• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi

Desa Cibanteng merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 162.185 Ha, terdiri dari 45 RT (Rukun Tetangga) dan 8 RW (Rukun Warga) dengan luas area pesawahan 20.9 Ha dan tanah atau daratan seluas 141.285 Ha. Desa Cibanteng berbatasan dengan Desa Benteng di sebelah utara, Desa Babakan di sebelah timur, Desa Cihideung Ilir dan Cihideung Udik di sebelah selatan, serta Desa Bojong Jengkol di sebelah barat. Desa Cibanteng terletak kurang lebih 3 km sebelah barat kampus IPB Dramaga dengan populasi penduduk sekitar 12 655 jiwa. Disamping bidang pertanian, di desa ini banyak terdapat pengrajin atau pengumpul besi.

Sebagian besar penduduk Desa Cibanteng bermata pencaharian sebagai buruh harian, sedangkan pendidikan penduduk lebih banyak berada pada tingkat SD/MI. Jika dilihat dari jumlah tenaga kesehatan yang ada di Desa Cibanteng, maka sebagian besar tenaga kesehatan yang tersedia adalah kader posyandu yang dibantu oleh seorang bidan desa. Idealnya, sebuah posyandu mempunyai kader minimal lima orang. Akan tetapi, di Desa Cibanteng, cukup sulit mencari kader yang mau menjadi sukarelawan di sebuah posyandu. Hanya terdapat beberapa kader yang aktif, bahkan terdapat seorang kader yang harus bertugas di beberapa posyandu. Secara keseluruhan hanya terdapat 40 kader yang terdaftar di kantor desa yang tersebar di seluruh posyandu yang ada di Desa Cibanteng.

Desa Cibanteng memiliki 12 posyandu yang tersebar di 8 RW. Menurut data sasaran proyeksi UPT Puskesmas Kecamatan Ciampea tahun 2014 terdapat 1322 anak balita. Berdasar data penimbangan balita tingkat posyandu di Cibanteng bulan Februari tahun 2014 terdapat 361 anak baduta usia 12-24 bulan. Angka kesakitan ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ciampea untuk Desa Cibanteng pada tahun 2013 yaitu sebanyak 1058 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 899 jiwa berjenis kelamin perempuan.

Jumlah balita di masing-masing posyandu beragam. Akan tetapi belum terdapat pendataan yang baik mengenai jumlah pasti balita yang terdaftar di masing-masing posyandu. Bahkan pendataan penimbangan balita setiap bulan dapat berbeda-beda, sehingga cukup sulit untuk mengetahui berapa jumlah pasti balita yang terdaftar di masing-masing posyandu tersebut. Tidak semua posyandu mempunyai tempat khusus untuk pelayanan kesehatan, masih terdapat beberapa kegiatan posyandu yang dilakukan dirumah warga atau kader dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Jadwal posyandu biasanya berubah setiap bulan menyesuaikan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan di desa.

Penimbangan dilakukan rutin setiap bulan dengan cara ibu balita mendatangi posyandu. Namun pada beberapa posyandu masih ada yang tidak memperhatikan keakuratan peralatan penimbangan yang dipergunakan dan cara menimbang dengan benar. Pemberian kapsul vitamin A diberikan dua kali setahun yaitu setiap bulan Februari dan Agustus. Kepatuhan beberapa ibu untuk membawa balita mereka ke posyandu mendapatkan vitamin A masih kurang, sehingga para kader harus mendatangi dari rumah ke rumah ibu yang mempunyai balita.

Karakteristik Baduta

Periode yang sangat penting dalam masa pertumbuhan anak adalah usia bawah dua tahun karena anak sedang mengalami pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan selanjutnya (Nurlinda 2013). Karakteristik baduta yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin dan berat badan lahir. Usia baduta pada penelitian ini berkisar antara 12-24 bulan dengan rata-rata usia adalah 17.9 ± 4.2 bulan (Tabel 4). Anak baduta yang menjadi sampel tersebar hampir merata berdasarkan jenis kelamin. Menurut Astari (2006) jenis kelamin memiliki hubungan dalam mengontrol pertumbuhan dan status gizi bayi. Bayi laki-laki lebih berat dan panjang dibandingkan dengan bayi perempuan.

