• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA KONSUMSI BAHAN PANGAN SUMBER

PROTEIN HEWANI BERDASARKAN GOLONGAN

PENDAPATAN DI KABUPATEN CIREBON

RADEN HENI HINDAWATI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

▸ Baca selengkapnya: produk non pangan dari hewani

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

RADEN HENI HINDAWATI. Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh SRI MULATSIH.

Protein hewani merupakan unsur gizi yang harus dipenuhi masyarakat agar tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagai wilayah yang dominan pantai, Kabupaten Cirebon berpotensi memproduksi bahan pangan sumber protein hewani terutama ikan. Namun, konsumsi ikan di wilayah tersebut bukanlah yang dominan. Oleh karena itu, digunakanlah metode Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk melihat pola konsumsi pangan protein hewani masyarakat Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan dengan menggunakan data SUSENAS 2012. Komoditi telur merupakan pangan hewani yang dominan dikonsumsi. Elastisitas permintaan pangan hewani memiliki sifat yang inelastis. Pada komoditi antara ikan dengan telur memiliki hubungan substitusi yang dominan sedangkan hubungan komplementer yang dominan terjadi antara daging dengan telur. Daging menjadi komoditi dengan nilai elastisitas pendapatan terbesar. Kebutuhan protein hewani golongan pendapatan rendah belum mencukupi standar. Ketika dilakukan simulasi kenaikan harga daging sapi, golongan pendapatan rendah mengalami dampak terbesar karena pola konsumsi pangan hewaninya mengalami penurunan yang signifikan.

Kata Kunci : AIDS, elastisitas, pola konsumsi, simulasi

ABSTRACT

RADEN HENI HINDAWATI. Analysis of The Pattern Consumption of Animal Protein Source Based on The Income in Kabupaten Cirebon Supervised by SRI MULATSIH

Animal Protein is the nutritional elements that must be met by the community in order for the creation of qualified human resources. As the dominant area of the coast, Kabupaten Cirebon has the potential of producing foodstuffs of animal protein sources, especially fish. However, fish consumption in the region is not a dominant. Therefore, used Almost Ideal Demand System (AIDS) methods to look at food animal protein consumption patterns Kabupaten Cirebon in each of the revenue, using SUSENAS 2012 data. The egg is a commodity, the dominant consumed. The elasticity of demand of food animal has the properties of inelastic, on commodity among fish eggs have a relationship with a dominant substitution, whereas the dominant complementary relationships occur on commodity meat with eggs. Meat becomes a commodity that has the largest income elasticity values. Animal protein needs of the low income not sufficient standards established. When a simulating done beef price hike, the low income who are having the biggest impact because of the animal's food consumption patterns are having a significant decline.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS POLA KONSUMSI BAHAN PANGAN SUMBER

PROTEIN HEWANI BERDASARKAN GOLONGAN

PENDAPATAN DI KABUPATEN CIREBON

RADEN HENI HINDAWATI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon Nama : Raden Heni Hindawati

NIM : H14100021

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 mengambil topik tentang pola konsumsi, dengan judul Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan doa dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.Terima kasih kepada Ibu Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr sebagai dosen pembimbing juga kepada Mba Nursaidah yang telah membantu mengolah data dan memberikan saran serta masukkan yang bermanfaat. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Muhammad Findi Alexandi, SE, M.E dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si yang telah menjadi dosen penguji dan memberikan saran serta masukkan untuk menjadikan skripsi ini menjadi lebih baik. Kedua teman bimbingan skripsi peneliti Zulfati Rahma dan Nindya Shinta yang telah saling memberikan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis Tika, Fida, Arti, Cika, Dian, Pupu, Alvin, Amel, Uke, Fajri, Erlangga, dan Dwiki serta teman-teman IE 47 yang telah memberikan dukungan, semangat, dan doa sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Selain itu, kepada pihak BPS yang telah menyediakan dan melayani penulis saat proses pengumpulan data.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Teori Perilaku Konsumen ... 5

Teori Permintaan ... 8

Elastisitas Permintaan ... 9

Elastisitas Harga Sendiri... 9

Elastisitas Harga Silang ... 9

Elastisitas Pendapatan... 10

Model Almost Ideal Demand System (AIDS) ... 10

Penelitian Terdahulu ... 12

Kerangka Pemikiran ... 13

METODE PENELITIAN ... 15

Jenis dan Sumber Data ... 15

Pengelompokan Data ... 15

Analisis Data ... 15

Analisis Model Almost Ideal Demand System (AIDS) ... 15

Perhitungan Nilai Elastisitas ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Pola Konsumsi Bahan Sumber Pangan Protein Hewani ... 17

Elastisitas Permintaan Bahan Pangan Sumber Protein Hewani ... 23

Elastisitas Harga Sendiri ... 23

(10)

Elastisitas Pendapatan ... 24

Simulasi Dampak Perubahan Harga Terhadap Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani ... 25

SIMPULAN DAN SARAN... 28

Simpulan ... 28

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 29

LAMPIRAN ... 31

(11)

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata konsumsi protein menurut kelompok makanan di Indonesia

tahun 2008-2012 ... 2

2 Jumlah produksi bahan pangan sumber protein hewani Kabupaten Cirebon tahun 2009-2012 ... 3

3 Rata-rata konsumsi bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon ... 17

4 Rata-rata konsumsi daging jenis ruminansia di Kabupaten Cirebon ... 19

5 Kebutuhan protein hewani di Kabupaten Cirebon ... 20

6 Harga yang dikeluarkan rumah tangga dalam setara protein setiap pangan hewani ... 21

7 Persentase proporsi pengeluaran bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon ... 22

8 Elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan ... 23

9 Hasil perhitungan simulasi kenaikan harga pada daging sapi ... 26

10 Hasil perubahan pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani sebagai dampak kenaikan harga daging sapi ... 27

DAFTAR GAMBAR

1 Indeks Pembangungan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2008-2012 ... 1

2 Kurva indeferens maksimisasi kepuasan dengan kendala anggaran ... 6

3 Efek substitusi dan efek pendapatan pada penurunan harga X ... 7

4 Efek substitusi dan efek pendapatan pada kenaikan harga X ... 8

5 Kerangka pemikiran ... 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Editor model AIDS pada program SAS ... 31

2 Hasil output SAS untuk metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) ... 32

3 Hasil parameter metode Seemingly Unrelated Regression (SUR)... 36

4 Mean metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan ... 36

5 Hasil olahan data elastisitas permintaan pada Kabupaten Cirebon keseluruhan ... 37

6 Hasil olahan data elastisitas permintaan pada golongan pendapatan rendah ... 38

7 Hasil olahan data elastisitas permintaan pada golongan pendapatan sedang ... 39

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi suatu negara dalam menjalankan proses perekonomian untuk menjadikan negara tersebut menjadi lebih maju dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu sumber yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia yang dimiliki oleh negara tersebut. Jika sumber daya manusia yang dimiliki mempunyai produktivitas yang tinggi maka akan meningkatkan penawaran tenaga kerja yang dapat menghasilkan keluaran yang lebih banyak dan meningkatkan GDP rill per kapita. Sumber daya manusia di Indonesia yang begitu melimpah sudah seharusnya dijadikan sebagai aset untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang dapat diperhitungkan di internasional.

Tingkat kualitas dari sumber daya manusia dapat dilihat dari Indeks Pembangungan Manusia (IPM). Nilai IPM suatu negara menunjukkan seberapa jauh negara tersebut telah mencapai sasaran yang ditentukan, yaitu angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat, dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Angka IPM di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : BPS Nasional 2012

Gambar 1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2008-2012

Pada Gambar 1, IPM Indonesia dalam lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Nilai IPM Indonesia dari tahun 2008 sampai tahun 2012 berkisar antara 71.17 sampai 73.29. Kondisi ini menandakan kualitas dari sumber daya manusia di Indonesia terus semakin membaik. Menurut United Nation Development Programme (UNDP 2013) IPM Indonesia mengalami peningkatan yang kuat selama 40 tahun terakhir. Pada tahun 2012 nilai IPM Indonesia meningkat menjadi 0.629 yang sebelumnya tahun 2011 sebesar 0.624, naik tiga

71.17

71.76

72.27

72.77

73.29

70 70.5 71 71.5 72 72.5 73 73.5

2008 2009 2010 2011 2012

IPM Nasional

(14)

2 sebesar 0.690 dan peringkat 103, dan Filipina memiliki IPM 0.654 dan peringkat 114. Negara ASEAN lainnya seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja masih berada di bawah Indonesia.

