• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Industri

Penelitian ini dilaksanakan di industri Do’a Ibu. Industri Do’a Ibu merupakan salah satu industri yang bergerak di bidang pangan yaitu memproduksi tahu. Industri ini telah berdiri sejak tahun 1978 hingga sekarang. Industri Do’a Ibu berlokasi di Jalan Poncol Gang Nusa Indah RT 007/07 Ciracas Jakarta Timur. Secara keseluruhan jumlah pekerja sebanyak 80 orang yang terdiri dari 62 bagian produksi, 3 orang bagian penyediaan kayu, 5 orang bagian pemotongan tahu, 2 orang bagian pemilihan tahu dan lainnya bagian pengolahan dan penggorengan. Pekerja yang bekerja di industri Do’a Ibu kebanyakan berjenis kelamin pria. Industri Do’a Ibu tidak membatasi pendidikan terakhir yang harus ditempuh pekerja.

Industri ini menghasilkan dua jenis tahu yaitu tahu kuning dengan menggunakan cetakan dan tahu bandung tanpa mengunakan cetakan. Produksi tahu yang dihasilkan oleh tahu kuning maupun tahu bandung sangat tergantung pada kualitas kedelai yang diperoleh. Proses pembuatan tahu bandung yaitu:

Gambar 2 Proses pembuatan tahu bandung. Kedelai

direndam selama 2 am

Dicuci dan digiling

sari kedelai direbus pada suhu 1800C

sari pati diadon dan didiamkan selama

30 menit

tahu dibentuk dengan kain

Proses pembuatan tahu kuning yaitu:

Gambar 3 Proses pembuatan tahu kuning.

Fasilitas kesejahteraaan yang diberikan industri kepada pekerja yaitu penyediaan makan atau pemberian uang makan. Sistem penyediaan makan dilakukan secara prasmanan dan uang makan diberikan secara perhari. Adapun struktur organisasi dari industri Do’a Ibu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 4 Struktur organisasi industri Do’a Ibu. Bagian Produksi Tahu Kuning Pemilik Industri Bagian Administrasi dan Keuangan Bagian Pemasaran Bagian Produksi Tahu Bandung direndam selama 3 jam Kedelai disaring dan diendapkan digoreng Dicetak dan diiris

direndam air digarami dicuci dan digiling

direbus Selama 30 menit

Karakteristik Pekerja Jenis Kelamin

Pekerja adalah tenaga kerja yang sedang bekerja di industri tahu “Do’a Ibu” pada bagian proses produksi. Jumlah pekerja yang dijadikan contoh adalah sebanyak 62 orang dengan persentase terbesar berjenis kelamin laki-laki sebesar 67,7%.

Tabel 5 Sebaran pekerja berdasarkan jenis kelamin Jumlah Jenis Kelamin n % Laki-laki 42 67,7 Perempuan 20 32,3 Total 62 100,0 Umur

Umur pekerja berkisar antara 19 sampai 59 tahun dengan rata-rata usia pekerja 29 tahun. Lebih dari separuh pekerja termasuk kelompok usia dewasa muda yaitu sebesar 59,7% dan hanya 4,8% contoh berusia dewasa akhir. Menurut Papalia & Olds (1982), pada usia dewasa awal merupakan masa yang paling ideal dalam periode kehidupan manusia dimana memiliki vitalitas penuh dan memiliki daya tahan paling optimal.

Tabel 6 Sebaran pekerja berdasarkan umur Jumlah Umur (tahun) n % 19-29 37 59,7 30-49 22 35,5 50-64 3 4,8 Total 62 100,0 Pendidikan

Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari lamanya pendidikan formal atau nonformal yang pernah ditempuh.

Tabel 7 Sebaran pekerja berdasarkan pendidikan Jumlah Tingkat Pendidikan n % SD 45 72,6 SMP 7 11,3 SMA 10 16,1 Total 62 100,0

Tingkat pendidikan terakhir pekerja memiliki persentase terbesar pada tingkat SD yaitu sebanyak 72,6%, sedangkan pekerja yang memiliki pendidikan terakhir SMP dan SMA hanya 11,3% dan 16,1%. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh pekerja memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Banyaknya pekerja yang memiliki pendidikan rendah disebabkan Industri Tahu Do’a Ibu tidak mensyaratkan tingkat pendidikan terakhir yang harus ditempuh oleh setiap pekerja.