Berat badan lahir anak menggambarkan keadaan perkembangan prenatal. Proses perkembangan sistem syaraf terjadi bersamaan dengan pembentukan organ-organ eksternal janin (Dariyo 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar baduta (90,2%) memiliki riwayat berat badan lahir normal dan hanya sebagian kecil (9.8%) yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah yaitu berat badan <2 500 g. Rata-rata berat lahir baduta adalah 3 129.2 ± 638.1 g. Berat lahir terbesar adalah 4 700 g dan yang terkecil adalah 1 700 g.

Tabel 4 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik baduta Karakteristik Baduta n % Usia (bulan) 12-18 19-24 45 37 54.9 45.1 Total 82 100.0

Rata-rata ± SD ; Min; Max 17.9 ± 4.2 ; 12 ; 24 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 43 39 52.4 47.6 Total 82 100.0

Berat badan lahir (gram) <2 500

≥2 500 74 8

9.8 90.2

Total 82 100.0

Rata-rata ± SD ; Min ; Max 3129.2 ± 638.1 ; 1700 ; 4700

Karakteristik Keluarga

Usia ibu dalam penelitian ini berkisar antara 18-50 tahun dengan rata-rata usia adalah 29.7 ± 7.1 tahun. Pada Tabel 5 ditunjukkan sebagian besar ibu (93.9%) berada pada usia dewasa awal (usia 18-40 tahun) dan sebesar 6.1% berada pada usia dewasa tengah (41-65 tahun). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tabel 5 menunjukkan bahwa

sebagian besar pendidikan ayah (43.7%) telah mencapai sekolah menengah atas (SMA). Sebagian besar ibu (34.1%) menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Sementara itu, masih terdapat ibu baduta yang tidak sekolah (2.4%).

Tabel 5 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga n %

Umur Ibu (tahun) 20-40 (dewasa awal) 41-65 (dewasa tengah) 77 5 93.9 6.1 Total 82 100.0

Rata-rata ± SD ; Min ; Max 29.7 ± 7.1 ; 18 ; 50 Pendidikan ayah

Tidak sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA

Tamat perguruan tinggi

2 14 21 35 8 2.5 17.5 26.3 43.7 10.0 Total 82 100.0 Pendidikan ibu Tidak sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA

Tamat perguruan tinggi

2 28 19 26 7 2.4 34.1 23.2 31.7 8.5 Total 82 100.0 Pekerjaan ayah Tidak bekerja Buruh Pedagang PNS/TNI/Polisi Pegawai swasta 2 35 2 2 39 2.5 43.8 2.5 2.5 48.7 Total 82 100.0 Pekerjaan ibu Ibu bekerja

Ibu tidak bekerja(ibu rumah tangga)

10 72 12.2 87.8 Total 82 100.0 Besar Keluarga

≤4 orang (keluarga kecil) 5-7 orang (keluarga sedang) >7 orang (keluarga besar)

57 24 1 69.5 29.3 1.2 Total 82 100.0

Rata-rata ± SD ; Min ; Max 4.1 ± 1.2 ; 3 ; 8 Pendapatan per kapita (rupiah/bulan)

<Rp 252.496 (miskin)

≥Rp 252.496 (tidak miskin) 26 56

31.7 68.3

Total 82 100.0

Sebagian besar pekerjaan ayah (48.7%) adalah pegawai swasta (Tabel 5). Sebagian besar ibu (87.8%) merupakan ibu yang tidak bekerja, sedangkan sisanya (12.2%) merupakan ibu yang bekerja. Sebagian ibu baduta yang bekerja yaitu sebagai pegawai swasta, pedagang dan buruh. Menurut Santrock (2007) bekerja dapat menghasilkan pengaruh yang positif dan negatif pada pengasuhan dan status kesehatan bayi. Pengaruh positif dari ibu yang bekerja yaitu perasaan sejahtera karena bekerja dapat menghasilkan kualitas pengasuhan yang lebih positif dan akan memperbaiki status gizi pada bayi. Pengaruh negatif dari ibu yang bekerja adalah dapat menimbulkan perasaan stres dari bekerja yang dapat membahayakan pengasuhan dan status gizi pada bayi.

