• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan I Kondisi Umum

Penanaman biji melon muda dilakukan pada tanggal 27, 28, dan 29 April 2009. Kontaminasi awal terjadi disebabkan oleh cendawan dan muncul setelah 3 hari penanaman. Kontaminasi cendawan diduga disebabkan oleh kurang panasnya botol saat dilakukan penanaman. Persentase kontaminasi pada percobaan I sebesar 2.78%. Respon awal yang muncul dalam percobaan I yaitu biji mulai berkecambah. Hal ini diduga karena biji muda yang ditanam hampir membentuk biji sempurna yang dicirikan dengan mulai kerasnya kulit biji.

Perkembangan eksplan yang terjadi yaitu sebagian besar biji berkecambah. Biji yang tidak berkecambah membentuk kalus pada bagian biji yang disayat. Sedangkan biji yang telah berkecambah membentuk kalus pada bagian akar dan kotiledon yang menempel pada media. Pada umumnya setelah terbentuk fase kalus tahap awal, kalus mengalami pembesaran lalu berhenti perkembangannya. Kalus awal berwarna kuning dan berubah menjadi coklat setelah tidak mengalami perkembangan lagi. Setelah tahap ini tidak terjadi perubahan pada eksplan.

Persentase Biji Berkalus

Perlakuan jenis media dengan empat taraf konsentrasi picloram tidak menunjukkan adanya interaksi. Pembentukan kalus tidak dipengaruhi oleh interaksi perlakuan jenis media dan taraf konsentrasi picloram. Tabel 3 menunjukkan bahwa taraf konsentrasi picloram berbeda nyata dalam pembentukan kalus mulai dari 32 HST sampai akhir pengamatan. Sedangkan jenis media tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan kalus.

Tabel 3. Rekapitulasi Sidik Ragam Persentase Biji Berkalus

Hari Pengamatan Media Konsentrasi Picloram Interaksi KK (%)

16 HST t tn tn tn 50.70 (313.34) 24 HST t tn tn tn 85.21 (192.02) 32 HST t * * tn 53.42 (91.52) 40 HST tn ** tn 44.74 48 HST tn ** tn 30.98 56 HST tn ** tn 26.96 64 HST tn ** tn 23.92 72 HST tn ** tn 23.45 80 HST tn ** tn 22.46 88 HST tn ** tn 23.15 96 HST tn ** tn 22.88

Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi tn tidak berbeda nyata pada taraf 5%

* berbeda nyata pada taraf 5%

** berbeda sangat nyata pada taraf 5% t data ditransformasi dengan rumus x+0.5

Taraf konsentrasi picloram berpengaruh nyata terhadap persentase biji berkalus. Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan dalam Tabel 4, pada saat eksplan berumur 96 HST (Hari Setelah Tanam), rata-rata persentase biji berkalus pada perlakuan taraf konsentrasi picloram 0.5 mg/L memberikan hasil tertinggi yaitu 97.78%, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan taraf konsentrasi 1.0 mg/L dan 1.5 mg/L yaitu 94.44% dan 92.41%.

Tabel 4. Pengaruh Taraf Konsentrasi Picloram terhadap Rata-Rata Persentase Biji Berkalus

Taraf Picloram

Waktu Pengamatan HST (Hari Setelah Tanam) 32 HST t 48 HST 64 HST 80 HST 96 HST 0 mg/L 11.11 ab 25.00 c 30.83 b 33.75 b 35.56 b 0.5 mg/L 17.78 a 68.89 a 90.56 a 96.11 a 97.78 a 1.0 mg/L 10.56 ab 67.22 a 86.67 a 91.67 a 94.44 a 1.5 mg/L 3.89 b 47.41 b 74.63 a 89.07 a 92.41 a Keterangan : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5%

t

23

Picloram merupakan jenis auksin yang memiliki fungsi utama untuk merangsang pemanjangan sel (Evans et al., 2003). Selain itu auksin juga berfungsi untuk pembentukan kalus, dominan apikal, dan pertumbuhan akar (Wattimena et al., 1992). Pemberian picloram dalam dosis rendah sudah mampu menginduksi terbentuknya kalus. Sehingga penggunaan dosis tinggi tidak diperlukan jika ingin menginduksi kalus.

