• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pemberian ASI dan Pola Asuh Makan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Diare serta Tumbuh Kembang Baduta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pemberian ASI dan Pola Asuh Makan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Diare serta Tumbuh Kembang Baduta"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

LIRIS NURFI’AH ISTIYANINGRU

M

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI DAN POLA ASUH MAKAN DENGAN

KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) DAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pemberian ASI dan Pola Asuh Makan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Diare serta Tumbuh Kembang Baduta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasaal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Liris Nurfi’ah Istiyaningrum

NIM I14124013

(3)

ABSTRAK

LIRIS NURFI’AH ISTIYANINGRUM. Hubungan Pemberian ASI dan Pola Asuh Makan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Diare serta Tumbuh Kembang Baduta. Dibimbing oleh DADANG SUKANDAR dan KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI.

Prevalensi ASI eksklusif di Indonesia menurut Riskesdas 2010 sebesar 15,3%. Pemberian ASI yang tidak eksklusif dan pemberian makanan tambahan dibawah usia 6 bulan dapat mengakibatkan bayi mudah terserang penyakit infeksi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan pemberian ASI dan pola asuh makan dengan kejadian ISPA dan diare serta tumbuh kembang baduta. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study dengan baduta sebanyak 82 baduta. Data diambil dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran antropometri secara langsung. Data yang digunakan meliputi karakteristik baduta dan keluarga, pemberian ASI, pola asuh makan, kejadian ISPA dan diare serta tumbuh kembang baduta. Uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara karakteristik keluarga dengan pemberian ASI dan pola asuh makan, namun terdapat hubungan signifikan (p<0.05) antara pendapatan per kapita dengan pola asuh makan. Baduta yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dan mendapatkan pola asuh makan kurang, cenderung lebih banyak yang mengalami ISPA dan diare dalam satu bulan terakhir. Baduta yang mendapatkan ASI eksklusif cenderung memiliki pertumbuhan normal dan memiliki perkembangan yang sesuai. Baduta yang memiliki pertumbuhan normal akan cenderung memiliki perkembangan yang sesuai.

Kata kunci : ASI, Diare, ISPA, Perkembangan, Pertumbuhan, Pola asuh makan

ABSTRACT

LIRIS NURFI’AH ISTIYANINGRUM. Relationship of Breastfeeding and Feeding Care Pattern with Acute Respiratory Tract Infection, Diarrhea, Growth and Development of Children under Two Year. Supervised by DADANG SUKANDAR and KARINA RAHMADIA E.

(4)

and diarrhea in the past month. Children who were exclusively breastfed tend to had normal growth and had the appropriate development. Children who had normal growth will tend to had the appropriate development.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

LIRIS NURFI’AH ISTIYANINGRUM

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI DAN POLA ASUH MAKAN DENGAN

KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) DAN

(6)
(7)

Judul : Hubungan Pemberian ASI dan Pola Asuh Makan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Diare serta Tumbuh Kembang Baduta

Nama : Liris Nurfi’ah Istiyaningrum NIM : I14124013

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Dadang Sukandar, M Sc Pembimbing I

dr Karina Rahmadia E, M Gizi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, nikmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2014 di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dengan judul Hubungan Pemberian ASI dan Pola Asuh Makan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Diare serta Tumbuh Kembang Baduta.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan karya ilmiah ini, terutama kepada :

1.Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

2.dr Karina Rahmadia Ekawidyani, MGizi sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

3.Dr Ir Lilik Kustiyah, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji atas semua saran dan masukannya demi kesempurnaan skripsi ini.

4.Ahli Gizi, bidan, kader posyandu Kuntum Mekar dan rekan-rekan penelitian yang telah membantu selama pengumpulan data.

5.Ayah, ibu, kakak dan keluarga besar tercinta atas segala dukungan moril, materi, doa, dan kasih sayangnya.

6.Teman-teman Alih Jenis Departemen Gizi Masyarakat angkatan 6 atas segala dukungan yang telah diberikan.

7.Nida Nadia, Anisyah Citra, Titis Susiloyanti, Astri Sekar, Irma Febriyanti, Fajar Safitri, Agung Kurnia dan Gunawan Wibisono atas segala doa, semangat, kritik, saran dan persahabatannya.

Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah penelitian ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2015

(9)

DAFTAR ISI

PRAKATA vi

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 3

Kegunaan Penelitian 3

KERANGKA PEMIKIRAN 4

METODE PENELITIAN 6

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 6

Cara Penarikan Baduta 6

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 7

Pengolahan dan Analisis Data 9

Definisi Operasional 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Keadaan Umum Lokasi 13

Karakteristik Baduta 14

Karakteristik Keluarga 15

Pemberian ASI 17

Pola Asuh Makan 23

Kejadian ISPA dan Diare 28

Tumbuh Kembang Anak Baduta 31

Pertumbuhan dan perkembangan 36

SIMPULAN DAN SARAN 38

Simpulan 38

Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN 43

RIWAYAT HIDUP 44

(10)

DAFTAR TABEL

1 Penarikan contoh penelitian 7

2 Jenis dan cara pengumpulan data 8

3 Pengkategorian berdasarkan variabel penelitian 10 4 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik anak baduta 15 5 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga 16 6 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga dan pemberian ASI 18

7 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI 20

8 Sebaran baduta menurut jawaban dari pertanyaan pola asuh makan 23 9 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga dan pola asuh makan 24 10 Sebaran baduta berdasarkan asupan energi sehari 25 11 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan serealia dan

umbi-umbian 26

12 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan protein hewani 26 13 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan protein nabati 26 14 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan sayur 27 15 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan buah 27 16 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok makanan jajanan 28 17 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok minuman 28 18 Sebaran baduta berdasarkan kejadian ISPA dan diare 29 19 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI dan kejadian ISPA 29 20 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI dan kejadian diare 30 21 Sebaran baduta berdasarkan pola asuh makan dan kejadian ISPA 30 22 Sebaran baduta berdasarkan pola asuh makan dan diare 31 23 Sebaran baduta berdasarkan pertumbuhan menurut BB/PB 31 24 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI dan pertumbuhan menurut

BB/PB 32

25 Sebaran baduta berdasarkan pola asuh makan dan pertumbuhan

menurut BB/PB 32

26 Sebaran baduta berdasarkan pertumbuhan menurut BB/U 32 27 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI dan pertumbuhan menurut

BB/U 33

28 Sebaran baduta berdasarkan pola asuh makan dan pertumbuhan

menurut BB/U 33

29 Sebaran baduta berdasarkan pertumbuhan menurut PB/U 34 30 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI dan pertumbuhan menurut

PB/U 34

31 Sebaran baduta berdasarkan pola asuh makan dan pertumbuhan

menurut PB/U 35

(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian pemberian ASI dan pola asuh makan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare serta tumbuh

kembang baduta 5

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis Spearman antara karakteristik keluarga dengan pemberian

ASI dan pola asuh makan 43

2 Hasil analisis Spearman antara pemberian ASI dan pola asuh makan

dengan ISPA dan diare 43

3 Hasil analisis Spearman antara pemberian ASI dan pola asuh makan

dengan tumbuh kembang 43

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak sehat, kuat dan cerdas sebagai harapan bangsa membutuhkan pemantauan dalam pertumbuhan dan perkembangannya (Kemenkes 2014). Seorang anak yang sehat dan kuat akan membentuk generasi yang berkualitas sebagai modal untuk dapat bersaing di tingkat internasional. Maka dari itu diperlukan generasi penerus bangsa yang tangguh dan bermutu. Langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan memperhatikan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif untuk bayi (Roesli 2000). Selain itu gizi juga merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan kualitas sumberdaya manusia. Zat gizi sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak balita (Faisal et al. 2014).

Berdasarkan Riskesdas tahun 2013 prevalensi berat kurang pada balita secara nasional adalah 19.6 % yang terdiri dari 5.6 % gizi buruk dan 13.9 % gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2010 (17.9 %) terlihat ada peningkatan lagi setelah terjadi penurunan prevalensi dari tahun 2007(18.4%). Peningkatan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 4.9% tahun 2010 menjadi 5.6 % pada tahun 2013 atau naik sebesar 0.7 % dan prevalensi gizi kurang yaitu dari 13.0 % tahun 2010 menjadi 13.9% tahun 2013 atau naik sebesar 0.9 %. Peningkatan kemungkinan disebabkan prevalensi ASI eksklusif yang masih rendah. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDGs tahun 2015 yaitu 15.5 % maka prevalensi berat kurang secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 4.1 % dalam periode 2013 sampai 2015.

