• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Gejala Penyakit Mati Pucuk pada Tanaman Jabon

Berdasarkan pengamatan gejala penyakit di lokasi persemaian, bibit jabon yang terinfeksi penyakit mati pucuk memiliki gejala berupa nekrosis pada batang bagian tengah atau atas dan daun. Gejala nekrosis yang berkembang pada bagian batang akan menyebabkan batang mengering dan tidak mampu menopang bagian atas tanaman sehingga tanaman terkulai (Gambar 5a). Sementara itu, gejala nekrosis pada bagian daun akan menyebabkan daun kering dan menggulung (Gambar 5b). Selain nekrosis, penyakit mati pucuk dapat diawali dengan gejala layu dan mengerutnya bagian batang (Gambar 5c). Meskipun batang masih terlihat berwarna hijau, tapi batang menjadi lebih sukulen dari kondisi normal sehingga tidak mampu menopang bagian atas tanaman.

Gambar 5 Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon di lokasi persemaian: a) nekrosis pada batang, (b) nekrosis pada daun, dan (c) batang mengerut.

Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon ditemukan mulai dari bibit muda (bentuk sosisan dengan umur ± 2 bulan) sampai dengan bibit siap tanam (umur 5 sampai 6 bulan) (Gambar 6). Bagian atas atau ujung tanaman biasanya lebih cepat mengalami nekrosis jika dibandingkan bagian pangkal tanaman. Gejala penyakit akan terhambat atau berhenti pada bagian batang yang telah mengeras, sehingga bibit yang telah memiliki batang cukup keras terkadang masih bisa bertahan hidup dengan cara menghasilkan tunas baru. Perkiraan persentase tanaman yang terinfeksi penyakit mati pucuk pada bibit jabon di 5 lokasi tempat pengambilan contoh berkisar 1 sampai 15% (Lampiran 2).

Gambar 6 Bibit jabon yang terserang penyakit mati pucuk pada beberapa tingkatan umur: a) nekrosis pucuk pada bibit ± 2 bulan, b-d) nekrosis batang dan daun pada bibit ± 3, 4, dan 5 bulan secara berturut-turut.

Isolasi dan Identifikasi Cendawan

Sebanyak 21 isolat cendawan (Lampiran 3) berhasil diisolasi dari tanaman sakit yang menunjukkan gejala nekrosis pada bagian ujung tanaman. Berdasarkan pengamatan warna koloni pada umur 2 minggu, isolat-isolat tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu kelompok isolat berwarna putih, putih keabuan, putih keunguan, dan abu-abu kehitaman (Gambar 7). Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi, isolat-isolat tersebut diketahui sebagai Botryodiplodia spp., Fusarium spp., Colletotrichum sp., Curvularia sp., dan Pestalotiopsis sp.. Isolat Botryodiplodia spp. diperoleh sebanyak 9 isolat dari 4 lokasi, Fusarium spp. diperoleh 9 isolat dari 4 lokasi, Colletotrichum sp. diperoleh 1 isolat dari 1 lokasi, Curvularia sp. dan Pestalotiopsis sp. masing-masing diperoleh 1 isolat dari 1 lokasi yang sama (Tabel 2). Isolat Botryodiplodia dan Fusarium yang diperoleh dalam studi ini diduga lebih dari 1 spesies jika dilihat berdasarkan karakter morfologi koloni.

Gambar 7 Penampilan koloni isolat cendawan berdasarkan warna koloni: a) warna putih, b) putih keabuan, c) putih keunguan, dan d) abu-abu kehitaman.

a b c d

b c d

Tabel 2 Perolehan isolat cendawan berdasarkan lokasi pengambilan tanaman jabon contoh yang memperlihatkan gejala mati pucuk

No Isolat Asal Lokasi Jumlah Isolat 1 Botryodiplodia spp. A, B, D, E 9

2 Fusarium spp. A, C, D, E 9

3 Colletotrichum sp. D 1

4 Curvularia sp. A 1

5 Pestalotiopsis sp. A 1

Keterangan: A, B = persemaian di daerah Situ Gede; C = daerah Jampang; D = daerah Cilubang; dan D = Fakultas Kehutanan IPB

