• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di empat Sekolah Dasar (SD) negeri dan dua sekolah swasta dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke atas yaitu SD Negeri Polisi 1, SD Negeri Polisi 4, SD Negeri Polisi 5, SD Negeri Bantarjati 9, Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) At-Taufiq, dan SD Pertiwi.

SD Negeri Polisi 1 berdiri pada tahun 1917, merupakan salah satu sekolah tertua di Kota Bogor. Sekolah ini beralamat di Jl. Paledang No. 45, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. SD Negeri Polisi 1 memiliki tenaga pengajar sebanyak 51 orang. Fasilitas belajar yang tersedia adalah ruang belajar, ruang guru, laboratorium komputer, perpustakaan, ruang kesenian, mushola, UKS, ruang tata usaha, dapur, koperasi, kantin dan lapangan olahraga. SD Negeri Polisi 1 tidak mengadakan penyelenggaraaan makan siang di sekolah maka sebagian besar siswa makan siang dengan membeli jajanan, baik itu di dalam kantin maupun di luar sekolah.

SD Negeri Polisi 4 terletak di Jalan Polisi 1 no. 7 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. SD Negeri Polisi 4 terletak di pusat keramaian, namun letaknya sedikit masuk ke dalam gang sehingga tidak ada kendaraan umum yang melaluinya. Sekolah ini didirikan pada tahun 1930 dengan nama awal Sekolah Rakyat VIII. Pada tahun 1970 berubah namanya menjadi SD Negeri Polisi 4 setelah dibangunnya Kantor Polwil Bogor di wilayah Kelurahan Paledang sehingga sekolah ini dinamai SD Negeri Polisi 4. SD Negeri Polisi 4 memiliki tanah seluas 1508 m2 dengan luas bangunan 1145 m2 yang terdiri dari satu ruang kepala sekolah, satu ruang guru, 25 ruang kelas, satu ruang komite, satu mushola, satu ruang tata usaha. Kegiatan ekstrakurikulernya adalah karate, sepak bola, paduan suara, drama, band cilik, seni tari, drum band, pramuka, seni lukis dan jurnalis. SD Negeri Polisi 4 merupakan salah satu sekolah yang favorit di Kota Bogor. Mayoritas murid yang bersekolah di SD Negeri Polisi 4 berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke atas. Visi sekolah ini adalah membentuk peserta didik, aktif, kreatif dan berprestasi.

SD Negeri Polisi 5 terletak di Jl Polisi 1 No 7, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri pada tahun 1984 dengan status sekolah negeri. Jumlah tenaga pendidik dan kependidikan sebanyak 24 orang dengan jumlah peserta didik sebanyak 458 siswa. Luas tanah milik yaitu 297 m². Waktu penyelenggaraan yaitu kombinasi pagi dan siang hari. Prasarana yang terdapat di sekolah yaitu ruang guru, ruang IPA, ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang kesenian, ruang komputer, ruang mushalla, ruang perpustakaan, ruang tata usaha, ruang UKS, dan WC.

SD Bantarjati 9 terletak di Jl. Dalurung No. 20 Kelurahan Bantarjati, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Sekolah ini didirikan pada tahun 1985. Luas bangunan sekolah ini adalah 905.47 m². Sekolah ini mengalami beberapa perubahan nama yaitu mulai dari SD Inpres, Sekolah Adiwiyata, Sekolah Percontohan dan sekarang dikenal sebagai Sekolah Sobat Bumi. Sekolah ini mempunyai fasilitas ruang komputer, ruang kelas, wastafel yang terletak di depan ruang kelas, ruang guru dan kamar mandi. Pada ruang komputer terdapat 17 unit

komputer yang dapat digunakan siswa. Jumlah tenaga pendidik dan kependidikan yaitu sebanyak 21 orang Visi dari SD Bantarjati 9 adalah terwujudnya sekolah yang unggul dalam iptek berbasis imtaq, berwawasan dan berbudaya lingkungan yang berkarakter.

SDIT At Taufiq didirikan pada tanggal 14 Juli 2003, beralamat di Jl.Cimanggu Permai I, Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor. SDIT At-Taufiq memiliki tenaga pengajar sebanyak 100 orang dan jumlah siswa kelas 5 sebanyak 105 orang. Gedung sekolahnya memiliki luas sekitar 8000 m2, terdiri dari masjid, lokal TKIT, SDIT, dan SMPIT yang terpisah. Sekolah ini

memiliki perpustakaan, lapangan olahraga, koperasi, fasilitas autodebet payment,

fasilitas jemputan dan catering, serta sarana belajar outdoor. SDIT At-Taufiq

mengadakan penyelenggaraan makan siang di sekolah maka sebagian besar siswa makan siang dengan mengonsumsi makanan catering dari sekolah.