ASI mengandung zat kekebalan (antibodi), mengoptimalkan pertumbuhan sel otak, serta meminimalkan terjadinya alergi pada bayi. ASI mengandung keseimbangan gizi sempurna untuk bayi berbeda dengan susu formula (Kemenkes 2010). Berdasarkan Riskesdas (2013) persentase pemberian ASI saja dalam 24 jam terakhir dan tanpa riwayat diberikan makanan prelakteal sampai usia 6 bulan adalah sebesar 30.2 %. Rekomendasi dari WHO mengenai pemberian ASI yang benar yaitu pemberian ASI eksklusif sejak bayi lahir sampai berusia enam bulan.

Bayi yang mendapatkan ASI jarang menderita sakit bila dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula (Roesli 2000). Hasil penelitian Dewi (2010) menunjukkan bahwa proporsi balita yang mendapat ASI tidak eksklusif dan didiagnosis menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah sebesar 85.4% pada baduta berusia 6-24 bulan di Puskesmas Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Sementara proporsi balita yang mendapatkan ASI eksklusif dan didiagnosis menderita ISPA sebesar 80.6%.

(13)

sistem pertahanan tubuh yang selanjutnya dapat menyebabkan gangguan gizi (Rachmi 2005).

Pada awal kehidupan, pengasuh mempunyai peran sangat penting salah satunya dalam melakukan pola asuh makan yang baik. Pola asuh makan meliputi siapa orang yang menyiapkan makan, praktek pemberian makan, pengawasan ibu ketika tidak disuapi, penentu jadwal makan. Selain itu cara menghidangkan makanan, situasi makan, cara memberi makanan, memperkenalkan makanan baru, respon menolak makanan baru dan apakah anak menghabiskan makanan juga diukur untuk melihat pola asuh makan (Khomsan et al. 2013).

Status gizi berdasarkan tinggi badan menurut usia berhubungan positif signifikan dengan pola asuh makan, pengetahuan gizi ibu serta konsumsi energi protein. Konsumsi zat gizi makro seperti konsumsi energi dan protein mempunyai peran penting dalam menentukan status gizi anak karena secara langsung dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Keadaan pola asuh makan dapat menggambarkan seberapa besar asupan gizi yang diterima oleh anak yang nantinya akan berpengaruh terhadap status gizinya (Khomsan et al. 2013). Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Makanan yang dikonsumsi harus mengandung berbagai bahan penting seperti protein dan lemak untuk pertumbuhan, vitamin untuk membantu anak melawan penyakit, yodium untuk perkembangan yang sehat bagi otak anak dan zat besi untuk mencegah anemia (Kemenkes 2010).

Status gizi berdasarkan berat badan menurut usia berpengaruh positif terhadap perkembangan kognitif anak. Anak dengan status gizi yang baik cenderung memiliki perkembangan kognitif yang baik pula (Khomsan et al. 2013). Perkembangan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan. Berkembangnya berbagai proses mental didukung oleh pertumbuhan dan kematangan sel-sel otak. Bila pertumbuhan dan kematangan sel-sel otak belum optimal, perkembangan kognitif juga tidak optimal (Papalia et al. 2008).

Pemberian ASI Eksklusif sampai bayi berusia enam bulan akan menjamin tercapainya pengembangan potensi kecerdasan anak secara optimal. Hal ini karena selain sebagai gizi yang ideal, dengan komposisi yang tepat, serta disesuaikan dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung gizi-gizi khusus yang diperlukan otak bayi agar tumbuh optimal. ASI Eksklusif yang diberikan pada bayi akan memenuhi kebutuhan awal untuk tumbuh kembang baik fisik, kepandaian, emosional, spiritual, maupun sosialisasinya (Roesli 2000).

Pemberian ASI eksklusif dan pola asuh makan berperan penting untuk kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji keterkaitan antara pemberian ASI dan pola asuh makan pada baduta dengan kejadian ISPA dan diare serta tumbuh kembang anak.

Tujuan

Tujuan Umum

(14)

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini meliputi :

1. Mengidentifikasi karakteristik baduta dan keluarga baduta 2. Mengidentifikasi pemberian ASI

3. Mengidentifikasi pola asuh makan

4. Mengidentifikasi kejadian penyakit ISPA dan diare pada baduta 5. Mengidentifikasi tumbuh kembang baduta

6. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan pemberian ASI dan pola asuh makan baduta

7. Menganalisis hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA dan diare serta tumbuh kembang baduta

8. Menganalisis hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian ISPA dan diare serta tumbuh kembang baduta

9. Menganalisis hubungan antara pertumbuhan dengan perkembangan.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan pemberian ASI dan pola asuh makan baduta.

2. Terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA dan diare serta tumbuh kembang baduta.

3. Terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian ISPA dan diare serta tumbuh kembang baduta.

4. Terdapat hubungan antara pertumbuhan dengan perkembangan

Kegunaan

(15)

KERANGKA PEMIKIRAN

Salah satu indikator sumberdaya manusia yang berkualitas dapat dilihat dari tingkat kecerdasannya. Generasi yang cerdas dapat meningkatkan sumberdaya manusia untuk bersaing di tingkat internasional dan dapat memajukan bangsa. Menciptakan generasi yang cerdas merupakan salah satu manfaat pemberian ASI eksklusif.

Pemberian ASI eksklusif adalah hal yang berperan penting dalam menentukan daya tahan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan anak. Keputusan ibu dalam memberikan ASI eksklusif dapat berkaitan dengan pengetahuan ibu terhadap ASI, namun juga berkaitan dengan karakteristik keluarga seperti besar keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua. Tetapi dalam penelitian ini pengetahuan ibu tidak diteliti.

Orang tua memiliki peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan anak. Besar keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua dapat menentukan pada praktek pemberian ASI dan pola pengasuhan. Pola asuh makan mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan. Perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak.

Faktor terpenting dalam proses pertumbuhan termasuk pertumbuhan otak adalah zat gizi yang diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas zat gizi secara langsung juga dapat mempengaruhi pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak anak dapat dilihat melalui perkembangannya salah satunya perkembangan motorik anak. Selain faktor pemberian makan terhadap anak, faktor anak yang meliputi usia dan jenis kelamin turut berpengaruh terhadap tumbuh kembang pada baduta.

(16)

Gambar 1 Kerangka pikir pemberian ASI, pola asuh makan, penyakit infeksi dan tumbuh kembang baduta

Pemberian ASI Pola Asuh Makan

Karakteristik Keluarga

 Besar keluarga

 Usia orang tua

 Pendidikan orang tua

 Pekerjaan orang tua

 Pendapatan keluarga

Pengetahuan Gizi Ibu

Penyakit Infeksi

ISPA

Diare

Tumbuh kembang baduta

Imunisasi Karakteristik

Baduta

 Umur

 Jenis kelamin

Keterangan :

(17)

METODE

Desain, Tempat dan Waktu

Desain penelitian ini adalah cross sectional study yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu. Penelitian dilakukan di Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi didasarkan pada rekomendasi dari Puskesmas Ciampea dengan pertimbangan bahwa Cibanteng memiliki jumlah balita yang cukup tinggi dan jarak menuju tempat penelitian lebih dekat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2014.

Cara Penarikan Contoh

Baduta diambil secara purposif berdasarkan data balita seluruh posyandu di Cibanteng yang diperoleh dari Puskesmas Ciampea. Baduta pada penelitian ini adalah anak baduta yang termasuk ke dalam kriteria inklusi. Kriteria inklusi baduta yang digunakan adalah baduta berusia 12-24 bulan yang pernah atau sedang mendapatkan ASI dan pengasuh utama adalah ibu. Responden dalam penelitian ini adalah ibu baduta yang terpilih sebagai baduta dalam penelitian.