Terdapat faktor-faktor yang dapat meningkatkan kualitas dari pembangunan sumber daya manusia, yaitu pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Pendekatan kebutuhan dasar memfokuskan pada penyediaan barang dan jasa kebutuhan hidup terutama kebutuhan pangan. Kebutuhan pangan dan gizi masyarakat haruslah terpenuhi dan seimbang. Salah satu gizi yang harus dipenuhi adalah protein, baik protein hewani maupun protein nabati. Menurut Mangkoewidjojo et al (2009) keperluan protein untuk konsumsi manusia adalah 80 persen berasal dari protein nabati dan 20 persen dari protein hewani yang termasuk dari ternak dan ikan. Umumnya masyarakat lebih menyukai bahan pangan sumber protein hewani dibandingkan dengan protein nabati. Hal ini dikarenakan, masyarakat menganggap protein hewani memiliki unsur gizi yang lebih banyak dan unsur gizinya yang tidak dapat digantikan oleh protein nabati. Rata-rata konsumsi sumber bahan pangan protein hewani di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata konsumsi protein menurut kelompok makanan di Indonesia tahun 2008-2012

(15)

3 kebutuhan pangan yang cukup untuk terpenuhinya gizi masyarakat secara merata pada berbagai golongan, seperti terpenuhinya kebutuhan bahan pangan sumber protein hewani.

Di Indonesia banyak wilayah yang berpotensi dalam menyediakan bahan pangan protein hewani salah satunya Kabupaten Cirebon yang memiliki potensi sumber daya alam penghasil bahan pangan protein hewani terutama ikan. Hal ini dikarenakan letak geografis Kabupaten Cirebon mayoritas berada pada pantai utara Pulau Jawa. Kondisi ini mengakibatkan Kabupaten Cirebon memiliki jumlah produksi ikan yang lebih banyak dibandingkan dengan sumber bahan makanan protein hewani lainnya seperti daging ruminansia, unggas, telur, dan susu. Jumlah produksi sumber makanan protein hewani di Kabupaten Cirebon dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah produksi bahan pangan sumber protein hewani Kabupaten Cirebon pada tahun 2009-2012

Sumber : BPS Kabupaten Cirebon 2013 (diolah)

Berdasarkan data Tabel 2, dapat dilihat bahwa hasil produksi sumber bahan pangan protein hewani yang paling besar di Kabupaten Cirebon adalah ikan yang pada tahun 2012 mencapai 53276.7 ton. Jumlah produksi ini paling besar diantara bahan pangan protein hewani lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Kabupaten Cirebon berpotensi dalam menghasilkan sumber bahan pangan protein hewani khususnya ikan sebagai alternatif dari bahan pangan protein hewani lainnya.

Perumusan Masalah

Kebutuhan konsumsi pangan adalah sesuatu yang sangat penting untuk mencapai kebutuhan gizi yang berkualitas dan seimbang. Jika suatu negara dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakatnya secara merata dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat maka akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu gizi yang harus dipenuhi oleh masyarakat adalah protein hewani.

Kabupaten Cirebon yang lokasi geografisnya mayoritas berada di pantai utara Pulau Jawa memiliki potensi dalam memproduksi bahan pangan protein hewani terutama ikan. Jumlah produksi ikan di Kabupaten Cirebon lebih banyak dibandingkan dengan sumber bahan pangan protein hewani lainnya seperti pada Tabel 1. Namun, jumlah produksi yang sangat banyak ini tidak sebanding dengan

(16)

4

konsumsi masyarakat akan produk ikan tersebut, baik dalam bentuk ikan segar maupun dalam bentuk olahannya. Rata-rata konsumsi ikan masyarakat Kabupaten Cirebon pada tahun 2012 hanya mencapai 23.5 kg/kapita/tahun, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan nasional yang mencapai 30.47 kg/kapita/tahun (Roh 2012). Selain itu, konsumsi daging di wilayah tersebut juga sangat rendah, yaitu sebesar 5 kg/kapita/tahun dengan perbandingan angka konsumsi daging nasional sebesar 15 kg/kapita/tahun (Lia 2013). Hal ini dikarenakan Kabupaten Cirebon termasuk daerah yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar kedua di Jawa Barat, yaitu sebesar 16.2 persen pada tahun 2010 (BPS 2011). Kondisi ini sangat disayangkan mengingat bahwa Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah yang berpotensi dalam memproduksi salah satu bahan pangan hewani yang cukup tinggi.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka perumusan masalah untuk penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon dengan mengklasifikasikan golongan pendapatan ? 2. Bagaimana elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani

berdasarkan golongan pendapatan ?

3. Bagaimana pola konsumsi sumber bahan pangan protein hewani jika terjadi perubahan harga komoditi daging pada setiap golongan pendapatan ?

.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Melihat dan menganalisis pola konsumsi sumber bahan pangan protein

hewani di Kabupaten Cirebon dengan mengklasifikasikan golongan pendapatan.

2. Menganalisis elastisitas permintaan sumber bahan pangan protein hewani berdasarkan golongan pendapatan.

3. Menganalisis pola konsumsi sumber bahan pangan protein hewani jika terjadi perubahan harga pada komoditi daging pada setiap golongan pendapatan.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang pola konsumsi sumber bahan pangan protein hewani di Kabupaten Cirebon.

2. Memberikan informasi terhadap dampak pengaruh perubahan harga terhadap permintaan sumber bahan pangan protein hewani.

3. Bagi peneliti, dan pihak-pihak yang memerlukan informasi diharapkan dapat dijadikan sebagai perbandingan dan masukan penelitian-penelitian berikutnya.

(17)

5

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan data cross section yang berasal dari SUSENAS 2012 untuk data konsumsi makanan dan pengeluaran rumah tangga di Jawa Barat. Cakupan wilayah yang dipilih pada penelitian ini adalah Kabupaten Cirebon dengan sampel rumah tangga sebanyak 924 rumah tangga. Komoditi yang dianalisis adalah sumber bahan pangan protein hewani yang terdiri dari daging ruminansia, ikan, unggas, telur, dan susu. Pada penelitian ini, daging ruminansia merupakan gabungan dari daging sapi, kerbau, dan kambing.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Perilaku Konsumen

Rumah tangga sebagai konsumen merupakan pemakai atau pengguna barang dan jasa. Masing-masing konsumen memiliki kebutuhan dan perilaku yang berbeda dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, dari perbedaan tersebut terdapat kesamaan yang dimiliki pada setiap konsumen, yaitu selalu ingin mencapai tingkat kepuasan paling tinggi dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Faktor utilitas atau kepuasan dari setiap konsumen tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi atas komoditi fisik, tapi juga sikap psikologis, tekanan kelompok kawan sebaya, pengalaman pribadi, dan lingkungan budaya lainnya (Nicholson 2002).

Memahami perilaku konsumen dalam mencapai kepuasannya digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal (Meriana 2013). Pendekatan kardinal didasarkan pada asumsi bahwa tingkat kepuasaan seseorang dalam mengkonsumsi barang dan jasa dapat diukur. Pada pendekatan ini berlaku hukum law of diminishing marginal utility, artinya semakin banyak barang yang dikonsumsi maka akan semakin besar kepuasan yang dimilikinya, tetapi tingkat kepuasan yang diperolehnya semakin lama akan semakin kecil jika terus melakukan penambahan konsumsi barang yang mengakibatkan marginal utilitas bernilai negatif dan total utilitasnya akan menurun. Konsumen yang rasional akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasaannya pada tingkat pendapatan yang dimiliki.

(18)

6

Gambar 2 Kurva indeferens maksimisasi kepuasan dengan kendala anggaran (Nicholson 2002)

Berdasarkan Gambar 2, kombinasi X, Y merupakan kombinasi dua barang yang rasional dari rumah tangga untuk mengalokasikan daya belinya. Seorang konsumen akan bertindak secara tidak rasional jika memilih titik A. Konsumen sebenarnya dapat memperoleh kepuasaan yang lebih tinggi dengan membelanjakan sebagian pendapatannya yang belum dibelanjakan dengan asumsi tidak adanya kejenuhan dari konsumen untuk membelanjakan semua pendapatannya dalam mencapai kepuasaan maksimum. Jika konsumen mengubah alokasi pengeluarannya maka konsumen dapat memperoleh utilitas yang lebih tinggi pada titik B. Pada titik D tidak mungkin konsumen dapat mencapai utilitasnya karena pendapatan tidak cukup besar untuk memperoleh kepuasan di titik D. Pada titik C merupakan tingkat kepuasan tertinggi yang dapat dicapai oleh individu dengan batasan anggaran dengan kombinasi barang X,Y.

Jika suatu barang mengalami perubahan harga sedangkan pendapatan tetap, maka setiap rumah tangga harus melakukan pilihan kembali untuk memaksimumkan utilitas yang baru. Perubahan harga akan mengakibatkan terjadinya perubahan intersep dan slope dari garis anggaran. Selain itu, akan terjadi perpindahan ke pilihan maksimisasi utilitas yang baru ke kurva indeferens yang baru. Oleh karena itu, jika harga berubah maka rumah tangga akan dipengaruhi oleh efek substitusi dan efek pendapatan. Pada pengaruh efek substitusi rumah tangga akan tetap berada pada kepuasan yang sama dan pola konsumsi dialokasikan ulang untuk menyamakan kepuasan antar dua barang dengan rasio harga yang baru. Pengaruh efek pendapatan, menyebabkan perubahan harga akan mengubah pendapatan rill seseorang, sehingga sebuah rumah tangga tidak akan tetap berada dalam kepuasaan yang sama. Harga pada suatu barang dapat terjadi penurunan atau peningkatan. Pada barang yang mengalami penurunan harga akan diilustrasikan pada Gambar 3.