SD Pertiwi berdiri pada tahun 1972 dengan status sekolah swasta. SD Pertiwi adalah salah satu SD Swasta unggulan di kota Bogor dibawah Yayasan Pertiwi Kota Bogor. SD Pertiwi beralamat di Jl. Sukasari III No. 4 Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Kegiatan belajar mengajar diselenggarakan pada hari senin hingga jumat atau selama lima hari sedangkan kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan pada hari sabtu. SD Pertiwi ini juga mempunyai sistem penyelenggaraan makan untuk siswa tetapi bersifat tidak wajib. Kegiatan ekstrakurikuler yang terdapat pada sekolah ini yaitu masjid dan kegiatan baca tulis Al Qur’an dan kaligrafi, ekstrasia (komunikasi Bahasa Indonesia) dan pertiwi

english club, pertiwi sains club, pertiwi macth olimpiade, pertiwi futsal club,

pertiwi cheers club, tenis meja, informasi dan teknologi komputer, seni musik

tradisional (angklung dan gamelan), seni musik modern (group band), seni suara,

seni lukis, dan seni peran (drama). Sarana dan prasarana yang terdapat di SD Pertiwi cukup lengkap. Alat bantu proses pembelajaran yang tersedia di SD Pertiwi adalah televisi, infokus, OHP, dan VCD.

Sarana penunjang yang terdapat di SD Pertiwi diantaranya dapur, kamar mandi, mushola, tempat wudhu, tempat mencuci tangan, dan kantin. Fasilitas yang ada di ruang kelas adalah meja siswa, kursi siswa, meja guru, kursi guru,

whiteboard, blackboard, jam dinding, lemari, papan jadwal pelajaran, mading

kelas, alat permainan edukatif, alat kebersihan, dan kotak P3K. Terdapat satu buah tong sampah di depan masing-masing kelas dan tempat mencuci tangan tersedia di koridor kelas.

Karakteristik Siswa

Tabel 8 menyajikan karakteristik siswa obes dan normal yang meliputi umur dan uang saku. Hampir seluruh siswa obes berumur ≥ 12 tahun (98.0%) dan demikian juga hampir seluruh siswa normal berumur ≥ 12 tahun (96.1%). Brown

et al. (2011) menyatakan bahwa anak yang berusia 6-12 tahun mengalami masa

perkembangan dan pertumbuhan yang lebih stabil dibandingkan bayi dan balita. Pertumbuhan fisiknya terlihat lebih lambat, tetapi perkembangan motorik, kognitif dan emosi sosial mulai matang. Pada periode ini ditandai dengan masa puber, anak perempuan lebih dulu mengalami masa ini dibandingkan anak laki-laki serta memiliki growth spurt dengan pertumbuhan yang pesat sehingga berbagai

uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan umur yang

signifikan pada siswa obes dan normal (p>0.05). Hal ini diduga karena hampir seluruh siswa obes maupun normal berada pada rentang usia yang sama yaitu minimal 12 tahun.

Tabel 8 Sebaran karakteristik siswa obes dan normal

Variabel Obes Normal Total p value

- Umur (tahun)

< 12 2 (2.0%) 4 (3.9%) 6 (2.9%) 0.408 ≥ 12 100 (98.0%) 98 (96.1%) 198 (97.1%)

- Uang saku (Rp/hari)

≥ 9000 65 (63.7%) 48 (47.1%) 113 (55.4%)

0.002* < 9000 37 (36.3%) 54 (52.9%) 91 (44.6%)

