• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-Undang Pangan 1996). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1988).

Konsumsi pangan sehari-hari bagi sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, (2) pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga, dan (3) tersedianya pangan yang dipengaruhi oleh produksi dan pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga (Harper et.al. 1986). Konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan aspek gizi dan kesehatan. Kebutuhan zat gizi akan terjamin pemenuhannya dengan cara mengkonsumsi makanan yang beragam. Konsumsi pangan beragam akan memberikan mutu yang lebih baik dari pada makanan yang dikonsumsi secara tunggal (Suhardjo 1989).

Tubuh manusia memerlukan berbagai zat gizi, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak sebagai sumber tenaga; vitamin, garam-garam mineral, zat besi, yodium, asam-asam lemak tak jenuh sebagai bahan-bahan pelindung; air atau bahan-bahan cair lainnya sebagai pendingin tubuh. Tubuh manusia masih tetap dapat melanjutkan pekerjaannya, walaupun tubuh harus memecah bagiannya untuk diubah menjadi energi dan tenaga. Hal ini akan sangat merugikan tubuh, terutama jika proses pemeliharaan kerusakan tubuh tidak berjalan sempurna. Jika hal tersebut berjalan secara terus-menerus maka daya tahan tubuh akan menurun dan kesehatannya akan terganggu. Dengan demikian tenaga kerja hanya dapat bekerja selama pekerja memiliki tenaga yang diperolehnya dari makanan.

Gizi yang cukup dan badan yang sehat merupakan syarat bagi produktivitas kerja yang tinggi. Makin berat suatu pekerjaan fisik, makin banyak

kalori yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tersebut (Ravianto 1985). Sebagai salah satu bentuk kebutuhan dasar manusia, konsumsi makanan yang baik akan bepengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan fisik serta keadaan kesehatan yang optimal. Konsumsi makanan yang kurang maupun berlebihan kedua-duanya dapat menyebabkan penyakit. Oleh karena itu masalah gizi dapat menimpa siapa saja baik golongan miskin maupun golongan kaya (Khomsan 2002).

Makanan yang tidak seimbang menyebabkan terjadi defisit atau surplus energi. Ketidakseimbangan makanan akan mengganggu fungsi tubuh yang berakibat negatif terhadap keadaan gizi dan kesehatan (Soekirman 2000). Konsumsi pangan dapat mencerminkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya. Kuantitas, kualitas dan keragaman konsumsi pangan akan mempegaruhi status gizi seseorang.

Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Kebutuhan manusia akan energi dan zat gizi lainnya sangat bervariasi meskipun faktor-faktor seperti ukuran badan, jenis kelamin, macam kegiatan, dan faktor lainnya sudah diperhitungkan (Suhardjo & Kusharto 1988). Energi dibutuhkan manusia untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik dan menggerakkan proses-proses dalam tubuh seperti: sirkulasi darah, denyut jantung, pernapasan, pencernaan, dan proses-proses fisiologis lainnya. Seseorang tidak dapat bekerja dengan energi yang melebihi dari apa yang diperoleh dari makanan kecuali menggunakan cadangan energi dalam tubuh, namun kebiasaan meminjam ini akan dapat mengakibatkan keadaan gawat yaitu kurang gizi khususnya energi. Makanan merupakan sumber energi namun tidak semua energi terkandung di dalamnya dapat diubah oleh tubuh ke dalam bentuk tenaga (Suharjo dan Clara 1988). Semakin meningkat kegiatan tubuh, semakin meningkat pula metabolisme tubuh. Hal ini berarti bahwa orang yang sangat aktif, kecukupan energi dan gizinya juga lebih tinggi (Riyadi 2006).

Protein adalah salah satu sumber utama energi, bersama-sama dengan karbohidrat dan lemak. Tetapi energi yang berasal dari protein termasuk mahal, sehingga tidak ekonomis apabila sebagian besar energi yang diperlukan oleh tubuh disediakan di dalam makanan terdapat dalam bentuk protein. Menurut Marsetyo (2003) diacu dalam Nuraieni (2007), protein sebagai pembentuk energi, angka yang ditunjukkan akan tergantung dari macam dan jumlah bahan makanan nabati dan hewani yang dikonsumsi setiap hari. Berdasarkan

sumbernya, protein diklasifikasikan menjadi antara lain: (a) protein hewani yaitu protein dalam bahan makanan yang berasal dari hewan, seperti protein dari daging, protein susu, dan sebagainya, (b) protein nabati yaitu protein dalam bahan makanan yang berasal dari tumbuhan, seperti protein dari jagung, protein dari terigu, dan sebagainya.