Upah

Upah merupakan imbalan yang diterima seseorang di dalam hubungan kerja, berupa uang atau barang, melalui suatu perjanjian kerja (Ravianto 1985). Upah pekerja berkisar antara Rp.300.000 sampai Rp.3.000.000 per bulan, dengan rata-rata upah pekerja Rp.1.031.613. Persentase terbesar pekerja (45,2%) memiliki upah antara Rp.500.001 sampai Rp.1.000.000.

Tabel 8 Sebaran pekerja berdasarkan upah Jumlah Upah (Rp/bln) n % ≤Rp.500.000 7 11,3 Rp.500.001-Rp.1.000.000 28 45,2 Rp. 1.000.001-Rp.2.000.000 24 38,7 >Rp.2.000.000 3 4,8 Total 62 100,0

Rata-rata upah yang diperoleh pekerja (Rp.1.031.613) berada di atas UMR DKI Jakarta tahun 2008 yaitu Rp 972.604,80 (Wikipedia Indonesia 2008). Lebih dari separuh pekerja memiliki upah berada dibawah UMR.

Tabel 9 Sebaran upah pekerja berdasarkan nilai UMR Jumlah Upah (Rp/bln) n % Dibawah UMR (<Rp 972.604,80) 35 56,5 Diatas UMR (>Rp 972.604,80) 27 43,5 Total 62 100,0 Besar Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak (keluarga inti). Besar keluarga ditentukan berdasarkan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Besar keluarga pekerja berkisar antara 2 sampai 8 orang, dengan rata-rata besar keluarga pekerja sebanyak 3 orang. Berdasarkan Tabel 10 diperoleh bahwa sebagian besar pekerja (85,5%) termasuk kategori keluarga kecil dan hanya 1,6 % pekerja termasuk kategori keluarga besar. Menurut Suhardjo (1989), besar keluarga menentukan

pemenuhan kebutuhan makanan. Pemenuhan kebutuhan makanan akan menjadi lebih mudah pada keluarga yang memiliki jumlah anggota lebih sedikit.

Tabel 10 Sebaran pekerja berdasarkan besar keluarga Jumlah Besar Keluarga (orang) n % <5 53 85,5 5-7 8 12,9 >7 1 1,6 Total 62 100,0 Lama kerja

Lama kerja pekerja berkisar antara 1 sampai 25 tahun, dengan rata-rata lama kerja pekerja 5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh pekerja (66,1%) telah bekerja sebagai pekerja tahu kurang dari 5 tahun, sedangkan pekerja tahu yang bekerja lebih dari 10 tahun hanya sebesar 11,3%.

Tabel 11 Sebaran pekerja berdasarkan lama kerja Jumlah Lama Kerja (tahun) n % <5 41 66,1 5-10 14 22,6 >10 7 11,3 Total 62 100,0 Jam Kerja

Jam kerja contoh berkisar antara 5 sampai 14 jam per hari dan diberi istirahat selama satu atau dua jam. Selama satu minggu, persentase terbesar jam kerja pekerja berada pada kategori 6 sampai 10 jam. Hampir separuh pekerja (48,4%) memiliki rata-rata jam kerja 6 sampai 10 jam dan hanya 9,7% pekerja yang memiliki jam kerja kurang dari 6 jam.

Tabel 12 Sebaran pekerja berdasarkan jam kerja selama satu minggu

Hari 1 2 3 4 5 6 Rata-rata Jam Kerja n % n % n % n % n % n % n % <6 5 8,1 5 8,1 3 4,8 3 4,8 5 8,1 6 9,7 6 9,7 6-10 32 51,6 32 51,6 32 51,6 31 50,0 30 48,4 29 46,8 30 48,4 >10 25 40,3 25 40,3 27 43,6 28 45,2 27 43,5 27 43,5 26 41,9 To tal 62 100 62 100 62 100 62 100 62 100 62 100 62 100 Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peran makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit, serta cara mengolah makanan agar zat gizi dalam makanan tidak hilang (Notoadmodjo 1993).