Rata-rata±SD 10580 ± 6052 8402 ± 3697

*Signifikan pada α<5%

Uang saku siswa dalam penelitian ini merupakan uang saku per hari yang digunakan siswa untuk jajan di sekolah dan tidak termasuk uang transportasi (angkutan umum). Siswa berstatus gizi obesitas memiliki uang saku yang lebih besar dibandingkan siswa normal. Hal ini terlihat sebesar 63.7% siswa obes memiliki uang saku minimal Rp 9000/hari dengan rata-rata yaitu Rp 10580 sedangkan pada siswa normal lebih dari separuh (52.9%) memiliki uang saku kurang dari Rp 9000/hari dengan rata-rata yaitu Rp 8402. Hasil penelitian Setyowati (2014) juga menunjukkan bahwa lebih banyak siswa obes mendapatkan uang saku yang tergolong tinggi. Suryaalamsyah (2009) menyatakan bahwa pemberian uang saku yang besar memungkinkan anak untuk membeli makanan dan minuman yang mengandung energi tinggi. Kebiasaan jajan dan kebiasaan mengkonsumsi cemilan juga dapat mempengaruhi asupan energi, khususnya makanan yang mengandung energi tinggi. Hasil penelitian Mariza dan Kusumastuti (2013) yaitu terdapat hubungan antara kebiasaan jajan dengan status gizi lebih dan kebiasaan jajan memiliki risiko sebesar 7 kali lipat terhadap terjadinya gizi lebih.

Berdasarkan uji Mann Whitney terdapat perbedaan yang signifikan

terhadap uang saku diantara siswa obes dan normal (p<0.05). Hal ini diduga karena uang saku siswa obes lebih besar dari uang saku siswa normal. Hasil ini sesuai dengan penelitian Karimah (2014) yang menyatakan bahwa rata-rata uang saku anak kegemukan lebih besar dibandingkan anak normal. Rampersaud et al.

(2005) menyatakan bahwa besarnya uang yang diberikan kepada anak perlu mendapatkan pengawasan dari orang tua khususnya dalam membeli dan mengkonsumsi makanan yang sehat karena ketika anak melewatkan sarapan dan merasa lapar maka anak akan mengkonsumsi makanan berkalori lebih tinggi yang didapatkan dari makanan jajanan. Menurut Syafitri et al. (2009) besar uang jajan

anak merupakan salah satu indikator sosial ekonomi keluarga. Semakin tinggi alokasi uang jajan untuk membeli jajanan maka jumlah jenis jajanan yang dibeli akan semakin banyak.

Karakteristik Keluarga Siswa

Karakteristik keluarga siswa terdiri dari besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua. Tabel 9 menyajikan sebaran karakteristik keluarga siswa obes dan normal. Menurut BKKBN (1998), besar keluarga adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama.

Tabel 9 Sebaran karakteristik keluarga siswa obes dan normal

Variabel Obes Normal Total p value

- Besar keluarga Keluarga kecil (≤ 4 orang) 45 (44.1%) 47 (46.1%) 92 (45.1%) 0.779 Keluarga besar (≥ 5 orang) 57 (55.9%) 55 (53.9%) 112 (54.9%) - Pendidikan ayah < SMA 28 (27.5%) 22 (21.6%) 50 (24.5%) 0.330 ≥ SMA 74 (72.5%) 80 (78.4%) 154 (75.5%) - Pendidikan ibu < SMA 31 (30.4%) 41 (40.2%) 72 (35.3%) 0.144 ≥ SMA 71 (69.6%) 61 (59.8%) 132 (64.7%) - Pekerjaan ayah Swasta 77 (75.5%) 87 (85.3%) 164 (80.4%) 0.079 Pegawai negeri 25 (24.5%) 15 (14.7%) 40 (19.6%) - Pekerjaan ibu Tidak Bekerja 55 (53.9%) 57 (55.9%) 112 (54.9%) 0.779 Bekerja 47 (46.1%) 45 (44.1%) 92 (45.1%)

- Pendapatan orang tua

≥ 9000000/bulan 36 (35.3%) 31 (30.4%) 67 (32.8%) 0.457 < 9000000/bulan 66 (64.7%) 71 (69.6%) 137 (67.2%)

Sebagian besar siswa berstatus gizi obesitas (55.9%) dan siswa normal (53.9%) termasuk dalam keluarga besar. Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Behrman et al. (2000) menyatakan kejadian obesitas pada anak

berhubungan dengan status sosial ekonomi keluarga yang lebih tinggi, pendidikan orang tua yang lebih tinggi, dan ukuran keluarga yang kecil. Menurut Senbanjo et al. (2011) semakin banyak anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah,

semakin kecil jumlah pangan yang diperoleh anak. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin kecil asupan energi dan zat gizi sehingga tingkat kecukupan energi dan zat gizi juga semakin rendah. Alemu et al. (2014)

menyatakan bahwa kelebihan berat badan dan atau obesitas terkait dengan ukuran keluarga yang kecil. Hal ini dimungkinkan karena besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi pangan yang akan diterima masing- masing individu. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara besar keluarga siswa obes maupun normal (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Heryati dan Setiawan (2014) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan besar keluarga dengan status gizi.