Pengamatan makroskopis menunjukkan koloni isolat cendawan Botryodiplodia spp. memiliki warna putih pada permukaan atas yang selanjutnya berubah menjadi abu-abu atau hijau kehitaman, sedangkan koloni pada bagian bawah media dalam cawan petri memiliki warna abu-abu, hijau kehitaman atau hitam. Morfologi koloni miselium Botryodiplodia spp. memiliki tekstur seperti benang halus (fluffy) dengan miselium udara yang tebal dan koloni menyebar dari bagian tengah dengan alur tidak beraturan (rugose). Isolat memiliki pertumbuhan radial yang cepat, yaitu dapat memenuhi cawan petri (Ø 9 cm) setelah 2 sampai 4 hari masa inkubasi. Sementara itu, berdasarkan pengamatan mikroskopis isolat Botryodiplodia spp. memiliki hifa bersekat, hialin pada hifa muda dan berwarna coklat pada hifa tua. Konidia pada awalnya hialin dan tidak bersekat, kemudian berubah menjadi berwarna kecoklatan dan bersekat 1. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dengan ukuran 26 sampai 32 x 13 sampai 17 µ m (Gambar 8a).

Gambar 8 Konidia isolat cendawan yang diperoleh dari bibit jabon yang memperlihatkan gejala mati pucuk: a) konidia muda dan konidia matang Botryodiplodia spp., b) makrokonidia Fusarium spp., c) konidia Colletotrichum sp., d) konidia Pestalotiopsis sp., dan e) konidia Curvularia sp..

Koleksi isolat Fusarium spp. menunjukkan warna putih atau putih keunguan pada permukaan bagian atas dan bawah media dalam cawan petri. Warna ungu yang terlihat pada bagian bawah petri memiliki pola warna yang berbeda, yaitu warna ungu pada bagian tengah koloni miselium dan warna ungu yang diselingi oleh warna putih. Morfologi koloni miselium Fusarium spp. memiliki sedikit miselium udara (velvety), koloni berkerut dengan permukaan kusut (verrucose) atau menyebar dengan alur tidak beraturan. Koloni isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 7 sampai 10 hari masa inkubasi. Konidia Fusarium

a b

c

e d

spp. terdiri atas mikrokonidia bersekat dan tidak bersekat serta makrokonidia dengan sekat 1 sampai 4. Mikrokonidia memiliki bentuk yang beragam, yaitu reniform, allantoid, oval, ovoid, dan fusiform dengan ukuran 6 sampai 10 x 2 sampai 3 µ m. Adapun makrokonidia berbebntuk lunate atau filiform dengan ukuran sekitar 16 sampai 43 x 3 sampai 4 µ m (Gambar 8b). Klamidospora hialin, tunggal atau berpasangan, terminal atau interkalar, dan memiliki ukuran sekitar 8 µ m.

Koloni isolat Colletotrichum sp. berwarna putih pada permukaan bagian atas dan putih keabuan pada bagian bawah media dalam cawan petri. Morfologi koloni berupa miselium udara yang tebal dan berkerut dengan permukaan kusut. Koloni memiliki tingkat pertumbuhan radial sedang dengan 6 hari masa inkubasi dapat memenuhi cawan petri. Konidia berbentuk oblong dengan ukuran 14 sampai 16 x 4 sampai 5 µ m (Gambar 8c).

Koloni Pestalotiopsis sp. berwarna putih pada permukaan bagian atas dan putih kekuningan pada bagian bawah media dalam cawan petri. Morfologi koloni isolat memiliki sedikit miselium udara, berkerut dengan permukaan kusut, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 13 hari masa inkubasi. Konidia berwarna coklat, bersekat, berbentuk fusiform dengan ukuran 25 sampai 27 x 5 µ m, dan memiliki embelan pada kedua ujung konidia (Gambar 8d).

Isolat Curvularia sp. memiliki koloni berwarna gelap, baik pada bagian permukaan atas maupun bagian bawah media dalam cawan petri. Morfologi koloni isolat memiliki sedikit miselium udara dan bagian tengah koloni mengalami peninggian sehingga berbentuk seperti kancing (umbonate). Koloni isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 6 hari masa inkubasi. Konidia berbentuk inequilateral, berwarna coklat, berukuran 26 sampai 30 x 7 sampai 8 µ m, dan bersekat 2 sampai 4 (Gambar 8e).

