• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim merambat. Tanaman melon menghasilkan buah yang dapat dikonsumsi segar. Meskipun termasuk buah, melon dikelompokkan kedalam sayuran karena cara budidaya yang intensif seperti sayuran. Produksi buah melon di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 55 370 ton dan meningkat pada tahun 2007 sebesar 59 814 ton (Deptan, 2008). Peningkatan produksi melon, meningkatkan pula kebutuhan benih melon. Pemenuhan kebutuhan benih melon perlu diimbangi dengan penyediaan benih baik jumlah, kualitas benih maupun kontinuitas.

Perbanyakan melon secara umum biasanya dilakukan dengan biji. Biji dari buah yang sudah matang dapat digunakan sebagai benih untuk musim tanam selanjutnya. Namun, untuk menghasilkan melon hibrida perlu dilakukan persilangan antara tetua yang sudah memiliki karakter unggul agar diperoleh melon hibrida unggul pula. Cara ini lebih lama karena setiap ingin memproduksi benih hibrida perlu dilakukan penanaman tanaman induk yang selanjutnya dilakukan persilangan untuk menghasilkan benih hibrida.

Salah satu alternatif dalam perbanyakan tanaman yaitu dengan cara kultur jaringan. Kultur jaringan memberikan banyak keuntungan diantaranya tanaman dapat diperbanyak setiap saat tanpa tergantung musim, daya multiplikasi yang tinggi, memerlukan bahan tanam yang sedikit, tanaman yang dihasilkan seragam, serta bebas penyakit terutama bakteri dan cendawan (Wattimena et al., 1992).

Perbanyakan secara in vitro dapat pula dilakukan pada tanaman melon. Perbanyakan dengan cara ini akan memberikan efisiensi waktu dan ekonomi. Perbanyakan bisa dilakukan kapan saja dalam jumlah banyak serta secara ekonomi akan menekan biaya produksi penyediaan benih melon. Penggandabiakan dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Cara embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang dihasilkan banyak dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat (Purnamaningsih, 2002).

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam embriogenesis somatik yaitu jenis eksplan, sumber nitrogen dan gula serta zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002). Sehingga penentuan komposisi ketiga faktor tersebut menentukan keberhasilan dalam induksi embriogenesis somatik.

Penelitian ini menggunakan tiga jenis media dasar dan beberapa jenis auksin dan sitokinin. Percobaan I menggunakan media dasar MS (Murashige and Skoog), WPM (Woody Plant Medium), dan B5 yang dikombinasikan dengan empat taraf konsentrasi picloram (auksin). Percobaan II menggunakan enam taraf konsentrasi auksin (2.4 D dan NAA) yang dikombinasikan dengan dua taraf konsentrasi sitokinin (BAP).

Tujuan

Percobaan I bertujuan untuk mengetahui jenis media dan konsentrasi zat pengatur tumbuh picloram yang terbaik dalam induksi embriogenesis somatik pada melon menggunakan eksplan biji muda. Sedangkan percobaan II bertujuan untuk mengetahui konsentrasi beberapa jenis auksin (2.4 D dan NAA) dengan BAP yang terbaik untuk menginduksi embriogenesis somatik pada melon menggunakan eksplan hipokotil.

Hipotesis Hipotesis percobaan I yang diajukan yaitu

1. Terdapat media yang optimum untuk induksi embriogenesis melon menggunakan eksplan biji muda.

2. Terdapat konsentrasi picloram yang optimum untuk induksi embriogenesis melon menggunakan eksplan biji muda.

3. Terdapat interaksi antara media dan konsentrasi picloram dalam menginduksi embriogenesis melon menggunakan eksplan biji muda.

3

Sedangkan hipotesis percobaan II yang diajukan yaitu

1. Terdapat konsentrasi auksin (2.4 D dan NAA) yang optimum untuk induksi embriogenesis melon menggunakan eksplan hipokotil.

2. Terdapat konsentrasi BAP yang optimum untuk induksi embriogenesis melon menggunakan eksplan hipokotil.

3. Terdapat interaksi antara auksin (2.4 D dan NAA) dan BAP dalam menginduksi embriogenesis melon menggunakan eksplan hipokotil.

Botani Melon (Cucumis melo L.)