I = PxX + PyY

U1

U2

U3 C

Jumlah Y

Jumlah X Y

X B

A

(19)

7

Gambar 3 Efek subsitusi dan efek pendapatan pada penurunan harga X (Nicholson 2002)

Pada Gambar 3, tahap awal konsumen memaksimumkan kepuasannya dengan memilih kombinasi X’, Y’. Ketika harga X turun dari P1 ke Px2 akan mengakibatkan garis anggaran bergeser kearah luar pada garis anggaran yang baru yaitu dari I1 ke I2. Kedua garis anggaran tersebut akan tetap bertemu di sumbu Y

yang seluruh pendapatan yang tersedia dibelanjakan untuk barang Y, dikarenakan baik pendapatan maupun harga barang Y tidak akan berubah. Intersep Y akan tetap untuk kedua garis anggaran tersebut. Intersep X yang baru akan bergerak kekanan menjauhi intersep X sebelumnya. Harga X yang lebih rendah mengakibatkan akan lebih banyak barang X yang mampu dibeli oleh konsumen. Bentuk slope yang lebih landai pada garis anggaran menunjukkan harga relatif X terhadap Y mengalami penurunan.

Adanya perubahan garis anggaran mengakibatkan pilihan yang memaksimumkan utilitas bergeser dari titik X’, Y’ ke titik X”,Y”. Perpindahan ke titik pilihan barang yang baru, disebabkan oleh dua efek. Pertama adalah efek substitusi, perubahan pada slope kendala anggaran akan memberikan dorongan individu untuk berpindah ke titik B jika individu tetap menggunakan kurva indeferens U1. Garis yang bersinggungan dengan I1 memiliki slope yang sama

dengan garis anggaran yang baru, tetapi tetap bersinggungan dengan kurva indeferens U1 karena dianggap pendapatan rill tetap konstan. Harga yang relatif

rendah pada barang X menyebabkan individu berpindah dari X’,Y’ ke B jika kesejahteraannya tidak menjadi lebih baik sebagai akibat harga yang lebih rendah. Kedua adalah efek pendapatan, lebih lanjut perpindahan akan terjadi dari titik B ke pilihan konsumsi akhir X”,Y”. Penurunan harga X meskipun pendapatan individu tetap sama, individu akan seolah-olah memiliki pendapatan rill yang lebih besar dan dapat mencapai tingkat utilitas yang lebih tinggi pada kurva indeferens U2. Pada saat terjadi kenaikan harga akan dijelaskan pada Gambar 4.

(20)

8

Gambar 4 Efek substitusi dan efek pendapatan pada kenaikan harga barang X ( Nicholson 2002)

Pada Gambar 4 saat terjadi kenaikan harga barang X garis anggaran baru akan bergeser ke kiri. Perpindahan titik konsumsi awal X’, Y’ ke titik konsumsi baru X”, Y” akan memberikan dua dampak. Pertama, jika individu bertahan pada kurva indeferens awal U1 rumah tangga akan mensubstitusikan Y untuk X dan

berpindah sepanjang U1 ke titik B. Garis pada titik B, memiliki slope yang sama

dengan garis anggaran yang baru dan tetap bersinggungan dengan kurva indeferens U1. Perpindahan dari X’,Y’ ke titik B disebut efek substitusi.

Peningkatan harga juga akan berakibat pada hilangnya daya beli yang membuat pendapatan riil rumah tangga menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, mengakibatkan perpindahan ke kurva indeferen yang lebih rendah dari U1 ke U2

yang disebut dengan efek pendapatan.. Efek substitusi dan efek pendapatan secara bersama-sama menyebabkan jumlah barang X yang diminta akan turun karena adanya dampak kenaikan harga.

Teori Permintaan

(21)

9

Elastisitas Permintaan

Nicholson (2002) mendefinisikan elastisitas sebagai ukuran persentase perubahan suatu variabel yang bergantung pada perubahan satu persen variabel lainnya. Melihat ketergantungan tersebut maka dinyatakan dengan eB.A yang

Pernyataan diatas menunjukkan bagaimana variabel B menanggapi, cateris paribus perubahan sebesar satu persen dalam variabel A. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketergantungan tersebut antara lain harga barang itu sendiri, harga barang lain , dan pendapatan. Oleh karena itu, konsep dari elastisitas permintaan ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :

Elastisitas Harga Sendiri

Konsep dari elastisitas ini menurut Nicholson (2002) yaitu perubahan dalam harga sebuah barang yang akan mengarah terhadap permintaan jumlah barang yang akan dibeli. Dibentuklah sebuah persamaan untuk mendefinisikan konsep tersebut yang ditunjukkan pada persamaan 2, yaitu :

.

=

% � % �

=

.

(2)

Elastisitas ini melihat perubahan Q (kuantitas) sebagai bentuk tanggapan dari perubahan dalam P (harga). Hubungan antara P dan Q yang bergerak dalam arah yang berlawanan, maka nilai � .� yang diperoleh akan bernilai negatif kecuali pada kasus paradoks Giffen. Pada kasus paradoks Giffen terkadang elastisitas harga sendiri didefinisikan sebagai nilai absolut dari hasil definisi persamaan 2. Penggunaan definisi tersebut tidak akan pernah bernilai negatif dan kurva diklasifikasikan menjadi elastis, elastisitas sempurna, atau tidak elastis yang tergantung dari nilai eQ.P lebih besar, sama dengan, atau lebih kecil dari 1.

Jika nilai elastisitas yang diperoleh bernilai eQ,P < -1 disebut elastis, artinya

penurunan kuantitas proporsinya akan lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga. Nilai elastisitas yang eQ,P = -1 disebut unitary elastis, artinya penurunan

kuantitas akan memiliki proporsi yang sama dengan kenaikan harga. Ketika nilai elastisitas eQ,P > -1 yang disebut dengan inelastis yang artinya proporsi kenaikan

harga akan lebeih besar dibandingkan dengan penurunan kuantitasnya.

Elastisitas Harga Silang

Konsep dari elastisitas harga silang digunakan untuk mengukur reaksi jumlah yang dibeli (Q) terhadap perubahan harga barang lain (P’). Elastisitas ini didefinisikan pada persamaan 3, yaitu :

(22)

10

Pada elastisitas harga silang digunakan hubungan dua komoditi, yaitu hubungan substitusi dan komplementer. Jika barang tersebut memiliki hubungan yang substitusi dengan barang lain maka elastisitas harga silang bernilai akan positif sehingga harga satu barang dengan jumlah permintaan barang lain akan bergerak dengan arah yang sama. Sedangkan barang yang memiliki hubungan komplementer dengan barang lain nilai elastisitas harga silang akan bernilai negatif sehingga harga satu barang dengan jumlah barang lain yang diminta akan bergerak berlawanan arah.

Elastisitas Pendapatan

Elastisitas pendapatan digunakan untuk mengukur perubahan pendapatan yang akan berpengaruh terhadap perubahan jumlah barang yang diminta. Konsep dari elastisitas ini ditunjukkan pada persamaan 4 :

.�

=

Pada elastisitas pendapatan, jika barang tersebut merupakan barang normal maka akan bernilai positif, artinya jika terjadi kenaikan pendapatan maka permintaan barang akan meningkat. Sebaliknya jika bernilai negatif maka barang tersebut dianggap barang inferior, artinya jika terjadi kenaikan pendapatan jumlah barang yang diminta menjadi turun. Pada barang mewah, nilai � . akan lebih besar dari satu yang berarti pembelian barang meningkat lebih cepat daripada pendapatan.

Model Almost Ideal Demand System (AIDS)

Model Almost Ideal Demand System (AIDS) pertama kali diperkenalkan oleh Deaton dan Meuelbauer (1980) untuk menjawab tuntuan preferensi konsumen. Model permintaan ini mempertimbangkan pemilihan komoditi yang dilakukan oleh konsumen secara bersama-sama. Karakteristik penting dari model permintaan AIDS ini yaitu, (1) model ini merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan; (2) memenuhi aksioma perilaku pemilihan komoditi dengan tepat; (3) digunakan untuk menguji restriksi homogenitas dan simetrik; (4) bentuk fungsinya konsisten dengan pengeluaran rumah tangga; (5) mengagregasi perilaku rumah tangga tanpa menerapkan kurva Engel yang linier, dan yang terpenting parameternya mudah diduga tanpa harus menggunakan metode non linier (Deaton dan Meuelbauer 1980).

