• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, diperoleh hasil bahwa ikan hike memiliki gambaran morfologi yang mirip dengan ikan mas (Gambar 6). HAsil identifikasi terhadap ikan hike terlihat bahwa secara taksonomi ikan hike mempunyai nama spesies Labeobarbus longipinnis. Secara rinci ikan hike yang digunakan dalam penelitian ini diklasifikasikan sebagai berikut:

Kelas : Teleostei

Ordo : Cypriniformes

Sub ordo : Cyprinoidea

Famili : Cyprinidae

Sub famili : Cyprininae

Genus : Labeobarbus (Tor) Spesies : Labeobarbus longipinnis

Gambar 6 Ikan hike (Labeobarbus longipinnis), fauna indigenous Majalengka Berdasarkan pernyataan Kottelat et al. (1993) diketahui bahwa genus Barbus telah direvisi menjadi genus Tor akan tetapi tidak dicantumkan pentelaan terhadap Labeobarbus longipinnis. Sedangkan Weber dan Beaufort dalam Haryono (2006) menggunakan Labeobarbus sebagai nama marga dengan karakter utama adalah keberadaan dan ukuran cuping pada bibir bawah untuk membedakan diantara jenis- jenisnya. Sementara itu menurut Saanin (1984) disebutkan bahwa L. longipinnis memiliki ciri spesfik untuk identifikasi yang akan membedakan dengan Labeobarbus

spesies lainnya yaitu bibir tidak berkeping dan sirip dubur lebih tinggi daripada sirip punggung.

Secara morfologis ikan hike memiliki tubuh pipih memanjang (stream line) dengan warna kuning keperakan pada ikan muda dan berangsur-angsur menjadi kuning kehijauan pada ikan dewasa (Gambar 7 dan 8). Bentuk tubuh pada ikan betina lebih lebar dibandingkan dengan ikan jantan. Ciri spesifik lainnya adalah adanya pola garis berwarna kehitaman pada sisik bagian medio-lateral tubuh yang semakin nyata pada ikan dewasa.

Gambar 7 Ikan hike muda, warna sisik tubuh kuning keperakan

Gambar 8 Bentuk tubuh pada ikan dewasa, jantan (bawah) lebih langsing daripada betina (atas)

Terkait dengan sifat reproduksi, didapatkan hasil bahwa ikan jantan berukuran panjang 11 cm dengan bobot badan 45 gram telah mencapai umur dewasa kelamin

yang ditandai dengan diperolehnya semen berwarna putih pada saat dilakukan stripping serta ditemukan sel-sel spermatozoa pada saat pemeriksaan semen secara mikroskopis. Sedangkan dari hasil pemancingan yang dilakukan pada bulan Mei 2007 diperoleh ikan hike betina yang memiliki tingkat kematangan gonad pada fase postvitellogenetic pada ikan dengan ukuran panjang tubuh 27 cm dan bobot badan 186 gram.

Ikan hike mempunyai gerakan yang sangat agresif, yang tampak pada saat ikan mengejar mangsa atau menghindar dari ancaman, kadangkala meloncat melintasi permukaan air. Mengingat sifat gerakan ikan hike sangat agresif maka penangkapan ikan lebih cocok jika menggunakan pancing. Ikan dengan ukuran besar relatif senang bersembungi di balik batu-batu sementara yang berukuran kecil sering terlihat melalui permukaan air yang jernih dan berarus. Ikan hike termasuk pemakan segala (omnivora). Bahkan pada penangkapan dengan cara pancing berhasil menangkap ikan hike dengan menggunakan berbagai umpan (cacing, pelet ikan dan kerupuk). Ikan hike termasuk golongan ikan yang lebih aktif di malam hari (nocturnal), sehingga pemancingan lebih berhasil apabila dilakukan mulai petang hingga pagi hari. Sifat ikan dewasa yang lebih menyukai bersembunyi di balik batuan juga menunjukkan bahwa ikan hike kurang menyukai perairan yang banyak cahaya.

