• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Parameter Fisika Kimia Perairan dan Sedimen

Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dan sedimen yang dilakukan secara langsung pada setiap stasiun selama penelitian dengan interval waktu setiap dua minggu merupakan faktor pendukung yang dapat mempengaruhi struktur komunitas makrozoobentos di muara sungai Desa Pintu Air. Parameter fisika dan kimia perairan dan sedimen yang diukur saat pengamatan di muara Sungai Desa Pintu Air meliputi suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, oksigen terlarut, pH, C-organik, dan N-total. Hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan dibandingkan dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan Surat Keputusan No. 51 Tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan dan Sedimen Parameter Satuan Baku

Pasang Surut dan Curah Hujan Harian

Data pasang surut diperoleh dari BMKG Stasiun Meteorologi Maritim Belawan. Tipe pasang surut di lokasi penelitian adalah tipe pasang surut semi diurnal. Grafik curah hujan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Pasang Surut Selama Penelitian

Curah hujan harian selama Mei sampai Juli 2017 diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Sampali. Curah hujan tertinggi selama penelitian yaitu pada tanggal 10 Juni 2017 dengan curah hujan 63,5 mm. Curah hujan harian rata-rata selama penelitian yaitu 7,652 mm. Grafik curah hujan harian selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.

0 10 20 30 40 50 60 70

0 10 20 30 40 50

mm

Sedimentasi

Laju sedimentasi adalah banyaknya massa sedimen yang terperangkap melalui satu satuan luas dalam setiap satuan waktu (Pamuji dkk., 2015). Nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan laju sedimentasi berbeda pada setiap stasiun.

Nilai Laju Sedimentasi yang diperoleh pada Stasiun I 4098,48 gram/m2/hari, pada Stasiun II sebesar 389,10 gram/m2/hari, pada Stasiun III sebesar 369,15 gram/m2/hari, pada Stasiun IV sebesar 1576,09 gram/m2/hari, dan pada Stasiun V sebesar 5353,51 gram/m2/hari. Nilai laju sedimentasi tertinggi diperoleh pada Stasiun V dan terendah pada Stasiun III. Hasil perhitungan laju sedimentasi pada setiap stasiun secara rinci dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Laju Sedimentasi pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Tekstur Sedimen

Persentase dan tipe tekstur sedimen dilakukan di Laboratorium Ilmu Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Hasil analisis tekstur sedimen diketahui bahwa kandungan fraksi sedimen pada setiap stasiunnya berbeda, terdapat dua tipe tekstur yang ditemukan pada stasiun penelitian yaitu lempung liat berpasir dan lempung berliat. Persentase dan tipe tekstur sedimen secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

4098.48

Tabel 4. Persentase dan Tipe Tekstur Sedimen pada Masing-Masing Stasiun

Komposisi makrozoobentos yang ditemukan pada perairan muara sungai Desa Pintu Air diperoleh sebanyak 207 induvidu terdiri dari 15 spesies. Pada Stasiun I ditemukan sebanyak 9 spesies, Stasiun II ditemukan sebanyak 9 spesies, Stasiun III ditemukan sebanyak 9 spesies, Stasiun IV ditemukan sebanyak 10 spesies, dan Stasiun V ditemukan sebanyak 6 spesies. Komposisi makrozoobentos secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Makrozoobentos pada Masing-Masing Stasiun Penelitian.

No Spesies Stasiun

Kepadatan

Kepadatan makrozoobentos yang didapatkan dari hasil penelitian cukup beragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kepadatan tertinggi yaitu pada Stasiun IV sebesar 21,85 ind/m2, kemudian Stasiun I sebesar 17,78 ind/m2, Stasiun II 17,41 ind/m2, Stasiun III 13,33 ind/m2, dan nilai kepadatan terendah pada Stasiun V sebesar 7,04 ind/m2. Grafik kepadatan makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Kepadatan Makrozoobentos pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Indeks Keanekaragaman (H’) dan Dominansi (C)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Dominansi (C) memiliki hasil yang berbeda pada setiap stasiun. Indeks keanekaragaman tertinggi yaitu pada Stasiun IV sebesar 5,12 dan terendah pada Stasiun V sebesar 4,07. Indeks dominansi tertinggi yaitu pada Stasiun I sebesar 1,01 dan terendah pada Stasiun II sebesar 0,32. Nilai

Tabel 6. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Dominansi (C) Makrozoobentos pada

