tingkat kecukupan protein didapat dari konsumsi pangan yang dikonversi menjadi satuan gram dan dibagi dengan angka kecukupan protein harian lansia sesuai umur dan berat badan. Tingkat kecukupan protein dikatakan defisit berat apabila hanya memenuhi <70%AKP, defisit sedang apabila hanya memenuhi 70-79% AKP, defisit ringan apabila hanya memenuhi 80-89% AKP, normal apabila memenuhi 90-119% AKP, dan lebih apabila memenuhi ≥120% AKP (Gibson 2005). Berdasarkan hasil recall 2x24 jam, diketahui sebagian besar lansia yang mengalami demensia mengalami defisit berat untuk kecukupan proteinnya (33.3%) dan sebagian besar lansia yang tidak mengalami demensia memiliki tingkat kecukupan protein normal atau cukup (33.4%). Persentase tingkat kecukupan protein terbesar kedua untuk lansia dari kedua kelompok adalah berlebih (20.8%) untuk lansia yang mengalami demensia dan sebesar 22.2% untuk lansia yang tidak mengalami demensia (Tabel 10).

Perbedaan tingkat kecukupan protein untuk kedua kelompok lansia berkaitan dengan kebiasaan makan lansia. Lansia yang tidak mengalami demensia lebih banyak konsumsi pangan hewani dan nabati apabila dibandingkan dengan lansia yang mengalami demensia. Rata-rata sebanyak 6 sampai 7 kali dan 8 sampai 9 kali dalam seminggu lansia yang mengalami demensia mengkonsumsi telur ayam dan tempe, sedangakan lansia yang tidak mengalami demensia rata-rata sebanyak 4 sampai 5 kali dan 6 sampai 7 kali dalam seminggu.

Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan protein

Tingkat Kecukupan P Demensia Tidak demensia

n % n %

Defisit berat 8 33.3 4 22.2

Defisit sedang 6 25 4 22.2

Defisit ringan 1 4.2 0 0

Normal 4 16.7 6 33.4

Lebih 5 20.8 4 22.2

(40)

27 Vitamin A

Vitamin A merupakan substansi yang tidak larut dalam air dan disimpan dalam tubuh terutama di hati yang kemudian dilepas dalam aliran darah untuk digunakan oleh seluruh sel epitel tubuh, termasuk mata dan sel- sel benih fosforeseptor mata (Arisman 2004). Kadar vitamin A di otak menurun seiring dengan bertambahnya usia dan semakin rendah pada orang yang menderita demensia (Goodman 2006). Metabolisme produk vitamin A, asam retinoat, diketahui mampu memperlambat kematian sel dan memberikan perlindungan dari amiloid β- peptide (Aβ) (Sahin et al. 2005). Pengendapan amiloid β- peptide (Aβ) merupakan salah satu penyebab adanya stress oksidatif yang berkaitan dengan terjadinya degenerasi disfungsi sinaptik dan membran saraf (Cutler et al. 2004; Hyun et al. 2010; L J Miller & Chacko 2004).

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi tahun 2004, wanita yang berusia diatas 60 tahun membutuhkan 500 RE vitamin A. Tingkat kecukupan vitamin A dikatakan cukup apabila memenuhi ≥77% AKG dan dikatakan kurang apabila hanya memenuhi <77% AKG (Gibson 2005). Berdasarkan hasil recall 2x24 jam, diketahui seluruh lansia memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang cukup (≥77% AKG). Hal ini seperti terlihat pada Tabel 11. Tingkat kecukupan vitamin A yang cukup untuk kedua kelompok lansia berkaitan dengan rata-rata asupan vitamin A yang cukup. Sumber vitamin A terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, dan kuning telur sebagai sumber utama. Sayuran terutama sayuran berdaun hijau dan buah berwarna kuning-jingga mengandung karotenoid provitamin A (Gibson 2005). Menu makanan lansia yang menjadi sumber vitamin A adalah telur ayam. Vitamin A essensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit jantung (Watson 2009).

Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A

Tingkat Kecukupan Vit. A Demensia Tidak demensia

n % n %

Defisit 0 0 0 0

Normal 24 100 18 100

Total 24 100 18 100

Vitamin B1

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi tahun 2004, wanita yang berusia diatas 60 tahun membutuhkan 1 mg vitamin B1. Kekurangan vitamin B1 dapat ditandai dengan adanya penurunan nafsu makan, depresi mental (Peripheral neuropathy) dan lemah. Defisiensi kronis vitamin B1 akan muncul gejala kelainan neurologis seperti kebingungan (mental) dan kehilangan koordinasi mata (Imbang 2010).

(41)

28

(mengalami demensia dan tidak mengalami demensia) memiliki tingkat kecukupan vitamin B1 yang tergolong defisit, yaitu <77% AKG vitamin B1 harian. Hal ini berkaitan dengan rendahnya konsumsi bahan pangan yang banyak mengandung vitamin B1. Bahan pangan yang banyak mengandung vitamin B1 adalah serealia (padi, gandum), sayuran hijau, telur, susu, dan lain- lain. Rata-rata asupan vitamin B1 untuk kedua kelompok lansia tergolong rendah, dimana hanya sekitar 0.46 mg untuk lansia yang tidak mengalami demensia dan sekitar 0.26 mg untuk lansia yang mengalami demensi (Tabel 7).

Menurut Imbang (2010), vitamin B1 atau tiamin larut dalam alkohol 70% dan air, dapat rusak oleh panas, terutama dengan adanya alkali. Pada kondisi kering, tiamin stabil pada suhu 100o C selama beberapa jam namun kelembaban akan mempercepat kerusakannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada makanan segar, tiamin kurang stabil terhadap panas jika dibandingkan dengan makanan kering. Makanan yang tersedia di panti sebagian besar berupa makanan segar. Vitamin B1 yang kurang stabil terhadap panas terutama pada makanan segar mungkin menjadi salah satu penyebab kurangnya tingkat kecukupan vitamin B1 pada lansia.

Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1

Tingkat Kecukupan Vit. B1 Demensia Tidak demensia

n % n %

Defisit 24 100 17 94.4

Normal 0 0 1 5.6

Total 24 100 18 100

Vitamin B2

Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan. Seiring berlangsungnya proses penuaan, maka kepadatan zat gizi dalam makanan menjadi hal yang lebih diperhatikan. Makanan yang disediakan harus memiliki cukup vitamin maupun mineral (Harris 2004).

Gambar

Tabel 1 Data, jenis data, dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data
Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data (lanjutan)
Tabel 3 Sebaran lansia berdasarkan karakteristik dan kondisi demensia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penguasaan akan ilmu keislaman yang mumpuni dan kemampuan menggunakan ilmu sosial sebagai kerangka dan pendekatan dalam menterjemahkan, menginterpretasikan dan

Seluruh variabel eksogen yang dimasukkan kedalam persamaan konsumsi minyak biji bunga matahari Mesir mampu menerangkan keragaman konsumsi sebesar 30% dan seluruh

Analisa teknikal memfokuskan dalam melihat arah pergerakan dengan mempertimbangkan indikator-indikator pasar yang berbeda dengan analisa fundamental, sehingga rekomendasi yang

Pengaruh Jarak Tanam Inang Sekunder Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) terhadap Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album Linn.) Sampai Umur 4,5 Bulan di Petak

Menghimbau siswa agar secara cermat dalam membaca modul dan memperhatikan penjelasan guru dalam menyampaikan informasi mengenai komponen entri teks (input

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Prolonged Exposure Therapy (PET) untuk menurunkan gejala gangguan stres pasca trauma pada anak yang mengalami

CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai

Permasalahan dalam Laporan Akhir ini yaitu peran media periklanan dan media periklanan apa yang efektif dalam pembelian mobil truk.. Metode yang digunakan dalam penelitian