Melon dalam klasifikasi tanaman digolongkan kedalam famili Cucurbitaceae sama seperti blewah (Cucumis melo L.), semangka (Citrullus vulgaris Schard), mentimun (Cucumis sativum L.), paria (Momordica charantia L. Roxb.), dan waluh (Cucurbita moschata). Famili ini terdiri dari sekitar 130 genus, lebih dari 900 spesies, dan hanya sebagian kecil yang dibudidayakan (Bernadac et al, 2002). Melon merupakan tanaman yang menghasilkan biji sehingga digolongkan sebagai tanaman Spermatophyta. Biji melon tertutup oleh bakal buah sehingga termasuk tanaman Angiospermae.

Biji tanaman melon (Cucumis melo L.) terdiri dari dua lembaga sehingga digolongkan ke dalam kelas tanaman berbiji belah dua (dikotil). Melon digolongkan ke dalam genus cucumis dan dalam genus tersebut terdapat beberapa spesies. Dalam genus cucumis terdapat dua spesies yang sering dibudidayakan dan menjadi tanaman sayuran penting di dunia yaitu melon (Cucumis melo L.) dan mentimun (Cucumis sativus L.) (Kirkbride, 1994).

Melon Hibrida H7

Melon hibrida H7 merupakan melon hasil rakitan Pusat Kajian Buah- Buahan Tropika, Institut Pertanian Bogor. Melon hibrida tersebut diberi nama Snow White Meta. Keunggulan dari melon Snow White Meta adalah warna kulit buah setelah tua berwarna krem dengan ketebalan daging buah 4 cm (Gambar 1A). Warna daging buah putih dengan tekstur daging buah halus tidak berserat (Gambar 1B). Aroma buah melon wangi dan memiliki padatan terlarut total 10.5o brix. Bobot buah rata-rata berkisar 1.0 - 1.5 kg (Sobir, 2007).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri

5

dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan, 1992). Kultur jaringan bisa juga diartikan sebagai perbanyakan mikro. Menurut Acquaah (2004) perbanyakan mikro adalah perbanyakan tanaman secara in vitro, yang memanfaatkan jaringan meristem atau jaringan non meristem yang telah ada. Terdapat empat metode secara umum dalam kultur jaringan yaitu kultur pucuk, kultur buku, organogenesis, dan embriogenesis nonzigotik (Acquaah, 2004). Tujuan pokok penerapan perbanyakan mikro adalah produksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat, terutama untuk varietas-varietas unggul yang baru dihasilkan (Gunawan, 1992).

A B

Gambar 1. Melon Snow White Meta (H7): (A) Kulit Luar Berwarna Krem; (B) Daging Buah Berwarna Putih

Kultur jaringan memberikan banyak keuntungan dibandingkan perbanyakan secara konvensional. Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cepat karena siklus perbanyakan yang lebih singkat. Volume perbanyakan yang dihasilkan lebih besar pada tanaman hias seperti anggrek, tanaman berkayu, dan tanaman semak. Melalui kultur jaringan, tanaman dapat diperbanyak dalam jumlah besar dan memudahkan transportasi. Selain itu, perbanyakan tidak tergantung musim dan dapat memenuhi permintaan pasar dengan cepat (Evans et al., 2003). Namun ada beberapa tanaman yang tidak menguntungkan bila dikembangkan dengan kultur jaringan. Misalnya, kecepatan multiplikasinya rendah, terlalu banyak langkah untuk mencapai tanaman sempurna, atau terlalu tinggi tingkat penyimpangan genetik (Gunawan, 1992). Pada prinsipnya perbanyakan melalui kultur jaringan sangat perlu dalam tanaman yang persentase

perkecambahan biji rendah, tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang tidak menunjukkan male sterility, hibrida-hibrida unik, perbanyakan pohon-pohon bernilai ekonomis, serta tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif (Gunawan, 1992).

Teknik perbanyakan secara kultur jaringan dapat dilakukan secara organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti pucuk dan akar (Gunawan, 1992). Terdapat dua cara terjadinya organogenesis yaitu secara langsung atau tidak langsung. Organogenesis langsung terjadi tanpa terbentuknya kalus terlebih dahulu sedangkan organogenesis tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus lalu muncul organ pada kalus. Kalus merupakan massa sel yang tidak terdiferensiasi seperti sel meristem (Acquaah, 2004).