Kecukupan protein akan dapat terpenuhi apabila kecukupan energi telah terpenuhi karena sebanyak apapun protein akan dibakar menjadi panas dan tenaga apabila cadangan energi masih dibawah kebutuhan (Khumaidi 1989). Protein memiliki fungsi sebagai zat pembangun, selain itu berfungsi dalam proses pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati dan yang habis terpakai sebagai protein struktural (Sediaoetama 2006).

Zat besi adalah salah satu zat gizi penting yang terdapat pada setiap sel hidup baik sel tumbuh-tumbuhan maupun sel hewan. Bahan makanan yang mengandung zat besi antara lain adalah hati, daging yang termasuk bahan pangan sumber hewani sedangkan bahan pangan sumber nabati yaitu kacang kedelai, kacang tanah, kacang panjang, serat, dan sayuran hijau. Zat besi yang berasal dari tumbuhan yang dapat diabsorpsi hanya sedikit sedangkan bahan makanan yang berasal dari hewani dapat diabsorpsi dengan cukup tinggi (Anwar 1998). Pangan yang tinggi zat besi yaitu hati, ginjal, limpa, dan daging merah. Selain itu pangan dengan kandungan zat besi yang sedang yaitu ayam, daging yang diproses, ikan, dan legume (hanya besi non-heme). Susu dan produk susu merupakan sumber pangan yang miskin zat besi (Gibson 2005).

Faktor yang mempengaruhi kebutuhan besi adalah keasaman lambung, bioavailabilitas termasuk faktor pendorong penyerapan besi (vitamin C, asam organik) dan faktor penghambat penyerapan besi (fitat, polifenol, protein nabati, kalsium), usia, jenis kelamin, keadaan fisiologis, serta interaksi antar zat gizi. (LIPI 2005, diacu dalam Riyadi 2006). Kekurangan zat besi, dapat menyebabkan anemia gizi besi. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan, menurunkan kognitif, dan dapat menurunkan daya tahan tubuh (IOM 2001, diacu dalam WNPG 2004).

Penilaian tingkat konsumsi makanan (energi dan zat gizi) diperlukan suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk populasi yang diteliti. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang digunakan di Indonesia adalah hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004. Penyajian Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut berdasarkan pada kelompok

umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktivitas, kondisi fisiologis khusus (hamil dan menyusui). Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan untuk laki-laki dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan untuk laki-laki (per orang per hari)

Jenis Kelamin Umur (th) BB (kg) TB (cm) Energi (Kal) Protein (g) Fe (mg) Pria 60 165 2550 60 13 Wanita 19-29 52 156 1900 50 26 Pria 62 165 2350 60 13 Wanita 30-49 55 156 1800 50 26 Pria 62 165 2250 60 13 Wanita 50-64 55 156 1750 50 12 Sumber: WNPG (2004)

Kecukupan energi sangat penting diperhatikan pada tenaga kerja karena tenaga kerja biasanya memiliki kerja fisik cukup besar. Akan tetapi, hal ini bukan berarti kecukupan zat gizi lain tidak perlu diperhatikan, sebab ada beberapa vitamin dan mineral yang kecukupannya juga akan meningkat apabila kecukupan energinya meningkat. Hal ini karena vitamin tersebut sangat penting peranannya dalam metabolisme energi. Angka kecukupan protein dapat dilihat dari jumlah nitrogen dan asam amino esensial sebagai dasar perhitungan kandungan protein makanan. Cukup tidaknya konsumsi protein dapat dilihat dari keseimbangan antara jumlah pemasukan (konsumsi) nitrogen dengan jumlah nitrogen yang dibuang lewat air seni, tinja, dan kulit (Riyadi 2006).