Purba (2009) melaporkan pemberian picloram secara tunggal yang tidak dikombinasikan dengan sitokinin pada konsentrasi 0.5 mg/L dan 1.0 mg/L mampu menginduksi embrio somatik pada tanaman manggis. Pada induksi kalus embriogenik kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi (Purnamaningsih, 2002). Namun dalam penelitian ini embrio tidak terbentuk, hanya terbentuk kalus dan tidak mengalami perkembangan lagi. Kalus yang terbentuk disajikan dalam Gambar 6.

A B

Gambar 6. Biji Berkalus: (A) Perlakuan Media MS + 0 mg/L Picloram saat 56 HST; (B) Perlakuan Media B5 + 0.5 mg/L Picloram saat 56 HST

Persentase Biji Berkecambah

Kombinasi jenis media dan taraf konsentrasi picloram tidak memberikan interaksi terhadap persentase biji berkecambah. Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis media berpengaruh nyata terhadap persentase biji berkecambah mulai 40 HST sampai akhir pengamatan. Sedangkan taraf konsentrasi picloram tidak berpengaruh nyata terhadap persentase biji berkecambah.

Tabel 5. Rekapitulasi Sidik Ragam Persentase Biji Berkecambah Hari Pengamatann Media Konsentrasi Picloram Interaksi KK (%)

16 HST t tn * tn 65.69 (149.30) 24 HST t tn ** tn 47.29 (76.67) 32 HST tn ** tn 55.82 40 HST ** ** tn 36.86 48 HST ** tn tn 36.64 56 HST ** tn tn 28.54 64 HST ** tn tn 26.61 72 HST ** tn tn 21.03 80 HST ** tn tn 20.05 88 HST ** tn tn 20.15 96 HST ** tn tn 20.08

Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi tn tidak berbeda nyata pada taraf 5%

* berbeda nyata pada taraf 5%

** berbeda sangat nyata pada taraf 5% t data ditransformasi dengan rumus x+0.5

Jenis media memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata persentase biji berkecambah. Tabel 6 menunjukkan bahwa media B5 memberikan respon terbaik terhadap rata-rata persentase biji berkecambah sebesar 89.17%. Perlakuan media B5 berbeda nyata dengan media WPM dan MS yang hanya memberikan hasil rata-rata persentase biji berkecambah sebesar 70.14% dan 57.50%.

Tabel 6. Pengaruh Jenis Media terhadap Rata-Rata Persentase Biji Berkecambah

Jenis Media Waktu Pengamatan HST (Hari Setelah Tanam) 32 HST 48 HST 64 HST 80 HST 96 HST MS 13.75 24.58 b 37.50 c 50.83 c 57.50 c B5 22.92 50.42 a 67.92 a 84.17 a 89.17 a WPM 14.48 33.61 b 49.69 b 64.86 b 70.14 b Keterangan : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5%

Nitrogen merupakan faktor utama dalam memacu morfogenesis secara in vitro (Purnamaningsih, 2002). Ketersedian unsur nitrogen di dalam media disediakan dalam bentuk ion NO3- dan NH4+ (Beyl, 2005). Pemberian nitrogen

25

media B5 kandungan nitrogren dalam bentuk KNO3 yang tinggi diduga

mempengaruhi persentase biji berkecambah (Lampiran 1-3). Biji yang berkecambah ditunjukkan pada Gambar 7.

Biji berkecambah tidak diharapkan dalam induksi embrio somatik. Jika biji berkecambah maka akan menghambat terbentuknya embrio somatik dari eksplan biji muda. Sehingga media terbaik yang digunakan untuk induksi embrio somatik yaitu MS.