Postulat Koch

Gejala yang muncul setelah tanaman jabon diinokulasi adalah berupa nekrosis pada titik inokulasi. Nekrosis selanjutnya menyebar ke bagian lain sehingga bagian yang terinfeksi akan terlihat berwarna kecoklatan. Penyakit yang terus berkembang akan menyebabkan bagian atas tanaman terkulai dan kering.

Isolat yang mampu menghasilkan gejala pada tanaman jabon yang diinokulasi adalah Botryodiplodia spp., Fusarium spp., dan Colletotrichum sp. (Gambar 9). Isolat Botryodiplodia spp. secara umum dapat menghasilkan gejala pada bagian yang dilukai dan tidak dilukai, sedangkan isolat Fusarium spp. dan Colletotrichum sp. hanya pada bagian yang dilukai.

Gambar 9 Gejala penyakit pada bibit jabon setelah inokulasi pada tahap postulat Koch: a) Botryodiplodia spp., b) Fusarium spp., c) Colletotrichum sp., dan d) kontrol.

a c d

Inokulasi isolat Botryodiplodia spp. pada bagian batang menimbulkan gejala nekrosis setelah masa inkubasi 2 sampai 3 hari. Nekrosis yang cepat berkembang ke bagian atas tanaman, menyebabkan batang bagian atas dan daun menjadi berwarna kecoklatan dan selanjutnya mati. Nekrosis yang tidak berkembang umumnya hanya mengalami perubahan warna dari coklat menjadi coklat kehitaman dengan arah penyebaran melintang.

Inokulasi suspensi konidia Fusarium spp. pada bagian batang dan daun menimbulkan gejala yang berbeda, yaitu berupa busuk basah pada bagian batang, dan nekrosis atau gugur pada bagian daun. Masa inkubasi untuk menimbulkan gejala pada tanaman jabon, bervariasi antara satu isolat dengan isolat lainnya. Masa inkubasi yang cepat berkisar 3 sampai 4 hari, sedangkan yang relatif lama lebih dari 10 hari. Gejala busuk basah pada batang biasanya lebih cepat terlihat jika dibandingkan dengan gejala nekrosis pada daun. Gejala busuk menyebabkan batang menjadi lunak dan basah sehingga tanaman akan terkulai, sedangkan nekrosis pada daun akan menimbulkan warna kecoklatan pada bagian yang dilukai. Gejala yang muncul lebih dari 10 hari, biasanya diawali dengan kelayuan atau mengerutnya bagian batang, sehingga batang terlihat berwarna pucat dan lama-kelamaan akan menyusut. Gejala yang berkembang ke bagian daun akan menyebabkan daun berwarna pucat dan menggulung.

Gejala yang timbul pada tanaman jabon setelah diinokulasi isolat Colletotrichum sp. berupa nekrosis yang muncul pada bagian tangkai daun yang dilukai, sedangkan inokulasi yang dilakukan pada batang dan helai daun tidak memperlihatkan gejala. Masa inkubasi untuk menimbulkan gejala yaitu sekitar 7 hari. Gejala yang sudah muncul umumnya tidak berkembang sehingga tanaman tidak mengalami mati pucuk.

Inokulasi isolat Pestalotiopsis sp. dan Curvularia sp. tidak menimbulkan gejala. Bagian tanaman dilukai yang dijadikan titik inokulasi mengalami penebalan dan luka akan tertutup kembali. Selain kedua isolat di atas, inokulasi blok agar yang merupakan kontrol juga tidak menimbulkan gejala penyakit (Gambar 9d). Meskipun demikian, hasil reisolasi menunjukkan bahwa cendawan Botryodiplodia sp., Fusarium sp., dan Colletotrichum sp. juga berhasil diperoleh dari jaringan tanaman kontrol yang tidak memperlihatkan gejala sakit.