Model ini merupakan pendekatan orde pertama dari fungsi permintaan dengan titik awal golongan preferensi yang spesifik. Menurut Deaton dan Muelbeaur (1980) golongan tersebut memungkingkan pengagregasian yang tepat dari konsumen, sebagai gambaran dari permintaan pasar yang merupakan hasil pengambilan keputusan konsumen secara rasional. Golongan preferensi tersebut disebut PIGLOG Class ditunjukkan melalui fungsi biaya atau pengeluaran yang menentukkan pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat utilitas khusus pada tingkat harga tertentu. PIGLOG Clas didefinisikan sebagai :

(23)

11 Artinya u adalah utilitas, dan p adalah vektor harga. Syarat fungsi tersebut u berada diantara 0 (subsisten) dan 1 (kemewahan) sehingga fungsi linier positif homogen dari a(p) dan b(p) dapat dikatakan sebagai biaya subsisten dan kemewahan. Agar fungsi biaya menjadi lebih fleksibel, fungsi tersebut harus memiliki jumlah parameter yang mencukupi, sehingga pada sembarang titik, turunan c/ p, c/ u, 2c/ pipj, 2 u pi, dan 2c/ u2 dapat dianggap sama dengan fungsi-fungsi biaya yang berubah, maka digunakan:

Log a(p) = α0 + ∑kαklog Pk + 12∑k∑j *kj log Pk log Pj (6)

Log b(p) = log a(p) + 0JIkPk k (7)

Sehingga fungsi biaya AIDS ditulis sebagai berikut:

Log c(u,p) = α0 + ∑kαklog Pk + 1 2∑k∑j *kj log Pk log Pj + u 0JIkPk k (8)

Secara mudah dapat diperiksa bahwa c(u,p) homogen linier dalam p sebagai gambaran preferensi, yang dipenuhi oleh:

∑ iαi= 1, ∑ j *kj = ∑ k *kj, ∑ j j = 0 (9)

Fungsi permintaan dapat diturunkan secara langsung dari persamaan (8). Suatu fungsi biaya memeiliki sifat fundamental yang apabila fungsi tersebut diturunkan terhadap harganya maka akan dihasilkan jumlah komoditi yang diminta, yaitu:

c(u,p)

Pi x

Pi

c(u,p)= Qi (10)

Jika kedua sisi dikalikan dengan Pi / c(u,p) didapat:

log c(u,p) log Pi

=

PiQi

c(u,p)

=

Wi (11)

Wi adalah proporsi pengeluaran komoditi i, sehingga penurunan logaritmik dari persamaan (8) dengan proporsi pengeluaran sebagai fungsi dari harga dan utilitas adalah:

Wi(u,p)= αi + ∑j ij log Pj + u i 0JIk Pk k (12)

Keterangan: ij = 1 2 ( *ij + *ji) (13)

Maksimisasi utikitas konsumen, pengeluaran total X harus sama dengan c(u,p) dan dari persamaan tersebut dapat dibalikkan untuk mendapatkan u sebagai fungsi dari P dan X merupakan fungsi utilitas tidak langsung. Jika melakukan hal tersebut pada persamaan (8) dan mensubstitusi hasilnya ke persamaan (11), akan mendapatkan fungsi permintaan AIDS dalam bentuk proporsi pengeluaran.

Wi (p,x) = = αi + ∑j ij log Pj + i log (X/P) (14)

Keterangan: X/P adalah pendapatan dibagi dengan indeks harga P, yang didefinisikan sebagai berikut :

Log P = α0+ ∑kαk logPk + 12∑k∑j *kj log Pk log Pj (15)

Sehingga secara umum model permintaan AIDS adalah:

Wi = (αi – iα0)+∑j ijlogPj + i(logX - ∑kαk logPk - 1 2∑k∑j *kj logPk logPj) (16)

Persamaan (16) menyajikan sistem fungsi permintaan yang konsisten jika memenuhi restriksi-restriksi berikut :

Adding Up : ∑αi = 1; Yij = 0; i i = 0 (17)

Homogen : jYij = 0 (18)

(24)

12

Pada persamaan (16) dapat dilihat bahwa model AIDS merupakan model non linier, maka akan berakibat adanya penggunaan indeks harga P. sehingga agar dapat diestimasi secara linier maka perlu dilakukan pendekatan terhadapa nilai indeks P dengan menggunakan hubungan kolinieritas antar harga, salah satunya adalah melalui penggunaan Indeks Stone, yaitu log P* = ∑k Wk log Pk, sehingga

model AIDS menjadi:

Wi (p,x) = αi + ∑jYij log Pj+ i log

X

P∗ (20)

Fungsi tersebut dikenal dengan aproksimasi linear dari AIDS

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pola konsumsi dengan menerapkan metode model permintaan AIDS telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tersebut seperti penelitian yang dilakukan oleh Trisnowati dan Budiwinarto (2013) yang melihat pengaruh harga dan pendapatan terhadap proporsi pengeluaran makanan rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan, secara agregat nilai elastisitas harga sendiri dan harga silang untuk semua kelompok makanan memiliki nilai elastisitas yang negatif. Banyaknya jumlah anggota rumah tangga berpengaruh positif terhadap permintaan kelompok pangan padi atau umbi tapi tidak untuk kelompok pangan lainnya. Kemudian pendapatan rumah tangga juga berpengaruh positif terhadap permintaan pangan kelompok komoditi padi atau umbi sedangkan kelompok komoditi lain tidak berpengaruh nyata.

Adapun penelitian Kahar (2010) yang menganalisis pola konsumsi daerah perkotaan dan perdesaan di Provinsi Banten. Secara umum tingkat pengeluaran daerah perkotaan dan perdesaan berbeda signifikan dan parameter harga mempengaruhi pengeluaran untuk tiap komoditi. Komoditi padi masih menjadi komoditi yang utama baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada elastisitas pendapatan, semakin tinggi pendidikan semakin cenderung inelastis, dimana semakin tinggi pendapatan akan lebih banyak mengkonsumsi barang lain selain bahan makanan. Kemudian tingkat konsumsi pangan hewani lebih besar di perkotaan dibandingakan di perdesaan yang dilihat dari elastisitasnya yang semakin elastis. Pada penelitian ini terdapat simulasi perubahan harga terhadap permintaan komoditi padi, pangan hewani, dan pendidikan. Hasilnya menunjukkan bahwa ketika terjadi kenaikan biaya pendidikan, golongan masyarakat menengah ke bawah yang mengalami dampak terbesar. Sedangkan untuk perubahan harga komoditi lain tidak terlalu signifikan pengaruhnya terhadap permintaan masyarakat.

(25)

13 responsif terhadap perubahan pendapatan, jika pendapatan meningkat maka jumlah permintaan telur juga akan meningkat.

Penelitian Wardani (2007) tentang analisis pola konsumsi dan permintaan buah pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa. Penelitian ini menunjukkan selama periode 2003-2006 pola konsumsi yang berdasarkan golongan pendapatan, proporsi pengeluaran untuk buah-buahan semakin meningkat dengan semakin tingginya pendapatan. Pada penelitian ini pemilihan buah yang dianalisis adalah buah yang dominan dikonsumsi dan tidak terpengaruh oleh musim. Penelitian menunjukkan bahwa golongan pendapatan tinggi mengkonsumsi buah paling banyak adalah jeruk, sedangkan pada golongan pendapatan sedang dan rendah adalah pisang. Elastisitas harga sendiri dan harga silang yang dimiliki baik pada jeruk, pisang, dan pepaya memiliki nilai yang negatif pada setiap golongan pendapatan. Kemudian pada elastisitas pendapatan, untuk semua jenis buah yang dianalisis merupakan barang normal, yang artinya bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan maka jumlah buah yang diminta juga akan meningkat.

Selanjutnya penelitian analisis konsumsi rumah tangga untuk komoditi pangan protein hewani di Provinsi Jawa Barat yang dilakukan oleh Sunarto (2000) dengan menggunakan data SUSENAS 1996. Hasil yang diperoleh untuk proporsi pengeluaran, rumah tangga cenderung lebih besar proporsinya pada protein hewani yang berasal dari ikan, unggas, dan telur. Wilayah perdesaan pada setiap tingkat golongan pendapatan, konsumsi protein hewani yang paling dominan adalah ikan. Sedangkan pada wilayah perkotaan, golongan pendapatan rendah dan sedang konsumsi protein hewani yang dominan adalah ikan, dan golongan pendapatan tinggi adalah unggas. Pada elastisitas harga sendiri dan harga silang, nilai elastisitas pada semua komoditi untuk setiap golongan pendapatan bernilai negatif. Sedangkan pada elasitisitas pendapatan, menunjukkan hasil yang bernilai positif, artinya komoditi pangan protein hewani tersebut merupakan barang normal.