Jumlah baduta yang diambil dihitung menggunakan estimasi proporsi yang dilakukan pada 12 posyandu dan diperoleh sebanyak 76 anak dengan rumus sebagai berikut :

n0 (baduta) =

=

= 96 n (baduta) =

=

= 76 Keterangan

⁄ = Nilai peubah arah Z sehingga p (Z ≥ ⁄ ) P = Prevalensi ISPA (proporsi 50 % )

d = Presisi mutlak (10%=0,10) n = Ukuran contoh

N = Ukuran populasi

Penarikan contoh pada masing-masing posyandu dilakukan dengan rumus sebagai berikut :

(18)

Keterangan :

= Jumlah baduta pada posyandu ke- i Ni = Banyaknya balita di posyandu ke- i N = Jumlah populasi baduta usia 12-24 bulan n = Jumlah baduta

Tabel 1 Penarikan contoh penelitian Posyandu Jumlah baduta

Kuntum mekar 1 25 6

Kuntum mekar 2 26 6

Kuntum mekar 3 28 6

Kuntum mekar 4 34 8

Kuntum mekar 5 37 8

Kuntum mekar 6 35 8

Kuntum mekar 7 31 7

Kuntum mekar 8 31 7

Kuntum mekar 9 20 5

Kuntum mekar 10 25 6

Kuntum mekar 11 52 11

Kuntum mekar 12 17 4

Total baduta 361 82

Total baduta diperoleh sebanyak 82 anak dari penjumlahan proporsi baduta dari masing-masing posyandu yang sudah dibulatkan ke atas.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data primer meliputi karakteristik baduta, karakteristik keluarga, pemberian ASI, pola asuh makan, riwayat penyakit ISPA dan diare, data konsumsi baduta dengan recall 2x24 jam dan FFQ (Food Frequency Questionnaire) diambil melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data antropometri baduta diambil dengan mengukur BB dan PB. Data perkembangan baduta diambil dengan observasi langsung. Pengukuran pemberian ASI dengan 10 pertanyaan yang meliputi aspek inisiasi menyusui dini(IMD), pemberian kolostrum, frekuensi anak diberikan ASI saat bayi, pemberian ASI eksklusif, pemberian susu formula dan makanan prelakteal.

Pola asuh makan diukur dengan 14 pertanyaan tertutup, yang terdiri atas aspek durasi pemberian ASI dan usia dikenalkan makanan pendamping, perawatan menyusui, responsive feeding, persiapan dan penyimpanan, food consistency, frekuensi makan dan kepadatan energi, kandungan gizi makanan pendamping, penggunaan suplemen vitamin-mineral atau produk fortifikasi serta pemberian makan anak selama dan setelah sakit. Total skor untuk jawaban yang benar kemudian dipersentasekan terhadap jumlah nilai maksimum yaitu 14.

(19)

tidaknya anak menderita penyakit ISPA dan diare dalam satu bulan terakhir serta frekuensi dan lama sakit.

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data berdasarkan variabel

No Variabel Jenis data Cara pengumpulan data

1 Karakteristik baduta Usia

2 Karakteristik keluarga Usia ibu

IMD, ASI eksklusif, kolostrum, lama pemberian ASI, susu

Usia diperkenalkan makanan pendamping, perawatan menyusui, responsive feeding, persiapan dan penyimpanan, jumlah makanan, food consistency, frekuensi makan dan kepadatan energi, kandungan gizi makanan pendamping, penggunaan suplemen vitamin-mineral atau produk fortifikasi, pemberian makan selama dan

5 Riwayat penyakit ISPA dan diare Periode dan frekuensi penyakit ISPA dan diare

Primer Pengukuran langsung

7 Perkembangan anak Primer Pengukuran dengan instrumen KPSP 8 Data jumlah balita Desa

Cibanteng

Sekunder Data dari Puskesmas

9 Keadaan umum lokasi Sekunder Data dari kantor desa setempat

(20)

menggendong baduta. Hasil diperoleh dari hasil penimbangan responden dengan baduta dikurangi hasil penimbangan responden tanpa baduta.

Panjang badan baduta diukur menggunakan alat pengukur panjang badan. Pengukuran panjang badan harus dilakukan oleh dua orang. Baduta dibaringkan telentang pada alas yang datar. Kepala baduta menempel pada pembatas angka 0. Selanjutnya petugas 1(ibu) memegang kepala baduta agar tetap menempel pada pembatas angka 0 (pembatas kepala). Petugas 2 menekan lutut baduta agar lurus dengan tangan kiri dan menekan batas kaki ke telapak kaki dengan tangan kanan serta membaca angka di tepi di luar pengukur (Depkes 2005). Bagi baduta yang tidak bisa diukur menggunakan alat pengukur panjang badan, maka baduta diukur dengan menggunakan microtoise, dengan penambahan 0,7 cm pada hasil pengukuran (Supariasa 2001).

Data perkembangan baduta diperoleh dari form pertanyaan tentang kemampuan perkembangan yang telah dicapai anak meliputi aspek gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian (Depkes 2005). Pengukuran perkembangan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak. Terdapat dua jenis pertanyaan pada KPSP, yaitu berupa pertanyaan dan berupa perintah. Pertanyaan cukup dijawab oleh orang tua dan perintah yang ditujukan kepada anak atau orangtua untuk melaksanakan tugas seperti yang tertulis pada KPSP (Lampiran 2).

Data sekunder yang digunakan adalah data jumlah balita yang diperoleh dari puskesmas Ciampea, dan keadaan umum wilayah yang diperoleh dari kantor desa setempat. Selengkapnya jenis-jenis data primer dan sekunder yang dikumpulkan secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data nominal, ordinal dan rasio. Data nominal meliputi data jenis kelamin, IMD, status kolostrum, kesulitan dan solusi menyusui, pemberian susu formula dan status menyusui. Data ordinal adalah besar keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, frekuensi pemberian ASI dan status ASI eksklusif. Data rasio meliputi data usia baduta dan usia ibu, berat lahir, pendapatan per kapita, usia baduta mulai diberi susu formula dan diberi MP-ASI, kejadian ISPA dan diare, pola asuh makan, pertumbuhan serta perkembangan.

Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Pengolahan data meliputi coding, entry dan cleaning. Penyusunan kode dilakukan sebagai panduan entri dan pengolahan data, kemudian dilakukan entri data dan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Selanjutnya, data diolah menggunakan program komputer Microsoft Excel.

(21)

Tabel 3 Pengkategorian berdasarkan variabel penelitian

No Variabel Kategori Sumber pengukuran 1 Usia anak (tahun dan

bulan)

12-18 bulan

2 Berat badan lahir <2500 gram

≥2500 gram

3 Usia ibu (tahun) 20-40 (dewasa awal) 41-65 (dewasa tengah) >65 (dewasa tua)

Papalia, Olds dan Fieldman (2008)

4 Pendidikan orang tua Tidak sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT

Latifa (2007)

5 Pekerjaan ayah Tidak bekerja Buruh Pedagang PNS/TNI/Polisi Pegawai swasta 6 Pekerjaan ibu Ibu bekerja

Ibu tidak bekerja (Ibu rumah tangga)

7 Besar keluarga ≤4 orang (kecil) 5-7 orang (sedang) >7 orang (besar)

BKKBN (2007)

8 Pendapatan keluarga <Rp 252.496 (miskin)

≥Rp 252.496 (tidak miskin)

BPS Jawa Barat (2011)

9 Pola asuh makan >80% (Baik) 60-80% (Sedang) <60% (Kurang)

Khomsan (2000)

10 Pertumbuhan BB/PB

BB/U

PB/U

z >2 (Gemuk) z ≥-2 s/d ≤2 (Normal) z ≥-3 s/d <-2 (Kurus) z <-3 (Sangat kurus) z >2 (Gizi lebih) z ≥-2 s/d ≤ 2 (Gizi baik) z≥-3 s/d <-2 (Gizi kurang) z <-3 (Gizi buruk)

z ≥-2 (Normal) z ≥-3 s/d <-2 (Pendek) z <-3 (Sangat pendek)

WHO 2005

11 Perkembangan 9-10(Sesuai) 7-8(Meragukan)

≤6 (Penyimpangan)

Depkes RI (2005)

(22)

dengan memberi nilai setiap pertanyaan benar dengan nilai satu (1) dan untuk jawaban salah diberi nilai nol (0). Total skor untuk jawaban yang benar kemudian dipersentasekan terhadap jumlah nilai maksimum (14) dan selanjutnya dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu baik apabila persentase jawaban benar >80%, cukup baik apabila persentase hasil 60-80% dan kurang apabila persentase hasil jawaban benar <60% (Khomsan 2000).