Kualitas Air

Ikan hike merupakan spesies ikan liar endemik dari Kabupaten Majalengka, tepatnya di kawasan perairan Pesanggrahan Prabu Siliwangi, Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh. Hasil pengamatan pada penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa habitat ikan hike merupakan perairan di kaki Gunung Ceremai dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan air laut. Kawasan perairan Pesanggrahan Prabu Siliwangi memiliki beberapa titik sumber mata air, airnya jernih, arus air cukup deras, dasar perairan berbatu, suhu air relatif rendah (pada musim kemarau 21-22oC), pH air 6.8, kandungan oksigen tinggi dengan angka DO (dissolved oxygen) berkisar 6,4-6,5 mg/l dan lingkungan sekitar berupa hutan (Gambar 9).

Gambar 9 Habitat asal ikan hike, perairan dengan beberapa sumber mata air dikelilingi hutan

Berdasarkan hasil pemeriksaan air pada kawasan habitat ikan didapatkan parameter biologis lainnya yaitu terdapat plankton yang berfungsi sebagai pakan alami. Dari pengamatan terhadap plankton terlihat bahwa terdapat keragaman beberapa famili dengan genus sebagai berikut:

Bacillariophyceae: Synedra sp Navicula sp Chlorophyceae: Spirogyra sp Cyanophyta: Lyngbya sp Algae: Pinnularia sp Tribonema sp Ulothrix sp

Secara keseluruhan hasil pengamatan terhadap kualitas air pada habitat alam ikan hike menunjukkan kondisi perairan yang terpelihara bahkan memenuhi baku

mutu air yang baik yaitu klasifikasi dan kriteria air kelas I. Hal ini mengacu pada PP no 82 tahun 2001 pasal 8 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air, ditetapkan bahwa mutu air kelas I yaitu air dapat digunakan untuk bahan baku air minum atau peruntukan lainnya yang mempersyaratkan mutu air yang sama. Keadaan air dari mata air yang demikian dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air untuk kebutuhan rumah tangga termasuk memasak dan air minum. Beberapa desa di Kecamatan Rajagaluh mendapatkan suplai air dari mata air yang bersumber dari kawasan Pesanggrahan Prabu Siliwangi. Sedangkan air yang masuk dalam aliran Sungai Cipadung dimanfaatkan oleh masyarakat diantaranya untuk kegiatan perikanan.

Keberhasilan Ovulasi

Pada penelitian percobaan ovulasi didapatkan hasil bahwa induksi ovulasi ikan hike (Labeobarbus longipinnis) dengan perlakuan pemberian gonadotropin releasing hormone analog (GnRHa) pada dosis 8 μg, 10 μg dan 12 μg per kg tidak mengakibatkan seluruh ikan berovulasi. Keberhasilan ovulasi dari masing-masing perlakuan tersaji pada Tabel 2. Induksi dengan dosis 8 μg/kg berat badan hanya menghasilkan satu ekor dari 4 ekor ikan induk yang diinduksi. Demikian pula halnya dengan dosis 10 μg/kg berat badan, tidak berhasil mengovulasikan seluruh induk, dalam hal ini dari 4 induk yang mendapat perlakuan hanya 3 induk yang dapat berovulasi. Pada perlakuan GnRHa dengan dosis 12 μg/kg berat badan, semua induk berhasil melakukan ovulasi. Adapun gambaran makroskopik telur ikan hike yang berhasil ovulasi dapat dilihat pada Gambar 10. Sedangkan yang tidak berhasil ovulasi dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 2 Persentase keberhasilan ovulasi dengan induksi GnRHa Dosis perlakuan (/kg berat badan) Induk ovulasi (ekor) Keberhasilan (%) 8 μg (n=4) 1 25 10 μg (n=4) 3 75 12 μg (n=4) 4 100