Tabel 13 Sebaran pekerja berdasarkan pengetahuan gizi Jumlah Pengetahuan Gizi n % Kurang 19 30,6 Sedang 37 59,7 Baik 6 9,7 Total 62 100,0

Persentase terbesar pekerja (59,7%) memiliki pengetahuan gizi tingkat sedang yaitu dengan persentase jumlah benar sebanyak 60-80% dan masih tedapat pekerja yang memiliki pengetahuan gizi dengan kategori kurang yaitu sebanyak 30,6. Hal ini diduga karena tingkat pendidikan pekerja yang masih relatif rendah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan gizi dan pendidikan pekerja (r=0,365**; p=0,004).

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan pengetahuan gizi pekerja berhubungan dengan tingkat konsumsi energi (r=0,253*; p=0,047) dan produktivitas kerja (r=0,276*; p=0,030). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi maka semakin tinggi tingkat konsumsi energi dan produktivitas kerja. Menurut Suhardjo (2003), pengetahuan gizi yang diperoleh sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang dalam memilih makanan.

Penerapan Gizi Kerja

Penerapan gizi kerja diperlukan oleh tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh sesuai dengan jenis pekerjaan. Penerapan gizi kerja di institusi atau perusahaan, dapat dilaksanakan dan dipantau dari segi berikut ini: (1) ada tidaknya kantin (ruang makan) di institusi/ perusahaan, (2) kualitas penyelenggaraan makan bagi tenaga kerja, (3)ada tidaknya usaha peningkatan penyelenggaraan makan di institusi/ perusahaan (Riyadi 2006). Penerapan gizi kerja di industri tahu Doa Ibu sudah dilaksanakan dalam bentuk pemberian makan dan uang makan. Akan tetapi industri tahu tidak menyediakan makanan selingan, ruangan untuk makan,dan kantin.

Tabel 14 Sebaran pekerja berdasarkan penerapan gizi kerja Jumlah Penerapan Gizi Kerja

n %

Pemberian makan 10 16,1

Pemberian uang makan 35 56,5

Pemberian makan dan uang makan 10 16,1 Tidak diberikan makan dan uang makan 7 11,3

Berdasarkan Tabel 14, diperoleh hasil bahwa hanya 16,1% pekerja yang mendapat makan. Industri Tahu memberikan makanan secara prasmanan. Lebih dari separuh pekerja (56,5%) mendapat uang makan. Tetapi ada sebagian pekerja (16,1%) yang diberi makan dan uang makan juga, hal ini tergantung dari jam kerja dan besar kecilnya upah yang diterima.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1988). Konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan aspek gizi dan kesehatan. Kebutuhan zat gizi akan terjamin pemenuhannya dengan cara mengkonsumsi makanan yang beragam. Konsumsi pangan beragam akan memberikan mutu yang lebih baik dari pada makanan yang dikonsumsi secara tunggal (Suhardjo 1989).

Konsumsi energi pekerja sebagian besar bersumber dari bahan pangan sumber karbohidrat yaitu nasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi energi pekerja berkisar antara 1042 Kal sampai 3027 Kal, dengan rata-rata konsumsi energi pekerja sebesar 1800 Kal. Berdasarkan Tabel 15, rata-rata konsumsi energi pekerja (1995 Kal) pada kisaran usia 50 sampai 64 tahun lebih tinggi dibandingkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004 yaitu 1984 Kal. Tingginya tingkat konsumsi energi pekerja pada usia 50 sampai 64 tahun disebabkan oleh frekuensi makan pada usia ini lebih teratur dan lebih bervariasi dibandingkan dengan pekerja yang lain. Sedangkan pada kisaran usia 19 sampai 29 tahun dan 30 sampai 49, rata-rata konsumsi energi pekerja dibawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004.

Rata-rata konsumsi energi pekerja yang masih kurang dari AKG yang dianjurkan berdasarkan kelompok usia dapat disebabkan oleh berkurangnya frekuensi makan sebagian besar pekerja terutama dalam mengkonsumsi nasi. Hal ini dapat mengakibatkan jenis pangan yang dikonsumsi juga berkurang. Sebagian pekerja lebih sering mengkonsumsi makanan yang siap saji sebagai makan malam seperti: bakso, mie ayam, mie rebus, dan nasi goreng, dibandingkan makanan lengkap yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk,

sayur, dan buah. Hal ini diduga karena pekerja kelelahan saat pulang kerja sehingga tidak sempat memasak makanan.