Embriogenesis Somatik

Embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Embriogenesis berbeda dengan organogenesis pada regenerasi dan organisasi yang bersifat bipolar (Loberant, 1998). Sifat bipolar dicirikan dengan mempunyai dua calon meristem yaitu meristem akar dan meristem tunas (Purnamaningsih, 2002). Induksi embriogenesis somatik membutuhkan sekali pemberian hormon dalam pembentukan struktur bipolar untuk menghasilkan planlet yang sempurna, sedangkan organogenesis membutuhkan dua kali pemberian hormon untuk menginduksi organ tunas terlebih dahulu lalu menginduksi organ akar (Chawla, 2002). Dengan memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan dibandingkan pembentukan tunas adventif yang unipolar. Selain struktur yang membedakan, perkembangan embrio somatik menyerupai embrio zigotik. Secara spesifik tahap perkembangan embrio somatik dan embrio zigotik memiliki pola yang sama yaitu dimulai dari fase globular, fase scutellar, dan fase coleoptilar untuk tanaman monokotil atau fase globular, hati, torpedo dan planlet untuk tanaman dikotil atau tanaman berkayu

7

(Gray, 2005). Kontrol terhadap media dan cara subkultur sangat dibutuhkan dalam memperoleh perkembangan yang sama pada embrio somatik (Loberant, 1998).

Inisiasi dan perkembangan embrio dari jaringan somatik pertama kali dilaporkan oleh Steward et al. (1958) dan Reinert (1958, 1959) dalam Chawla (2002) pada tanaman Daucus carota. Sel somatik wortel akan terdiferensiasi membentuk embrio ketika ditanam dalam media yang mengandung nutrisi dan zat pengatur tumbuh yang tepat (Caponetti et al., 2005). Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang akan digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil dan mengandung butir pati (Purnamaningsih, 2002). Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya kadang-kadang dapat lebih ditingkatkan melalui inisiasi sel embrionik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer (Wattimena et al., 1992).

Embriogenesis memiliki beberapa tahap spesifik yaitu induksi sel dan kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, dan hardening atau tahap aklimatisasi. Pada induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi. Selain auksin biasanya diberikan sitokinin secara bersamaan. Tahap pendewasaan merupakan tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordia akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan merupakan tahap paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan auksin pada konsentrasi rendah (Purnamaningsih, 2002).

Tahap perkecambahan merupakan fase dimana embrio somatik membentuk tunas dan akar. Pada media perkecambahan, konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan sangat rendah bahkan tidak diberikan sama sekali. Tahap hardening yaitu tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo dengan penurunan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya (Purnamaningsih, 2002).

Sumber Eksplan

Embrio somatik biasanya dapat diinisiasi dari jaringan juvenil atau jaringan meristematik. Eksplan yang digunakan dapat berupa daun muda, ujung tunas, kotiledon, dan hipokotil. Tetapi respon eksplan sangat tergantung dari genotip tanaman. Jadi untuk spesies tanaman yang berbeda hanya jaringan tertentu yang dapat digunakan untuk inisiasi embrio somatik (Gray, 2005).

Kageyama et al. (1991), Oridate dan Oosawa (1986) melaporkan penggunaan biji tua sebagai sumber eksplan dalam induksi embriogenesis melon. Dalam penelitiannya, Kageyama, Oridate dan Oosawa berhasil menginduksi embrio. Ezura dan Oosawa (1994) juga melaporkan, penggunaan embrio aksis dari biji tua melon sebagai sumber eksplan dalam embriogenesis somatik. Sedangkan penelitian yang sama dilakukan oleh Tabei et al. (1991) menggunakan eksplan kotiledon dari biji tua, kotiledon dan hipokotil dari biji yang dikecambahkan, dan daun serta petiol dari planlet muda dalam induksi embriogenesis melon.

Penelitian pada tanaman segenus telah banyak dilakukan terutama pada tanaman mentimun (Cucumis sativus L.). Perbanyakan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis telah banyak dilaporkan. Sumber eksplan yang digunakan dalam induksi embrio somatik yaitu kotiledon dari biji yang dikecambahkan secara in vitro (Chee, 1990; Ladyman and Girard, 1992), hipokotil dari biji yang dikecambahkan secara in vitro (Chee, 1990), dan daun muda dari biji yang dikecambahkan secara in vitro (Kuijpers et al., 1996). Eksplan yang masih bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi (Purnamaningsih, 2002).

Media Tanam

Media tanam merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan kultur jaringan. Komposisi unsur makro dan mikro yang tepat akan memberikan respon terhadap keberhasilan kultur jaringan. Media kultur jaringan mengandung 95% air, unsur makro dan mikro, zat pengatur tumbuh, vitamin, dan gula (Beyl, 2005).