Kerangka Pemikiran

(26)

14

hewani pada setiap golongan pendapatan. Kerangka pemikiran ini dijelaskan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kerangka pemikiran Angka kemiskinan Kabupaten Cirebon tertinggi ke-2 di Jawa Barat

Rendahnya konsumsi pangan sumber protein hewani

Kabupaten Cirebon potensi menghasilkan pangan sumber protein hewani

Pola konsumsi sumber bahan pangan protein hewani berdasarkan golongan pendapatan

Metode Almost Ideal Demand System (AIDS)

Pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani berdasarkan golongan pendapatan

Parameter yang

mempengaruhi permintaan bahan pangan protein hewani

Simulasi perubahan harga terhadap komoditi daging

Saran kebijakan pemerintah

(27)

15

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data cross section SUSENAS 2012 dengan mengambil data konsumsi dan pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan protein hewani di Jawa Barat. Cakupan wilayah yang dipilih untuk penelitian adalah Kabupaten Cirebon. Bahan pangan protein hewani yang dianalisis adalah ikan, daging ruminansia, unggas, telur, dan susu. Selain itu, data juga berasal dari sumber referensi dan artikel yang terkait dengan penelitian.

Pengelompokan Data

Pada penelitian untuk lebih terlihat karakteristik dari pola konsumsi pangan hewani di Kabupaten Cirebon, maka dilakukanlah penggolongan pendapatan yang dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan pendapatan rendah, sedang, dan tinggi. Pembagian golongan pendapatan diproksi dari tingkat pengeluaran rumah tangga dengan perhitungan menggunakan Microsoft Excel 2007. Sampel rumah tangga yang diteliti sebanyak 924 rumah tangga dengan rincian golongan pendapatan rendah sebanyak 27 rumah tangga, golongan pendapatan sedang 823 rumah tangga, dan golongan pendapatan tinggi 74 rumah tangga.

Masing-masing komposisi pengeluaran setiap golongan rumah tangga, yaitu golongan pendapatan rendah Rp 272,400/kapita/bulan sampai Rp 574,900/kapita/bulan. Pada golongan pendapatan sedang antara Rp 575,000/kapita/bulan sampai Rp 3,362,900/kapita/bulan sedangkan pada golongan pendapatan tinggi memiliki pengeluaran antara Rp 3,363,000/kapita/bulan sampai Rp 58,394,600/kapita/bulan.

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deksriptif digunakan untuk mengetahui pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani berdasarkan golongan pendapatan. Pada analisis kuantitatif menggunakan metode model permintaan Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan menggunakan software SPSS versi 20, Statistical Analitical System (SAS), dan Microsoft Excel 2007.

Analisis Almost Ideal Demand System (AIDS)

(28)

16

Wi = i + ij ln Pj + ln x

P∗ + θ ln Art + D1+ D2 (21)

Keterangan :

Wi : proporsi komoditi ke-i terhadap total pengeluaran untuk bahan pangan protein hewani, dimana i = 1, 2, 3, 4, 5 (1 = daging; 2 = ikan; 3 = unggas; 4 = telur; 5 = susu)

α, , , θ : parameter regresi berturut-turut untuk intersep, total pengeluaran, harga agregat dari masing-masing komoditi, dan jumlah anggota rumah tangga.

Pj : harga agregat komoditi ke-j, dengan j = 1, 2, 3, 4, 5 Art : jumlah anggota rumah tangga

∗ : pengeluaran untuk pangan hewani dibagi dengan indeks harga stone D1 : dummy untuk golongan pendapatan, 0 = rendah;1 = sedang

D2 : dummy untuk golongan pendapatan, 0 = sedang; 1 = tinggi

Indeks harga stone dicari dengan rumus : log P∗ = Wk log Pk , dimana Wk adalah pangsa pengeluaran komoditi k, Pk adalah harga komoditi k. Sedangkan secara spesifik rumus permintaan pangan hewani, yaitu sebagai berikut:

1. W1 = 1+ 11LnP1+ 12LnP2+ 13LnP3+ 14LnP4+ 15LnP5+

LnYi + θLnART + D1 + D2 (22) 2. W2 = 2 + 21LnP1+ 22LnP2+ 23LnP3+ 24LnP4+ 25LnP5+

LnYi + θLnART + D1 + D2 (23) 3. W3 = �3+ 31LnP1+ 32LnP2+ 33LnP3+ 34LnP4+ 35LnP5+

LnYi + θLnART + D1 + D2 (24) 4. W4 = 4 + 41LnP1+ 42LnP2+ 43LnP3+ 44LnP4+ 45LnP5+

LnYi + θLnART + D1 + D2 (25) 5. W5 = 5 + 51LnP1+ 52LnP2+ 53LnP3+ 54LnP4+ 55LnP5+

LnYi + θLnART + D1 + D2 (26) Keterangan :

P1 = harga daging

P2 = harga ikan

P3 = harga unggas

P4 = harga telur

P5 = harga susu

Untuk menjamin asumsi maksimisasi kepuasan agar terpenuhi, maka terdapat tiga restriksi yang harus dimasukkan ke dalam model, yaitu:

Adding Up : i0αi = 1, i0Yij = 0, i = 0 i

(29)

17

Perhitungan Nilai Elastisitas

Memperoleh nilai estisitas harga dan pendapatan dihitung melalui rumus yang diturunkan dari fungsi permintaan. Rumus perhitungan untuk mencari elastisitas permintaan yang diklasifikasikan menjadi elastisitas harga sendiri, harga silang, dan pendapatan adalah sebagai berikut :

a. Elastisitas Harga Sendiri : Eii = ii − iwi

Wi − 1 (30)

b. Elastisitas Harga Silang : Eij = ij− iwj

Wi (i≠j) (31) c. Elastisitas Pendapatan : Eiy = i

Wi + 1 (32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Konsumsi Bahan Sumber Pangan Protein Hewani

Pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani berdasarkan golongan pendapatan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri, harga barang lain dan tingkat pengeluaran rumah tangga. Bahan pangan sumber protein hewani yang dipilih antara lain daging ruminansia, ikan, unggas, telur dan susu. Rata-rata tingkat konsumsi bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata konsumsi bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon

Golongan pendapatan

(kg/kapita/tahun)

Daging Ikan Unggas Telur Susu

Rendah 0.0000 3.2486 0.8465 7.3384 0.4118

Sedang 0.0565 5.5656 3.0996 6.4360 2.0262

Tinggi 1.9565 8.7529 8.1525 9.5977 6.1106

Kab. Cirebon 0.2016 5.7536 3.4355 6.7078 2.3032

Sumber: data SUSENAS 2012 (diolah)

(30)

18

daerah dengan angka kemiskinan tertinggi kedua di Jawa Barat yang mengakibatkan mayoritas rumah tangga lebih banyak mengkonsumsi telur.

Ikan yang menjadi potensi dari Kabupaten Cirebon memiliki rata-rata konsumsi terbanyak kedua setelah telur. Golongan rumah tangga dengan konsumsi ikan tertinggi adalah golongan pendapatan tinggi sebesar 8.7529 kg/kapita/tahun. Pada golongan pendapatan rendah konsumsi ikan hanya sebesar 3.2486 kg/kapita/tahun sedangkan golongan pendapatan sedang sebesar 5.5656 kg/kapita/tahun. Komoditi ikan bukanlah pangan hewani yang paling dominan dikonsumsi dikarenakan hasil produksi untuk ikan segar maupun hasil olahan ikan lebih banyak diekspor ke negara-negara yang mayoritas mengkonsumsi ikan seperti Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan China. Berdasarkan BPS Kabupaten Cirebon (2013) hasil produksi laut seperti udang beku menjadi komoditi hasil laut yang memiliki nilai ekspor terbesar yaitu US $ 3 juta dengan negara tujuan utama ekspor adalah Amerika Serikat dan Jepang. Hanya jenis ikan segar dan olahan ikan tertentu saja yang dikonsumsi oleh rumah tangga di Kabupaten Cirebon seperti ikan asin yang menjadi konsumsi kegemaran pada setiap rumah tangga terutama untuk golongan pendapatan rendah dan sedang. Hal ini dikarenakan harga dari olahan ikan ini lebih murah.

Pangan hewani yang paling rendah dikonsumsi di Kabupaten Cirebon adalah daging. Rata-rata konsumsi daging di Kabupaten Cirebon pada setiap golongan pendapatan, yaitu golongan pendapatan rendah 0 kg/kapita/tahun, golongan pendapatan sedang 0.0565 kg/kapita/tahun, golongan pendapatan tinggi 1.9565 kg/kapita/tahun, dan keseluruhan wilayah Kabupaten Cirebon 0.2016 kg/kapita/tahun. Paling rendahnya konsumsi daging jenis ruminansia dibandingkan dengan pangan hewani lainnya menandakan bahwa daging ruminansia merupakan salah satu barang yang mewah dan mahal untuk dikonsumsi. Terutama pada golongan pendapatan rendah yang memiliki daya beli yang sangat rendah sehingga tidak dapat mengkonsumsi daging jenis ruminansia.