Gambar 10 Makroskopik telur ikan hike yang berhasil ovulasi

Gambar 11 Makroskopik ovarium ikan hike yang tidak berhasil ovulasi

Ketidakberhasilan ovulasi pada sebagian induk ini akan mempengaruhi penampilan reproduksi lainnya. Artinya, tidak terovulasikannya telur mengakibatkan tidak dimungkinkan pengamatan dan pengambilan data berikutnya yaitu masa laten, indeks gonad somatik (IGS), fekunditas, diameter telur, derajat terbuahi telur dan derajat tetas telur ikan hike. Sementara itu dari ikan hike yang berhasil ovulasi, diperoleh telur yang dapat difertilisasi dan menetas menghasilkan larva.

Pada penelitian ini juga terlihat bahwa perlakuan induksi GnRHa hanya berpengaruh terhadap masa laten dan derajat telur terbuahi, sedangkan terhadap keempat penampilan reproduksi lainnya yaitu indeks gonad somatik (IGS), fekunditas, diameter telur dan derajat tetas telur tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 3). Tabel 3 Nilai rataan lama masa laten, indeks gonad somatik, fekunditas, diameter

telur, derajat telur terbuahi dan derajat tetas telur ikan hike setelah diinduksi GnRHa Perlakuan Dosis GnRHa (/kg berat badan) Masa Laten (jam) Indeks Gonad Somatik (%) Fekunditas (butir) Diameter Telur (mm) Derajat Telur Terbuahi (%) Derajat Tetas Telur (%) 8 μg 33,50±0,00a 10,34±0,00a 806±0,00 a 1,78±0,00a 44,0±0,0a 9,0±0,0a 10 μg 21,00±1,32ab 11,94±0,57a 604±113,86 a 1,84±0.08a 68,7±3,1ab 18,3±4,2a 12 μg 18,75±0,98bc 12,14±1,42a 675±125,75 a 1,91±0,16a 83,0±3,7bc 21,5±5,1a Keterangan:

Nilai dengan superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (α=0,05)

Masa Laten

Respon ikan setelah induksi GnRHa terhadap kecepatan masa laten dapat dilihat pada Tabel 3. Masa laten tercepat diperoleh pada perlakuan pemberian GnRHa dosis 12 μg/kg bobot badan, yaitu dengan rataan 18,75 jam. Pada dosis tersebut seluruh betina yang diinduksi berhasil melakukan ovulasi. Masa laten tercepat berikutnya adalah pada perlakuan GnRHa dosis 10 μg/kg bobot badan dengan rata-rata masa laten 21 jam. Dari 4 ekor induk yang diinduksi dengan dosis tersebut terdapat 1 ekor induk yang tidak memberikan respon yang nyata, yang terlihat dari ikan yang diberi perlakuan tidak berhasil melakukan ovulasi. Perlakuan yang membutuhkan masa laten paling lama adalah induk yang diinduksi GnRHa pada dosis 8 μg/kg bobot badan, namun hanya 1 ekor induk yang menghasilkan ovulasi yaitu dengan masa laten 33,50 jam.

Berdasarkan hasil analis sidik ragam satu faktor tunggal diperoleh hasil bahwa perlakuan induksi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap masa laten. Selanjutnya dengan uji rentang Tukey diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan pengaruh yang sangat nyata antar kelompok perlakuan yaitu dosis induksi GnRHa 8 μg/kg berat badan dengan dosis induksi 10 μg/kg berat badan dan 12 μg/kg berat badan. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan dosis induksi GnRHa 10 μg/kg berat badan dengan dosis induksi GnRHa 12 μg/kg berat badan. Gambaran secara diagramik pengaruh dosis GnRHa terhadap masa laten dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Histogram nilai rataan masa laten ikan hike setelah pemberian GnRHa Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa masa laten yang dibutuhkan untuk mencapai ovulasi dari telur postvitellogenic berbeda-beda antar perlakuan dan penelitian ini menunjukkan bahwa semakin meningkat dosis GnRHa yang diinduksikan (dari 8,10 dan 12 µg/kg berat badan) menghasilkan masa laten yang lebih singkat. Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh induksi terhadap masa laten, dan dari uji lanjut Tukey diketahui bahwa terdapat pengaruh yang berbeda sangat nyata atau nyata diantara kelompok perlakuan dosis. Hasil perbandingan masa laten pada penelitian ini memperlihatkan bahwa masa laten yang terpanjang dengan masa laten tersingkat, terdapat selisih rata-rata 14,75 jam untuk perlakuan dosis induksi GnRH 8 dan 12 µg/kg berat badan.