Penentuan kecukupan gizi tenaga kerja perlu mempertimbangkan taraf kegiatan kerja (bekerja ringan, sedang, berat) (Riyadi 2006). Tenaga kerja yang memiliki tingkat pekerjaan yang lebih berat, memerlukan energi yang lebih besar dari pada tenaga kerja yang memiliki tingkat pekerjaan yang lebih ringan. Menurut Marsetyo (2003) diacu dalam Nuraieni (2007), tingkat konsumsi energi, protein dan zat besi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi badan, pola dan kebiasaan makan, maupun pendapatan.

Kebutuhan Zat Gizi Usia Dewasa

Manusia yang sudah mencapai usia lebih dari 20 tahun, pertumbuhan tubuhnya sama sekali sudah terhenti. Hal ini menunjukkan makanan tidak lagi berfungsi untuk pertumbuhan tubuh, tetapi semata-mata untuk mempertahankan keadaan gizi yang sudah didapat atau membuat keadaan gizinya menjadi lebih baik. Dengan demikian kebutuhan akan unsur-unsur gizi dalam masa dewasa

sudah agak konstan, kecuali jika terjadi kelainan-kelainan pada tubuhnya seperti sakit dan sebagainya, yang mengaharuskan orang tersebut mendapat lebih banyak unsur gizi dari makanannya (Moehji 1985).

Tabel 2 Kebutuhan zat gizi orang dewasa berdasarkan tingkat kegiatan

Pria Wanita

Zat Gizi

Ringan Sedang Berat Ringan Sedang Berat Energi (Kal) 2400 2700 3250 1900 2100 2400

Protein (g) 50 50 50 44 44 44

Besi (mg) 13 13 13 25 26 26

Sumber: LIPI (1988) diacu dalam Hardinsyah & D.Martianto (1992)

Cara yang paling mudah untuk mengetahui apakah dalam makanan orang dewasa cukup mengandung unsur-unsur gizi atau tidak adalah dengan mengetahui perubahan berat badannya. Jika berat badan berkurang, ini menunjukkan bahwa jumlah kalori dalam makanannya tidak cukup, sehingga cadangan lemak tubuhnya terpaksa diambil. Terbakarnya cadangan lemak ini mengakibatkan turunnya berat badan. Sebaliknya, jika terjadi kenaikan berat badan, menunjukkan adanya kelebihan zat makanan terutama zat makanan yang dapat memberikan kalori sehingga kelebihan ini terpaksa disimpan sebagai lemak cadangan, yang mengakibatkan naiknya berat badan (Moehji 1985). Satu-satunya kebutuhan unsur gizi yang berubah-ubah pada orang dewasa ialah kalori, karena kebutuhan akan kalori tergantung pada kegiatan otot yang dilakukan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan gizi tenaga kerja diperlukan adanya gizi yang disediakan oleh suatu industri atau perusahaan.

Gizi Kerja

Gizi kerja adalah gizi yang diperlukan oleh tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh sesuai dengan jenis pekerjaan. Gizi kerja ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan tenaga kerja dan produktivitas kerja yang setinggi-tingginya. Disamping memberi nilai-nilai kesejahteraan dan kesehatan, peranan gizi kerja langsung memberi dampak ekonomi yang positif. Penerapan gizi kerja di perusahaan juga mewujudkan pembinaan hubungan perburuhan yang diarahkan kepada terciptanya kerja sama yang serasi antara tenaga kerja dan pengusaha (Riyadi 2006). Adanya kantin di perusahaan dan lain-lain merupakan gambaran gerakan memasyarakatkan gizi kerja untuk perbaikan produktivitas tenaga kerja (Ravianto 1985).

Penerapan gizi kerja dapat dilakukan di institusi atau perusahaan dan juga di luar sektor industri. Penerapan gizi kerja di institusi atau perusahaan, dapat dilaksanakan dan dipantau dari segi berikut ini: (1) Ada tidaknya kantin (ruang makan) di institusi/ perusahaan, (2)Kualitas penyelenggaraan makan bagi tenaga kerja, (3) Ada tidaknya usaha peningkatan penyelenggaraan makan di institusi/ perusahaan. Penerapan gizi kerja di luar sektor industri, prinsipnya sama dengan penerapan gizi kerja di lingkungan perusahaan/ industri. Akan tetapi perlu adanya modifikasi yang disesuaikan dengan ruang lingkup, permasalahan gizi yang timbul di lingkungan kerja, serta sasaran dan tujuan (Riyadi 2006).