Besar keluarga baduta berkisar antara 3-8 orang dengan rata-rata 4.1±1.2 orang. Lebih dari separuh baduta (69.5%) memiliki keluarga kecil dengan jumlah

anggota keluarga ≤4 orang (Tabel 5). Keluarga akan lebih mudah memenuhi

kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan lebih sedikit. Anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Menurut Suhardjo (2003), dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda perlu zat gizi yang relatif lebih banyak dari pada anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-anak yang lebih muda mungkin tidak diberi cukup makanan yang memenuhi kebutuhan gizi.

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya (Diasmarani 2011). Secara keseluruhan rata-rata pendapatan per kapita keluarga sebesar Rp 479 919 ± 357 318. Penelitian menunjukkan sebesar 68.3% keluarga baduta termasuk dalam kategori keluarga tidak miskin dan sebesar 31.7% masih dalam kategori keluarga miskin (Tabel 5).

Pemberian ASI

Air Susu Ibu (ASI) mempunyai kelebihan antara lain mampu mencegah penyakit infeksi, ASI mudah didapat dan tidak perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Melalui ASI dapat dibina kasih sayang yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan jiwa bayi (Moehji 2003). Seluruh ibu yang termasuk dalam usia dewasa awal memberikan ASI eksklusif kepada anaknya (Tabel 6). Usia orang tua, terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh bayi. Usia mempengaruhi seorang ibu dalam bertindak dan memperhatikan kebutuhan anaknya (Hurlock 1999). Uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan (p>0.05) antara usia ibu dengan pemberian ASI kepada bayi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia ibu belum tentu dapat memberikan ASI yang baik.

Pendidikan orangtua dibedakan lagi menjadi pendidikan rendah (Tamat SD dan SMP) serta pendidikan tinggi (Tamat SMA dan Perguruan Tinggi). Lebih dari separuh ayah mempunyai pendidikan tinggi dan sebagian besar ibu menyelesaikan pendidikan pada kelompok pendidikan rendah (Tabel 6). Hasil uji Spearman antara pendidikan ayah dan pendidikan ibu dengan pemberian ASI menunjukkan

tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa baduta yang mendapatkan ASI eksklusif merupakan baduta yang memiliki ayah dengan pendidikan tinggi. Ibu yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) cenderung memberikan ASI ekslusif kepada anaknya (Tabel 6). Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status pekerjaan ibu dengan pemberian ASI. Hasil ini sejalan dengan penelitian Rachmadewi (2009) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara karakteristik ibu (usia, tingkat pendidikan, status kerja) dengan praktek ASI eksklusif.

Tabel 6 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga dan pemberian ASI Karakteristik keluarga Pemberian ASI Total

ASI eksklusif Non ASI ekklusif

Umur ibu (tahun) n % n % n % 20-40 (dewasa awal) 41-65 (dewasa tengah) 12 0 15.6 0 65 5 84.4 100.0 77 5 100.0 100.0 Total 12 14.6 70 85.4 82 100.0 Pendidikan ayah n % n % n % Pendidikan rendah Pendidikan tinggi 4 8 10.8 18.6 33 35 89.2 81.4 37 43 100.0 100.0 Total 12 15.0 68 85.0 80 100.0 Pendidikan ibu n % n % n % Pendidikan rendah Pendidikan tinggi 6 6 12.2 18.2 43 27 87.8 81.8 49 33 100.0 100.0 Total 12 14.6 70 85.4 82 100.0 Pekerjaan ibu n % n % n % Ibu bekerja

Ibu tidak bekerja (IRT) 2 10 20.0 13.9 8 62 80.0 86.1 10 72 100.0 100.0 Total 12 14.6 70 85.4 82 100.0 Besar keluarga n % n % n % ≤4 orang (kecil) 5-7 orang (sedang) >7 orang (besar) 6 6 0 10.5 25.0 0 51 18 1 89.5 75.0 100.0 57 24 1 100.0 100.0 100.0 Total 12 14.6 70 85.4 82 100.0 Pendapatan per kapita n % n % n % <Rp 252.496 ≥Rp 252.496 10 2 7.7 17.9 24 46 92.3 82.1 26 56 100.0 100.0 Total 12 14.6 70 85.4 82 100.0

Hasil uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pendapatan per kapita dengan pemberian ASI. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan per kapita dengan pemberian ASI. Hasil ini sejalan dengan penelitian Agam (2007) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian menunjukkan ibu yang termasuk dalam keluarga tidak miskin cenderung memberikan ASI eksklusif kepada anaknya (Tabel 6).