Hasil reisolasi dari bagian tanaman yang bergejala tidak hanya diperoleh cendawan yang diinokulasikan, akan tetapi juga cendawan lain. Meskipun demikian, isolat-isolat yang diinokulasikan umumnya dapat direisolasi dari tanaman contoh. Walaupun sebagian besar isolat yang diinokulasikan dapat menimbulkan gejala, akan tetapi isolat yang dapat menghasilkan gejala identik dengan gejala alami mati pucuk adalah isolat Botryodiplodia spp.. Oleh karena itu, isolat Botryodiplodia spp. selanjutnya digunakan untuk uji patogenisitas. Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Botryodiplodia spp.

Cendawan yang digunakan dalam uji patogenisitas adalah Botryodiplodia spp. yang terdiri atas isolat A1, A5, B2, E2, dan E4. Kelima isolat tersebut mampu menimbulkan gejala nekrosis pada titik inokulasi yang selanjutnya berkembang menjadi penyakit mati pucuk (Lampiran 4). Masa inkubasi sampai timbul gejala adalah 2 hari untuk isolat A1, A5, B2, dan 3 hari untuk isolat E2 dan E4. Gejala berkembang relatif cepat sehingga pada inkubasi hari ke-4 atau ke-5, tanaman mulai terlihat terkulai karena batang yang merupakan titik inokulasi mengalami

nekrosis dan menyusut. Gejala yang terus berkembang menyebabkan bagian atas tanaman mati dan batang menyusut. Perkembangan nekrosis atau menyusutnya batang biasanya menjadi lebih lambat ketika sudah mencapai pangkal batang. Jika batang pada tanaman yang sudah mati dipotong secara membujur atau melintang, maka akan terlihat bahwa bagian dalam batang tersebut berwarna kecoklatan atau justru sudah tidak berisi.

Kejadian penyakit yang ditimbulkan kelima isolat Botryodiplodia spp. cukup beragam. Persentase kejadian penyakit paling tinggi dihasilkan isolat A1 dan B2 (100%), kemudian diikuti isolat A5 (80%), isolat E4 (35%), dan E2 (20%) (Gambar 10). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi 5 isolat Botryodiplodia spp. berpengaruh nyata terhadap persentase kejadian penyakit (Lampiran 5). Sementara itu, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa isolat E2 berbeda nyata dengan isolat A1, A5, B2 dan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata dengan isolat E4. Isolat E4 tidak berbeda nyata dengan isolat E2, tetapi berbeda nyata dengan isolat A1, A5, B2, dan kontrol. Adapun isolat A1, A5, dan B2 ketiganya tidak berbeda nyata, tetapi ketiga isolat tersebut berbeda nyata dengan isolat E2, E4, dan kontrol.

Gambar 10 Persentase kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi 5 isolat cendawan Botryodiplodia spp. Persentase keparahan penyakit paling tinggi dihasilkan isolat A5 dan B2 (71.25%), kemudian diikuti isolat A1 (60%), isolat E2 (16.25%), dan E4 (8.75%) (Gambar 10). Isolat dengan keparahan penyakit paling tinggi (A5 dan B2) dapat menyebabkan kematian bibit lebih dari 50%, sedangkan isolat dengan keparahan penyakit paling rendah (E4) tidak dapat menyebabkan kematian terhadap bibit. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi 5 isolat Botryodiplodia spp. terhadap bibit jabon memberi pengaruh nyata terhadap keparahan penyakit (Lampiran 6). Berdasarkan uji lanjut Duncan, isolat E2 tidak berbeda nyata dengan E4, sedangkan isolat E4 tidak berbeda nyata dengan isolat E2 dan kontrol. Adapun isolat A1, A5, dan B2 tidak berbeda nyata antara satu

100 a 80 a 100 a 20 b 35 b 0 c 60 a 71.25 a 71.25 a 16.25 b 8.75 bc 0 c -20 0 20 40 60 80 100 120 A1 A5 B2 E2 E4 K In te n si ta s P en ya ki t (%)

Isolat Cendawan Botryodiplodiaspp.

Kejadian Penyakit Keparahan Penyakit

dengan yang lain, namun ketiga isolat tersebut berbeda nyata dengan isolat E2, E4, dan kontrol.

Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman Inang

Berdasarkan postulat Koch, isolat Botryodiplodia spp. dapat menimbulkan gejala pada tanaman jabon, baik pada bagian yang dilukai mau pun tidak dilukai (Gambar 11). Munculnya gejala pada bagian yang tidak dilukai menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia spp. dapat melakukan penetrasi langsung pada jaringan inang.

Gambar 11 Gejala nekrosis yang muncul pada batang bibit jabon setelah inokulasi isolat Botryodiplodia spp.

Analisis aktivitas pektinase dan selulase dilakukan untuk mempelajari mekanisme infeksi cendawan terhadap inang melalui kekuatan biokimia. Cendawan yang diuji merupakan 3 isolat Botryodiplodia spp. (A1, A5, dan B2) yang sangat virulen terhadap bibit jabon berdasarkan uji patogenisitas. Hasil analisis enzim menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia spp. yang sangat virulen terhadap bibit jabon, memiliki aktivitas pektinase dan selulase (Gambar 12).

Gambar 12 Aktivitas pektinase (A) dan selulase (B) 3 isolat Botryodiplodia spp. setelah 2 minggu masa inkubasi pada media CMS

0 1 2 3 4 5 6 A1 A5 A8 B2 D1 E1 E2 E4 E5 Σ B at an g ya ng be rge ja la s et el ah in o kul as i (14 h si ) Isolat Botryodiplodiaspp. Dilukai Tidak dilukai 21.311 18.131 26.083 0.000 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 A1 A5 B2 A kt iv it as en zi m ( U m l -1) Isolat Botryodiplodiaspp. 0.014 0.015 0.023 0.000 0.005 0.010 0.015 0.020 0.025 A1 A5 B2 A kt iv it as e n zi m ( U m l -1 ) Isolat Botryodilodiaspp.

Aktivitas pektinase paling tinggi dihasilkan isolat B2, kemudian diikuti isolat A1 dan A5 dengan nilai sebesar 26.083, 21.311 dan 18.131 U ml-1 secara berturut-turut. Sementara itu, aktivitas selulase tertinggi dihasilkan isolat B2, lalu diikuti isolat A5 dan A1 dengan nilai sebesar 0.023, 0.015, dan 0.014 U ml-1 secara berturut-turut.

Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen

Mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen dipelajari melalui analisis aktivitas peroksidase yang dihasilkan tanaman inang. Tanaman yang dijadikan contoh uji untuk analisis aktivitas peroksidase adalah bibit jabon yang diinokulasi cendawan Botryodiplodia spp. (isolat A1, A5, B2, E2, dan E4). Secara umum, tanaman contoh yang diinokulasi dapat menunjukkan aktivitas peroksidase (Gambar 13). Aktivitas peroksidase paling tinggi dihasilkan tanaman jabon yang diinokulasi isolat A1 dan A5 dengan nilai sebesar 0.0012 UAE g-1. Tanaman yang diinokulasi isolat B2 dan E2 memperlihatkan aktivitas peroksidase yang sama dengan kontrol, yaitu sebesar 0.0008 UAE g-1. Sementara itu, tanaman jabon yang diinokulasi isolat E4 memiliki aktivitas peroksidase lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol, yaitu sebesar 0.0006 UAE g-1.

Gambar 13 Aktivitas peroksidase bibit jabon setelah diinokulasi 5 isolat Botryodiplodia spp. dan kontrol

Pembahasan Gejala Penyakit Mati Pucuk pada Tanaman Jabon

Gejala penyakit pada tanaman merupakan bentuk penyimpangan baik morfologi atau fisiologi sebagai respon dari adanya gangguan patogen (Widyastuti et al. 2005). Respon yang dihasilkan tanaman berbeda-beda, bergantung pada jenis tanaman inang dan patogennya.

Penyakit mati pucuk memiliki gejala yang relatif sama pada beberapa jenis tanaman inang, yaitu berupa matinya bagian ujung tanaman. Sebagai contoh, gejala penyakit mati pucuk pada tanaman mangga yaitu berupa matinya bagian

0.0012 0.0012 0.0008 0.0008 0.0006 0.0008 0.0000 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.0010 0.0012 0.0014 A1 A5 B2 E2 E4 K A kt iv it as P er o ks ida se ( UA E g -1 )

ranting, daun menggulung dan mengering yang diikuti gugur daun (Khanzada et al. 2004), kemudian pada tanaman ash (Fraxinus spp.) berupa nekrosis pada daun yang diikuti layu (Kräutler dan Kirisits 2012).