Hubungan Laju Sedimentasi terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos Hasil perhitungan analisis korelasi antara laju sedimentasi terhadap struktur komunitas makrozoobentos diperoleh hasil yang berbeda. Nilai korelasi negatif (-) maka hubungan kedua variabel dikatakan tidak searah atau berlawanan dan sebaliknya. Nilai analisis korelasi pearson sedimentasi dengan struktur komunitas makrozoobentos secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Analisis Korelasi Pearson antara Sedimentasi dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos

Parameter Nilai Korelasi Kriteria Hubungan Korelasi

Kepadatan -0,509 Sedang

Keanekaragaman -0,822 Sangat Kuat

Dominansi 0,850 Sangat Kuat

Hasil perhitungan analisis korelasi antara laju sedimentasi terhadap tipe tekstur sedimen menunjukkan bahwa nilai korelasi sedimentasi terhadap tekstur pasir sebesar 0,979, nilai korelasi sedimentasi terhadap tekstur debu sebesar -0,021, dan nilai korelasi sedimentasi terhadap tekstur liat sebesar -0,917. Nilai analisis korelasi pearson sedimentasi dengan tipe tekstur sedimen secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Analisis Korelasi Pearson antara Sedimentasi dengan Tipe Tekstur Sedimen

Tipe Tekstur Nilai Korelasi Kriteria Hubungan Korelasi

Pasir 0,979 Kuat

Debu -0,021 Rendah

Pembahasan

Parameter Fisika Kimia Perairan dan Sedimen

Suhu perairan yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu rata-rata air berkisar antara 30°C sampai 31,67°C. Secara keseluruhan suhu hasil penelitian yang didapatkan hampir merata dan kondisi perairan ini masih tergolong wajar untuk suhu perairan tropik. Suhu ini masih kisaran baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yang menyatakan baku mutu perairan 28-31°C. Menurut Nontji (2002) suhu air permukaan di perairan Indonesia pada umumnya berkisar antara 28-31°C. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Sidik dkk., (2016) bahwa hasil pengukuran suhu perairan yang diperoleh pada kelima stasiun pengamatan berkisar antara 27,8°C-32,6°C. Kisaran suhu yang terdapat pada stasiun penelitian merupakan kisaran yang mampu mendukung kehidupan makrozoobentos.

Tingginya suhu perairan pada Stasiun I diduga akibat stasiun tersebut merupakan stasiun dengan kedalaman terendah dan kondisi mangrove yang rusak menyebabkan tingginya intensitas cahaya yang masuk ke perairan. Menurut Halidah dkk., (2007) bahwa semakin besar persentase penutupan vegetasi maka semakin rendah temperatur dalam air. Keberadaan vegetasi sangat membantu dalam mengurangi penyerapan cahaya, sehingga suhu pada permukaan perairan tidak terlalu tinggi. Menurut Effendi (2003) intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Dengan kata lain, cahaya mengalami penghilangan (extinction) atau pengurangan (atenuasi) yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman.

Salinitas rata-rata hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada setiap stasiun penelitian cukup beragam. Secara umum kisaran salinitas rata-rata di lokasi penelitian sebesar 9-19‰. Nilai ini masih dalam kisaran baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yang menyatakan baku mutu salinitas perairan sampai dengan 34‰. Menurut Patty (2013) dari hasil pengukuran salinitas terlihat nilainya masih

<32‰ maka perairan masih dipengaruhi oleh pantai, diduga adanya pengaruh dari daratan seperti percampuran dengan air tawar yang terbawa aliran sungai. Kadar salinitas ini masih berada dalam batas-batas salinitas yang normal air pantai dan air campuran.

Stasiun I merupakan stasiun dengan nilai salinitas terendah sebesar 9‰.

Stasiun I merupakan lokasi yang paling jauh dari pengaruh air laut dan lebih banyak mendapat pengaruh air tawar dari daratan. Hal ini menyebabkan rendahnya nilai salinitas. Perbedaan nilai rata-rata salinitas pada setiap stasiun semakin jauh dari laut akan semakin rendah nilai salinitas dan sebaliknya.

Tingginya nilai salinitas pada Stasiun V sebesar sebesar 19‰ dikarenankan stasiun tersebut merupakan stasiun yang berbatasan langsung dengan laut sehingga stasiun ini lebih banyak memperoleh pengaruh dari air laut daripada air tawar. Menurut Rosmaniar (2008), adanya penambahan air tawar yang mengalir masuk ke perairan laut melalui muara sungai akan menurunkan nilai salinitas.