Asupan energi sehari diperoleh dari menghitung rata-rata asupan energi pangan (tanpa ASI) hari biasa dan hari libur. Kemudian hasil rata-rata dikelompokkan menjadi kurang (<1200 kkal) dan cukup (≥1200 kkal). Berikut adalah rumus yang digunakan dalam menghitung asupan zat gizi :

Keterangan:

Kgij = Kandungan zat-zat gizi-i dalam bahan makanan-j Bj = Berat makanan-j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan-j BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan

Frekuensi pangan baduta dikelompokkan berdasarkan pangan serealia dan umbi-umbian, pangan protein hewani, pangan protein nabati, pangan sayur, pangan buah-buahan, makanan jajanan dan minuman. Frekuensi pangan per hari, per minggu dan per tahun dikonversikan menjadi frekuensi pangan per bulan.

Pengukuran kejadian ISPA dan diare diperoleh dari menghitung skor morbiditas yaitu mengalikan frekuensi sakit dengan rata-rata lama sakit dalam satu bulan terakhir. Sebelum menghitung skor morbiditas frekuensi sakit dikelompokkan menjadi ≤ 2 kali dan >2 kali. Rata-rata lama sakit dikelompokkan menjadi ≤ 10 hari dan >10 hari (Yuliana 2004).

Pertumbuhan diukur berdasarkan indeks BB/PB, BB/U, dan PB/U. Status gizi dikategorikan menurut z-score dengan software WHO-Anthro. Klasifikasi berdasarkan z-score dapat dilihat pada Tabel 3.

Dalam pengukuran perkembangan jumlah jawaban ya dimasukkan dalam kategori sesuai bila jawaban ya sebanyak 9-10, meragukan bila jawaban ya sebanyak 7-8 dan penyimpangan bila jawaban ya ≤ 6 (Depkes 2005).

Analisis yang dilakukan berupa analisis deskriptif dan inferensia menggunakan SPSS for Windows. Analisis deskriptif untuk menggambarkan sebaran variabel yang diteliti berdasarkan persen dan rataan, sedangkan analisis inferensia yang digunakan adalah uji korelasi Spearman . Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan pemberian ASI dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA dan diare, hubungan antara karakteristik keluarga dengan pola asuh makan, pola asuh makan dengan kejadian ISPA dan diare, pemberian ASI dengan tumbuh kembang, pola asuh makan dengan tumbuh kembang serta pertumbuhan dengan perkembangan.

(23)

Definisi Operasional

ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu selama enam bulan pertama usia bayi tanpa pemberian makanan atau minuman lain, kecuali suplemen vitamin atau mineral dan obat.

Besar keluarga adalah jumlah anggota pada suatu keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu dan anak.

Diare adalah gangguan buang air besar dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir, yang pernah diderita atau sedang diderita anak.

Frekuensi pemberian asi adalah banyaknya atau berapa kali bayi diberi ASI dalam sehari.

Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan, yang pernah diderita atau sedang diderita anak.

Inisiasi menyusui dini adalah proses pencarian puting payudara ibu oleh bayi sesaat setelah bayi lahir.

Kesulitan pemberian ASI adalah masalah yang ditemui oleh ibu saat memberikan ASI kepada bayinya.

Keunggulan ASI dibandingkan susu formula adalah beberapa keadaan lebih unggul ASI daripada susu formula yang diketahui oleh ibu bayi.

Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) adalah daftar pertanyaan singkat kepada orang tua atau perintah kepada anak untuk untuk mengetahui kemampuan perkembangan yang telah dicapai oleh anak. MP-ASI adalah riwayat pemberian makanan dan minuman tambahan lain sebagai

tambahan di samping pemberian ASI yang mencakup usia bayi pertama kali diberikan makanan tambahan.

Pekerjaan orangtua adalah jenis pekerjaan utama yang dilakukan orang tua, dikategorikan menjadi ibu bekerja dan ibu tidak bekerja (ibu rumah tangga).

Pemberian ASI adalah praktek yang menggambarkan kualitas dan kuantitas serta lamanya pemberian ASI eksklusif maupun non eksklusif oleh ibu terhadap anaknya.

Pemberian susu formula adalah praktek yang menggambarkan alasan ibu memberika susu formula kepada anaknya sebelum usia enam bulan.

Pendapatan per kapita adalah jumlah pendapatan perbulan yang dihasilkan oleh kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya dibagi jumlah keluarga. Pendidikan orangtua adalah tingkat pendidikan formal orang tua yang pernah

ditempuh yang dikategorikan menjadi tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA dan tamat perguruan tinggi.

Penyakit infeksi adalah riwayat yang menggambarkan pernah tidaknya anak terjangkit penyakit infeksi(meliputi ISPA dan diare), lama dan frekuensi sakit satu bulan terakhir.

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh berupa tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.

(24)

Pola asuh makan adalah pola asuh ibu yang berkaitan dengan praktek pemberian makan, frekuensi makan dan sikap ibu dalam memberikan makan, serta jumlah dan jenis yang makanan yang diberikan kepada anak.

Solusi mengatasi kesulitan adalah penyelesaian masalah yang dilakukan oleh ibu saat menemui kesulitan dalam memberikan ASI.

Status menyusui adalah kondisi pemberian ASI dari lahir hingga pada saat penelitian berlangsung.

Status pemberian kolostrum adalah pemberian cairan pertama kali keluar dari payudara ibu yang diberikan kepada bayi yang berwarna kuning.

Susu formula adalah cairan atau bubuk dengan formula tertentu yang diberikan pada bayi dan anak-anak yang berfungsi sebagai pengganti ASI atau sebagai tambahan jika produksi ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi. Umur anak adalah usia anak pada saat penelitian berlangsung dengan satuan

bulan, sesuai catatan kelahiran.

Umur orangtua adalah usia orangtua pada saat penelitian berlangsung dengan satuan tahun, sesuai kartu identitas.

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Desa Cibanteng merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 162.185 Ha, terdiri dari 45 RT (Rukun Tetangga) dan 8 RW (Rukun Warga) dengan luas area pesawahan 20.9 Ha dan tanah atau daratan seluas 141.285 Ha. Desa Cibanteng berbatasan dengan Desa Benteng di sebelah utara, Desa Babakan di sebelah timur, Desa Cihideung Ilir dan Cihideung Udik di sebelah selatan, serta Desa Bojong Jengkol di sebelah barat. Desa Cibanteng terletak kurang lebih 3 km sebelah barat kampus IPB Dramaga dengan populasi penduduk sekitar 12 655 jiwa. Disamping bidang pertanian, di desa ini banyak terdapat pengrajin atau pengumpul besi.

Sebagian besar penduduk Desa Cibanteng bermata pencaharian sebagai buruh harian, sedangkan pendidikan penduduk lebih banyak berada pada tingkat SD/MI. Jika dilihat dari jumlah tenaga kesehatan yang ada di Desa Cibanteng, maka sebagian besar tenaga kesehatan yang tersedia adalah kader posyandu yang dibantu oleh seorang bidan desa. Idealnya, sebuah posyandu mempunyai kader minimal lima orang. Akan tetapi, di Desa Cibanteng, cukup sulit mencari kader yang mau menjadi sukarelawan di sebuah posyandu. Hanya terdapat beberapa kader yang aktif, bahkan terdapat seorang kader yang harus bertugas di beberapa posyandu. Secara keseluruhan hanya terdapat 40 kader yang terdaftar di kantor desa yang tersebar di seluruh posyandu yang ada di Desa Cibanteng.

Desa Cibanteng memiliki 12 posyandu yang tersebar di 8 RW. Menurut data sasaran proyeksi UPT Puskesmas Kecamatan Ciampea tahun 2014 terdapat 1322 anak balita. Berdasar data penimbangan balita tingkat posyandu di Cibanteng bulan Februari tahun 2014 terdapat 361 anak baduta usia 12-24 bulan. Angka kesakitan ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ciampea untuk Desa Cibanteng pada tahun 2013 yaitu sebanyak 1058 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 899 jiwa berjenis kelamin perempuan.

Jumlah balita di masing-masing posyandu beragam. Akan tetapi belum terdapat pendataan yang baik mengenai jumlah pasti balita yang terdaftar di masing-masing posyandu. Bahkan pendataan penimbangan balita setiap bulan dapat berbeda-beda, sehingga cukup sulit untuk mengetahui berapa jumlah pasti balita yang terdaftar di masing-masing posyandu tersebut. Tidak semua posyandu mempunyai tempat khusus untuk pelayanan kesehatan, masih terdapat beberapa kegiatan posyandu yang dilakukan dirumah warga atau kader dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Jadwal posyandu biasanya berubah setiap bulan menyesuaikan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan di desa.