Bibit jabon yang mengalami mati pucuk juga menunjukkan gejala kematian pada bagian ujung tanaman. Kematian jaringan pada ujung tanaman ini diawali dengan adanya nekrosis pada bagian batang atau daun. Gejala nekrosis yang diawali dari bagian batang umumnya akan menyebar ke arah daun dengan menginfeksi bagian tulang daun utama terlebih dahulu. Setelah tulang daun utama terinfeksi, selanjutnya daun akan kering dan menggulung, lalu gugur. Selain menyebar ke bagian daun, nekrosis pada batang juga akan menyebar ke batang bagian bawah. Bagian batang yang mulai terinfeksi, pada awalnya akan terlihat mengerut, kemudian mengering, lalu mati. Gejala pada batang akan terhambat atau terhenti pada bagian yang sudah berkayu. Oleh sebab itu, tanaman masih mampu bertahan hidup. Tanaman dengan kondisi seperti ini biasanya akan mengeluarkan tunas baru sehingga terbentuk percabangan. Bagian batang yang sudah berkayu akan terlihat berwarna kehitaman apabila dipotong secara melintang (Lampiran 7).

Gejala mati pucuk pada bibit jabon juga dapat diawali dengan adanya kerutan pada bagian batang. Tanaman pada umumnya akan terkulai karena bagian batang tidak mampu menopang bagian atas tanaman. Batang yang terinfeksi selanjutnya akan terlihat menyusut, sehingga apabila batang ditekan akan terasa kosong atau hampa. Gejala kerutan yang menyebar ke bagian daun akan mengakibatkan daun berwarna pucat dan layu.

Perkembangan penyakit di areal persemaian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah aktivitas budi daya. Adanya kegiatan pemindahan tanaman secara periodik di areal persemaian dapat menimbulkan luka mekanis pada tanaman. Luka tersebut tidak hanya dapat menyebabkan tanaman stress, tetapi juga dapat menjadi titik masuk bagi patogen untuk menginfeksi jaringan tanaman. Selain itu, penempatan tanaman dengan jarak yang cukup rapat dapat menciptakan kondisi lembab di sekitar tanaman. Oleh karena itu, dengan terciptanya kondisi lingkungan yang lembab, adanya luka mekanis, dan kondisi tanaman yang stress dapat memudahkan patogen untuk menginfeksi inang.

Berdasarkan pengamatan gejala di lokasi persemaian, dapat diketahui bahwa patogen umumnya menginfeksi bagian tanaman yang lebih sukulen terlebih dahulu. Hal ini dapat dilihat dari gejala penyakit yang berkembang relatif cepat menuju bagian atas tanaman dibandingkan menuju bagian pangkal. Jaringan pangkal batang relatif lebih keras jika dibandingkan dengan jaringan bagian ujung tanaman. Pangkal batang yang keras telah mengalami proses lignifikasi, sehingga patogen tidak mudah menginfeksi tanaman. Campbell dan Sederoff (1996) menjelaskan bahwa lignin merupakan polimer fenolik kompleks yang penting untuk sokongan mekanik, transportasi air, dan pertahanan dalam vaskular tanaman. Selain itu, Novaes et al. (2010) menyatakan bahwa sifat fisik dan kimia lignin bertindak sebagai barrier dalam melawan serangan hama dan penyakit. Kandungannya di dalam tanaman bervariasi pada jaringan yang berbeda, contohnya kandungan lignin pada pucuk muda sangat rendah, sedangkan pada kayu sangat tinggi.

Identifikasi Cendawan

Cendawan yang dapat diisolasi dari tanaman jabon yang menunjukkan gejala mati pucuk adalah Botryodiplodia spp., Fusarium spp., Colletotrichum sp., Curvularia sp., dan Pestalotiopsis sp.. Hal ini sesuai dengan penelitian Muehlbach

et al. (2010) yang berhasil mendeteksi beberapa isolat cendawan seperti L. theobromae, F .oxysporum, C. affinis, dan Bipolaris sp. dari tanaman shisham (D. sissoo) yang memperlihatkan gejala mati pucuk. Selain itu, Rajput et al. (2008) berhasil mengisolasi cendawan F. solani dari tanaman shisham dengan gejala yang sama.