Arief (2003) menyatakan bahwa pasang surut berkaitan dengan salinitas, tingkat frekuensi pasang surut sangat ikut menentukan adanya perubahan salinitas.

Semakin sering terjadi pasang surut, tingkat salinitas semakin meningkat.

Kedalaman rata-rata perairan pada setiap stasiun yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai kedalaman setiap stasiun cukup beragam akibat perbedaan topografi dasar perairan kisaran nilai kedalam perairan yaitu sebesar 1,23-2,20 m. Menurut Kasry dan Fajri (2012) perbedaan kedalaman pada masing-masing stasiun penelitian diduga karena perbedaan topografi dasar perairan serta pengaruh pasang dan surut.

Nilai kecerahan tertinggi yaitu pada Stasiun IV sebesar 0,73 m dan kecerahan terendah pada Stasiun I sebesar 0,30 m. Rendahnya nilai kecerahan pada Stasiun I rendahnya nilai kecerahan dibandingkan stasiun lainnya karena kedalaman yang rendah dibandingkan stasiun lainnya yaitu sebesar 1,23 m.

Minggawati (2013) menyatakan bahwa perairan dangkal cenderung memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya matahari dapat menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan, daerah dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah yang lebih dalam sehingga cenderung mempunyai makrozoobentos yang beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih kompleks.

Kecepatan arus rata-rata yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kisaran kecepatan arus rata-rata masih tergolong rendah yaitu sebesar 0,03-0,16 m/detik. Menurut Yusuf dkk., (2012) kecepatan arus di daerah penelitian tergolong rendah sampai dengan sedang, karena masih berada di bawah 0,5 m/detik yang merupakan indikator arus tersebut kuat. Barus (2004) menyatakan bahwa kecepatan arus dipengaruhi kekuatan angin, topografi, kondisi pasang surut dan musim. Pada saat musim penghujan, akan meningkat debit air dan sekaligus

mempengaruhi kecepatan arus, selain itu adanya bentuk alur sungai dan kondisi substrat pada dasar perairan menyebabkan keceapatan arus bervairasi.

Hasil perhitungan kecepatan arus tertinggi adalah pada Stasiun V sebesar 0,16 m/detik dan terendah pada Stasiun I sebesar 0,03 m/detik. Pengukuran parameter fisika kimia perairan yang dilakukan pada saat pasang menyebabkan Stasiun I menjadi lokasi dengan kecepatan arus terendah dibandingkan stasiun lainnya karena paling jauh dari laut. Sedangkan tingginya nilai rata-rata kecepatan arus pada stasiun V dikarena stasiun ini berbatasan langsung dengan laut.

Berdasarkan penelitian Asriani dkk., (2013) menyatakan perbedaan kecepatan arus pada lokasi penelitian dengan kecepatan arus tertinggi disebabkan karena stasiun ini berada pada daerah terbuka sehingga arus yang masuk menjadi lebih cepat.

Nilai oksigen terlarut rata-rata pada setiap stasiun yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai oksigen terlarut hampir merata pada setiap stasiun. Nilai rata-rata oksigen terlarut pada setiap stasiun masih memenuhi nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Tingginya nilai rata-rata oksigen terlarut pada Stasiun IV berkaitan dengan suhu dan kondisi perairan yang masih alami dan masih banyak ditemukan vegetasi tumbuhan disepanjang stasiun tersebut. Sedangkan rendahnya nilai rata-rata oksigen terlarut pada Stasiun I dikarenakan stasiun ini merupakan stasiun yang paling dekat dengan permukiman dan suhu perairan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Yeanny (2007) yang menyatakan bahwa tingginya DO berkaitan dengan rendahnya suhu perairan tersebut. Menurut Kasry dan Fajri (2012) masih banyak di jumpai

berlangsungnya proses fotosintesis sehingga suplai oksigen ke dalam perairan juga relatif tinggi.

Nilai rata-rata pH yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai pH seluruh stasiun pada lokasi penelitian tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Nilai pH tertinggi ditemukan pada Stasiun IV yaitu sebesar 6,8 dan terendah pada Stasiun I sebesar 6. Kondisi perairan tersebut cenderung bersifat asam yang membahayakan bagi biota perairan. Hasil penelitian hampir sama dengan penelitian Aida dkk., (2014) dimana pH yang didapat cenderung bersifat asam dengan kisaran pH 6,50 – 7,29.