(26)

Karakteristik Baduta

Periode yang sangat penting dalam masa pertumbuhan anak adalah usia bawah dua tahun karena anak sedang mengalami pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan selanjutnya (Nurlinda 2013). Karakteristik baduta yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin dan berat badan lahir. Usia baduta pada penelitian ini berkisar antara 12-24 bulan dengan rata-rata usia adalah 17.9 ± 4.2 bulan (Tabel 4). Anak baduta yang menjadi sampel tersebar hampir merata berdasarkan jenis kelamin. Menurut Astari (2006) jenis kelamin memiliki hubungan dalam mengontrol pertumbuhan dan status gizi bayi. Bayi laki-laki lebih berat dan panjang dibandingkan dengan bayi perempuan.

Berat badan lahir anak menggambarkan keadaan perkembangan prenatal. Proses perkembangan sistem syaraf terjadi bersamaan dengan pembentukan organ-organ eksternal janin (Dariyo 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar baduta (90,2%) memiliki riwayat berat badan lahir normal dan hanya sebagian kecil (9.8%) yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah yaitu berat badan <2 500 g. Rata-rata berat lahir baduta adalah 3 129.2 ± 638.1 g. Berat lahir terbesar adalah 4 700 g dan yang terkecil adalah 1 700 g.

Tabel 4 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik baduta Karakteristik Baduta n % Usia (bulan)

12-18 19-24

45 37

54.9 45.1

Total 82 100.0

Rata-rata ± SD ; Min; Max 17.9 ± 4.2 ; 12 ; 24 Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

43 39

52.4 47.6

Total 82 100.0

Berat badan lahir (gram) <2 500

≥2 500 74 8

9.8 90.2

Total 82 100.0

Rata-rata ± SD ; Min ; Max 3129.2 ± 638.1 ; 1700 ; 4700

Karakteristik Keluarga

(27)

sebagian besar pendidikan ayah (43.7%) telah mencapai sekolah menengah atas (SMA). Sebagian besar ibu (34.1%) menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Sementara itu, masih terdapat ibu baduta yang tidak sekolah (2.4%).

Tabel 5 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga n %

Umur Ibu (tahun)

Ibu tidak bekerja(ibu rumah tangga)

10 5-7 orang (keluarga sedang) >7 orang (keluarga besar)

57 Pendapatan per kapita (rupiah/bulan)

(28)

Sebagian besar pekerjaan ayah (48.7%) adalah pegawai swasta (Tabel 5). Sebagian besar ibu (87.8%) merupakan ibu yang tidak bekerja, sedangkan sisanya (12.2%) merupakan ibu yang bekerja. Sebagian ibu baduta yang bekerja yaitu sebagai pegawai swasta, pedagang dan buruh. Menurut Santrock (2007) bekerja dapat menghasilkan pengaruh yang positif dan negatif pada pengasuhan dan status kesehatan bayi. Pengaruh positif dari ibu yang bekerja yaitu perasaan sejahtera karena bekerja dapat menghasilkan kualitas pengasuhan yang lebih positif dan akan memperbaiki status gizi pada bayi. Pengaruh negatif dari ibu yang bekerja adalah dapat menimbulkan perasaan stres dari bekerja yang dapat membahayakan pengasuhan dan status gizi pada bayi.

Besar keluarga baduta berkisar antara 3-8 orang dengan rata-rata 4.1±1.2 orang. Lebih dari separuh baduta (69.5%) memiliki keluarga kecil dengan jumlah

anggota keluarga ≤4 orang (Tabel 5). Keluarga akan lebih mudah memenuhi

kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan lebih sedikit. Anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Menurut Suhardjo (2003), dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda perlu zat gizi yang relatif lebih banyak dari pada anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-anak yang lebih muda mungkin tidak diberi cukup makanan yang memenuhi kebutuhan gizi.

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya (Diasmarani 2011). Secara keseluruhan rata-rata pendapatan per kapita keluarga sebesar Rp 479 919 ± 357 318. Penelitian menunjukkan sebesar 68.3% keluarga baduta termasuk dalam kategori keluarga tidak miskin dan sebesar 31.7% masih dalam kategori keluarga miskin (Tabel 5).

Pemberian ASI

Air Susu Ibu (ASI) mempunyai kelebihan antara lain mampu mencegah penyakit infeksi, ASI mudah didapat dan tidak perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Melalui ASI dapat dibina kasih sayang yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan jiwa bayi (Moehji 2003). Seluruh ibu yang termasuk dalam usia dewasa awal memberikan ASI eksklusif kepada anaknya (Tabel 6). Usia orang tua, terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh bayi. Usia mempengaruhi seorang ibu dalam bertindak dan memperhatikan kebutuhan anaknya (Hurlock 1999). Uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan (p>0.05) antara usia ibu dengan pemberian ASI kepada bayi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia ibu belum tentu dapat memberikan ASI yang baik.

(29)

tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa baduta yang mendapatkan ASI eksklusif merupakan baduta yang memiliki ayah dengan pendidikan tinggi. Ibu yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) cenderung memberikan ASI ekslusif kepada anaknya (Tabel 6). Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status pekerjaan ibu dengan pemberian ASI. Hasil ini sejalan dengan penelitian Rachmadewi (2009) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara karakteristik ibu (usia, tingkat pendidikan, status kerja) dengan praktek ASI eksklusif.

Tabel 6 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga dan pemberian ASI Karakteristik keluarga Pemberian ASI Total

ASI eksklusif Non ASI ekklusif

Umur ibu (tahun) n % n % n %

Ibu tidak bekerja (IRT) 2

(30)

Inisiasi Menyusui Dini

Secara keseluruhan tidak lebih dari separuh baduta (34.1%) inisiasi menyusui dini pada saat bayi. Pada Tabel 7 ditunjukkan penyebab terbanyak ibu tidak melakukan inisiasi menyusui dini karena tidak dilakukan saat melahirkan di bidan (41.5%). Inisiasi menyusui dini (IMD) adalah perilaku pencarian puting payudara ibu sesaat setelah bayi lahir. IMD dapat melatih motorik bayi, dan sebagai tahap awal membentuk ikatan batin antara ibu dan anak (Prasetyono 2012). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, inisiasi menyusui dini kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 34.5%.

Status Pemberian Kolostrum

Kolostrum adalah air susu berupa cairan yang berwarna lebih kuning dan kental dibandingkan ASI setelahnya yang keluar pada hari pertama sampai hari ke-3 hingga minggu pertama sejak kelahiran bayi. Kolostrum lebih banyak mengandung protein, zat antivirus dan zat antibakteri, dibandingkan ASI setelahnya (Gupte 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar baduta (76.8%) telah diberikan kolostrum, sisanya (23.2%) tidak diberikan kolostrum (Tabel 7). Penyebab baduta tidak diberikan kolostrum antara lain karena perawatan medis, lahir caesar, ASI belum keluar, kolostrum tidak diberikan atau dibuang dan ibu tidak tahu ada tidaknya kolostrum serta ada juga karena anak tidak mau diberi kolostrum.

Frekuensi Pemberian ASI

Terdapat sepuluh langkah menuju keberhasilan pemberian ASI yang direkomendasikan oleh WHO, salah satunya adalah dengan mendorong pemberian ASI menurut permintaan bayi (WHO 1998). Saat bayi berusia 3-6 bulan frekuensi pemberian ASI berkurang hingga mencapai 7-8 kali sehari karena terjadi perubahan jam biologis, yaitu bayi mulai mampu tidur dalam waktu lebih lama (Perkins dan Vannais 2004). Sebagian besar ibu baduta (72%) memberikan ASI kepada bayinya dengan frekuensi ≥7 kali sehari dan sebesar 28% ibu memberikan ASI dengan frekuensi <7 kali sehari. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

ASI Eksklusif

ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi tanpa cairan lainnya seperti susu formula, jeruk, madu, teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat apapun seperti pisang, pepaya, bubur, bubur nasi dan tim sampai usia enam bulan (Roesli 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil ibu (14.6%) memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Angka ini masih berada di bawah angka nasional dan cakupan ASI eksklusif provinsi Jawa Barat dan belum memenuhi target nasional. Berdasarkan Riskesdas (2013), cakupan ASI eksklusif nasional sebesar 30.2% dan cakupan provinsi Jawa Barat sebesar 19.2%. Target nasional pemberian ASI eksklusif adalah 80%.