Besar keluarga dalam penelitian ini bukan aspek yang besar pengaruhnya terhadap konsumsi pangan anak karena rata-rata pendidikan orang tua tinggi

sehingga diharapkan distribusi pangan dalam keluarga dapat merata bagi semua anggota keluarga. Suhardjo (1996) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi.

Pendidikan ayah baik pada siswa berstatus gizi obes (56.9%) maupun normal (57.8%) berada dalam kategori pendidikan minimal SMA, demikian halnya dengan pendidikan ibu pada sebagian besar siswa obes (69.6%) dan normal (59.8%) juga berada dalam kategori pendidikan minimal SMA. Pendidikan menentukan seberapa besar kontribusi pengetahuan orang tua dalam memperhatikan status gizi anak. Menurut Fikawati dan Syafiq (2007) semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan pengetahuan atau informasi mengenai gizi yang dimilikinya akan semakin baik.

Berdasarkan uji beda Mann Whitney bahwa tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara pendidikan ayah siswa obes dan normal (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Heryati dan Setiawan (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan antara pendidikan ayah berdasarkan status gizi. Hasil uji beda Mann Whitney juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

pendidikan ibu siswa obes maupun normal (p>0.05). Penelitian Pramudita (2011) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ibu siswa obes dan normal. Tidak adanya perbedaan antara pendidikan ayah dan ibu siswa obes maupun normal diduga karena rata-rata tingkat pendidikan orang tua sudah tinggi yaitu minimal berpendidikan SMA. Engel at al.

(1994) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin besar kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pekerjaan orang tua merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perilaku makan anak. Jenis pekerjaan yang dilakukan orang tua akan berpengaruh terhadap besarnya pendapatan. Kemampuan keluarga dalam penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi pendapatan dan daya beli yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan (Suhardjo 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa obes (75.5%) maupun normal (85.3%) memiliki ayah yang bekerja di sektor swasta. Terdapat kecenderungan bahwa ayah yang bekerja di sektor swasta memiliki anak yang berstatus gizi normal. Hal ini diduga karena ayah yang bekerja sebagai pegawai negeri juga bukan pegawai negeri yang memiliki penghasilan rendah namun memiliki penghasilan tinggi.

Sebagian besar siswa obes (53.9%) dan normal (55.9%) memiliki ibu yang tidak bekerja di luar rumah atau disebut sebagai ibu rumah tangga. Terdapat kecenderungan ibu yang bekerja akan memiliki anak yang obes. Menurut WHO (2000) apabila seorang ibu dalam keluarga juga berperan sebagai pencari nafkah maka ibu yang bekerja di luar rumah akan menghabiskan banyak waktunya di luar rumah. Hal ini akan menyebabkan rasa bersalah ibu kepada anaknya khususnya terhadap penyiapan makan sehingga ibu yang bekerja akan lebih sering membelikan makanan di luar rumah dan biasanya pilihan terbatas pada fast food

yang dijual di restoran cepat saji. Selain itu, Karimah (2014) menyatakan bahwa pekerjaan akan mempengaruhi interaksi dengan anak. Orang tua yang sibuk biasanya kurang memperhatikan anak sehingga memungkinkan kurang

terkontrolnya asupan gizi anak. Namun Karimah (2014) juga menyatakan bahwa status ibu bekerja dan tidak bekerja tidak berkaitan dengan status gizi anak karena dapat disebabkan oleh lingkungan sekolah serta pengaruh dari teman sebaya terhadap pola makan anak.

Berdasarkan hasil uji beda Mann Whitney tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara pekerjaan ayah dan ibu siswa obes maupun normal (p>0.05). Hal ini diduga karena rata-rata sebagian besar pekerjaan orang tua berada dalam kategori yang sama. Penelitian Karimah (2014) juga menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua tidak berbeda nyata diantara kelompok kegemukan dan normal.