A B

Gambar 7. Biji Berkecambah: (A) Perlakuan Media B5 + 0 mg/L Picloram saat 52 HST; (B) Perlakuan Media MS + 0.5 mg/L Picloram saat 52 HST

Percobaan II Kondisi Umum

Percobaan II dilakukan penanaman pada tanggal 1, 2, dan 3 Juli 2009. Sumber eksplan yang digunakan yaitu hipokotil yang berasal dari biji tua yang dikecambahkan secara in vitro selama ±15 hari menggunakan media MS0. Biji yang dikecambahkan disimpan di ruang gelap. Pada 3 HST mulai terjadi kontaminasi cendawan yang diduga disebabkan kurang panasnya botol dan kurang ketelitian dalam menanam. Persentase kontaminasi sebesar 1.52%.

Hipokotil yang telah dimasukkan ke dalam media perlakuan sebagian besar mengalami pembentukan kalus terlebih dahulu. Kalus yang terbentuk dicirikan dengan mulai membengkaknya hipokotil. Awal pembentukan kalus dimulai dengan membesarnya hipokotil atau hipokotil mengalami pembengkakan.

Setelah itu hipokotil sebagian pecah dan terbentuk kalus yang semakin besar dan sebagian tidak pecah dan terbentuk kalus di atas hipokotil. Pada sebagian perlakuan terbentuk kalus berwarna kuning sedangkan pada sebagian perlakuan kalus pecah dan muncul akar. Perkembangan kalus sangat bervariasi tergantung dari media perlakuan. Secara umum hipokotil yang ditanam pada media yang mengandung 2.4 D dan 2.4 D + BAP membentuk kalus berwarna kuning dan kompak. Hipokotil yang ditanam pada media yang mengandung NAA membentuk kalus kompak berwarna kuning keputihan dan muncul akar pada bagian kalus. Sedangkan hipokotil yang ditanam dalam media yang mengandung NAA + BAP membentuk kalus remah berwarna putih dan berbentuk bulatan-bulatan yang tidak halus.

Jumlah Embrio Somatik dan Jumlah Eksplan yang Menghasilkan Embrio Somatik

Pembentukan embrio somatik diawali dengan pembentukan kalus embriogenik terlebih dahulu. Kalus embriogenik akan mengalami perkembangan membentuk embrio atau tidak mengalami perkembangan lagi. Kalus embriogenik yang membentuk embrio dimulai dengan fase globular, hati, torpedo, dan planlet (Gray, 2005). Fase globular yang merupakan fase awal pembentukan embrio tidak dapat diamati secara langsung dalam penelitian ini. Fase embrio yang dapat diamati yaitu pada saat fase hati yang telah memiliki struktur yang lebih jelas. Embrio somatik dapat diinduksi setelah 42 HST (Hari Setelah Tanam). Tabel 7 menunjukkan bahwa pada saat 42 HST masih sedikit embrio yang dapat diinduksi yaitu sebanyak 5 embrio. Namum jumlah embrio yang diinduksi mengalami peningkatan sampai 63 HST lalu tidak mengalami penambahan lagi.

27

Tabel 7. Waktu Muncul Embrio Somatik, Jumlah Embrio Somatik, dan Jumlah Eksplan yang Menghasilkan Embrio Somatik

Ulangan Perlakuan 42 HST 51 HST 54 HST 63 HST 72 HST Em Eks Em Eks Em Eks Em Eks Em Eks I 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP (1) 3 1 4 1 5 1 5 1 5 1 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP (3) 2 1 2 1 7 3 7 3 7 3 2 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP (3) 0 0 0 0 2 1 2 1 2 1 II 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP (3) 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 III 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP (2) 0 0 0 0 3 2 5 2 5 2 2 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP (3) 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan botol ke-i

Em : Embrio Eks : Eksplan

Perlakuan taraf konsentrasi auksin (2.4 D dan NAA) dengan taraf konsentrasi BAP memberikan interaksi terhadap pembentukan embrio somatik per eksplan dan rata-rata eksplan yang menghasilkan embrio somatik. Rekapitulasi sidik ragam disajikan dalam Tabel 8 berikut:

Tabel 8. Rekapitulasi Sidik Ragam Jumlah Embrio Somatik per Eksplan dan Rata-Rata Jumlah Eksplan yang Menghasilkan Embrio Somatik saat 72 HST