Inisiasi Menyusui Dini

Secara keseluruhan tidak lebih dari separuh baduta (34.1%) inisiasi menyusui dini pada saat bayi. Pada Tabel 7 ditunjukkan penyebab terbanyak ibu tidak melakukan inisiasi menyusui dini karena tidak dilakukan saat melahirkan di bidan (41.5%). Inisiasi menyusui dini (IMD) adalah perilaku pencarian puting payudara ibu sesaat setelah bayi lahir. IMD dapat melatih motorik bayi, dan sebagai tahap awal membentuk ikatan batin antara ibu dan anak (Prasetyono 2012). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, inisiasi menyusui dini kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 34.5%.

Status Pemberian Kolostrum

Kolostrum adalah air susu berupa cairan yang berwarna lebih kuning dan kental dibandingkan ASI setelahnya yang keluar pada hari pertama sampai hari ke-3 hingga minggu pertama sejak kelahiran bayi. Kolostrum lebih banyak mengandung protein, zat antivirus dan zat antibakteri, dibandingkan ASI setelahnya (Gupte 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar baduta (76.8%) telah diberikan kolostrum, sisanya (23.2%) tidak diberikan kolostrum (Tabel 7). Penyebab baduta tidak diberikan kolostrum antara lain karena perawatan medis, lahir caesar, ASI belum keluar, kolostrum tidak diberikan atau dibuang dan ibu tidak tahu ada tidaknya kolostrum serta ada juga karena anak tidak mau diberi kolostrum.

Frekuensi Pemberian ASI

Terdapat sepuluh langkah menuju keberhasilan pemberian ASI yang direkomendasikan oleh WHO, salah satunya adalah dengan mendorong pemberian ASI menurut permintaan bayi (WHO 1998). Saat bayi berusia 3-6 bulan frekuensi pemberian ASI berkurang hingga mencapai 7-8 kali sehari karena terjadi perubahan jam biologis, yaitu bayi mulai mampu tidur dalam waktu lebih lama (Perkins dan Vannais 2004). Sebagian besar ibu baduta (72%) memberikan ASI kepada bayinya dengan frekuensi ≥7 kali sehari dan sebesar 28% ibu memberikan ASI dengan frekuensi <7 kali sehari. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

ASI Eksklusif

ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi tanpa cairan lainnya seperti susu formula, jeruk, madu, teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat apapun seperti pisang, pepaya, bubur, bubur nasi dan tim sampai usia enam bulan (Roesli 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil ibu (14.6%) memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Angka ini masih berada di bawah angka nasional dan cakupan ASI eksklusif provinsi Jawa Barat dan belum memenuhi target nasional. Berdasarkan Riskesdas (2013), cakupan ASI eksklusif nasional sebesar 30.2% dan cakupan provinsi Jawa Barat sebesar 19.2%. Target nasional pemberian ASI eksklusif adalah 80%.

Sebagian besar ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif kepada anaknya disebabkan karena alasan ASI tidak keluar atau keluar sedikit, sudah diberi cairan atau susu formula, dibantu makanan lunak, sudah ditinggal bekerja, anak sudah tidak mau diberi ASI sebelum usia 6 bulan dan karena ibu baduta sakit. Sebagian besar baduta (41.5%) memiliki riwayat diberikan ASI predominan. WHO

mendefinisikan ASI predominan sebagai pemberian gizi pada bayi melalui pemberian ASI selama 6 bulan dengan tambahan pemberian cairan sebelum atau selama pemberian ASI. Penelitian Faisal et al. (2014) menyatakan sebesar 72.3% balita stunting dan 72.1 % balita normal di Cianjur, Jawa Barat mempunyai riwayat ASI predominan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegagalan pemberian ASI eksklusif disebabkan karena riwayat ASI predominan masih cukup tinggi.