Pendapatan orang tua berdasarkan rata-rata total pendapatan suami dan istri sehingga diperoleh dua kategori yaitu pendapatan tinggi ≥ Rp 9000000/bulan dan pendapatan rendah < Rp 9000000/bulan. Sebagian besar siswa obes (64.7%) dan normal (69.6%) mempunyai orang tua dengan total pendapatan kurang dari sembilan juta rupiah per bulan. Terdapat kecenderungan bahwa pendapatan tinggi mempunyai anak yang berstatus gizi obesitas. Bowman et al. (2004) menyatakan

bahwa anak-anak dengan status sosial ekonomi tinggi mempunyai uang yang lebih banyak sehingga dapat membeli fast food yang mempunyai kandungan

energi tinggi. Penelitian Chhatwal et al. (2004) menunjukkan bahwa semakin

tinggi pendapatan orang tua maka akses terhadap pangan baik kualitas maupun kuantitas akan semakin meningkat. Hal ini didukung oleh Kaur et al. (2008)

bahwa prevalensi overweight dan obesitas pada anak sekolah di Delhi, India lebih

banyak pada kelompok yang mempunyai pendapatan tinggi dibandingkan kelompok pendapatan sedang atau rendah. Hasil uji beda Mann Whitney

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan orang tua siswa obes dan normal (p>0.05). Hal ini diduga karena sebagian besar pendapatan kedua orang tua siswa obes maupun normal berada dalam kategori yang sama. Hasil ini sesuai dengan penelitian Karimah (2014) yaitu pendapatan orang tua antara siswa kegemukan dan normal tidak berbeda nyata.

Densitas Energi dan Asupan Zat Gizi

Densitas energi dan zat gizi pangan merupakan suatu instrumen yang dikembangkan dengan tujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi total energi serta komposisi zat gizi dari suatu pangan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemilihan pangan yang mengandung cukup energi serta zat gizi sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu (Drewnowski 2010). Jenis pangan yang dihitung skor densitas energi adalah jenis pangan yang dikonsumsi siswa dari hasil recall 3x24 jam. Tabel 10 menyajikan rata-rata densitas energi

dan asupan zat gizi siswa obesitas dan normal.

Rata-rata densitas energi pada siswa obes adalah sebesar 1.9 kkal per g pangan dan 1.7 kkal per g pangan pada siswa normal. Nilai rata-rata tersebut tergolong sedang sebagaimana dikemukakan oleh Rolls (2009) yaitu antara 1.5-4 kkal per g pangan. Rata-rata densitas asupan protein baik pada siswa berstatus gizi obesitas maupun normal tergolong cukup berdasarkan standar FAO yaitu 20-40 g per 1000 kkal. Adapun standar densitas asupan zat gizi berdasarkan FAO digunakan dalam penelitian ini karena standar angka kecukupan gizi (AKG) tahun

2012 di Indonesia juga telah disesuaikan dengan anjuran IOM (2005) dan FAO/WHO (1998).

Tabel 10 Rata-rata densitas energi dan asupan zat gizi siswa obes dan normal

Densitas energi dan

asupan zat gizi Obes Normal

Energi (kkal/ g pangan) 1.9 ± 0.7 1.7 ± 0.7 Protein (g/ 1000 kkal) 28.3 ± 6.6 28.0 ± 6.4 Vitamin A (µg RE / 1000 kkal) 303.1 ± 168.3 438.0 ± 200.1 Vitamin C (mg/ 1000 kkal) 13.9 ± 14.1 11.6 ± 10.5 Fe (mg/ 1000 kkal) 5. 4 ± 2.0 5.5 ± 1.9

Berdasarkan standar FAO, rata-rata densitas asupan vitamin A dan vitamin C pada kedua siswa masih tergolong rendah atau masih di bawah standar kecukupan yang ditentukan berdasarkan standar FAO yaitu 700-1000 µg RE/1000 kkal (vitamin A) dan 50-60 mg/ 1000 kkal (vitamin C). Rata-rata densitas asupan zat besi (Fe) pada kedua siswa juga tergolong rendah berdasarkan standar FAO yaitu 7-40 mg/1000 kkal. Hal ini menunjukkan bahwa siswa obes dan normal memiliki densitas asupan vitamin A, vitamin C dan Fe yang kurang. Zulaikhah (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai densitas asupan zat gizi tertentu maka menunjukkan kelompok tersebut mengonsumsi pangan yang kaya akan zat gizi tertentu.

Tabel 11 menunjukkan sebaran densitas energi dan asupan zat gizi siswa obes dan normal yang dihitung berdasarkan recall konsumsi 3 x 24 jam. Densitas

energi pangan didefinisikan sebagai jumlah total energi yang terkandung dalam 100 gram suatu makanan yang dikonsumsi (Barclay 2008). Sebagian besar siswa obes (75.5%) maupun normal (58.8%) termasuk dalam kategori densitas energi pangan (DED) tinggi. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan terhadap densitas energi pada siswa obes maupun normal (p<0.05). Persentase siswa obes yang mengkonsumsi makanan tinggi densitas energi lebih besar dibandingkan dengan siswa normal.