Peubah Auksin BAP Interaksi KK (%)

∑ embrio somatik per eksplan t ** tn ** 8.41 (463.15) Rata-rata ∑ eksplan yang menghasilkan

embrio somatik t ** * **

3.15 (340.69) Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi

tn tidak berbeda nyata pada taraf 5% * berbeda nyata pada taraf 5%

** berbeda sangat nyata pada taraf 5% t data ditransformasi dengan rumus x+0.5

Penggunaan NAA yang dikombinasikan dengan BAP berpengaruh nyata terhadap pembentukan embrio somatik. Terdapat 2 perlakuan yang dapat

menginduksi embrio somatik yaitu kombinasi 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP dan kombinasi 2 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP. Perlakuan 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP memberikan hasil tertinggi dibandingkan dengan perlakuan 2 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP dan perlakuan lainnya. Embrio somatik yang terbentuk pada perlakuan 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP sebesar 0.53 embrio per eksplan. Sedangkan perlakuan 2 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP hanya menghasilkan 0.07 embrio per eksplan. Jumlah embrio somatik total yang dapat diinduksi sebanyak 21 embrio dari 975 eksplan yang ditanam. Embrio somatik yang terbentuk disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 8. Embrio Somatik yang Terbentuk pada Perlakuan 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP

Kombinasi perlakuan NAA dan BAP juga berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah eksplan yang menghasilkan embrio somatik. Tabel 9 menunjukkan bahwa perlakuan 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP memberikan hasil tertinggi sebesar 0.2 eksplan dan berbeda nyata terhadap perlakuan 2 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP yang hanya menghasilkan 0.05 eksplan. Jumlah eksplan yang menghasilkan embrio somatik sebanyak 9 eksplan dari 975 eksplan yang ditanam. Eksplan yang menghasilkan embrio somatik disajikan dalam Gambar 9.

29

A B

Gambar 9. Eksplan yang Menghasilkan Embrio: (A) Perlakuan 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP saat 52 HST; (B) Perlakuan 2 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP saat 56 HST

Tabel 9. Pengaruh Taraf Konsentrasi Auksin (2.4 D dan NAA) dan BAP terhadap Jumlah Embrio Somatik per Eksplan dan Rata-Rata Eksplan yang Menghasilkan Embrio Somatik saat 72 HST

Auksin Sitokinin (BAP) Jumlah Embrio per Eksplan

Rata-Rata Eksplan yang Menghasilkan Embrio Somatik ………. mg/L ………. Tanpa Auksin 0 0 0 b 0 b 0 0.1 0 b 0 b 2.4 D 1 0 0 b 0 b 2 0 0 b 0 b 3 0 0 b 0 b 4 0 0 b 0 b 5 0 0 b 0 b 1 0.1 0 b 0 b 2 0.1 0 b 0 b 3 0.1 0 b 0 b 4 0.1 0 b 0 b 5 0.1 0 b 0 b NAA 1 0 0 b 0 b 2 0 0 b 0 b 3 0 0 b 0 b 4 0 0 b 0 b 5 0 0 b 0 b 1 0.1 0.53 a 0.20 a 2 0.1 0.07 b 0.05 b 3 0.1 0 b 0 b 4 0.1 0 b 0 b 5 0.1 0 b 0 b

Keterangan : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5%

Pemberian auksin dan sitokinin secara bersamaan dapat menginduksi terbentuknya embrio. Perbandingan kedua zat pengatur tumbuh tersebut yaitu nisbah auksin sitokinin yang tinggi yaitu konsentrasi auksin dalam media lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sitokinin (Wattimena et al., 1992). Hal ini sejalan dengan penelitian Kageyama et al. (1991) yang melaporkan bahwa penggunaan 1 mg/L 2.4 D + 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BA mampu menginduksi embrio somatik dari kotiledon biji tua melon.