9

Tipe media yang akan digunakan dalam kultur jaringan tergantung dari jenis tanaman yang akan digunakan. Beberapa spesies sensitif terhadap kandungan garam yang terlalu tinggi atau membutuhkan zat pengatur tumbuh yang berbeda. Perkembangan komposisi media kultur jaringan merupakan hasil dari penelitian dan percobaan yang sistematik. Media Murashige and Skoog (MS) merupakan media yang sering digunakan dan cocok dalam regenerasi dari kalus dan jaringan tanaman (Beyl, 2005). Media MS sering digunakan dalam beberapa kultur yang berbeda-beda. Dalam media MS terkandung garam N dan K yang sangat tinggi. Untuk mengurangi sensitivitas garam pada tanaman berkayu, maka Llyod dan McCown membuat Woody Plant Medium (WPM).

Media Gamborg’s B5 ditemukan untuk kultur kalus kedelai. Media ini memiliki kandungan N yang lebih sedikit dibandingkan media MS. Media B5 juga digunakan dalam kultur sel dan protoplas (Chawla, 2002). Media B5 sebenarnya dibuat untuk kultur suspensi atau induksi kalus, namum media ini juga baik sebagai media dasar untuk regenerasi semua tanaman (Beyl, 2005).

Embriogenesis somatik mengalami perkembangan morfologi seperti yang terjadi pada embrio zigotik. Faktor penting dalam induksi embriogenesis somatik adalah komposisi nutrisi dalam media kultur. Nitrogen merupakan faktor penentu dalam memacu morfogenesis secara in vitro. Menurut Ammirato (1983) dalam Purnamaningsih (2002) bentuk nitrogen reduksi dan beberapa asam amino seperti glutamin dan kaesin hidrosilat sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Inisiasi dan pendewasaan embrio somatik diperlukan keseimbangan yang tepat antara NH4+ dan NO3-. Konsentrasi NO3- yang terlalu tinggi akan meningkatkan pH media sehingga kalus tidak dapat membentuk embrio somatik.

Selain nitrogen, gula merupakan komponen organik yang harus diberikan ke dalam media kultur. Gula berfungsi disamping sebagai sumber karbon, juga untuk mempertahankan tekanan osmotik media (Purnamaningsih, 2002).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6 - 10-5 mM) yang disintesis pada bagian

tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Wattimena, 1988). Zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh tanaman sintetik.

Dalam induksi embriogenesis jenis zat pengatur tumbuh yang digunakan bervariasi. Pada umumnya induksi embriogenesis memerlukan auksin dan sitokinin. Perbandingan kedua zat pengatur tumbuh tersebut yaitu nisbah auksin sitokinin yang tinggi yaitu konsentrasi auksin dalam media lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sitokinin (Wattimena et al., 1992). Auksin yang paling sering digunakan untuk mendorong pembentukan embrio somatik yaitu 2.4 D (Wattimena et al., 1992).

Tinggi

Gambar 2. Keseimbangan Auksin dan Sitokinin dalam Proses Morfogenesis (Wattimena et al., 1992)

Auksin sangat luas digunakan dalam kultur jaringan tanaman yang dimasukkan ke dalam media tanam. Fungsi utama auksin yaitu untuk merangsang pemanjangan sel (Evans et al., 2003). Selain itu auksin juga berfungsi untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel, dominan apikal dan pertumbuhan akar (Wattimena et al., 1992). Namun jika auksin digabung bersama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki (Gambar 2). Setiap jenis auksin yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda pula didalam aktivitas

Tinggi Rendah Pembentukan akar

pada stek in vitro

Sitokinin Pembentukan tunas adventif Proliferasi tunas aksilar Pembentukan tunas

adventif dari kalus Embriogenesis

Inisiasi kalus tanaman dikotil

Auksin

11

fisiologi, pergerakan didalam jaringan tanaman, pengikatan didalam sel dan sifat metabolisme (Wattimena et al., 1992). Penentuan taraf konsentrasi yang digunakan disesuaikan dengan tipe eksplan, metode kultur jaringan, dan tingkat kultur jaringan (Wattimena et al., 1992).

Selain 2.4 D jenis auksin yang sering digunakan untuk penelitian in vitro yaitu picloram. Picloram banyak digunakan untuk induksi kalus (Wattimena et al., 1992). Namun kekurangan dari jenis auksin ini yaitu kestabilan genetiknya. Penyimpanan kalus yang lama dalam media yang mengandung picloram akan menyebabkan meningkatnya keragaman genetik (Wattimena et al., 1992).