Menurut Nuriyawan dkk., (2016) organisme perairan memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Kematian dapat pula diakibatkan oleh pH yang rendah daripada disebabkan pH yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Prescott dkk., (2004) yang menyatakan bahwa pH suatu perairan merupakan salah satu parameter yang penting dalam pemantauan kualitas perairan. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadia organisme.

Persentasi C-organik sedimen pada stasiun penelitian yaitu pada Stasiun I sebesar 2,62%, pada Stasiun II sebesar 2,85%, pada Stasiun III sebesar 2,35%, pada Stasiun IV sebesar 2,68%, dan pada Stasiun V sebesar 2,28%. Persentasi C-organik tertinggi yaitu pada Stasiun II dan terendah pada Stasiun III. Tingginya persentasi C-organik pada Stasiun II karena lokasi Stasiun yang dekat dengan tambak sehingga menerima bahan organik yang tinggi dan rendahnya persentasi C-organik pada Stasiun III karena kondisi stasiun yang tidak dimanfaatkan dan

vegetasi mangrove yang hanya tampak pada pinggiran sungai sehingga menyebabkan kepadatan makrozoobentos pada stasiun ini adalah yang paling rendah. Menurut Pamuji dkk., (2015) tingginya kandungan bahan organik pada sedimen dikarenakan disepanjang sungai terdapat tumbuhan mangrove yang serasah daunnya dapat meningkatkan kandungan bahan organik di substrat dasarnya.

Persentasi N-total sedimen pada Stasiun I yaitu sebesar 0,18%, pada Stasiun II yaitu sebesar 0,19%, pada Stasiun III sebesar 0,17%, pada Stasiun IV sebesar 0,17%, dan pada Stasiun V sebesar 0,18%. Nilai N-total sedimen secara keseluruhan adalah stabil yaitu berkisar 0,17-0,19%. Nilai N-total pada seluruh stasiun tergolong rendah karena nilainya dibawah 0,21%. Menurut Zulfadli dkk., (2012), ketersediaan unur N di dalam tanah idealnya berkisar antara 0,21-0,50%.

Curah hujan rata-rata selama penelitian yang diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Sampali adalah 7,652 mm. Menurut Tumurang dkk., (2015) beberapa dampak akan intensitas curah hujan yang tinggi adalah transport sedimen akan semakin besar karena curah hujan yang tinggi akan melepaskan banyak partikel tanah yang kemudian masuk ke daerah aliran sungai untuk mengikuti aliran sungai tersebut, salinitas pada muara sungai akan berkurang karena konsentrasi salinitas (kadar garam) pada air laut akan tercampur pada debit air yang datang, dan debit air akan meningkat sehingga akan mengubah kualitas dan kuantitas aliran di daerah aliran sungai tersebut. Fatmawati (2016) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa besarnya sedimentasi yang terkandung di aliran sungai

diartikan bahwa sedimentasi meningkat seiring terjadinya peningkatan debit sungai, dan menyebabkan kerusakan pada aliran sungai.

Sedimentasi

Hasil perhitungan laju sedimentasi yang disajikan pada Gambar 10 menunjukkan bahwa laju sedimentasi pada masing-masing stasiun cukup beragam.

Laju sedimentasi terendah pada Stasiun III sebesar 369,15 gram/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh kondisi perairan dengan kecepatan arus rata-rata lebih cepat dibandingkan beberapa stasiun lainnya. Menurut Agustinus dkk., (2013) kecepatan arus yang cepat akan menghanyutkan partikel terlarut sedangkan arus yang lebih lambat akan menyebabkan pertikel yang tidak terhanyut menjadi terendap dan membentuk elemen dasar perairan.

Laju sedimentasi tertinggi ditemukan pada Stasiun V sebesar 5353,51 gram/m2/hari. Tingginya laju sedimentasi pada Stasiun V disebabkan oleh tipe pasang surut yang terjadi di perairan tersebut adalah tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda. Hal ini sejalan dengan penelitian Tumurang dkk., (2015) yang menyatakan dampak yang terjadi akibat pengendapan volume menunjukan timbulnya delta-delta baru di Muara Sungai Malalayang. Ini disebabkan karena tipe pasang surut di Muara Sungai Malalayang adalah pasang surut campuran condong ke harian ganda dimana air pasang terjadi dua kali dalam sehari sehingga pada saat air pasang terjadi pengendapan sedimen, setelah air surut sedimen mulai keluar ke laut namun kembali lagi karena durasi air pasang lebih lama dibanding dengan air surut.