Pembentukan Kalus Embriogenik

Perlakuan taraf konsentrasi auksin (2.4 D dan NAA) dan taraf konsentrasi BAP berpengaruh nyata terhadap pembentukan kalus embriogenik. Tabel 10 menunjukkan bahwa interaksi perlakuan mulai terjadi sejak 30 HST sampai akhir pengamatan yaitu 72 HST.

Tabel 10. Rekapitulasi Sidik Ragam Pembentukan Kalus Embriogenik Hari

Pengamatan Auksin BAP interaksi KK (%)

30 HST ** ** ** 62.58 36 HST ** ** ** 48.05 42 HST ** ** ** 22.80 48 HST ** ** ** 17.65 54 HST ** ** ** 10.76 60 HST ** ** ** 8.96 66 HST ** ** ** 8.12 72 HST ** ** ** 5.37

Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada taraf 5%

Penggunaan auksin jenis 2.4 D tidak memberikan respon terhadap pembentukan kalus embriogenik. Penggunakan NAA tanpa BAP juga tidak memberikan respon terhadap pembentukan kalus embriogenik. Kombinasi NAA (1, 2, 3, 4, dan 5 mg/L) dengan BAP 0.1 mg/L mampu menghasilkan kalus embriogenik. Tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan 2 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP, 3 mg/L NAA + 0.1 BAP, dan 5 mg/L NAA + 0.1 BAP memberikan hasil tertinggi terhadap pembentukan kalus embriogenik sebesar 100%.

31

Tabel 11. Pengaruh Taraf Konsentrasi Auksin (2.4 D dan NAA) dengan BAP terhadap Rata-Rata Persentase Pembentukan Kalus Embriogenik

Auksin Sitokinin (BAP) Waktu Pengamatan HST (Hari Setelah Tanam) ………. mg/L ………. 36 HST 48 HST 60 HST 72 HST Tanpa Auksin 0 0 0 c 0 b 0 b 0 c 0 0.1 0 c 0 b 0 b 0 c 2.4 D 1 0 0 c 0 b 0 b 0 c 2 0 0 c 0 b 0 b 0 c 3 0 0 c 0 b 0 b 0 c 4 0 0 c 0 b 0 b 0 c 5 0 0 c 0 b 0 b 0 c 1 0.1 0 c 0 b 0 b 0 c 2 0.1 0 c 0 b 0 b 0 c 3 0.1 0 c 0 b 0 b 0 c 4 0.1 0 c 0 b 0 b 0 c 5 0.1 0 c 0 b 0 b 0 c NAA 1 0 0 c 0 b 0 b 0 c 2 0 0 c 0 b 0 b 0 c 3 0 0 c 0 b 0 b 0 c 4 0 0 c 0 b 0 b 0 c 5 0 0 c 0 b 0 b 0 c 1 0.1 85.6 a 94.4 a 97.8 a 97.8 b 2 0.1 84.4 a 97.8 a 97.8 a 100 a 3 0.1 76.7 ab 97.8 a 96.7 a 100 a 4 0.1 86.7 a 95.6 a 97.8 a 97.8 b 5 0.1 66.7 b 91.1 a 100 a 100 a Keterangan : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5%

Pada umumnya induksi kalus embriogenik memerlukan auksin dan sitokinin. Perbandingan kedua zat pengatur tumbuh tersebut yaitu nisbah auksin sitokinin yang tinggi yaitu konsentrasi auksin dalam media lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sitokinin (Wattimena et al., 1992). Hal ini sejalan dengan Chee (1990) yang melaporkan bahwa penggunaan 2 mg/L 2.4 D + 0.5 mg/L kinetin dapat menginduksi kalus embriogenik tertinggi pada tanaman mentimun. Kalus embriogenik yang dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Kalus Embriogenik Perlakuan 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BAP

Persentase Hipokotil Berakar

Perlakuan taraf konsentrasi auksin (2.4 D dan NAA) dengan taraf konsentrasi BAP berpengaruh nyata terhadap pembentukan akar pada hipokotil. Tabel 12 menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terjadi mulai dari 12 HST sampai 72 HST.