Gambar 3. Struktur Molekul Kimia (A) 2.4 D; (B) NAA; dan (C) BAP (Evans et al., 2003); (D) Picloram (www.alanwood.com)

Sitokinin memiliki peran untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan, menghambat senescence dan bereaksi dengan auksin untuk mengontrol pertumbuhan (Evans et al., 2003). Zeatin merupakan sitokinin alamiah yang terdapat dalam tanaman. Biosintesis zeatin terutama di ujung akar dan dalam biji yang sedang berkembang (Wattimena et al., 1992). Jenis sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan yaitu kinetin, benzylaminopurine (BAP), zeatin, dan 2iP (Evans et al., 2003). Penggunaan BAP dan kinetin dalam

4‐amino‐3,5,6‐trichloropicolinic acid  (Picloram)  A BC OH  C Cl Cl N H H Cl  N D

percobaan kultur jaringan sering digunakan karena lebih murah dan tahan terhadap degradasi (Wattimena et al., 1992). Gambar 3 menunjukkan struktur molekul dari zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam penelitian.

Kultur Jaringan Melon (Cucumis melo L.)

Penelitian perbanyakan secara in vitro pada tanaman melon telah banyak dilaporkan. Pada pertengahan tahun 1980 penelitian mengenai embriogenesis somatik dari kultur suspensi kalus dilaporkan oleh Oridate dan Oosawa (1986). Penelitian tersebut menggunakan media MS dan kombinasi konsentrasi 2.4 D dan BA. Penanaman kalus pada media MS ditambahkan 1 mg/L 2.4 D dan 0.1 mg/L BA menunjukkan respon terbaik untuk embriogenesis. Kageyama et al. (1991) melaporkan penanaman kotiledon biji tua pada media MS ditambahkan 1 mg/L 2.4 D + 1 mg/L NAA + 0.1 mg/L BA juga berpengaruh terhadap pembentukan karakteristik embrio somatik.

Tabei et al. (1991) meneliti tentang regulasi auksin untuk organogenesis dan embriogenesis somatik pada melon (Cucumis melo L.). Hasil penelitian melaporkan bahwa pembentukan tunas adventif terjadi pada taraf auksin konsentrasi rendah (0 sampai dengan 0.01 mg/L 2.4 D; 0 sampai dengan 0.1 mg/L NAA; 0 sampai dengan 1.0 mg/L IAA), dan embrio terbentuk pada taraf auksin konsentrasi tinggi (1.0 sampai dengan 2.0 mg/L 2.4 D; 3.0 sampai dengan 10.0 mg/L NAA; 20 sampai dengan 100 mg/L IAA). Pemberian IAA lebih efisien dalam induksi tunas dan embriogenesis dibandingkan auksin lain yang diujikan.

Penelitian tentang ploidi pada melon dilakukan oleh Ezura dan Oosawa (1994) secara in vitro. Embrio somatik yang dihasilkan bersifat diploid, tetraploid dan oktoploid. Dari penelitian menunjukkan bahwa kemampuan embrio untuk berkembang menjadi planlet meningkat dari oktoploid ke tetraploid lalu diploid. Adelberg dan Rhodes (1994) juga melaporkan tentang pengaruh sumber eksplan terhadap frekuensi tanaman tetraploid dari perbanyakan secara in vitro pada melon.

Penggunaan retardan dalam perkembangan tunas secara in vitro dilaporkan oleh Gaba et al. (1996). Kombinasi ancymidol dan BA menunjukkan perkembangan tunas terbaik dibandingkan pemberian ancymidol ataupun BA

13

secara terpisah. Kintzios dan Taravira (1997) melaporkan bahwa induksi embrio somatik dipengaruhi oleh genotip dan intensitas cahaya. Kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap jumlah embrio somatik, pendewasaan embrio, dan regenerasi planlet. Sehingga jenis perlakuan berbeda disetiap varietas melon.

Penelitian-penelitian lanjutan mengenai kultur jaringan melon terus dilakukan. Nakagawa et al. (2001) meneliti tentang pengaruh gula dan ABA terhadap induksi embriogenesis somatik melon dari kotiledon. Sukrosa dapat menginduksi embrio somatik sedangkan manitol tidak dapat menginduksi terbentuknya embrio somatik. Embrio somatik tertinggi diperoleh dari perlakuan 0.5 μM ABA ditambah 200 mM sukrosa. Rhimi et al. (2006) melaporkan penggunaan kombinasi 2.4 D (0.25 mg/L sampai 1.0 mg/L) dan BA (0.10 mg/L sampai 0.50 mg/L) dalam induksi embriogenesis somatik pada dua melon Tunisian kultivar Maazoun dan Beji.