Tabel 15 Rata-rata konsumsi energi, protein, dan besi pekerja berdasarkan kelompok usia

Kelompok Usia Energi dan Zat Gizi

19-29 (n=37) 30-49 (n=22) 50-64 (n=3) Energi Konsumsi (Kal) 1749 1860 1995 Kecukupan (Kal/hari) 2075 2133 1984 Tingkat Konsumsi (%AKG) 84,71 90,87 102,68

Protein

Konsumsi (g) 37,86 36,43 39,41

Kecukupan (g/hari) 50,53 56,03 52,90 Tingkat Konsumsi (%AKG) 74,92 68,12 75,01

Besi

Konsumsi (mg) 9,56 9,57 12,42

Kecukupan (mg/hari) 17,22 17,73 13,00 Tingkat Konsumsi (%AKG) 61,78 58,15 95,55

Sebaran pekerja berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dapat dilihat pada Tabel 16. Persentase TKE terbesar pekerja berada pada kategori normal yaitu sebesar 40,3 % dan masih terdapat 25,8% pekerja yang memiliki TKE dengan kategori defisit tingkat berat. Rendahnya TKE pekerja diduga karena sebagian besar pekerja tidak memperhatikan frekuensi makan yang dikonsumsi terutama makanan yang mengandung karbohidrat seperti nasi yang memberikan sumbangan besar terhadap energi. Menurut Soekirman (2000), makanan yang tidak seimbang menyebabkan terjadi defisit atau surplus energi. Ketidakseimbangan makanan akan mengganggu fungsi tubuh yang berakibat negatif terhadap keadaan gizi dan kesehatan.

Tabel 16 Sebaran pekerja berdasarkan tingkat konsumsi energi TKE

Kategori

n %

Defisit tingkat berat <70% 16 25,8 Defisit tingkat sedang 70-79% 17 27,4 Defisit tingkat ringan 80-89% 0 0.0

Normal 90-119% 25 40,3

Kelebihan >120% 4 6,5

Total 62 100,0

Konsumsi protein pekerja berkisar antara 14,32 g sampai 69,07 g, dengan rata-rata konsumsi protein pekerja sebesar 37,43 g. Rata-rata konsumsi protein pekerja belum dapat memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004 pada kisaran usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun. Hal ini disebabkan

pekerja lebih banyak mengkonsumsi makanan sumber protein yang berasal dari protein nabati seperti tempe dan tahu. Menurut Marsetyo (2003) diacu dalam Nuraieni (2007), protein sebagai pembentuk energi, angka yang ditunjukkan akan tergantung dari macam dan jumlah bahan makanan nabati dan hewani yang dikonsumsi setiap hari.

Tabel 17 Sebaran pekerja berdasarkan tingkat konsumsi protein TKP

Kategori

n %

Defisit tingkat berat <70% 33 53,2 Defisit tingkat sedang 70-79% 16 25,8 Defisit tingkat ringan 80-89% 0 0.0

Normal 90-119% 11 17,8

Kelebihan >120% 2 3,2

Total 62 100,0

Lebih dari separuh pekerja (53,2%) memiliki tingkat konsumsi protein dengan kategori defisit tingkat berat. Sedangkan pekerjayang memiliki tingkat konsumsi protein kategori normal hanya 17,8%. Menurut Khumaidi (1989), kecukupan protein akan dapat terpenuhi apabila kecukupan energi telah terpenuhi karena sebanyak apapun protein akan dibakar menjadi panas dan tenaga apabila cadangan energi masih dibawah kebutuhan.

Konsumsi zat besi pekerja berkisar antara 2,72 mg sampai 22,50 mg, dengan rata-rata konsumsi besi pekerja sebesar 9,70 mg. Rata-rata konsumsi zat besi pekerja belum dapat memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004 pada kisaran usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun. Hal ini disebabkan sumber zat besi yang dikonsumsi oleh pekerja masih relatif rendah. Menurut Gibson (2005) pangan yang tinggi zat besi yaitu hati, ginjal, limpa, dan daging merah. Selain itu pangan dengan kandungan zat besi yang sedang yaitu ayam, daging yang diproses, ikan, dan legume (hanya besi non-heme).

