• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Paseh merupaka n salah satu dari 26 wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang dengan luas wilayah 3297,6 ha. Kecamatan ini dilintasi oleh jalan propinsi yang menuju Cirebon. Sarana tranportasi umum untuk mencapai 10 desa yang termasuk wilayah kerja kecamatan tersebut sebagian besar harus menggunakan ojeg. Jumlah penduduk Kecamatan Paseh saat ini adalah 34.299 jiwa dengan 16.912 jiwa laki-laki dan 17.387 jiwa perempuan.

Mata pencaharian penduduk Kecamatan Paseh sebagian besar adalah petani pemilik tanah. Wilayah ini cukup terkenal dengan keahlian penduduknya sebagai pembuat mebel. Dengan keahlian tersebut cukup banyak penduduk yang bekerja pada perusahaan mebel di luar kota. Selain itu, terdapat dua desa yaitu Citepok dan Haurkuning yang sumber penghasilan penduduknya sebagian besar dari hasil berdagang mie rebus instant di Jakarta. Dengan demikian, tidak sedikit kepala keluarga yang jarang berkumpul dengan anggota keluarganya.

Di Kecamatan Paseh tidak tercatat keluarga dengan kategori Pra KS, namun dalam bidang kesehatan tercatat 9,2% KK pemegang Kartu Sehat. Sarana kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat meliputi Puskesmas Kecamatan, 3 Puskesmas pembantu, 10 tempat bidan desa, 2 bidan praktek swasta, 2 dokter praktek swasta, 1 balai pengobatan, 1 apotik, dan 52 Posyandu.

TB paru di Kecamatan Paseh termasuk dalam 10 pola penyakit yang diderita oleh masyarakat. Upaya penanggulangan TB di Kecamatan Paseh sampai dengan Trimester I tahun 2006 telah mencapai angka kesembuhan TB paru sebesar 81,8%. Hal ini sangat ditunjang oleh penerapan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy). Kegiatan Deteksi Dini Tumbuh Kembang (DDTK) murid TK dan Pemeriksaan Dini bagi murid SD serta SMP menjadi salah satu sarana bagi penjaringan penderita TB. Pada tahun 2005 kegiatan Deteksi Dini Tumbuh Kembang murid TK telah dilaksanakan di 19 sekolah terhadap 389 orang siswa.

Karakteristik Contoh

Umur

Umur contoh diketahui dengan cara pengurangan tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan kegiatan DDTK di setiap TK oleh tanggal, bulan, dan tahun kelahiran contoh. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data umur contoh secara tepat dalam satuan tahun dan bulan. Sebaran contoh menurut umur pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran contoh menurut umur

Umur (bulan) TB Tidak TB

n % n % < 60 1 3,3 1 3,3 60-72 28 93,3 27 90,0 >72 1 3,4 2 6,7 Total 30 100,0 30 100,0 Rata-rata±SD 72,3±6,1 71,2±7,2 P=0,501

Umur contoh pada kedua kelompok berkisar antara 56-85 bulan. Rata-rata umur pada kelompok TB adalah 72,3 bulan. Sedangkan pada kelompok tidak TB adalah 71,2 bulan. Dengan demikian rata-rata umur contoh pada kelompok TB sedikit lebih tua jika dibandingkan dengan rata-rata umur contoh pada kelompok tidak TB. Hampir seluruh contoh pada kedua kelompok berumur antara 60-72 bulan ( 93,3% dan 90,0%). Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal umur pada kedua kelompok contoh.

Berat Badan

Data berat badan contoh diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan timbangan injak oleh petugas puskesmas pada saat pelaksaaan kegiatan DDTK. Pengkategorian berat badan contoh ditentukan berdasarkan interval kisaran berat badan seluruh contoh yang kemudian dikelompokan menjadi dua kategori. Hasil penelitian berat badan contoh pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 3.

Pada kelompok TB berat badan contoh berkisar antara 10-20 kg dengan rata-rata 16,7 kg. Sedangkan pada kelompok tidak TB berat badan contoh berkisar antara 14-21 kg dengan rata-rata 17,8 kg. Dengan demikian, rata-rata berat badan pada kelompok TB lebih ringan dibandingkan dengan yang tidak TB.