Konsumsi daging pada penelitian ini merupakan gabungan dari seluruh daging jenis ruminansia yang terdiri dari daging sapi, kerbau, dan kambing. Pada Tabel 4, disetiap golongan pendapatan maupun seluruh wilayah Kabupaten Cirebon tidak ada yang mengkonsumsi daging kerbau, sehingga nilai rata-rata konsumsinya adalah 0 kg/kapita/tahun. Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa digolongan pendapatan rendah tidak ada yang mengkonsumsi daging. Oleh karena itu, rata-rata konsumsi setiap jenis daging ruminansia yang ditunjukkan Tabel 4 juga tidak ada yang mengkonsumsi. Pada golongan pendapatan sedang dan tinggi, rata-rata konsumsi daging sapi berturut-turut adalah 0.0522 kg/kapita/tahun, dan 1.8555 kg/kapita/tahun. Kemudian untuk rata-rata konsumsi daging kambing pada golongan pendapatan sedang dan tinggi adalah 0.0043 kg/kapita/tahun dan 0.1010 kg/kapita/tahun. Pada keseluruhan wilayah Kabupaten Cirebon rata-rata konsumsi daging sapi dan kambing berturut-turut sebesar 0.19 kg/kapita/tahun dan 0.1 kg/kapita/tahun.

(31)

19 pendapatan sedang 7.61 persen dan golongan pendapatan tinggi 5.16 persen. Keseluruhan wilayah Kabupaten Cirebon persentase untuk daging sapi dan kambing berturut-turut, yaitu 94.22 persen dan 5.78 persen. Tidak adanya yang mengkonsumsi daging kerbau mengakibatkan persentase daging kerbau dalm daging jenis ruminansia juga bernilai nol. Persentase daging sapi yang lebih besar dari daging kambing dikarenakan, daging sapi yang lebih mudah untuk diperoleh dan hanya sebagian orang yang menyukai daging kambing.

Tabel 4 Rata-rata konsumsi daging jenis ruminansia di Kabupaten Cirebon Golongan

(32)

20

Tabel 5 Kebutuhan protein hewani di Kabupaten Cirebon

Komoditi

Rata-rata konsumsi Kandungan protein kg/kap/thn gr/kap/hari per 100 gr* gr/kap/hari

Rendah Sapi 0.00 0.00 18.80 0.00

Kerbau 0.00 0.00 18.70 0.00

Kambing 0.00 0.00 16.60 0.00

Ikan 3.25 8.90 17.00 1.51

Unggas 0.85 2.32 18.20 0.42

Telur 7.34 20.11 12.80 2.57

Susu 0.41 1.13 3.20 0.04

Jumlah 4.54

Sedang Sapi 0.05 0.14 18.80 0.03

Kerbau 0.00 0.00 18.70 0.00

Kambing 0.004 0.01 16.60 0.002

Ikan 5.57 15.25 17.00 2.59

Unggas 3.10 8.49 18.20 1.55

Telur 6.44 17.63 12.80 2.26

Susu 2.03 5.55 3.20 0.18

Jumlah 6.60

Tinggi Sapi 1.86 5.08 18.80 0.96

Kerbau 0.00 0.00 18.70 0.00

Kambing 0.10 0.28 16.60 0.05

Ikan 8.75 23.98 17.00 4.08

Unggas 8.15 22.34 18.20 4.07

Telur 9.60 26.30 12.80 3.37

Susu 6.11 16.74 3.20 0.54

Jumlah 13.04

Kab.Cirebon Sapi 0.19 0.52 18.80 0.10

Kerbau 0.00 0.00 18.70 0.00

Kambing 0.01 0.03 16.60 0.01

Ikan 5.75 15.76 17.00 2.68

Unggas 3.44 9.41 18.20 1.71

Telur 6.71 18.38 12.80 2.35

Susu 2.30 6.31 3.20 0.20

Jumlah 7.05

Sumber: (*) Rismayanti C (2011) : data SUSENAS 2012 (diolah)

(33)

21 ditetapkan, yaitu sebesar 4.5446 gr/kapita/hari dengan sumbangan terbesar pemenuhan protein hewani berasal dari telur, yaitu sebesar 2.57 gr/kapita/hari. Nilai kebutuhan protein hewani yang sangat kecil, dikarenakan golongan pendapatan rendah tidak ada yang mengkonsumsi daging jenis ruminansia yang memiliki kandungan protein paling tinggi. Pada golongan pendapatan sedang dan tinggi, kebutuhan protein hewaninya telah tercapai sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan nilai secara berturut-turut sebesar 6.60 gr/kapita/hari, dan 13.04 gr/kapita/hari. Sumbangan terbesar terpenuhinya kebutuhan protein hewani pada golongan pendapatan sedang, dan tinggi berasal dari ikan, yaitu sebesar 2.59 gr/kapita/hari, dan 4.07 gr/kapita/hari. Berdasarkan Tabel 5, kebutuhan protein hewani secara keseluruhan di Kabupaten Cirebon telah memenuhi standar yaitu sebesar 7.05 gr/kapita/hari, dan sumbangan terbesar terpenuhinya kebutuhan protein hewani juga berasal dari ikan sebesar 2.68 gr/kapita/hari.

Angka kebutuhan protein hewani yang diperoleh berbeda-beda pada setiap golongan pendapatan menandakan belum meratanya bahan pangan sumber protein hewani yang dikonsumsi disetiap golongan rumah tangga. Golongan pendapatan tinggi yang memiliki nilai kebutuhan protein tertinggi, menunjukkan bahwa golongan inilah yang menikmati seluruh sumber bahan pangan protein hewani salah satunya komoditi daging jenis ruminansia yang harganya paling mahal diantara pangan hewani lainnya. Pada golongan pendapatan rendah yang tidak mampu mengkonsumsi daging jenis ruminansia hanya bisa membeli telur yang harganya paling murah dibandingkan dengan pangan hewani lainnya.

Komoditi telur yang menjadi komoditi dominan dikonsumsi pada golongan pendapatan rendah dan juga penyumbang terbesar kebutuhan protein hewaninya, dikarenakan harga dari setara protein telur paling murah dibandingkan dengan harga setara protein pangan hewani lainnya. Harga setara protein hewani telur yang ditunjukkan Tabel 6 adalah Rp 117 per gr. Pada komoditi lainnya harga setara proteinnya yaitu, ikan sebesar Rp 118 per gr, unggas Rp 129 per gr, daging Rp 426 per gr, dan susu Rp 1188 per gr. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga yang ada di Kabupaten Cirebon memiliki sifat yang rasional dalam memenuhi kebutuhan konsumsi pangan hewaninya sebab memilih harga setara protein yang sesuai dimiliki oleh setiap pangan hewani. Oleh karena itu, rumah tangga tetap dapat memenuhi kebutuhan gizi protein hewaninya dan memaksimumkan utilitasnya.

Tabel 6 Harga yang dikeluarkan rumah tangga dalam setara protein setiap pangan hewani

(34)

22

Besarnya konsumsi telur di wilayah Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan sejalan dengan persentase proporsi pengeluaran terhadap komoditi tersebut. Pada Tabel 7, hasil persentase proporsi pengeluaran protein hewani secara keseluruhan di Kabupaten Cirebon yang paling tinggi adalah telur sebesar 37.54 persen. Berdasarkan tingkat golongan pendapatan rendah dan sedang, persentase proporsi pengeluaran yang paling tinggi juga pada telur dengan nilai secara berturut-turut 54.16 persen dan 38.10 persen. Namun, hanya pada golongan pendapatan tinggi persentase proporsi pengeluaran protein hewani yang paling besar berasal dari susu sebesar 26.29 persen, ini menandakan bahwa harga susu yang dikonsumsi memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pangan hewani lainnya.

Komoditi daging, unggas, dan susu menunjukkan semakin tinggi golongan pendapatan semakin besar persentase proporsi pengeluarannya. Sebagai contoh pada komoditi unggas nilai persentase proporsi pengeluarannya pada setiap golongan pendapatan secara berturut-turut, yaitu golongan pendapatan rendah 4.30 persen, golongan pendapatan sedang 17.77 persen, dan golongan pendapatan tinggi 22.73 persen. Berbeda dengan komoditi telur dan ikan yang ditunjukkan pada Tabel 7, semakin tinggi pendapatan maka persentase proporsi pengeluarannya semakin kecil. Pada komoditi telur yang persentase proporsi pengeluaran pada golongan pendapatan rendah sebesar 54.16 persen, golongan pendapatan sedang sebesar 38.10 persen sedangkan pada golongan pendapatan tinggi sebesar 25.40 persen.

(35)

23

Elastisitas Permintaan Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan

Elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon yang berdasarkan golongan pendapatan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu elastisitas harga sendiri, harga silang, dan elastisitas pendapatan.