Tabel 7 Sebaran baduta berdasarkan praktek pemberian ASI

Pemberian ASI n %

IMD Ya

Tidak dilakukan saat lahir di bidan Tidak karena caesar

Tidak karena lahir di rumah Tidak karena segera disusui Tidak karena perawatan medis

28 34 10 6 2 2 34.1 41.5 12.2 7.3 2.4 2.4 Total 82 100.0

Status pemberian kolostrum Ya

Tidak karena ibu tidak tahu

Tidak karena perawatan medis,cesar Tidak diberikan/ dibuang

Tidak karena ASI belum keluar

63 12 3 3 1 76.8 14.6 3.7 3.7 1.2 Total 82 100.0

Frekuensi pemberian ASI <7 kali ≥7 kali 23 59 28.0 72.0 Total 82 100.0 ASI Esklusif

ASI, diberi susu formula

ASI, diberi susu formula dan makanan lunak ASI, diberi makanan lunak

ASI, diberi cairan (air gula)

12 34 25 10 1 14.6 41.5 30.5 12.2 1.2 Total 82 100.0

Kesulitan menyusui (jawaban boleh lebih dari satu) Tidak ada kesulitan

Payudara bengkak Puting nyeri/lecet ASI keluar sedikit Puting tenggelam/datar

Payudara nyeri hebat dan panas

30 24 24 16 8 5 36.6 29.3 29.3 19.5 9.8 6.1 Solusi mengatasi kesulitan (jawaban boleh lebih dari satu)

Tidak melakukan solusi Mengkonsumsi ASIfit

Penarikan puting secara manual/dengan tangan atau memerah air susu

Lakukan kompres panas pada payudara. kemudian pijat Olesi puting dengan ASI agar terjaga dari kuman

Bayi disusui lebih sering dengan memperbaiki posisi dan pelekatannya 32 20 13 11 8 7 39.0 24.4 15.9 13.4 9.8 8.5

Tabel 7 Sebaran baduta berdasarkan praktek pemberian ASI (lanjutan)

Pemberian ASI n %

Pemberian susu formula sebelum pemberian ASI Tidak

Iya, karena kesulitan menyusui Iya, cesar/perawatan medis/ibu sakit Iya, karena dibantu susu formula Iya karena takut lapar/haus Iya, ditinggal bekerja/pergi-pergi

23 19 14 9 9 8 28.0 23.2 17.0 11.0 11.0 9.8 Total 82 100.0

Umur diberikan susu formula <6 bulan

≥6 bulan

Tidak atau belum diberikan susu formula

59 5 18 72.0 6.0 22.0 Total 82 100.0

Keunggulan ASI dibandingkan susu formula (jawaban boleh lebih dari satu)

ASI lebih baik daripada susu formula ASI baik untuk daya tahan tubuh ASI lebih sehat dari susu formula ASI baik untuk pertumbuhan

Zat gizi yang dimakan ibu terdapat dalam ASI Praktis

ASI lebih alami, susu formula ada bahan kimia Susu formula kadang tidak cocok untuk bayi ASI dan susu formula sama saja

ASI dan susu formula sama saja

39 19 12 10 9 8 2 8 47.6 23.2 14.6 10.9 12.2 9.7 2.4 9.7 Umur mulai diberikan MP-ASI

<6 bulan

≥6 bulan 36 46

43.9 56.1

Total 82 100.0

Status menyusui hingga saat penelitian Ya 12-18 bulan 19-24 bulan Tidak 12-18 bulan 19-24 bulan 32 19 13 18 39.0 23.2 15.9 21.9 Total 82 100.0

Kesulitan dalam pemberian ASI

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu (63.4%) mengalami kesulitan memberikan ASI (Tabel 7). Sebesar 36.6% tidak mengalami kesulitan memberikan ASI saat anak masih bayi. Kesulitan yang banyak dialami ibu yaitu payudara bengkak dan puting lecet, masing-masing sebesar 29.3%. Dibandingkan dengan penelitian Verawati (2012), kesulitan ibu dalam pemberian ASI dikarenakan pada saat kelahiran produksi ASI belum ada atau sedikit, gangguan pada ibu (melahirkan caesar) dan bayi lahir dengan berat rendah serta puting sakit dan bayi tidak mau menyusu.