Tabel 3 Sebaran contoh menurut berat badan

Berat Badan TB Tidak TB

(kg) n % n % 10-15 18 60,0 7 23,3 16-21 12 40,0 23 76,7 Total 30 100,0 30 100,0 Rata-rata±SD 16,7±2,3 17,8±2,5 P=0,069

Sebagian besar contoh pada kelompok TB memiliki berat badan pada kategori 10-15 kg (60,0%). Sedangkan pada kelompok tidak TB sebagian besar contoh memiliki berat badan pada kategori 16-21 kg (76,7%). Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal berat badan pada kedua kelompok contoh.

Tinggi Badan

Tinggi badan contoh diukur oleh petugas puskesmas pada saat kegiatan DDTK dilaksanakan di setiap TK. Kategori tinggi badan contoh dibuat berdasarkan interval kisaran tinggi badan seluruh contoh yang kemudian dikelompokan menjadi dua kategori sebagaimana tampilan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh menurut tinggi badan

Tinggi Badan TB Tidak TB

(cm) n % n % 95-107 14 46,7 6 20,0 107,5-119,5 16 53,3 24 80,0 Total 30 100,0 30 100,0 Rata-rata±SD 107,3±4,3 111,7±4,5 P=0,000

Pada kelompok TB tinggi badan contoh berkisar antara 95-115 cm dengan rata-rata 107,3 cm. Sedangkan pada kelompok tidak TB tinggi badan contoh berkisar antara 103-119,5 cm dengan rata-rata 111,7 cm. Dengan demikian rata- rata tinggi badan contoh pada kelompok TB lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tidak TB. Sebagian besar contoh pada kedua kelompok memiliki tinggi badan pada kategori 107,5-119,5 cm (53,3% dan 80,0%). Uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata dalam hal tinggi badan pada kedua kelompok. Berat Badan Lahir (BBL)

Tabel 5 berikut ini menunjukkan hasil penelitian berat badan lahir pada kedua kelompok contoh.

Tabel 5 Sebaran contoh menurut berat badan lahir

Berat Badan TB Tidak TB

Lahir n % n % Normal (= 2500 g) 28 93,3 27 90,0 Kurang (< 2500 g) 2 6,7 3 10,0 Total 30 100,0 30 100,0 Rata-rata±SD 3223,3±558,1 3010,0±579,2 P= 0,152

Sebagian besar contoh pada kedua kelompok memiliki berat badan lahir normal, yaitu 93,3% pada kelompok TB dan 90,0% pada kelompok tidak TB. Berat badan lahir pada kelompok TB berkisar antara 2000-4400 g dengan rata-rata 3223,3 g. Sedangkan pada kelompok tidak TB berkisar antara 1700-4500 g dengan rata-rata 3010,0 g. Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal berat badan lahir pada kedua kelompok contoh.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa pada masa usia pra sekolah kegiatan fisik seorang anak semakin banyak. Selain itu, pada masa ini seorang anak mulai meninggalkan periode ketergantungan sehingga berusaha mengembangkan kemandirian. Sayangnya, dalam banyak hal mereka tidak berhasil dan mudah mengalami gangguan kesehatan, kecelakaan, dan stress.

Anak yang sehat bila bertambah umur maka akan bertambah pula berat dan tinggi badannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata berat badan dan tinggi badan pada anak yang TB lebih rendah jika dibandingkan dengan anak yang tidak TB. Artinya, gangguan kesehatan seperti penyakit TB dapat menghambat pertumbuhan anak. Ga ngguan kesehatan berupa penyakit kronis memang dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan dan pubertas pada anak (Berhman & Vaughan 1988).

Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal berat badan dan berat badan lahir antara anak yang TB dengan yang tidak TB. Seringkali kenyataan ini membuat orang tua contoh merasa kaget dan heran ketika diberi tahu kalau anaknya terkena penyakit TB. Apalagi bila orang tua jarang memantau perkembangan berat badan anaknya. Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme perjalanan penyakit TB yang tidak sama pada setiap anak. Dengan demikian, jangka waktu perubahan fisik terutama penurunan berat badan pada setiap anak pun berbeda tergantung jangka waktu dari sejak terinfeksi kuman TB sampai menjadi penyakit TB. Waktu yang diperlukan sejak terinfeksi hingga menjadi penyakit TB adalah 12 bulan atau lebih (Rahajoe 1994). Selain itu, terdapat faktor genetik dan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Faktor lingkungan yang dimaksud antara lain adalah asupan gizi, higiene, sanitasi, dan stimulasi psikososial.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan BBL kelompok TB lebih banyak yang normal (93,3%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (90,0%). Hal ini karena BBL merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan anak (Unicef 1998), sedangkan kejadian TB lebih ditentukan oleh daya imunitas anak. Faktor lingkungan yang baik juga dapat membantu anak mengejar ketertinggalan pertumbuhan terutama sebelum usia dua tahun (Riyadi 2001). Dengan demikian, anak yang lahir dengan BBL kurang dapat tumbuh sebagaimana anak yang dilahirkan dengan BBL normal.