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB Darmaga. Penelitian berlangsung dari bulan April sampai dengan September 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi beberapa jenis media yaitu media MS (Murashige and Skoog), media B5 (Gamborg B5), dan media WPM (Woody Plant Medium). Zat pengatur tumbuh yang digunakan meliputi jenis auksin (2.4 D, picloram, dan NAA) dan jenis sitokinin berupa BAP. Sumber eksplan menggunakan melon H7 koleksi Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika Institut Pertanian Bogor. Eksplan yang digunakan berupa biji muda yang berasal dari buah berumur 15 hari setelah penyerbukan dan hipokotil yang berasal dari biji tua yang telah dikecambahkan. Bahan lain yang digunakan meliputi agar, gula, bakterisida, fungisida, aquades steril, karet, plastik, alkohol 70%, alkohol 96%, klorox, betadin dan deterjen.

Alat yang digunakan adalah autoclave, botol kultur, gelas piala, erlemeyer, timbangan, cawan petri, gelas ukur, corong plastik, pH meter, laminar air flow cabinet, pinset, gunting, scalpel, lampu spirtus, botol sprayer, dan rak kultur.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan 2 percobaan. Masing-masing percobaan dilakukan terpisah.

Percobaan I

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan faktorial yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Penelitian terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama media tanam terdiri dari tiga taraf yaitu MS, WPM, dan B5. Konsentrasi picloram sebagai faktor kedua terdiri dari empat taraf yaitu 0, 0.5, 1.0, 1.5 mg/L. Percobaan dilakukan dengan 3 ulangan dan setiap ulangan

15

terdapat 5 botol. Setiap botol terdapat 5 eksplan. Penanaman dilakukan selama 3 hari. Kombinasi media dan picloram yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Kombinasi Media dan Konsentrasi Picloram

Media Konsentrasi Picloram (mg/L)

0 0.5 1.0 1.5 MS M1 M2 M3 M4

B5 B1 B2 B3 B4

WPM W1 W2 W3 W4

Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah

( )

ij k ijk

j i ijk

Y =μ+α +β + αβ +δ +ε

i = perlakuan media tanam

j = perlakuan taraf konsentrasi picloram k = 1, 2, 3 (ulangan)

Dimana :

= respon perlakuan = nilai tengah

= pengaruh perlakuan media tanam

= pengaruh perlakuan taraf konsentrasi picloram

( )

αβ ij = interaksi antara dua faktor perlakuan

k

δ = pengaruh ulangan ke-k = pengaruh galat percobaan

Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji-F. Jika uji-F nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Percobaan II

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan faktorial yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Penelitian terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama taraf konsentrasi auksin (2.4 D dan NAA) masing- masing terdiri dari enam taraf yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5 mg/L. Konsentrasi BAP sebagai faktor kedua terdiri dari dua taraf yaitu 0 dan 0.1 mg/L. Percobaan dilakukan

dengan 3 ulangan dan setiap ulangan terdapat 3 botol. Setiap botol terdapat 5 eksplan. Penanaman dilakukan selama 3 hari. Kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Kombinasi Auksin (2.4 D dan NAA) dan BAP

Auksin (mg/L) BAP (mg/L)

0 0.1

Tanpa auksin 0 A0B0 A0B1

2.4 D 1 A1B0 A1B1

2 A2B0 A2B1

3 A3B0 A3B1

4 A4B0 A4B1

5 A5B0 A5B1

NAA 1 A6B0 A6B1

2 A7B0 A7B1

3 A8B0 A8B1

4 A9B0 A9B1

5 A10B0 A10B1

Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah

( )

ij k ijk

j i ijk

Y =μ+α +β + αβ +δ +ε

i = perlakuan taraf konsentrasi 2.4 D dan NAA j = perlakuan taraf konsentrasi BAP

k = 1, 2, 3 (ulangan) Dimana :

= respon perlakuan = nilai tengah

= pengaruh perlakuan taraf konsentrasi 2.4 D dan NAA = pengaruh perlakuan taraf konsentrasi BAP

( )

αβ ij = interaksi antara dua faktor perlakuan k

δ = pengaruh ulangan ke-k = pengaruh galat percobaan

Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji-F. Jika uji-F nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Dokumen terkait