Solusi mengatasi kesulitan

Pemberian ASI oleh ibu baduta pada saat anak masih bayi banyak yang menemui kesulitan sehingga para ibu melakukan beberapa solusi untuk mengatasi kesulitan tersebut. Solusi-solusi yang dilakukan oleh para ibu dikelompokkan sesuai dengan kesulitan yang ditemui. Kesulitan yang sering dialami para ibu yaitu payudara bengkak dan puting lecet. Solusi yang benar untuk mengatasi hal tersebut adalah bayi disusui lebih sering dengan memperbaiki posisi dan pelekatannya serta mengolesi puting dengan ASI agar terjaga dari kuman. Namun, hasil penelitian menunjukkan solusi yang dilakukan oleh para ibu yang paling banyak (24.4%) yaitu mengkonsumsi ASIfit baik untuk kelancaran ASI maupun untuk mengatasi kesulitan lain. Solusi-solusi lainnya dapat dilihat pada Tabel 7. Pemberian susu formula

Ibu yang memberikan susu formula kepada bayinya mempunyai alasan yang berbeda-beda. Sebanyak 28 % baduta tidak atau belum diberikan susu formula. Alasan terbanyak (23.2%) ibu memberikan susu formula karena pada awal pemberian ASI ibu kesulitan menyusui sehingga dibantu dengan susu formula. Pemberian susu formula biasanya dianjurkan oleh penolong persalinan. Penelitian Verawati (2012) menunjukkan pemberian susu formula pada bayi sebesar 33.3% dianjurkan oleh tenaga kesehatan, orang tua dan keluarga bayi.

MP-ASI

Umur awal diberikan MP-ASI dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi

dua yaitu <6 bulan dan ≥6 bulan. Sebagian besar baduta (56.1%) diberikan

MP-ASI pada usia ≥6 bulan (Tabel 7). Rata-rata usia awal diberikan MP-ASI adalah

5.02 ± 1.9 bulan. Menurut Muchtadi (2002), waktu yang baik dalam memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah saat usia 6 bulan. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini yang dilakukan oleh sebagian besar ibu bayi diduga karena tradisi yang diajarkan oleh orangtua dari ibu bayi dan pemikiran bahwa ASI saja tidak mencukupi kebutuhan bayi yang dapat menyebabkan bayi rewel jika hanya diberikan ASI (Syahab 2012).

Umur awal pemberian susu formula

Susu formula diberikan kepada bayi di usia yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini awal usia bayi diberikan susu formula dikelompokkan menjadi pemberian susu formula <6 bulan, ≥6 bulan dan tidak atau belum pernah diberikan susu formula. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar baduta (72.0%) diberi susu formula sebelum usia 6 bulan (Tabel 7). Sebesar 22.0 % baduta tidak atau belum diberikan susu formula. Pemberian susu formula dapat memaparkan bayi pada alergen dalam jumlah besar karena tidak tersedia zat antibodi. Pemaparan alergen secara dini cenderung meningkatkan risiko terjadinya reaksi alergi (Arisman 2000).

Keunggulan ASI dibandingkan susu formula

ASI mengandung semua zat gizi penting yang diperlukan bayi untuk tumbuh kembangnya, serta antibodi yang membantu membangun sistem kekebalan tubuh dalam masa pertumbuhannya (Prasetyono 2012). Kekurangan susu formula adalah jika dalam menyiapkan susu, botol tidak higienis,

memberikan susu formula lewat susu botol dapat menanamkan bibit penyakit ke dalam tubuh bayi (Arisman 2000). Berdasarkan Tabel 7, ibu yang menjawab ASI lebih baik daripada susu formula yaitu sebesar 90.3% dan sebesar 9.7% ibu baduta masih berasumsi bahwa susu formula sama baiknya dengan ASI. Alasan terbanyak (47.6%) mengapa ASI lebih baik dari susu formula karena ASI baik untuk daya tahan tubuh bayi. Alasan lain diantaranya ASI lebih sehat dari susu formula, ASI lebih alami, zat gizi yang dimakan ibu terdapat dalam ASI, ASI baik untuk pertumbuhan, praktis dan susu formula kadang tidak cocok untuk bayi. Status menyusui