Tabel 8 Elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan

Komoditi Daging Ikan Unggas Telur Susu Eiy Rendah Daging -0.005* -0.003 -0.022 -0.007 -0.042 4.784

Ikan -1.604 -0.931* -0.329 0.020 -0.246 0.955 Unggas -0.258 -0.010 -0.607* -0.011 -0.134 1.604 Telur -2.587 0.001 -0.514 -0.895* -0.369 0.905 Susu -0.358 -0.012 -0.137 -0.011 -0.534* 1.322 Sedang Daging -0.927* -0.0004 -0.016 -0.001 -0.021 1.380 Ikan -0.138 -0.920* -0.071 0.019 -0.074 0.946 Unggas -0.077 -0.004 -0.925* 0.003 -0.058 1.146 Telur -0.199 -0.007 -0.101 -0.873* -0.104 0.865 Susu -0.067 -0.009 -0.045 -0.004 -0.856* 1.106 Tinggi Daging -0.935* 0.00004 -0.013 0.001 -0.010 1.347 Ikan -0.076 -0.868* -0.039 0.0003 -0.028 0.900 Unggas -0.088 -0.003 -0.947* 0.014 -0.030 1.114 Telur -0.138 -0.026 -0.064 -0.835* -0.042 0.798 Susu -0.110 -0.003 -0.051 0.022 -0.940* 1.049 Kab.

Cirebon Daging -0.313* -0.004 -0.006 -0.010 -0.013 3.646 Ikan -0.932 -0.918* -0.069 0.018 -0.068 0.944 Unggas -0.538 -0.005 -0.925* 0.003 -0.054 1.146 Telur -1.369 -0.008 -0.100 -0.872* -0.096 0.863 Susu -0.492 -0.009 -0.046 -0.003 -0.867* 1.099 Keterangan : (*) = elastisitas harga sendiri

: data SUSENAS 2012 (diolah)

Elastisitas Harga Sendiri

(36)

24

penurunan kuantitas ikan yang diminta sebesar 0.931 persen. Pada golongan pendapatan sedang, dan tinggi serta wilayah Kabupaten Cirebon keseluruhan, elastisitas harga sendiri terbesar adalah unggas yang secara berturut-turut bernilai sebesar -0.925, -0.947, -0.925, artinya jika terjadi kenaikan harga unggas sebesar 1 persen maka secara berturut-turut akan menurunkan kuantitas unggas yang diminta sebesar 0.925 persen, 0.947 persen, dan 0.925 persen. Komoditi yang memiliki nilai elastisitas harga sendiri tertinggi adalah ikan dan unggas menunjukkan bahwa permintaan komoditi ikan dan unggas paling sensitif terhadap perubahan harga komoditi itu sendiri.

Elastisitas Harga Silang

Nilai elastisitas harga silang antar komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan yang ditunjukkan pada Tabel 8 memiliki hubungan yang substitusi dan komplementer. Hubungan substitusi pangan sumber protein hewani dengan nilai elastisitas terbesar mayoritas adalah antara telur dengan ikan sebesar 0.020, artinya jika terjadi kenaikan harga telur sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan ikan sebesar 0.020 persen. Namun, hanya pada golongan pendapatan tinggi yang nilai elastisitas harga silang terbesar adalah antara telur dengan susu sebesar 0.022, artinya jika terjadi kenaikan harga telur sebesar 1 persen maka akan meningkatkan susu yang diminta sebesar 0.022 persen. Pada golongan pendapatan rendah dan sedang menjadikan ikan sebagai konsumsi alternatif jika terjadi kenaikan harga pada telur dikarenakan, sesuai dengan Tabel 6 harga yang dikonsumsi dan harga setara protein antara telur dengan ikan tidak berbeda jauh.

Bahan pangan sumber protein hewani yang memiliki hubungan komplementer dengan nilai dominan terbesar adalah antara daging dengan telur. Nilai elastisitas terbesar ada pada golongan pendapatan rendah yaitu sebesar -2.587, artinya jika terjadi kenaikan harga telur sebesar 1 persen maka akan menurunkan permintaan daging sebesar 2.587 persen. Nilai elastisitas harga silang yang memiliki hubungan komplementer terbesar disetiap golongan pendapatan adalah antara daging dengan telur mengindikasikan bahwa ada sebagian rumah tangga yang memiliki preferensi selera dengan menjadikan telur sebagai pelengkap saat konsumsi daging. Hal ini dikarenakan ada beberapa jenis olahan makanan yang mengharuskan adanya campuran daging dengan telur yang dikonsumsi secara bersamaan.

Elastisitas Pendapatan

Elastisitas pendapatan bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan memiliki nilai dominan terbesar adalah daging. Nilai elastisitas terbesar terdapat pada golongan pendapatan rendah berdasarkan Tabel 8, yaitu sebesar 4.78, artinya ketika terjadi kenaikan pendapatan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan daging sebesar 4.78 persen. Nilai elastisitas pada daging, unggas, dan susu disetiap golongan pendapatan menunjukkan nilai yang eQ.I > 1, menunjukkan bahwa selain termasuk

(37)

25 jumlah permintaan komoditi tersebut. Pada komoditi telur dan ikan yang menjadi barang normal karena dianggap sebagai barang kebutuhan sehari-hari yang harus selalu ada maka, ketika terjadi kenaikan pendapatan permintaan terhadap kedua komoditi tersebut akan meningkat lebih lambat dibandingkan dengan komoditi daging, unggas, dan susu.

Simulasi Dampak Perubahan Harga Terhadap Pola Konsumsi Bahan Pangan Protein Hewani

Program swasembada daging sapi yang dicanangkan sejak tahun 2009, menyebabkan pemerintah mengurangi kuota impor sapi secara bertahap dan harus meningkatkan produksi daging sapi lokal. Target penurunan kuota impor sapi akan dilakukan secara bertahap yang dimulai pada tahun 2012 sebesar 20 persen, 2013 sebesar 15 persen, dan 2014 sebesar 10 persen. Mencapai target swasembada daging sapi ini, pemerintah harus meningkatkan produksi daging sapi lokal mencapai 420,000 ton pada akhir 2014. Basis data konsumsi daging sapi yang digunakan adalah 2 kg/kapita dan sekitar 200 kg daging per sapi yang dapat dikonsumsi (Izzaty 2013). Namun, langkah-langkah yang dilakukan untuk mecapai target dari program ini tidak sejalan dengan kenyataannya karena justru terjadi kelangkaan daging sapi dimana-mana dan harganya pun sangat tinggi, padahal pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp 2.7 trilliun untuk menyukseskan program tersebut.

Sejak awal tahun 2012, harga daging sapi sudah mulai mencapai Rp 65,000/kg dan harga ini terus meningkat hingga sekarang yang sudah

mencapai angka Rp 98,000/kg. Kenaikan harga ini menurut Kementrian Perdagangan dikarenakan jumlah permintaan yang meningkat sedangkan pasokan sapi dalam negeri berkurang. Penyebabnya adalah adanya pengurangan kuota impor sapi bakalan. Indonesia mengimpor sapi bakalan dengan jumlah besar yang berasal dari Australia dan Selandia Baru. Selain itu, BPS yang telah melakukan rekapitulasi jumlah ternak untuk Sensus Pertanian 2013 sampai awal Juni 2013 menyebutkan populasi sapi potong hanya 13.3 juta ekor, jumlah ini berkurang dari tahun 2011 sebesar 19.52 juta ekor. Berkurangnya jumlah populasi sapi potong ini, kemungkinan disebabkan oleh pemotongan sapi yang dilakukan secara besar-besaran karena harga daging sapi yang terus mengalami peningkatan (Harianto 2013).

(38)

26

simulasi kenaikan harga daging terhadap perubahan permintaan bahan pangan hewani ditunjukkan pada Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 9 Hasil perhitungan simulasi kenaikan harga pada daging sapi Golongan

(39)

27 Tabel 10 Hasil perubahan pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani

sebagai dampak kenaikan harga daging sapi Golongan

(40)

28

pangan protein hewani. Oleh karena itu, pada Tabel 10 terjadi pengurangan pola konsumsi pada seluruh bahan pangan sumber protein hewani. Rumah tangga yang mengalami dampak terbesar perubahan kenaikan harga daging sapi adalah golongan pendapatan rendah. Pada golongan pendapatan sedang dan tinggi tidak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan harga daging sapi, sesuai Tabel 10 pengurangan pola konsumsi pada golongan ini tidak signifikan dibandingkan dengan golongan pendapatan rendah.