Tabel 18 Sebaran pekerja berdasarkan tingkat konsumsi zat besi Tingkat Konsumsi Zat Besi Kategori

n %

Kurang <77% 44 71,0

Baik ≥77% 18 29,0

Total 62 100,0

Berdasarkan Tabel 18, diperoleh hasil bahwa lebih dari separuh pekerja (71,0%) memiliki tingkat kecukupan zat besi kurang. Sedangkan pekerja yang memiliki konsumsi zat besi dengan kategori baik hanya 29,0%. Tingkat kecukupan zat besi yang kurang diduga karena pekerja lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber protein nabati, sehingga penyerapan zat besi

dalam tubuh kurang baik. Menurut IOM (2001) diacu dalam WNPG (2004), faktor penghambat penyerapan besi yaitu fitat, polifenol, protein nabati, kalsium.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Status gizi seseorang dapat diukur dan dinilai. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik (Riyadi 2006).

Status gizi pekerja diukur berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu rasio berat badan (kg) terhadap kuadrat tinggi badan (m). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata berat badan pekerja adalah 53 kg dengan kisaran antara 39 kg sampai 82 kg. Sedangkan rata-rata tinggi badan pekerja adalah 159 cm dengan kisaran antara 145 cm sampai 173 cm. Sebaran pekerja berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Sebaran pekerja berdasarkan status gizi Jumlah Kategori IMT n % Kurus <18,5 17 27,4 Normal 18,5-24,99 39 62,9 Gemuk ≥25,00 6 9,7 Total 62 100,0

IMT pekerja berkisar antara 16,2 sampai 31,1, dengan rata-rata IMT pekerja sebesar 21,1. Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih dari separuh pekerja (62,9%) berstatus gizi normal dengan kategori IMT antara 18,5-24,99. Menurut Riyadi (2006) pada dasarnya status gizi seseorang ditentukan berdasarkan konsumsi gizi dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat-zat gizi tersebut. Status gizi yang normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi telah memenuhi kebutuhan tubuh.

Pekerja dengan kategori IMT <18,5 memiliki status gizi kurus sebanyak 27,4%. Sedangkan pekerja yang memiliki status gizi gemuk hanya 9,7%. Menurut Supariasa et.al (2002), seseorang yang berada dibawah ukuran normal memiliki risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan seseorang yang berada diatas ukuran normal memiliki risiko tinggi penyakit degeneratif. Adapun penyakit yang banyak diderita contoh selama tiga bulan terakhir antara lain: maag, pegal, batuk, demam, dan pusing.

Penggunan Cetakan

Teknologi merupakan bentuk kemampuan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk keperluan hidupnya. Penggunaan teknologi dalam suatu industri harus memenuhi empat syarat yaitu: dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, dapat dimanfaatkan dan dikelola secara ekonomis, dapat diterima oleh masyarakat dan serasi dengan lingkungan (Cahyono 1983). Salah satu teknologi yang digunakan dalam pembuatan tahu adalah penggunaan cetakan. Cetakan dapat digunakan dengan baik oleh pekerja dan digunakan secara individu.

Jumlah pekerja yang menggunakan cetakan sebanyak 51,6% sedangkan pekerja yang tidak menggunakan cetakan sebanyak 48,4%. Menurut Ravianto (1985), manusia yang bekerja tanpa alat akan melakukan seluruh proses kegiatan, dengan adanya alat-alat (handtool) akan membantu manusia di dalam melaksanakan pekerjaaan yang tadinya dilakukan dengan tangan.

Tabel 20 Sebaran pekerja berdasarkan jumlah cetakan Jumlah Kategori Jumlah Cetakan

n % <4 25 78,1 4-6 4 12,5 7-9 1 3,1 >9 2 6,3 Total 32 100,0

Berdasarkan Tabel 20, jumlah cetakan yang paling banyak digunakan pekerja yaitu sebanyak kurang dari 4 cetakan dengan persentase 78,1% % dan hanya 3,1% pekerja yang menggunakan cetakan 7 sampai 9. Jumlah cetakan yang digunakan dalam pembuatan tahu berbeda-beda tergantung kemampuan menggunakan cetakan tersebut. Hasil uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara penggunaan cetakan dengan lama kerja (p=0,225).