Tabel 12. Rekapitulasi Sidik Ragam Persentase Hipokotil Berakar Hari Pengamatan Auksin BAP interaksi KK (%)

12 HST t ** ** ** 42.07 (307.06) 18 HST t ** ** ** 58.47 (116.37) 24 HST t ** ** ** 52.34 (102.94) 30 HST t ** ** ** 61.04 (107.09) 36 HST t ** ** ** 54.01 (96.60) 42 HST t ** ** ** 42.96 (82.39) 48 HST ** ** ** 63.63 54 HST ** ** ** 53.60 60 HST ** ** ** 49.12 66 HST ** ** ** 47.21 72 HST ** ** ** 49.41

Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi ** berbeda sangat nyata pada taraf 5%

t

data ditransformasi dengan rumus x+0.5

Penggunaan auksin (2.4 D dan NAA) yang tidak dikombinasikan dengan BAP memberikan respon terhadap pembentukan akar. Perbedaan respon yang terjadi yaitu pada media tanpa zat pengatur tumbuh, pembentukan akar terjadi dari bagian ujung hipokotil tanpa pembentukan kalus terlebih dahulu. Namun pada

33

media yang diberi auksin (2.4 D dan NAA) pembentukan akar diawali dengan pembentukan kalus. Akar keluar dari bagian kalus dalam jumlah banyak.

Tabel 13. Pengaruh Taraf Konsentrasi Auksin (2.4 D dan NAA) dengan BAP terhadap Rata-Rata Persentase Pembentukan Akar

Auksin Sitokinin (BAP) Waktu Pengamatan HST (Hari Setelah Tanam) ………. mg/L ………. 36 HST 48 HST 60 HST 72 HST Tanpa Auksin 0 0 66.7 a 68.9 a 75.6 a 82.2 a 0 0.1 0 c 0 c 0 d 8.9 c 2.4 D 1 0 0 c 0 c 0 d 2.2 c 2 0 0 c 0 c 4.5 d 15.6 c 3 0 2.2 c 2.2 c 0 d 2.2 c 4 0 2.2 c 2.2 c 2.2 d 2.2 c 5 0 0 c 0 c 0 d 0 c 1 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c 2 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c 3 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c 4 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c 5 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c NAA 1 0 35.6 b 46.7 b 46.7 c 52.2 b 2 0 35.6 b 55.6 ab 64.4 ab 70 ab 3 0 26.7 b 42.2 b 44.5 c 60 b 4 0 24.5 b 42.2 b 53.3 bc 68.9 ab 5 0 24.5 b 48.9 b 53.3 bc 60 b 1 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c 2 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c 3 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c 4 0.1 0 c 0 c 0 d 0 c 5 0.1 0 c 0 c 2.2 d 2.2 c Keterangan : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5%

Perlakuan auksin (2.4 D dan NAA) dan BAP berpengaruh nyata terhadap pembentukan akar pada hipokotil. Tabel 13 menunjukkan bahwa perlakuan tanpa zat pengatur tumbuh (A0B0) memberikan hasil tertinggi terhadap persentase pembentukan akar sebesar 82.22%. Namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2 mg/L NAA + 0 mg/L BAP dan 4 mg/L NAA + 0 mg/L BAP yang menghasilkan akar sebesar 70% dan 68.89%. Akar yang terbentuk ditunjukkan pada Gambar 11.

A B

Gambar 11. Pembentukan Akar: (A) Perlakuan tanpa ZPT; (B) Perlakuan 2 mg/L NAA + 0 mg/L BAP

Pembentukan akar pada penelitian ini tidak diharapkan. Kalus yang telah membentuk akar tidak mengalami perkembangan lagi dan tidak mampu diinduksi menghasilkan embrio. Namun pembentukan akar diharapkan jika perbanyakan tanaman melalui organogenesis. Setelah terbentuk tunas, eksplan dapat diakarkan pada media yang mengandung NAA.

Pemberian auksin secara tunggal mampu menginduksi akar pada hipokotil. Hal ini sejalan dengan fungsi auksin yaitu sebagai perangsang pertumbuhan akar (Wattimena et al., 1992).

Dokumen terkait