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga dikategorikan berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), yaitu kecil bila = 4 orang dan besar bila > 4 orang. Tabel 6 menunjukkan bahwa kelompok TB sebagian besar berasal dari keluarga kecil (63,3%) sedangkan kelompok tidak TB sebagian besar berasal dari keluarga besar (53,3%).

Tabel 6 Sebaran contoh menurut jumlah anggota keluarga

Jumlah Anggota TB Tidak TB

Keluarga n % n % Kecil (= 4 orang) 19 63,3 14 46,7 Besar (>4 orang) 11 36,7 16 53,3 Total 30 100,0 30 100,0 Rata-rata±SD 4,3±1,4 4,8±1,3 P=0,144

Jumlah anggota keluarga baik pada kelompok TB maupun tidak TB berkisar antara 3-7 orang, dengan rata-rata 4 orang pada kelompok TB dan 5 orang pada kelompok tidak TB. Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal jumlah anggota keluarga pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, jumlah anggota keluarga tidak mendasari kejadian TB. Hal ini dapat terjadi mengingat walaupun keluarga contoh tercatat sebagai keluarga besar, namun dalam kesehariannya banyak contoh lebih sering tinggal hanya dengan 1-2 orang anggota keluarga yang lain terutama ibu. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar ayah contoh bekerja sebagai buruh di luar kota dan diikuti oleh anggota keluarga lain terutama yang laki-laki.

Jumlah anggota keluarga berkaitan dengan kepadatan hunian yang merupakan salah satu faktor resiko penularan TB. Selain itu, jumlah anggota keluarga yang besar tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan mengakibatkan pendistribusian pangan dalam keluarga yang tidak merata. Apabila

persediaan pangan terbatas, biasanya keluarga besar dan miskin menderita gizi lebih parah daripada keluarga yang lebih kecil (Harper 1984). Status gizi yang kurang baik dapat melemahkan daya tahan tubuh seseorang sehingga menjadi lebih mudah terkena penyakit menular seperti TB.

Umur Orang Tua

Kategori umur orang tua contoh ditentukan berdasarkan teori Papalia & Olds (1981) yaitu < 20 tahun (remaja), 20-40 tahun (dewasa awal), dan 41-65 tahun (dewasa tengah). Tabel 7 memperlihatkan bahwa pada kedua kelompok contoh umur ayah sebagian besar berada dalam kategori dewasa awal yaitu 76,67% pada kelompok TB dan 60,0% pada kelompok tidak TB.

Tabel 7 Sebaran contoh menurut umur orang tua

Umur TB Tidak TB

Orang Tua Ayah Ibu Ayah Ibu

(thn) n % n % n % n % 20-40 23 76,7 29 96,7 18 60,0 25 83,3 41-65 7 23,3 1 3,3 12 40,0 5 16,7 Jumlah 30 100,0 30 100,0 30 100,0 30 100,0 Rata-rata±SD 35,1±7,0 29,5±5,1 37,4±8,4 32,8±6,2 P Ayah : 0,250 Ibu : 0,028

Umur ayah pada kelompok TB berkisar antara 26-52 tahun dengan rata-rata 35,1 tahun. Sedangkan pada kelompok tidak TB berkisar antara 24-59 tahun dengan rata-rata 37,4 tahun. Walaupun demikian, pada kelompok tidak TB lebih banyak ayah yang masuk pada kategori dewasa tengah (40,0%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (23,3%). Seluruh ayah pada kedua kelompok contoh tidak ada yang termasuk dalam kategori umur remaja. Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kedua kelompok contoh dalam hal umur ayah.