Produktivitas Kerja

Produktivitas kerja merupakan suatu konsep yang menunjukkan adanya kaitan antara hasil kerja seorang tenaga kerja dengan satuan waktu yang dibutuhkannya untuk menghasilkan suatu produk. Seorang tenaga kerja menunjukkan tingkat produktivitas yang lebih tinggi apabila seorang pekerja mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan standar yang telah ditentukan, dalam satuan waktu yang lebih singkat, atau memakai sumberdaya yang lebih sedikit (Ravianto 1985). Produktivitas kerja dalam penelitian ini diukur

berdasarkan jumlah produksi tahu yang dihasilkan oleh pekerja setiap jam selama satu minggu.

Tabel 21 Sebaran pekerja berdasarkan jumlah tahu selama satu minggu

Hari 1 2 3 4 5 6 Rata-rata Juml ah Tahu n % n % n % n % n % n % n % ≤300 5 8,1 3 4,8 2 3,2 3 4,8 2 3,2 2 3,2 2 3,2 301-600 45 72,6 50 80,7 51 82,3 47 75,8 51 82,3 50 80,7 50 80,7 >600 12 19,3 9 14,5 9 14,5 12 19,4 9 14,5 10 16,1 10 16,1 To tal 62 100 62 100 62 100 62 100 62 100 62 100 62 100

Berdasarkan Tabel 21, jumlah tahu yang dihasilkan pekerja dari hari ke hari tidak berbeda jauh dengan hari sebelumnya. Jumlah tahu yang dihasilkan dari hari pertama sampai hari keenam kebanyakan berjumlah 301 sampai 600 Sebagian besar pekerja (80,7%) menghasilkan rata-rata jumlah tahu selama satu minggu dengan jumlah 301 sampai 600, dan hanya 16,1% pekerja yang dapat menghasillkan tahu dengan jumlah lebih dari 6000. Menurut Ravianto (1985), keluaran yang lebih banyak dengan sumberdaya yang sama akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi.

Hubungan Tingkat Konsumsi Energi dengan Produktivitas Kerja

Energi dibutuhkan manusia untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik dan menggerakkan proses-proses dalam tubuh. Seseorang tidak dapat bekerja dengan energi yang melebihi dari apa yang diperoleh dari makanan kecuali menggunakan cadangan energi dalam tubuh, namun kebiasaan meminjam ini akan dapat mengakibatkan keadaan gawat yaitu kurang gizi khususnya energi. Seorang tenaga kerja dengan gizi yang baik akan memiliki kapasitas dan ketahanan tubuh yang lebih baik yang menunjang produktivitas kerja (Ravianto 1985).

Berdasarkan Tabel 22, terlihat bahwa tidak terdapat pekerja pada defisit tingkat berat yang menghasilkan tahu >600 buah per jam. Sedangkan pada kondisi normal, pekerja dapat menghasilkan tahu yang lebih banyak. Pekerja akan menunjukkan suatu produktivitas kerja apabila tenaga kerja diberikan tenaga yang berasal dari makanan. Kebutuhan-kebutuhan akan tenaga bagi seorang pekerja akan meningkat sesuai dengan lebih beratnya pekerjaan. Bagi pekerjaan fisik yang berat, gizi dengan kalori yang memadai menjadi syarat utama yang menentukan tingkat produktivitas kerja (Ravianto 1985).

Tabel 22 Sebaran pekerja berdasarkan tingkat konsumsi energi dan produktivitas kerja

Produktivitas Kerja (jumlah tahu/jam)

≤300 301-600 >600 Total Kategori Tingkat

Konsumsi Energi

n % n % n % n %

Defisit tingkat berat 0 0,0 16 100,0 0 0,0 16 100,0 Defisit tingkat sedang 2 11,8 11 64,7 4 23,5 17 100,0 Defisit tingkat ringan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Normal 0 0,0 23 92,0 2 8,0 25 100,0 Kelebihan 0 0,0 0 0,0 4 100,0 4 100,0 Total 2 3,2 50 80,6 10 16,1 62 100,0 Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara tingkat konsumsi energi dengan produktivitas kerja (r=0,455**; p=0,000). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi energi maka semakin tinggi produktivitas kerja. Menurut Ravianto (1985), makin besar tenaga yang diberikan sampai taraf tertentu, maka makin besar juga kemungkinan produktivitas kerja.