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peran makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit, serta cara mengolah makanan agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat (Notoadmodjo 1993). Pengetahuan yang diperoleh sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang. Kurangnya pengetahuan tentang gizi untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan gangguan gizi (Suhardjo 2003). Pengetahuan gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pendidikan baik formal maupun non formal, usia, pekerjaan, dan ketersediaan informasi.

Teknologi

Teknologi dapat didefinisikan sebagai bentuk kemampuan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk keperluan hidupnya. Kemampuan dimulai dari pengetahuan yang dimilikinya tentang alam termasuk manusianya. Cara-cara memanipulasi sifat alam untuk dijadikan bermanfaat bagi manusia adalah dengan menggunakan peralatan yang dibuatnya maupun cara kerja yang dikembangkannya (Ravianto 1985).

Penggunaan teknologi dalam suatu industri harus memenuhi empat syarat yaitu: dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, dapat dimanfaatkan dan dikelola secara ekonomis, dapat diterima oleh masyarakat dan serasi dengan lingkungan. Teknologi yang demikian yang disebut sebagai teknologi tepat guna. Teknologi tepat guna bukan suatu teknologi yang menolak teknologi modern. Ada kemungkinan teknologi tepat harus menggunakan peralatan modern karena tanpa peralatan modern proyek tidak bisa berjalan. Produktivitas

kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pemakaian mesin-mesin yang sesuai dengan industri tersebut (Cahyono 1983).

Menurut Ravianto (1985), skala tingkat mekanisasi teknologi adalah sebagai berikut: Pada tahap ke-1, manusia bekerja tanpa alat sehingga orang tersebut melakukan seluruh proses. Kemudian tahap ke-2, untuk membantu pekerjaannya maka dibuat alat-alat (handtools). Alat-alat tersebut telah membantu manusia di dalam melaksanakan pekerjaaan yang tadinya dilakukan dengan tangan kosong. Kemudian pada tahap ke-3, peralatan berkembang dan digerakkan dengan menggunakan tenaga (power) dari sumber tenaga bukan manusia seperti tenaga angin ,air, uap, listrik, mesin, dan sebagainya.

Selanjutnya pada tahap ke-4, syarat-syarat keterampilan yang tadinya harus dimiliki oleh orang yang mempergunakan powered handtools, dipindahkan ke mesin seperti guided systems, servo control system. Tahap ke-5, yaitu tingkat mesin peralatan yang telah dapat mengulang kembali sendiri operasi yang sama (machine conntrol cycle). Tahap ke-6 yaitu tingkatan dimana mesin telah dapat loading dan unloading secara mekanikal. Tahap ke-7, yaitu tingkat mesin yang telah mampu mengontrol sendiri (self checking). Kemudian tahap ke-8 menurut yaitu tingkatan yang disebut otomatisasi penuh yang secara periodik tidak perlu dihadiri oleh manusia.

Penggunaaan teknologi akan semakin berkembang apabila didukung oleh berbagai faktor diantaranya: pendidikan baik formal maupun informal, kemampuan, keterampilan, dan latihan. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat besar pengaruhnya dalam rangka membangun kemampuan seseorang agar berhasil dalam bidang pekerjaan dan aktivitas lainnya ditengah-tengah masyarakat. Akibat besarnya pengaruh tersebut banyak orang yang mengidentikkan kualitas sumberdaya manusia dengan tingkat pendidikan yang dikuasainya (Darwin 2001). Pelatihan tenaga kerja perlu diselenggarakan bersamaan dengan sistem pendidikan. Kegiatan pelatihan tidak hanya dibutuhkan oleh calon pekerja yang akan berpartisipasi dalam dunia kerja tetapi juga dibutuhkan oleh pekerja yang sedang menekuni suatu pekerjaan.