Cendawan yang sering muncul hampir di setiap lokasi pengambilan tanaman contoh adalah Botryodiplodia spp. dan Fusarium spp.. Kedua cendawan ini muncul pada 3 lokasi yang sama (A, D, dan E) dan berhasil diisolasi dari 1 tanaman contoh yang sama. Selain dengan Botryodiplodia spp., Fusarium spp. juga berhasil diisolasi dengan Colletotrichum sp. dari 1 tanaman contoh yang sama di lokasi D. Jika dilihat berdasarkan lokasi pengambilan tanaman contoh, maka lokasi yang memiliki isolat beragam adalah lokasi A. Empat dari 5 macam cendawan berhasil diisolasi dari tanaman jabon contoh yang berasal dari lokasi tersebut. Hal ini diduga karena jenis tanaman yang tersedia di lokasi A lebih banyak dan beragam jika dibandingkan dengan 4 lokasi lain.

Secara umum, setiap persemaian (tempat pengambilan contoh) membudidayakan beberapa jenis tanaman selain jabon, kecuali lokasi D. Jenis tanaman lain yang dibudidayakan di antaranya adalah sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), jati (Tectona grandis Linn. f.), ekaliptus (Eucalyptus sp.), dan akasia (A. mangium). Tanaman yang berada di persemaian berpotensi menjadi inang bagi patogen. Semakin beragam tanaman yang tersedia di lokasi persemaian, maka diduga akan beragam pula patogen yang dapat menginfeksi.

Selain jenis tanaman, faktor yang diduga mempengaruhi keragaman cendawan di persemaian adalah kultur teknis dan lokasi persemaian. Kultur teknis meliputi metode penyemaian benih, pemupukan, penyiraman, pengaturan jarak antar tanaman, pemilihan jenis tanaman, penggunaan jenis media tanam, dan usaha pengendalian hama dan penyakit. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat membantu introduksi dan penyebaran suatu mikroorganisme di lokasi persemaian. Lokasi persemaian dapat mempengaruhi kondisi lingkungan, misalnya suhu udara dan kelembaban. Kondisi lingkungan merupakan salah satu komponen dari segitiga penyakit. Oleh karena itu, apabila kondisi lingkungan mendukung, maka patogen dapat menginfeksi tanaman inang dan menyebabkan penyakit.

Tiga dari 5 persemaian dalam studi ini, memproduksi bibit jabon dengan cara membeli bibit dari produsen lain, sedangkan 2 persemaian lainnya di samping mendatangkan bibit dari produsen lain juga memproduksi bibit sendiri dengan cara menyemai benih. Beberapa kultur teknis yang umum dilakukan di setiap persemaian adalah penggunaan bahan kimia untuk pengendalian hama dan penyakit, serta penggunaan kembali media tanah yang sebelumnya ditumbuhi tanaman sakit. Adapun kondisi fisik dari 5 lokasi persemaian dalm studi ini cukup beragam jika dilihat berdasarkan tingkat ketinggian dan kondisi lingkungan sekitar persemaian.

Kelima macam cendawan yang diperoleh dalam studi ini merupakan patogen yang memiliki kisaran inang luas. Oleh karena itu, sumber inokulum

penyakit mati pucuk pada bibit jabon dapat berasal dari bibit jabon itu sendiri atau dari tanaman lain.

Serangan Botryodiplodia spp. dapat menghasilkan gejala yang berbeda pada tanaman inang yang berbeda. Serangan B. theobromae pada tanaman shisham dapat menyebabkan penyakit mati pucuk dan decline (Ahmad et al. 2012; Khan et al. 2004), kemudian pada tanaman karet muda menyebabkan tekstur permukaan batang menjadi kasar dan berwarna coklat (Nurhasanah 2012). Khanzada et al. (2004) menyebutkan bahwa serangan cendawan L. theobromae

Dokumen terkait