(31)

mendefinisikan ASI predominan sebagai pemberian gizi pada bayi melalui pemberian ASI selama 6 bulan dengan tambahan pemberian cairan sebelum atau selama pemberian ASI. Penelitian Faisal et al. (2014) menyatakan sebesar 72.3% balita stunting dan 72.1 % balita normal di Cianjur, Jawa Barat mempunyai riwayat ASI predominan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegagalan pemberian ASI eksklusif disebabkan karena riwayat ASI predominan masih cukup tinggi.

Tabel 7 Sebaran baduta berdasarkan praktek pemberian ASI

Pemberian ASI n %

IMD Ya

Tidak dilakukan saat lahir di bidan Tidak karena caesar

Tidak karena lahir di rumah Tidak karena segera disusui Tidak karena perawatan medis

28

Tidak karena ibu tidak tahu

Tidak karena perawatan medis,cesar Tidak diberikan/ dibuang

Tidak karena ASI belum keluar

63

ASI, diberi susu formula

ASI, diberi susu formula dan makanan lunak ASI, diberi makanan lunak

ASI, diberi cairan (air gula)

12

Kesulitan menyusui (jawaban boleh lebih dari satu) Tidak ada kesulitan

Payudara bengkak Puting nyeri/lecet ASI keluar sedikit Puting tenggelam/datar

Payudara nyeri hebat dan panas

30 Solusi mengatasi kesulitan (jawaban boleh lebih dari satu)

Tidak melakukan solusi Mengkonsumsi ASIfit

Penarikan puting secara manual/dengan tangan atau memerah air susu

Lakukan kompres panas pada payudara. kemudian pijat Olesi puting dengan ASI agar terjaga dari kuman

(32)

Tabel 7 Sebaran baduta berdasarkan praktek pemberian ASI (lanjutan)

Pemberian ASI n %

Pemberian susu formula sebelum pemberian ASI Tidak

Iya, karena kesulitan menyusui Iya, cesar/perawatan medis/ibu sakit Iya, karena dibantu susu formula Iya karena takut lapar/haus Iya, ditinggal bekerja/pergi-pergi

Umur diberikan susu formula <6 bulan

≥6 bulan

Tidak atau belum diberikan susu formula

59

Keunggulan ASI dibandingkan susu formula (jawaban boleh lebih dari satu)

ASI lebih baik daripada susu formula ASI baik untuk daya tahan tubuh ASI lebih sehat dari susu formula ASI baik untuk pertumbuhan

Zat gizi yang dimakan ibu terdapat dalam ASI Praktis

ASI lebih alami, susu formula ada bahan kimia Susu formula kadang tidak cocok untuk bayi ASI dan susu formula sama saja

ASI dan susu formula sama saja

39 Umur mulai diberikan MP-ASI

<6 bulan

≥6 bulan 36 46

43.9 56.1

Total 82 100.0

Status menyusui hingga saat penelitian Ya

Kesulitan dalam pemberian ASI

(33)

Solusi mengatasi kesulitan

Pemberian ASI oleh ibu baduta pada saat anak masih bayi banyak yang menemui kesulitan sehingga para ibu melakukan beberapa solusi untuk mengatasi kesulitan tersebut. Solusi-solusi yang dilakukan oleh para ibu dikelompokkan sesuai dengan kesulitan yang ditemui. Kesulitan yang sering dialami para ibu yaitu payudara bengkak dan puting lecet. Solusi yang benar untuk mengatasi hal tersebut adalah bayi disusui lebih sering dengan memperbaiki posisi dan pelekatannya serta mengolesi puting dengan ASI agar terjaga dari kuman. Namun, hasil penelitian menunjukkan solusi yang dilakukan oleh para ibu yang paling banyak (24.4%) yaitu mengkonsumsi ASIfit baik untuk kelancaran ASI maupun untuk mengatasi kesulitan lain. Solusi-solusi lainnya dapat dilihat pada Tabel 7. Pemberian susu formula

Ibu yang memberikan susu formula kepada bayinya mempunyai alasan yang berbeda-beda. Sebanyak 28 % baduta tidak atau belum diberikan susu formula. Alasan terbanyak (23.2%) ibu memberikan susu formula karena pada awal pemberian ASI ibu kesulitan menyusui sehingga dibantu dengan susu formula. Pemberian susu formula biasanya dianjurkan oleh penolong persalinan. Penelitian Verawati (2012) menunjukkan pemberian susu formula pada bayi sebesar 33.3% dianjurkan oleh tenaga kesehatan, orang tua dan keluarga bayi.

MP-ASI

Umur awal diberikan MP-ASI dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi

dua yaitu <6 bulan dan ≥6 bulan. Sebagian besar baduta (56.1%) diberikan

MP-ASI pada usia ≥6 bulan (Tabel 7). Rata-rata usia awal diberikan MP-ASI adalah

5.02 ± 1.9 bulan. Menurut Muchtadi (2002), waktu yang baik dalam memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah saat usia 6 bulan. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini yang dilakukan oleh sebagian besar ibu bayi diduga karena tradisi yang diajarkan oleh orangtua dari ibu bayi dan pemikiran bahwa ASI saja tidak mencukupi kebutuhan bayi yang dapat menyebabkan bayi rewel jika hanya diberikan ASI (Syahab 2012).

Umur awal pemberian susu formula

Susu formula diberikan kepada bayi di usia yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini awal usia bayi diberikan susu formula dikelompokkan menjadi pemberian susu formula <6 bulan, ≥6 bulan dan tidak atau belum pernah diberikan susu formula. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar baduta (72.0%) diberi susu formula sebelum usia 6 bulan (Tabel 7). Sebesar 22.0 % baduta tidak atau belum diberikan susu formula. Pemberian susu formula dapat memaparkan bayi pada alergen dalam jumlah besar karena tidak tersedia zat antibodi. Pemaparan alergen secara dini cenderung meningkatkan risiko terjadinya reaksi alergi (Arisman 2000).

Keunggulan ASI dibandingkan susu formula

(34)

memberikan susu formula lewat susu botol dapat menanamkan bibit penyakit ke dalam tubuh bayi (Arisman 2000). Berdasarkan Tabel 7, ibu yang menjawab ASI lebih baik daripada susu formula yaitu sebesar 90.3% dan sebesar 9.7% ibu baduta masih berasumsi bahwa susu formula sama baiknya dengan ASI. Alasan terbanyak (47.6%) mengapa ASI lebih baik dari susu formula karena ASI baik untuk daya tahan tubuh bayi. Alasan lain diantaranya ASI lebih sehat dari susu formula, ASI lebih alami, zat gizi yang dimakan ibu terdapat dalam ASI, ASI baik untuk pertumbuhan, praktis dan susu formula kadang tidak cocok untuk bayi. Status menyusui

Setelah bayi mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan, bayi diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap mendapatkan ASI sampai minimal usia 2 tahun. Pada saat penelitian, sebesar 39% baduta usia 12-18 bulan dan sebesar 15.9% baduta usia 19-24 bulan masih mendapatkan ASI (Tabel 7). Penelitan Helen Keller (2002) menyatakan bahwa lama pemberian ASI tidak hanya dipengaruhi dari produksi ASI yang dihasilkan tetapi juga faktor luar seperti dukungan dari keluarga, kondisi lingkungan sosial, dukungan dan sarana yang diberikan tenaga kesehatan (bidan dan kader posyandu).

Pola asuh makan

Praktik pemberian makan pada anak memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap kesehatan dan status gizi (Khomsan et al. 2009). Pola asuh makan diukur melalui cara menghidangkan makanan, situasi makan, cara memberi makan, memperkenalkan makanan baru, respon jika anak menolak makanan baru dan apakah anak menghabiskan makanan (Khomsan et al. 2013).

Tabel 8 Sebaran baduta menurut jawaban dari pertanyaan pola asuh makan

No Pertanyaan Ya Tidak

n % n % 1 Anak saya diberikan makanan pendamping sejak usia

6 bulan.