Umur ibu pada kelompok TB berkisar antara 23-45 tahun dengan rata-rata 29,5 tahun. Sedangkan pada kelompok tidak TB umur ibu berkisar antara 22-41 tahun dengan rata-rata 32,8 tahun. Pada kelompok TB sebagian besar umur ibu berada pada kategori dewasa awal (96,7%), demikian pula pada kelompok yang

tidak TB (83,3%). Tetapi, pada kelompok tidak TB jumlah ibu yang masuk pada kategori dewasa tengah lebih banyak (16,7%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (3,3%). Ibu pada kedua kelompok contoh tidak ada yang masuk dalam kategori umur remaja. Uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal umur ibu pada kedua kelompok contoh.

Individu dewasa awal baru memulai sebuah keluarga sedangkan individu dewasa menengah telah memantapkan perannya sebagai orang tua. Papalia & Olds (1981) menyatakan bahwa status baru sebagai orang tua bagi individu dewasa awal menjadi sumber konflik dan kegelisahan mereka. Sementara itu, pada masa dewasa tengah seseorang biasanya berada dalam kondisi kesehatan yang prima baik secara fisik maupun psikologis. Mereka juga ada dalam kondisi keuangan yang paling aman sepanjang kehidupannya. Dengan demi kian, peran individu dewasa menengah dalam pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk dalam pemeliharaan dan perawatan kesehatan anak dapat lebih optimal.

Pendidikan Orang Tua

Hasil penelitian tingkat pendidikan orang tua contoh dapat dilihat pada Tabel 8. Pendidikan ayah pada kedua kelompok contoh berkisar antara SD-Perguruan Tinggi. Baik pada kelompok TB maupun tidak TB sebagian besar pendidikan ayah masuk dalam kategori SD/sederajat (53,3%). Walaupun demikian, jumlah ayah yang pernah bersekolah di SMA/sederajat dan PT lebih banyak pada kelompok tidak TB (16,7% dan 6,7%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (6,7% dan 3,3%).

Tabel 8 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan orang tua

Tingkat TB Tidak TB

Pendidikan Ayah Ibu Ayah Ibu

Orang Tua n % n % n % n % SD/sederajat 16 53,3 12 40,0 16 53,3 14 46,7 SMP/sederajat 11 36,7 14 46,7 7 23,3 7 23,3 SMA/sederajat 2 6,7 4 13,3 5 16,7 8 26,7 PT 1 3,3 0 0,0 2 6,7 1 3,3 Jumlah 30 100,0 30 100,0 30 100,0 30 100,0 P 0,653 0,739

Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendidikan ayah pada kedua kelompok contoh. Hal ini dapat terjadi karena lebih dari separuh ayah contoh pada kedua kelompok pernah bersekolah di SD/sederajat.

Pendidikan ibu pada kedua kelompok contoh berkisar antara SD-Perguruan Tinggi. Pada kelompok TB bagian terbesar ibu (46,7%) memiliki tingkat pendidikan SMP/sederajat. Sedangkan pada kelompok tidak TB bagian terbesar ibu (46,7%) memiliki tingkat pendidikan SD/sederajat. Tetapi, jumlah ibu yang pernah bersekolah di SMA/sederajat dan PT lebih banyak pada kelompok tidak TB (26,7% dan 3,3%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (13,3% dan 0,0%). Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendidikan ibu pada kedua kelompok contoh. Hal ini dapat terjadi karena kategori terbesar tingkat pendidikan masing-masing kelompok contoh memiliki jumlah yang sama yaitu 46,7%.

Pendidikan orang tua melalui mekanisme hubungan efisiensi penjagaan kesehatan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Selain itu, Atmarita (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Dengan demikian, orang tua yang memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi dapat lebih optimal dalam memelihara kesehatan dan gizi anaknya termasuk dalam pencegahan dan pengobatan penyakit menular seperti TB.

Pekerjaan Orang Tua

Jenis pekerjaan ayah pada kedua kelompok contoh terdiri dari buruh, wiraswasta, sopir, petani, dagang, TNI, PNS, dan pegawai swasta sebagaimana yang ditampilkan oleh Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan aya h Pekerjaan Ayah TB Tidak TB n % n % Buruh 17 56,7 13 43,3 Wiraswasta 5 16,7 5 16,7 Sopir 2 6,7 0 0,0 Petani 1 3,3 1 3,3 Dagang 3 10,0 6 20,0 TNI 1 3,3 0 0,0 PNS 1 3,3 1 3,3 Pegawai Swasta 0 0,0 4 13,3 Total 30 100,0 30 100,0 P=0,148

Pada kedua kelompok contoh sebagian besar ayah bekerja sebagai buruh. Walaupun demikian, jumlah ayah yang bekerja sebagai buruh lebih banyak pada kelompok TB (56,7%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (43,3%). Selain itu, jumlah ayah yang bekerja sebagai pedagang dan pegawai swasta lebih banyak pada kelompok tidak TB (20,0% dan 13,3%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (10,0% dan 0,0%).