Anak usia sekolah mempunyai kebiasaan memilih makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh media massa dan kelompok sosialisasi. Selain orang tua dan sekolah, kelompok sosialisasi terpenting pada anak usia sekolah adalah teman sebaya, dimana kelompok teman sebaya memberi sesuatu yang penting untuk anggota kelompoknya. Anak-anak memiliki budaya sendiri, rahasia, adat istiadat dan kode etik untuk meningkatkan rasa solidaritas kelompok serta melepaskan diri dari orang dewasa. Sesuai dengan karakteristik pada anak usia sekolah dalam pemilihan jenis makanan didasarkan pada rasa suka dan tidak suka terhadap makanan, namun demikian dengan tersedianya restoran siap saji, pengaruh media massa serta beragam makanan “junk food” yang tersedia sehingga memudahkan

anak untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori (Wong et al. 2009).

Kant dan Graubard (2005) menyatakan bahwa remaja cenderung mengonsumsi makanan dengan densitas energi tinggi yang biasanya tinggi kandungan karbohidrat sederhana dan lemak. Makanan tersebut cenderung memberikan rasa lezat dan harga murah sehingga banyak disukai. Selain itu, Maillot et al. (2007) menambahkan bahwa konsumsi makanan dengan kepadatan

secara berlebihan berkontribusi dalam peningkatan asupan energi total, sedangkan konsumsi makanan dengan densitas energi rendah mampu menurunkan asupan energi total.

Konsep densitas asupan zat gizi digunakan untuk menggambarkan kecukupan zat gizi dari diet atau konsumsi pangan seseorang selain dari tingkat kecukupan gizi. Densitas asupan zat gizi merupakan komposisi asupan zat gizi yang diperoleh dari pangan yang dikonsumsi dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi baik pada individu ataupun rumah tangga. Densitas asupan zat gizi digunakan untuk mengetahui rasio zat gizi terhadap total energi dan ditentukan berdasarkan perbandingan asupan zat gizi dengan total energi yang dikonsumsi. Adapun standar total energi yang digunakan sebagai pembanding asupan zat gizi biasanya adalah 1000 kkal atau per 2000 kkal (Drewnowski 2005). Selain itu, menurut Wang et al. (2013) densitas asupan zat gizi juga dihubungkan

dengan risiko obesitas, diabetes mellitus tipe 2 dan kanker pankreas. Hayati (2013) menyatakan standar total energi yang digunakan adalah per 1000 kkal dengan mempertimbangkan angka kecukupan gizi untuk seluruh kelompok umur.

Tabel 11 Sebaran densitas energi dan asupan zat gizi siswa obes dan normal

Densitas energi dan

asupan zat gizi Obes Normal Total p value - Energi DED tinggi 77 (75.5%) 60 (58.8%) 137 (67.2%) 0.011* DED rendah 25 (24.5%) 42 (41.2%) 67 (32.8%) - Protein Rendah 11 (10.8%) 7 (6.9%) 18 (8.8%) 0.315 Cukup 91 (89.2%) 95 (93.1%) 186 (91.2%) - Vitamin A Kurang 97 (95.1%) 95 (93.1%) 192 (94.1%) 0.553 Cukup 5 (4.9%) 7 (6.9%) 12 (5.9%) - Vitamin C Kurang 96 (94.1%) 99 (97.1%) 195 (95.6%) 0.308 Cukup 6 (5.9%) 3 (2.9%) 9 (4.4%) - Fe Kurang 82 (80.4%) 85 (83.3%) 167 (81.9%) 0.587 Cukup 20 (19.6%) 17 (16.7%) 37 (18.1%) *Signifikan pada α<5%

DED tinggi = 1.5 – 9 kkal/g pangan; DED rendah = 0-1.5 kkal/g pangan; Protein rendah= < 20 gr/1000 kkal; Protein cukup = ≥ 20 gr/1000 kkal; Vitamin A kurang = < 700 – 1000 µg RE; Vitamin A cukup = 700 – 1000 µg RE; Vitamin C kurang = < 50-60 mg; Vitamin C cukup = 50-60 mg; Fe kurang = < 7-40 mg; Fe cukup = 7-40 mg

Densitas asupan zat gizi yang tercukupi dengan baik pada suatu individu atau rumah tangga, akan memberikan pengaruh positif pada tingkat kecukupan

Dokumen terkait