Tingginya laju sedimentasi pada Stasiun V yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan laut dapat menyebabkan terjadinya perubahan ekologi seperti pendangkalan sehingga mengganggu aktivitas nelayan. Menurut Zulfiandi dkk., (2012), daerah muara sungai sering mengalami perubahan kondisi ekologi perairan dikarenakan oleh pengendapan sedimen di dasar perairan dan percampuran air tawar dan air asin sehingga berubah menjadi daerah yang tergenang atau menjadi perairan dangkal. Pamuji dkk., (2015) menyatakan bahwa sedimentasi yang terjadi di muara sungai dapat membawa beberapa dampak negatif antara lain, adalah jalur pelayaran kapal dan penangkapan ikan terhambat apabila air sedang surut, adanya potensi akumulasi bahan organik bawaan dari sungai, ketidakseimbangan kehidupan organisme perairan, garis pantai akan lebih menjorok ke arah laut, hulu sungai akan mengalami kenaikan tinggi muka air serta terjadi peluapan masa air di sungai yang akan mengakibatkan banjir di darat.

Tipe tekstur yang dianalisis pada Stasiun I, IV, dan V yaitu lempung liat berpasir dan pada Stasiun II dan III yaitu lempung berliat. Perbedaan tipe tekstur dipengaruhi oleh kecepatan arus pada setiap stasiun. Husnayati dkk., (2015) menyatakan bahwa jenis substrat diketahui dipengaruhi oleh kecepatan arus, pada kecepatan arus yang tinggi dalam perairan akan menyebabkan tipe substrat di perairan tersebut didominasi oleh tipe substrat berpasir, karena yang mampu diendapkan di dasar perairan tersebut adalah partikel-partikel yang berukuran besar seperti kerikil atau pasir, sedangkan partikel yang halus terus terbawa oleh arus yang kuat. Sedangkan pada arus yang lemah dalam suatu perairan menyebabkan perairan tersebut didominasi oleh substrat berlumpur atau lempung.

Makrozoobentos

Dari hasil penelitian ditemukan 15 spesies makrozoobentos pada lokasi penelitian. Pada Stasiun I terdapat 9 spesies, pada Stasiun II terdapat 9 spesies, pada Stasiun III terdapat 9 spesies, pada Stasiun IV terdapat 4 spesies, dan pada Stasiun V terdapat 6 spesies. Hasil komposisi makrozoobentos pada Tabel 5 menunjukkan bahwa adanya perbedaan komposisi makrozoobentos pada setiap stasiun dipengaruhi oleh perbedaan faktor lingkungan yang dibutuhkan untuk kehidupan makrozoobentos seperti substrat dan salinitas. Menurut Insafitri (2010) setiap habitat dasar memiliki perbedaan parameter lingkungan yang akan mempengaruhi struktur komunitasnya. Badrun (2008) menyatakan umumnya makrozoobenthos dapat dijumpai dalam jumlah yang lebih banyak pada substrat lumpur berpasir hingga lumpur dibandingkan pada substrat pasir.

Komposisi makrozoobentos yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa komposisi bivalvia lebih sedikit dibandingkan komposisi gastropoda.

Banyaknya jumlah species dari kelas gastropoda dan bivalvia yang ditemukan pada perairan berkaitan dengan kemampuan species tersebut beradaptasi dengan lingkungan pasang surut. Menurut Kurniawan dkk., (2016), komposisi Bivalvia lebih sedikit dibandingkan dengan Gastropoda karena Bivalvia umumnya infauna (penggali lubang) sehingga sulit ditemukan. Selain itu, Bivalvia umumnya hidup di laut tetapi beberapa spesies ada juga yang hidup di air tawar. Berbeda dengan Bivalvia, kelas Gastropoda termasuk dalam kelompok toleran. Kelompok ini merupakan kelompok yang dapat hidup pada daerah yang tercemar berat, walaupun ada beberapa jenis yang dapat hidup di daerah yang tercemar sedang.