Penerapan teknologi baru memerlukan perencanaan strategis jangka panjang dengan perhitungan-perhitungan yang cermat. Bagi kondisi Indonesia yang mempunyai banyak kelebihan tenaga kerja, penerapan teknologi modern dipandang sebagai membahayakan kesempatan kerja. Peranan teknologi baru pada proses produksi memerlukan tenaga terampil dan cenderung untuk

memperkecil jumlah tenaga yang kurang terampil. Sebelum penerapan teknologi baru dilakukan pada industri yang sudah ada, perlu adanya jaminan bahwa tenaga terampil yang dibutuhkan telah tersedia, dan tenaga yang tidak diperlukan dapat disalurkan pada bidang kegiatan yang lain (Ravianto 1985). Oleh karena itu diperlukan adanya teknologi yang tidak merugikan tenaga kerja. Adapun teknologi yang dipakai di industri tahu yaitu berupa cetakan yang dapat membantu proses produksi.

Penggunaan Cetakan pada Pembuatan Tahu

Tahu adalah ekstrak protein kedelai yang telah digumpalkan dengan asam, ion kalsium, atau bahan penggumpal lainnya. Tahu dikonsumsi secara luas oleh masyarakat, baik sebagai lauk maupun sebagai makanan ringan. Pembuatan tahu membutuhkan alat khusus, yaitu untuk mengiling kedelai menjadi bubur kedelai. Walaupun demikian pada tingkat rumahtangga, tahu masih dapat dibuat yaitu dengan menggunakan blender untuk menggiling kedelai, tetapi mutu tahu yang dihasilkan kurang baik (Anonim 2008).

Tahu yang dihasilkan dalam pembuatan tahu ada dua macam yaitu: tahu cetak dan tahu bungkus. Dalam pembuatan tahu cetak, adonan tahu itu dicetak sesuai ukuran yang diinginkan. Bagian dalam cetakan dilapisi dengan kain kassa. Ukuran kain kassa ini lebih besar dari cetakan sehingga pinggir-pinggir kain menjulur ke luar cetakan. Kemudian tahu yang sudah dicetak dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Sementara untuk tahu bungkus, adonan yang dibungkus menggunakan kain agar sesuai ukuran yang diinginkan.

Produktivitas Kerja

Produktivitas merupakan suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Produktivitas kerja merupakan suatu konsep yang menunjukkan adanya kaitan antara hasil kerja seorang tenaga kerja dengan satuan waktu yang dibutuhkannya untuk menghasilkan suatu produk. Seorang tenaga kerja menunjukkan tingkat produktivitas yang lebih tinggi apabila seorang pekerja mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan standar yang telah ditentukan, dalam satuan waktu yang lebih singkat, atau memakai sumberdaya yang lebih sedikit (Ravianto 1985).

Tujuan perbaikan produktivitas pada tingkat sektor industri yaitu: untuk mencapai kemakmuran industri secara menyeluruh, memperkuat posisi bersaing

industri bersangkutan, dan meningkatkan standar hidup masyarakat yang bekerja dalam industri tersebut. Untuk mengetahui tingkat produktivitas tenaga kerja diperlukan adanya suatu pengukuraan produktivitas. Hal ini bertujuan untuk mempermudah mengetahui peningkatan yang dialami suatu industri, baik dari segi tenaga kerja maupun output yang dihasilkan.

Pengukuran Produktivitas

Secara umum produktivitas diartikan sebagai efisiensi dari penggunaan sumberdaya untuk menghasilkan keluaran. Sedangkan ukuran produktivitas pada umumnya adalah rasio yang berhubungan dengan keluaran (barang dan jasa) terhadap satu atau lebih dari masukan (tenaga kerja, modal, energi, dan sebagainya) (Ravianto 1985). Suatu hal yang penting dalam pengukuran produktivitas yaitu baik keluaran yang dicapai maupun masukan yang digunakan, kedua-duanya harus dapat diukur. Tanpa adanya ukuran, seseorang tidak dapat mengetahui produktivitas kerja suatu perusahaan. Semakin tinggi produktivitas, berarti dengan sumberdaya yang sama akan dihasilkan keluaran yang lebih banyak, baik dalam jumlah maupun dalam mutu (Ravianto 1985).