Pangan hewani telur merupakan komoditi yang mayoritas mengalami pengurangan pola konsumsi yang sangat besar setelah terjadinya kenaikan harga. Terutama pada golongan pendapatan rendah yang sebelum terjadi kenaikan harga daging, pola konsumsi telur sebesar 7.34 kg/kapita/tahun menjadi 3.97 kg/kapita/tahun. Pada golongan pendapatan sedang, tinggi, dan Kabupaten Cirebon keseluruhan, telur juga merupakan pangan hewani yang mengalami penurunan pola konsumsi yang besar dibandingkan dengan pangan hewani lain. Penurunan pola konsumsi telur setelah terjadi kenaikan harga daging sapi berkurang menjadi 5.89 kg/kapita/tahun golongan pendapatan sedang, 9.44 kg/kapita/tahun golongan pendapatan tinggi, dan 4.62 kg/kapita/tahun Kabupaten Cirebon keseluruhan. Telur yang mengalami penurunan paling besar disetiap golongan pendapatan menandakan telur menjadi pangan hewani yang sangat sensitif ketika terjadi kenaikan harga pada komoditi pangan hewani lainnya. sedangkan untuk komoditas pangan hewani lainnya tidak mengalami penurunan pola konsumsi yang terlalu besar saat terjadinya kenaikan harga daging sapi.

Dampak penurunan konsumsi telur yang besar terjadi pada golongan pendapatan rendah, membuat golongan ini akan semakin jauh terpenuhinya kecukupan gizi protein hewani. Padahal golongan ini mengandalkan komoditi telur untuk memenuhi kebutuhan protein hewaninya, yang tidak mungkin membeli daging yang harganya terus meningkat, sedangkan daging merupakan salah satu pangan hewani yang menyumbang angka kebutuhan protein terbesar. Golongan pendapatan sedang dan tinggi akan tetap dapat memenuhi kebutuhan standar protein yang ditetapkan walaupun terjadi pengurangan pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani karena tidak terlalu mengalami perubahan pola konsumsi yang signifikan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(41)

29 kebutuhan protein hewaninya, yaitu sebesar 6.6012 gr/kapita/hari, dan 13.0449 gr/kapita/hari.

Elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani menunjukkan barang yang bersifat inelastis. Antara komoditi telur dengan ikan memiliki hubungan substitusi yang mayoritas terjadi pada golongan pendapatan rendah dan sedang dibandingkan hubungan antar komoditi pangan hewani lainnya, sedangkan pada golongan pendapatan tinggi hubungan substitusi yang terbesar adalah antara telur dengan susu. Komoditi paling dominan yang memiliki hubungan komplementer adalah antara daging dengan telur yang terjadi pada semua golongan pendapatan. Disetiap golongan pendapatan, komoditi daging memiliki nilai elastisitas pendapatan yang terbesar diantara komoditi pangan hewani.

Ketika dilakukan simulasi perubahan kenaikan harga daging, komoditi telur yang mayoritas mengalami penurunan terbesar. Terutama golongan pendapatan rendah yang mengalami dampak terbesar, sehingga mengakibatkan tingkat konsumsi telurnya semakin berkurang dari sebelumnya mengkonsumsi 7.338 kg/kapita/tahun menjadi 3.968 kg/kapita/tahun. Hal ini membuat golongan pendapatan rendah semakin tidak tercapainya kebutuhan protein hewani yang ditetapkan. Pada golongan pendapatan sedang dan tinggi tidak terlalu terpengaruh terhadap perubahan kenaikan harga daging, dan pengurangan pola konsumsi pangan hewani tidak signifikan dibandingkan dengan golongan pendapatan rendah, serta akan tetap terpenuhinya angka kebutuhan protein hewani.

Saran

1. Pemerintah sebaiknya dapat memanfaatkan potensi dari Kabupaten Cirebon yang memproduksi hasil ikan terbesar agar dapat dikonsumsi sebaik-baiknya oleh semua rumah tangga.

2. Pemerintah harus melakukan stabilisasi harga pada setiap pangan hewani sehingga dapat terjangkau untuk semua golongan masyarakat.

3. Pemerintah sebaiknya mencukupi ketersediaan pangan hewani pada tingkat harga tertentu yang merata dikonsumsi oleh setiap golongan seperti pada komoditi daging yang tidak hanya dapat dikonsumsi oleh golongan mampu. 4. Pemerintah harus mensosialisasikan pola hidup sehat agar diperoleh

sumberdaya manusia yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Staistik. 2013. Kabupaten Cirebon dalam angka 2013: produksi pertanian. [Internet]. [ diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia pada: http://cirebonkab.bps.go.id/DDA_2013/dda_2013.html#/138.

__________________. 2012. Data SUSENAS 2012 Provinsi Jawa Barat

(42)

30

___________________. 2012. Tabel indeks pembangunan manusia nasional. [Internet]. [diunduh 9 Februari 2014]. Tersedia pada: http://bps.go.id

___________________. 2011. Jawa Barat dalam angka: penduduk dan tenaga kerja. [diunduh 4 Februari 2014]. Tersedia pada: http://jabar.bps.go.id

Deaton A, Muelbauer J. 1980. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review 70 (3): 312-326.

Harianto. 2013. Mengatasi problematika pasokan daging sapi. [Internet]. [diunduh 4

Maret 2014]. Terdapat pada:

http://economy.okezone.com/read/2013/09/20/279/869240.

Izzaty. 2013. Upaya stabilisasi harga daging sapi. Jurnal ekonomi dan kebijakan publik vol.V. No.03/I/P3DI/Februari/2013. Jakarta (ID): Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekertaris Jendral DPR RI.

Kahar M. 2010. Analisis pola konsumsi daerah perkotaan dan perdesaan serta keterkaitannya dengan karakteristik sosial ekonomi di Provinsi Banten [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kementrian Perdagangan. 2014. Harga kebutuhan pokok nasional. [Internet]. [diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia pada: http://kemendag.go.id/id/economic-profile/prices/national-price-table.

Lia E. 2013. Tingkat konsumsi daging sapi di Cirebon masih rendah. [Internet].

[diunduh 22 Januari 2014]. Tersedia pada:

http://ekbis.sindonews.com/read/2013/08/02/34/768426.

Mangkoewidjojo S, Susanti S. 2009. Pengaruh pemberian anti nematode

gastrointestinal dorameetin terhadap jumlah total dan diferensial leukosit pada sapi yang terinfeksi cacing nematode [jurnal peternakan]. Yogyakarta (ID). Universitas Gajah Mada.

Meriana. 2013. Perilaku konsumen. [Internet]. [diunduh 25 Maret 2014]. Tersedia pada: http://meriana74hocwi.wordpress.com/2013/01/02.

Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi 8. Jakarta (ID): Erlangga.

Ramdhiani H. 2008. Analisis permintaan telur ayam ras dan ayam buras di Provinsi DKI Jakarta: penerapan model AIDS dengan data SUSENAS 2005 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rismayanthi C. 2011. Perhitungan nilai kalori bahan makanan. [Internet]. [diunduh 1 Maret 2014]. Tersedia pada: http://staff.uny.ac.id. Yogyakarta (ID): Universitas Negeri Yogyakarta.

Roh. 2012. Konsumsi ikan masyarakat Cirebon rendah. [Internet]. [diunduh 22 Januari 2014]. Tersedia pada: http://jabar.tribunnews.com/2012/06/23.

Suhartati J dan Fathorrozi. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Jakartta(ID): Salemba Empat. Sunarto I. 2000. Analisis konsumsi rumah tangga untuk komoditi pangan protein

hewani di Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Trisnowati J, Budiwinarto K. 2013. Kajian pengaruh harga dan pendapatan terhadap

proporsi pengeluaran makanan rumah tangga. Proseding seminar nasional statistika [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. hlm 1-12; [diunduh 9 Februari 2014]. Tersedia pada: eprints.undip.ac.id/40290/1/A07.

UNDP: nilai indeks pembangunan Indonesia naik. 2013. [Internet]. [diunduh 3 Maret 2014]. Tersedia pada: http://www.voaindonesia.com/a/undp-indeks-pembangunan-indonesia-naik/1624179.html.

Gambar

Gambar 1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2008-2012
Tabel  2  Jumlah  produksi  bahan  pangan  sumber  protein  hewani  Kabupaten  Cirebon pada tahun 2009-2012
Gambar 2 Kurva indeferens maksimisasi kepuasan dengan kendala anggaran       (Nicholson 2002)
Gambar  3  Efek  subsitusi  dan  efek  pendapatan  pada  penurunan  harga  X      (Nicholson 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah tandan bunga yang terbentuk pada kedua varietas dari umur 4 MST hingga 11 MST sangat berbeda nyata (Tabel 4) Komposisi media tanam yang digunakan juga

Seiring dengan semakin berkembangnya tradisi , maka jenis alat musik yang dipakai dalam setiap lagu juga berkembang dan bervariasi. Misalnya dengan memasukkan alat

dengan sistem e- Performance ini diukur berdasarkan aktivitas atau hasil dari kinerja pegawai negeri sipil yang akan atau telah dicapai dengan target yang telah ditentukan,

Seperti contoh daya dukung untuk populasi manusia pada hakekatnya adalah jumlah individu dalam keadaan sejahtera yang dapat didukung oleh suatu satuan sumberdaya dan

Jawaban responden mengenai pimpinan memperlakukan bawahan secara sama antara satu dengan yang lain sebanyak 37,8% menjawab sangat setuju, setuju sebanyak 48,9%, netral

[r]

[r]

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga penulis dapat