Hubungan Tingkat Konsumsi Protein dengan Produktivitas Kerja

Protein adalah salah satu sumber utama energi, bersama-sama dengan karbohidrat dan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 36,4% pekerja yang memiliki tingkat konsumsi protein tingkat normal dan dapat menghasilkan tahu lebih dai 600 buah per jam. Sedangkan pekerja yang memiliki konsumsi protein tingkat berat hanya 9,1% dapat menghasilkan tahu dengan jumlah lebih dari 600 buah per jam.

Tabel 23 Sebaran pekerja berdasarkan tingkat konsumsi protein dan produktivitas kerja

Produktivitas Kerja (jumlah tahu/jam)

≤300 301-600 >600 Total Kategori Tingkat

Konsumsi Protein

n % n % n % n %

Defisit tingkat berat 0 0,0 30 90,9 3 9,1 33 100,0 Defisit tingkat sedang 1 6,3 13 81,2 2 12,5 16 100,0 Defisit tingkat ringan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Normal 1 9,1 6 54,5 4 36,4 11 100,0 Kelebihan 0 0,0 1 50,0 1 50,0 2 100,0 Total 2 3,2 50 80,6 10 16,1 62 100,0 Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan sangat signifikan antara tingkat konsumsi protein dengan produktivitas kerja (r=0,378**; p=0.002). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi protein maka semakin tinggi produktivitas kerja. Menurut Sediaoetama (2006), protein memiliki fungsi sebagai zat pembangun, proses pertumbuhan dan pemeliharaan

jaringan, menggantikan sel-sel yang mati dan yang habis terpakai sebagai protein struktural.

Hubungan Tingkat Konsumsi Besi dengan Produktivitas Kerja

Zat besi adalah salah satu zat gizi penting yang terdapat pada setiap sel hidup walaupun jumlah yang dibutuhkan sedikit. Kekurangan zat besi, dapat menyebabkan anemia gizi besi. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan, menurunkan kognitif, dan dapat menurunkan daya tahan tubuh (IOM 2001 diacu dalam WNPG 2004).

Tabel 24 Sebaran pekerja berdasarkan tingkat konsumsi zat besi dan produktivitas kerja

Produktivitas Kerja (jumlah tahu/jam)

≤300 301-600 >600 Total Kategori Tingkat

Konsumsi Zat Besi

n % n % n % n %

Kurang 0 0,0 39 88,6 5 11,4 44 100,0 Baik 2 11,11 11 61,1 5 27,8 18 100,0 Total 2 3,2 50 80,6 10 16,1 62 100,0 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja (88,6%) dengan konsumsi zat besi tingkat kurang dapat menghasilkan tahu dengan jumlah 301 sampai 600 buah per jam. Sedangkan sebanyak 61,1% pekerja dengan tingkat konsumsi baik dapat menghasilkan tahu dengan jumlah 301 sampai 600 buah per jam. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat konsumsi zat besi dengan produktivitas kerja (r=0,140; p=0,276). Hal ini disebabkan karena dalam proses pembuatan tahu tidak membutuhkan ketelitian dan konsentrasi yang tinggi. Tetapi lebih membutuhkan kemampuan yang dipengaruhi oleh lama kerja.

Hubungan Status Gizi dengan Produktivitas Kerja

Gizi yang cukup merupakan masukan yang penting untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Berdasarkan hasil analisis, sebanyak 17,9% pekerja yang status gizi normal dapat menghasilkan tahu lebih dari 600 per jam. Sedangkan pekerja dengan status gizi kurus tidak ada yang menghasilkan tahu dengan jumlah lebih dari 600 tahu per jam. Kekurangan gizi dapat menyebabkan seseorang lebih rentan terhadap penyakit, kurang motivasi, bereaksi lamban dan apatis. Selanjutnya rendahnya status gizi dan kesehatan menyebabkan rendahnya produktivitas kerja (Khomsan 2002).

Tabel 25 Sebaran pekerja berdasarkan status gizi dan produktivitas kerja Produktivitas Kerja (jumlah tahu/jam)

≤300 301-600 >600 Total Kategori Indeks Massa Tubuh n % n % n % n % Kurus 1 5,9 16 94,1 0 0,0 17 100,0 Normal 1 2,6 31 79,5 7 17,9 39 100,0

Dokumen terkait