Pekerjaan sebagai buruh biasanya memiliki penghasilan yang relatif rendah sedangkan pekerjaan sebagai pedagang dan pegawai swasta dianggap memiliki penghasilan yang relatif tinggi. Dengan demikian, upaya pemenuhan kebutuhan gizi dan kesehatan anak dapat lebih terjamin pada kelompok yang tidak TB. Status gizi dan kesehatan yang baik dapat mengurangi risiko anak terkena penyakit. Uji

Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pekerjaan ayah pada kedua kelompok contoh. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar ayah contoh pada kedua kelompok sama -sama bekerja sebagai buruh. Selain itu, sebanyak 23,33% ayah contoh pada kedua kelompok memiliki jenis pekerjaan yang sama yaitu sebagai wiraswasta, petani, dan Pegawai Negeri Sipil (16,7%, 3,3%, dan 3,3%)

Hasil penelitian pekerjaan ibu contoh sebagaimana disajikan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa Jenis pekerjaan ibu pada kedua kelompok contoh terdiri dari buruh, dagang, guru, PNS, dan ibu rumah tangga.

Tabel 10 Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan ibu

Pekerjaan Ibu TB Tidak TB

n % n % Buruh 2 6,7 1 3,3 Dagang 2 6,7 4 13,3 Guru Swasta 1 3,3 0 0,0 PNS 0 0,0 1 3,3 IRT 25 83,3 24 80,0 Total 30 100,0 30 100,0 P=0,776

Pada kedua kelompok contoh sebagian besar ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga (83,3% dan 80,0%). Tetapi, jumlah ibu yang bekerja sebagai pedagang pada kelompok tidak TB lebih banyak (13,3%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (6,7%). Dengan demikian, dapat memberikan penghasilan yang cukup layak untuk biaya pemeliharaan gizi dan kesehatan anak. Selain itu, ibu yang bekerja sebagai buruh dan ibu rumah tangga lebih banyak pada kelompok TB (6,7% dan 83,3%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (3,3% dan 80,0%). Pekerjaan sebagai buruh memiliki penghasilan yang relatif rendah. Sedangkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tidak memiliki penghasilan yang dapat menambah pendapatan suami yang sebagian besar bekerja sebagai buruh. Hal ini dapat menimbulkan risiko dalam pemenuhan biaya pemeliharaan gizi dan kesehatan anak. Akibatnya, anak menjadi rawan terkena penyakit.

Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pekerjaan ibu pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, pekerjaan ibu tidak mendasari kejadian TB pada anak. Hal ini dapat terjadi karena jumlah ibu yang bekerja justru lebih banyak pada kelompok yang tidak TB sehingga asumsi bahwa ibu yang tidak bekerja dapat lebih optimal memelihara

gizi dan kesehatan anaknya agar dapat mencegah kejadian TB ternyata tidak terbukti.

Pekerjaan dengan penghasilan yang rendah menyebabkan kemampuan untuk menyediakan makanan bagi keluarga dengan kualitas dan kuantitas yang cukup menjadi terbatas (Hartoyo, dkk 2003). Hal ini akan berdampak pada penurunan status gizi anak yang selanjutnya akan mengurangi daya tahan tubuh anak terhadap penyakit. Selain itu, jika orang tua memliki pekerjaan dengan penghasilan yang rendah maka biaya untuk pemeliharaan kesehatan anaknya pun menjadi terbatas. Orang tua yang bekerja terutama ibu juga memiliki keterbatasan dalam hal waktu yang tersedia bagi anaknya. Dengan demikian, perhatian terhadap kesehata n anak dapat menjadi tidak optimal.