49 59.8 33 40.2

2 Sejak diberikan makanan pendamping, anak saya tetap terus diberi ASI

68 82.9 14 17.1

3 Saya memberikan/menyuapi langsung sampai makanan habis

55 67.1 27 32.9

4 Sebelum menyiapkan dan memberikan makan, saya mencuci tangan terlebih dahulu

72 87.8 10 12.2

5 Sebelum makan, saya mencuci tangannya terlebih dahulu

47 57.3 35 42.7

6 Sejak usia 12 bulan anak saya sudah makan makanan biasa (bukan bubur, makanan lunak dll) seperti makanan anggota keluarga lainnya

58 70.7 24 29.3

7 Anak saya makan 3-4 kali sehari 55 67.1 27 32.9

8 Setiap makan, anak diberikan lauk hewani (daging, ikan, telur)

55 67.1 27 32.9

(35)

Tabel 8 Sebaran baduta menurut jawaban dari pertanyaan pola asuh makan

No Pertanyaan Ya Tidak

n % n % 10 Saya memberikan suplemen vitamin-mineral untuk

memenuhi asupan gizi yang dibutuhkan untuk anak

41 50.0 41 50.0

11 Saya mengkonsumsi suplemen vitamin-mineral karena baik untuk menambah kandungan nutrisi ASI

21 25.6 61 74.4

12 Saat anak sakit, saya tetap memberikan ASI 70 85.4 12 14.6 13 Saat anak sakit, saya memberikan makanan yang

lebih lunak dan yang disukai anak

60 73.2 22 26.8

14 Setelah anak sembuh dari sakit, saya memberikan makan lebih sering dari biasanya

33 40.2 49 59.8

Pertanyaan mengenai suplemen atau vitamin untuk ASI adalah yang paling sedikit (25.6%) dipraktekkan oleh ibu baduta (Tabel 8). Para ibu baduta merasa ASI yang diberikan sudah cukup lancar dan cukup zat gizinya sehingga mereka tidak perlu mengkonsumsi suplemen atau vitamin untuk ASI. Pertanyaan yang paling banyak dipraktekkan oleh ibu baduta (85.4%) adalah mengenai ASI yang tetap diberikan kepada anak yang sedang sakit.

Tabel 9 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik keluarga dan pola asuh makan Karakteristik keluarga Pola asuh makan Total

(36)

Pada Tabel 9 menunjukkan pola asuh makan tertinggi yaitu pola asuh makan kurang. Hasil tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya informasi tentang pemberian makan yang baik dan benar yang harus dilakukan oleh ibu ketika memberikan makan kepada anaknya. Pemberian makanan yang baik akan membentuk kebiasaan makan yang baik pula pada anak. Selain itu anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik kemungkinan besar akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik (Hastuti 2008).

Hasil penelitian menunjukkan seluruh baduta yang mendapatkan pola asuh makan yang baik merupakan baduta yang memiliki ibu termasuk dalam usia dewasa awal (Tabel 9). Ayah dan ibu yang memiliki pendidikan rendah cenderung memberikan pola asuh makan yang kurang. Baduta yang memiliki keluarga kecil memiliki pola asuh makan baik lebih tinggi dibandingkan baduta yang memiliki keluarga sedang (Tabel 9). Keluarga yang termasuk dalam keluarga tidak miskin cenderung memberikan pola asuh makan yang baik.

Hasil uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara usia ibu dengan pola asuh makan. Uji Spearman juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pendidikan ayah dan pendidikan ibu dengan pola asuh makan. Penelitian Yuliana (2004) menyatakan bahwa ibu yang berpendidikan tinggi cenderung lebih terbuka terhadap hal-hal baru karena sering membaca artikel-artikel maupun pemberitaan dari berbagai media sehingga pengetahuan ibu tentang anak terutama mengenai gizi dan kesehatan semakin baik, dan menurut penelitian Sabaruddin (2012) bahwa pendidikan ibu berkontribusi terhadap pengetahuan gizi dan kesehatan. Semakin tinggi pendidikan diduga semakin baik pengetahuan gizinya dan ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mengetahui bagaimana cara mengolah makanan, cara mengatur menu sehingga keadaan gizi anak terjamin. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status pekerjaan ibu dengan pola asuh makan.

Hasil uji Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan (p<0.05) antara pendapatan per kapita dengan pola asuh makan. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan per kapita dengan pola asuh makan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor kemiskinan keluarga memiliki dampak terhadap penurunan ketahanan pangan dan status gizi anak. Hal ini disebabkan daya beli keluarga yang rendah untuk memperoleh makanan dengan harga terjangkau, sehingga porsi yang dibelanjakkan untuk pangan semakin tidak memadai untuk memenuhi kecukupan gizi seluruh anggota keluarga (Khomsan et al. 2013).

Tabel 10 Sebaran baduta berdasarkan asupan energi sehari Tingkat kecukupan energi N % Kurang (<1200 kkal/hari) 33 40.2

Cukup (≥1200 kkal/hari) 49 59.8

Total 82 100.0

Rata-rata ± SD 1374.6 ± 497.3

(37)

cukup baik. Total kebutuhan energi bagi bayi yang sehat dan yang diberi ASI adalah 1200 kkal/hari untuk anak berusia 12-36 bulan (AKG 2013). Bayi yang mengalami keterlambatan motorik kasar sebagian besar adalah bayi dengan asupan energi <50% AKG (Nurlinda 2013).

Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan. Pada penelitian ini survei konsumsi pangan menggunakan metode frekuensi makanan. Metode ini bertujuan untuk memperoleh data tentang frekuensi sejumlah bahan makanan selama periode tertentu yaitu hari dan bulan. Berdasarkan pedoman makanan tambahan untuk anak yang mendapatkan ASI (WHO 2001), salah satu pedomannya adalah memperhatikan frekuensi makan anak. Rata-rata bayi sehat yang mendapatkan ASI, makanan pendamping harus disediakan adalah 2-3 kali per hari untuk bayi usia 6-8 bulan dan 3-4 kali per hari untuk usia 9-24 bulan, dengan tambahan makanan ringan bergizi (seperti buah atau roti) yang diberikan 1-2 kali per hari.

Tabel 11 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan seralia dan umbi-umbian

Jenis pangan Kali per Rata-rata SD Min Max

Pada kelompok pangan serealia dan umbi-umbian diketahui bahwa baduta lebih sering mengkonsumsi nasi sebagai bahan pangan sumber karbohidrat dengan rata-rata konsumsi sebanyak 3 kali dalam sehari (Tabel 11). Pada periode per bulan mie instan paling sering di konsumsi oleh baduta dengan rata-rata 4 kali per bulan. Jenis pangan umbi-umbian dan olahannya masih kurang beragam. Hal ini terlihat dari jenis pangan ini tidak sebanyak pada kelompok serealia.

(38)

tidak sulit memperoleh cukup protein (Nurlinda 2013). Pada Tabel 12 menunjukkan kelompok pangan protein hewani. Baduta paling sering mengonsumsi telur ayam dengan rata-rata konsumsi 16 kali per bulan. Protein hewani yang paling sedikit dikonsumsi yaitu telur puyuh dengan rata-rata 1 kali per bulan.

Tabel 13 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan protein nabati Jenis pangan Kali per Rata-rata SD Min Max

Sumber protein selain dari pangan hewani, terdapat juga dari pangan nabati yang dikonsumsi oleh baduta. Pangan protein nabati yang paling sering dikonsumsi baduta yaitu tempe, tahu dan kacang hijau. Tempe merupakan pangan yang paling sering dikonsumsi oleh baduta dengan rata-rata 22 kali per bulan (Tabel 13). Kacang hijau dikonsumsi oleh baduta rata-rata 2 kali per bulan.

Bayi mulai mendapatkan makanan pendamping setelah usia 6 bulan dengan bentuk dan jenis makanan yang diberikan secara bertahap. Memperkenalkan sayuran dan buah dapat dimulai dengan memberikan sayuran dan buah yang berserat rendah, seperti wortel, tomat, bayam, jeruk, pisang, pepaya, alpukat atau pir. Tabel 14 dan Tabel 15 menunjukkan frekuensi dan jenis sayur dan buah yang dikonsumsi oleh baduta. Sayuran yang biasa dikonsumsi baduta diantaranya wortel, bayam, kentang, buncis, jagung, brokoli dan kol. Sayuran yang paling sering dikonsumsi baduta yaitu wortel dengan rata-rata 17 kali per bulan. Dalam periode satu bulan brokoli dan kol adalah sayuran yang sedikit dikonsumsi baduta yaitu dengan rata-rata 1 kali per bulan.