Setelah bayi mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan, bayi diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap mendapatkan ASI sampai minimal usia 2 tahun. Pada saat penelitian, sebesar 39% baduta usia 12-18 bulan dan sebesar 15.9% baduta usia 19-24 bulan masih mendapatkan ASI (Tabel 7). Penelitan Helen Keller (2002) menyatakan bahwa lama pemberian ASI tidak hanya dipengaruhi dari produksi ASI yang dihasilkan tetapi juga faktor luar seperti dukungan dari keluarga, kondisi lingkungan sosial, dukungan dan sarana yang diberikan tenaga kesehatan (bidan dan kader posyandu).

Pola asuh makan

Praktik pemberian makan pada anak memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap kesehatan dan status gizi (Khomsan et al. 2009). Pola asuh makan diukur melalui cara menghidangkan makanan, situasi makan, cara memberi makan, memperkenalkan makanan baru, respon jika anak menolak makanan baru dan apakah anak menghabiskan makanan (Khomsan et al. 2013).

Tabel 8 Sebaran baduta menurut jawaban dari pertanyaan pola asuh makan

No Pertanyaan Ya Tidak

n % n % 1 Anak saya diberikan makanan pendamping sejak usia

6 bulan.

49 59.8 33 40.2

2 Sejak diberikan makanan pendamping, anak saya tetap terus diberi ASI

68 82.9 14 17.1

3 Saya memberikan/menyuapi langsung sampai makanan habis

55 67.1 27 32.9

4 Sebelum menyiapkan dan memberikan makan, saya mencuci tangan terlebih dahulu

72 87.8 10 12.2

5 Sebelum makan, saya mencuci tangannya terlebih dahulu

47 57.3 35 42.7

6 Sejak usia 12 bulan anak saya sudah makan makanan biasa (bukan bubur, makanan lunak dll) seperti makanan anggota keluarga lainnya

58 70.7 24 29.3

7 Anak saya makan 3-4 kali sehari 55 67.1 27 32.9 8 Setiap makan, anak diberikan lauk hewani (daging,

ikan, telur)

55 67.1 27 32.9

Tabel 8 Sebaran baduta menurut jawaban dari pertanyaan pola asuh makan

No Pertanyaan Ya Tidak

n % n % 10 Saya memberikan suplemen vitamin-mineral untuk

memenuhi asupan gizi yang dibutuhkan untuk anak

41 50.0 41 50.0

11 Saya mengkonsumsi suplemen vitamin-mineral karena baik untuk menambah kandungan nutrisi ASI

21 25.6 61 74.4

12 Saat anak sakit, saya tetap memberikan ASI 70 85.4 12 14.6 13 Saat anak sakit, saya memberikan makanan yang

lebih lunak dan yang disukai anak

60 73.2 22 26.8

14 Setelah anak sembuh dari sakit, saya memberikan makan lebih sering dari biasanya

33 40.2 49 59.8

Pertanyaan mengenai suplemen atau vitamin untuk ASI adalah yang paling sedikit (25.6%) dipraktekkan oleh ibu baduta (Tabel 8). Para ibu baduta merasa ASI yang diberikan sudah cukup lancar dan cukup zat gizinya sehingga mereka tidak perlu mengkonsumsi suplemen atau vitamin untuk ASI. Pertanyaan yang paling banyak dipraktekkan oleh ibu baduta (85.4%) adalah mengenai ASI yang tetap diberikan kepada anak yang sedang sakit.

Tabel 9 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga dan pola asuh makan Karakteristik keluarga Pola asuh makan Total

Kurang Sedang Baik

Dokumen terkait