Pendapatan

Kategori tingkat pendapatan keluarga contoh dibuat berdasarkan jumlah pendapatan/bulan/kapita penduduk Jawa Barat (BPS 2004) seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 11. Kisaran jumlah pendapatan/bulan/kapita pada kelompok TB adalah Rp 71.429,- sampai dengan Rp 283.333,- sedangkan pada kelompok tidak TB adalah Rp 71.429,- sampai dengan Rp 485.714,-. Rata-rata pendapatan/bulan/kapita pada kelompok TB adalah Rp 181.917,- dan pada kelompok tidak TB adalah Rp 227.790,-.

Tabel 11 Sebaran contoh menurut pendapatan keluarga

Pendapatan Keluarga TB Tidak TB

(Rp/Bulan/Kapita) n % n % < Rp 137.929,- 13 43,3 11 36,7 > Rp 137.929,- 17 56,7 19 63,3 Total 30 100,0 30 100,0 Rata-rata±SD 181.917±77.151 227.790±183.629 P=0,212

Jumlah pendapatan/bulan/kapita pada kedua kelompok contoh sebagian besar berada pada kategori diatas rata-rata jumlah pendapatan/bulan/kapita penduduk Jawa Barat pada tahun 2004. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan jumlah pendapatan/bulan/kapita kelompok TB lebih rendah (56,7%) jika dibandingkan

dengan kelompok tidak TB (63,3%). Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendapatan/bulan/kapita pada kedua kelompok. Hal ini dapat terjadi karena lebih dari separuh contoh pada penelitian ini memiliki jumlah pendapatan/bulan/kapita diatas rata-rata.

Pendapatan yang lebih tinggi akan mendukung perbaikan kesehatan dan gizi anggota keluarga. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya daya beli keluarga tersebut (Berg 1986). Pendapatan keluarga yang rendah mengakibatkan daya beli terhadap pangan yang berkualitas menjadi rendah, akibatnya status gizi anggota keluarga terutama anak-anak akan menurun. Rendahnya status gizi akan menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit.

Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh pada penelitian ini hanya berbeda nyata dalam hal umur ayah. Artinya, umur ayah pada kelompok yang TB lebih muda jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak TB. Seorang kepala keluarga yang berusia dewasa awal kemungkinan besar masih belum mantap menjalankan peran sebagai orang tua. Dengan demikian, upaya pemeliharaan kesehatan dan gizi anaknya kurang optimal. Hal ini dapat menimbulkan risiko kejadian penyakit pada anaknya.

Sementara itu, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, dan tingkat pendapatan keluarga tidak berbeda nyata pada kedua kelompok contoh. Artinya, dalam penelitian ini kejadian TB pada murid TK tidak didasari oleh variabel-variabel tersebut. Dengan demikian, penyakit TB dapat menyerang hampir seluruh keluarga murid TK di wilayah Kecamatan Paseh terutama apabila para kepala keluarga (ayah) kurang mantap dalam menjalankan perannya dalam hal pencegahan penyakit TB bagi anaknya.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi TB

Jenis Kelamin

Tabel 12 berikut ini menunjukkan sebaran contoh pada kedua kelompok menurut jenis kelamin.

Tabel 12 Sebaran contoh menurut jenis kelamin Jenis Kelamin TB Tidak TB n % n % Laki-laki 16 53,3 18 60,0 Perempuan 14 46,7 12 40,0 Total 30 100,0 30 100,0 P=0,605

Sebagian besar contoh pada kedua kelompok penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu 53,3% pada kelompok TB dan 60,0% pada kelompok tidak TB. Selain itu, jumlah contoh laki-laki pada kelompok TB lebih banyak (53,3%) jika dibandingkan dengan jumlah perempuan (46,7%). Uji Mann Whitney

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal jenis kelamin pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, pada penelitian ini jenis kelamin tidak mendasari kejadian TB. Hal ini dapat terjadi karena lebih dari separuh contoh pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki.

Crofton et. al. (2002) menyatakan bahwa angka kejadian TB pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun. Perlawanan tubuh terhadap basil TB pada anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas menurutnya memang hampir tidak ada perbedaan.

Status Imunisasi BCG

Usia yang tepat saat pemberian imunisasi BCG adalah 0-2 bulan. Semakin cepat bayi memperoleh imunisasi BCG maka akan semakin cepat ia memperoleh kekebalan dari serangan penyakit TB (Ismail 2003). Seluruh contoh pada kedua kelompok dalam penelitian ini pernah diimunisasi BCG sewaktu bayi (100,0%)

Dokumen terkait