Tabel 14 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan sayur

Jenis pangan Kali per Rata-rata SD Min Max

(39)

Tabel 15 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok pangan buah diantarannya vitamin A, vitamin B, vitamin C, zat besi dan kalsium. Pada sayuran dengan daun berwarna hijau dan berwarna jingga/orange mengandung lebih banyak provitamin A berupa beta-karoten. Selain itu, pada sayuran berwarna hijau juga kaya akan kalsium, zat besi dan vitamin C (Almatsier 2009).

Hampir semua baduta menyukai makanan jajanan. Menurut Winarno (1997) makanan jajanan atau street food merupakan makanan dan minuman yang dapat langsung dimakan atau dikonsumsi, telah terlebih dahulu dipersiapkan atau dimasak ditempat produksi atau tempat berjualan. Umumnya makanan jajanan dipersiapkan dan atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau tempat-tempat keramaian umum lainnya.

Tabel 16 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok makanan jajanan

Jenis makanan Kali per Rata-rata SD Min Max

(40)

Beberapa orang tua juga tidak membatasi konsumsi anak terhadap teh kemasan tersebut yang dalam jangka panjang tidak baik untuk kesehatan anak.

Tabel 17 Frekuensi konsumsi baduta pada kelompok minuman

Jenis minuman Kali per Rata-rata SD Min Max

Kejadian Penyakit ISPA dan Diare

Sebagian besar anak dengan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Selain batuk, gejala ISPA pada anak yang juga dapat dikenali adalah flu, demam, dan suhu tubuh anak meningkat (Depkes RI 1996). Sebesar 74.4% baduta ≤2 kali mengalami ISPA dalam satu bulan terakhir dengan rata-rata lama sakit sebagian besar baduta (75.6%) yaitu kurang dari 10 hari (Tabel 18). Penyakit ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan (polutan udara, kepadatan anggota keluarga) dan kelembaban (kebersihan, musim, temperatur), ketersediaan dan efektifitas pelayanan kesehatan serta langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran, faktor pejamu (usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, status kesehatan, dan infeksi sebelumnya), dan karakteristik patogen (cara penularan, daya tular, faktor virulensi dan jumlah atau dosis mikroba) (WHO 2007).

Tabel 18 Sebaran baduta berdasarkan frekuensi dan lama sakit ISPA dan diare

Frekuensi sakit ISPA Diare

(41)

Riskesdas (2010), kelompok usia balita adalah kelompok yang paling tinggi menderita diare, khususnya pada usia 12-23 bulan.

Tabel 19 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI dan kejadian ISPA

Pemberian ASI ISPA Total

Tidak pernah Pernah

n % n % n %

Baduta yang tidak mendapatkan ASI eksklusif cenderung lebih banyak yang mengalami ISPA dalam satu bulan terakhir (Tabel 19). Uji Spearman antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil ini tidak sejalan dengan Mihrshahi et al. (2007) yang menyatakan infeksi saluran pernafasan akut pada bayi berhubungan secara signifikan dengan tidak diberikannya ASI eksklusif. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif kecil kemungkinan untuk menderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut. Selain itu Oddy et al. (2002) menyatakan bayi yang mendapatkan ASI kurang dari 6 bulan secara signifikan berhubungan dengan kunjungan klinik, dokter dan rumah sakit karena menderita penyakit saluran pernafasan.

Baduta yang mengalami diare dalam satu bulan terakhir lebih banyak dialami oleh baduta yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Tabel 20). Hasil uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pemberian ASI dengan kejadian diare. Hasil ini tidak sejalan dengan Mihrshahi et al. (2007) yang menyatakan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berhubungan signifikan dengan penyakit diare. Salah satu manfaat ASI adalah meningkatkan daya tahan tubuh karena mengandung berbagai zat anti-kekebalan sehingga akan lebih jarang sakit. ASI juga akan mengurangi terjadinya diare, sakit telinga, dan infeksi saluran pernapasan (Roesli 2000).

Tabel 20 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI kejadian diare Pemberian ASI Diare Total

Tidak pernah Pernah

n % n % n % diare. Berdasarkan penelitian WHO, diare sebagai salah satu penyebab utama kematian di kalangan anak-anak <5 tahun. Pada tahun 2010, diare diperkirakan telah menyebabkan sekitar 800.000 kematian anak secara global. Promosi menyusui diidentifikasi sebagai salah satu intervensi yang biayanya paling efisien untuk menanggulangi kematian balita pada umumnya, dan terhadap diare khususnya.

(42)

pertumbuhan dan perkembangan dengan menyediakan serta memberikan makanan yang sesuai dengan mutu yang memadai. Baduta yang memiliki pola asuh makan sedang dan kurang cenderung mengalami ISPA dalam satu bulan terakhir (Tabel 21). Hasil uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan (p<0.05) antara pola asuh makan dengan kejadian infeksi saluran pernafasan.

Tabel 21 Sebaran baduta berdasarkan pola asuh makan dan kejadian ISPA Pola asuh makan Diare Total

Tidak pernah Pernah

n % n % n % cenderung untuk mengalami diare satu bulan terakhir. Baduta yang mendapatkan pola asuh makan yang baik cenderung untuk tidak pernah mengalami diare (Tabel 22). Uji Spearman antara pola asuh makan dengan kejadian diare menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Hal ini berarti pola asuh makan yang baik atau kurang belum tentu menentukan kejadian ISPA maupun diare.

Tabel 22 Sebaran baduta berdasarkan pola asuh makan dan kejadian diare Pola asuh makan Diare Total

Tidak pernah Pernah

n % n % n %

Tumbuh Kembang Anak Baduta

Pertumbuhan

Berat badan menurut panjang badan

(43)

Tabel 23 Sebaran baduta berdasarkan pertumbuhan menurut BB/PB

Berdasarkan klasifikasi prevalensi tingkat keparahan situasi kesehatan masyarakat untuk status gizi kurus yang dikeluarkan WHO, prevalensi status gizi kurus pada penelitian ini termasuk dalam kategori keparahan sangat tinggi karena besar prevalensi termasuk dalam rentang 10-14%. Data Riskesdas (2013) menunjukkan prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5.3%, demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6.8%. Dapat diketahui prevalensi status gizi kurus pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan prevalensi status gizi kurus secara nasional.

Tabel 24 Sebaran baduta berdasarkan pemberian ASI dan pertumbuhan menurut BB/PB

Pemberian ASI Pertumbuhan menurut BB/PB Total Sangat kurus Kurus Normal Gemuk

n % n % n % n % n %

Hasil uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara pemberian ASI dengan pertumbuhan menurut BB/PB. Hal ini berarti pemberian ASI eksklusif atau non ASI eksklusif belum tentu menentukan status gizi baduta menurut BB/PB. Baduta yang mendapatkan ASI eksklusif, sebesar 75% memiliki pertumbuhan normal menurut BB/PB. Seluruh baduta yang memiliki status gizi kurus merupakan baduta yang tidak mendapat ASI eksklusif daripada baduta yang mendapatkan ASI eksklusif (Tabel 24).

Tabel 25 Sebaran baduta berdasarkan pola asuh makan dan pertumbuhan menurut BB/PB Pola asuh makan Pertumbuhan menurut BB/PB Total

Sangat kurus Kurus Normal Gemuk

n % n % n % n % n %

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir pemberian ASI, pola asuh makan, penyakit infeksi
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data berdasarkan variabel
Tabel 3 Pengkategorian berdasarkan variabel penelitian
Tabel 4 Sebaran baduta berdasarkan karakteristik baduta
+7

Referensi

Dokumen terkait

PESAN SEKARANG JUGA

KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan telah terbitnya Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri

pengalaman berusaha tani, dan faktor ekonomi seperti pendapatan, dan jumlah tanggungan keluarga. Desa Kasang Limau Sundai merupakan salah satu desa yang memiliki luas

Diwajibkan untuk membawa dokumen Asli Perusahaan yang datanya dimasukan dalam isian Dokumen Kualifikasi sesuai dengan dokumen yang dikirim/upload dalam isian

Dari uraian bab sebelumnya, ada beberapa hal yang bisa dicermati pada sistem pendukung keputusan pemilihan menu makanan bagi anak dengan menggunakan metode AHP

Jam henti giling yang diakibatkan oleh kedua stasiun ini akan berdampak langsung pada proses produksi hal ini dikarenakan stasiun gilingan merupakan tempat untuk mengekstraksi

Permasalahan yang penulis dapatkan setelah menganalisa sistem administrasi rawat inap pada Rumah Sakit Bhayangkara AKPOL Semarang diantaranya adalah sistem

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa, apakah terdapat pengaruh yang