Hasil komposisi makrozoobentos pada Tabel 5 menunjukkan bahwa dilokasi penelitian. Metopograpsus thukuhar merupakan spesies dari famili Grapsidae yang memiliki kemampuan mobilisasi yang tinggi sehingga dapat berpindah tempat dengan cepat untuk mencari habitat dengan karakteristik yang sesuai dengan kehidupannya. Menurut Taqwa (2010) yang menyebutkan bahwa sebagian besar anggota dari crustacea memiliki pergerakan atau mobilitas yang tinggi untuk menyembunyikan diri di dalam lubangnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ulfah dkk., (2012) faktor yang mempengaruhi komposisi Crustacea dikarena pergerakan atau mobilitasnya yang tinggi. Sujatmiko dan Aunurohim (2013) menyatakan bahwa, Metopograpsus sp. merupakan jenis kepiting yang umumnya hidup dalam lumpur, dekat dengan ekosistem mangrove dan muara sungai. Metopograpsus sp. memiliki kemampuan mobilisasi yang tinggi sehingga dapat berpindah lokasi dengan mudah, sehingga hal inilah yang membuat spesies ini dapat ditemukan hampir disetiap titik pengambilan sampel.

Kepadatan makrozoobentos pada Gambar 13 menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi pada Stasiun IV sebesar 21,85 ind/m2 dan terendah pada Stasiun V sebesar 7,04 ind/m2. Kepadatan makrozoobentos tertinggi pada Stasiun IV menunjukkan bahwa kondisi perairan dan sedimen pada Stasiun IV sebagai habitat makrozoobentos dapat dikatakan sesuai dengan kategori makrozoobentos yang ditemukan pada Stasiun IV. Stasiun IV merupakan stasiun dengan kondisi perairan yang masih alami dengan suhu sedimen 29°C yang sesuai dengan baku mutu dan tipe tekstur sedimen lempung liat berpasir serta kandungan C-organik substrat yang tinggi dibandingkan stasiun lainnya yaitu sebesar 2,68% yang

tingginya kepadatan makrozoobentos diduga karena kandungan organik substratnya yang tinggi sehingga sangat mendukung bagi pertumbuhan makrozoobentos karena organik substrat yang menjadi bahan makanannya cukup tersedia.

Nilai laju sedimentasi tertinggi pada Stasiun V sebesar 5353,51 gram/m2/hari dengan namun nilai kepadatan makrozoobentos terendah yaitu sebesar 7,04 ind/m2 dan keanekaragaman 4,07 dikarenakan nilai persentase tekstrur pasir tertinggi yaitu 55,33%. Kondisi ini menyebabkan makrozoobentos sulit bertahan hidup karena tingginya persentase pasir menyebabkan rendahnya kandungan c-organik pada sedimen yaitu 2,28%. Kondisi ini menyebabkan hanya makrozoobentos tertentu yang dapat bertahan hidup sehingga nilai dominansi pada stasiun tersebut 0,77 yang dikategorikan bahwa ada jenis makrozoobentos yang mendominasi perairan tersebut.

Kepadatan makrozoobentos terendah pada Stasiun V menunjukkan bahwa kondisi lingkungan pada stasiun tersebut dapat dikatakan kurang sesuai dengan kategori makrozoobentos yang ditemukan. Stasiun V merupakan stasiun yang berbatasan langsung dengan laut dimana stasiun tersebut menerima dampak dari kegiatan masyarakat pada Stasiun I, Stasiun II, Stasiun III, dan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat pada stasiun tersebut. Stasiun V terletak tidak terlalu jauh dari Pembangkit Listrik Tenanga Uap (PLTU) Pangkalan Susu yang diduga memberi dampak yang kurang baik bagi lingkungan perairan disekitar lokasi penelitian dan kondisi lingkungan yang berbatasan

Kepadatan makrozoobentos terendah pada Stasiun V menunjukkan bahwa kondisi lingkungan pada stasiun tersebut dapat dikatakan kurang sesuai dengan kategori makrozoobentos yang ditemukan. Stasiun V merupakan stasiun yang berbatasan langsung dengan laut dimana stasiun tersebut menerima dampak dari kegiatan masyarakat pada Stasiun I, Stasiun II, Stasiun III, dan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat pada stasiun tersebut. Stasiun V terletak tidak terlalu jauh dari Pembangkit Listrik Tenanga Uap (PLTU) Pangkalan Susu yang diduga memberi dampak yang kurang baik bagi lingkungan perairan disekitar lokasi penelitian dan kondisi lingkungan yang berbatasan

Dokumen terkait