Hasil pengukuran produktivitas pada suatu waktu merupakan patokan bagi peningkatan produktivitas pada waktu yang lain. Dengan analisis pengukuran produktivitas, seseorang akan mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada, dimana kekurangan itu perlu diperbaiki dimasa mendatang (Ravianto 1985). Berkurangnya kapasitas kerja dapat diperhitungkan dengan berbagai tingkat kekurangan dalam kalori yang dimakan. Kehilangan produktivitas dapat juga dilihat dari kelemahan tubuh akibat masalah gizi (Berg dan Sayogyo 1986).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja

Produktivitas kerja memegang peranan penting dalam dunia industri. Produktivitas kerja berkaitan dengan sumberdaya manusia (tenaga kerja) sebagai input dalam suatu industri. Oleh sebab itu kesejahteraan tenaga kerja perlu ditingkatkan. Upaya peningkatan kesejahteraan tenaga kerja antara lain berupa: pemberian makan, penyediaan kantin, pemberian gaji yang layak, menyedikan waktu istirahat, dan lain-lain. Produktivitas tenaga kerja merupakan suatu sistem dan tidak mungkin dapat ditingkatkan tanpa dukungan subsistem yang lain berupa konsumsi, pendidikan, teknologi, tata nilai, iklim kerja, derajat kesehatan, dan tingkat upah minimal (Ravianto 1985).

Konsumsi Pangan dan Produktivitas Kerja

Pekerja akan menunjukkan suatu produktivitas kerja apabila pekerja diberikan tenaga yang berasal dari makanan. Makin besar tenaga yang diberikan sampai taraf tertentu, maka makin besar juga kemungkinan produktivitas kerja. Kebutuhan-kebutuhan akan tenaga bagi seorang tenaga kerja akan meningkat sesuai dengan lebih beratnya pekerjaan. Bagi pekerjaan fisik yang berat, gizi dengan kalori yang memadai menjadi syarat utama yang menentukan tingkat produktivitas kerja. Seorang tenaga kerja dengan gizi yang baik akan memiliki kapasitas dan ketahanan tubuh yang lebih baik yang menunjang produktivitas kerja (Ravianto 1985).

Kaitan antara tingkat gizi dan produktivitas kerja yaitu terlihat apabila pekerja mengalami gizi buruk maka akan mengakibatkan daya tahan tubuh turun dan sering menderita sakit, yang berpengaruh terhadap absensi yang tinggi. Selain itu gizi buruk juga berakibat pada daya kerja fisik menurun yang berpegaruh terhadap prestasi kerja yang rendah. Pekerja yang memliki absensi kerja yang tinggi dan prestasi kerja yang rendah akan bedampak pada produktivitas kerja yang rendah (Moehji 1985).

Derajat kesehatan kerja di lingkungan perusahaan, minimal dapat dijamin melalui penyediaan makanan yang disediakan perusahaan yang memenuhi gizi. Dengan adanya jaminan makanan bergizi bagi tenaga kerja satu kali dalam sehari kerja, maka minimal dapat dijamin daya tahan tenaga kerja terhadap penyakit dan kemalasan bekerja sebagai salah satu gejala akibat kurang gizi. Perbaikan gizi dan kesehatan dapat meningkakan produktivitas, hasil tambah, pengurangan absenteisme (ketidakhadiran) dan angka kesakitan (morbiditas) (Ravianto 1985).

Status Gizi dan Produktivitas Kerja

Status gizi (kurang atau lebih) pada orang dewasa dapat ditentukan dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) atau body mass index, yang dapat diukur berdasarkan pengukuran berat badan dan tinggi badan. Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberi gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Berat badan mempunyai hubungan linear dengan tinggi badan. Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Riyadi 2001).

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Status gizi seseorang dapat diukur dan dinilai. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik (Riyadi 2006).

Gizi yang cukup merupakan masukan yang penting untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan seseorang lebih rentan terhadap penyakit, kurang motivasi, bereaksi lamban dan apatis. Selanjutnya rendahnya status gizi dan kesehatan menyebabkan rendahnya produktivitas kerja (Khomsan 2002). Seorang tenaga kerja dengan gizi yang baik

Dokumen terkait