Perbedaan masa laten dalam penelitian ini diduga karena pengaruh dosis hormon yang diinduksikan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa induksi GnRHa dalam dosis yang lebih besar terhadap ikan hike berperan dalam memberikan semakin besarnya stimulasi dan sekresi gonadotropin. Selanjutnya sekresi gonadotropin dalam hal ini GTH II atau LH sebagai produk dari kelenjar hipofisis akan dialirkan melalui darah. Gonadotropin dalam kadar yang lebih tinggi akan lebih cepat merangsang

kematangan oosit tahap akhir serta pecahnya folikel (ovulasi) melalui perannya dalam menstimulasi sekresi 17,20-P dari folikel postvitellogenic.

Masa laten yang dihitung dalam penelitian ini adalah jarak waktu dari dilakukannya induksi GnRHa yang kedua hingga terjadinya ovulasi yang dideteksi melalui keberhasilan koleksi telur. Masa laten merupakan masa yang dibutuhkan agar terjadi ovulasi dari telur yang sudah matang. Dalam setiap proses perkembangan secara biologi termasuk oosit ikan, perkembangan antara satu fase ke fase yang berikutnya membutuhkan waktu tertentu. Kejadian ovulasi telur dalam penelitian ini berlangsung setelah adanya pematangan oosit, seperti dijelaskan oleh Brooks et al. (2003) bahwa pada oosit yang telah matang, sitoplasma akan menjadi bening, oil droplet bergabung menjadi satu dan berukuran besar serta terjadi breakdown germinal vesikel (Gambar 13). Lebih lanjut, Nagahama (1987b) menambahkan pernyataan bahwa proses pematangan telur disertai dengan kondensasi kromosom, pembentukan spindel meiotik pertama, pelepasan polar bodi pertama dan pembentukan mikrofil sebagai saluran masuknya spermatozoa ketika terjadi fertilisasi.

Gambar 13 Skematik pematangan oosit ikan hingga terjadi ovulasi (Brooks et al. 2003)

Masa laten ikan hike setelah perlakuan induksi GnRHa yang diperlihatkan dalam penelitian ini mendekati masa laten yang diperlihatkan oleh spesies golden mahseer, Tor putitora yang mendapatkan induksi tunggal ovaprim pada dosis 0,2

ml/kg berat badan yaitu 24 jam setelah injkesi (Pandey et al. 1998). Demikian juga terhadap hasil penelitian De Siva et al. (2004) untuk Tor duoronensis yang memiliki masa laten 23-53 jam pasca injeksi ovaprim 0,2 ml/kg berat badan. Perbedaan masa laten selain ditentukan oleh dosis hormon penginduksi, juga sangat ditentukan oleh cara pemberian dan sediaan preparat hormon. Pada pemberian hormon dalam sediaan terlarut lemak umumnya bahkan tidak dilakukan penghitungan masa laten karena pelepasan hormon terjadi secara perlahan dan ovulasi terjadi dalam waktu yang lama setelah perlakuan.

Indeks Gonad Somatik dan Fekunditas

Hasil pengamatan terhadap rataan indeks gonad somatik secara keseluruhan berkisar antara 10,34%-12,14% (Tabel 3). Nilai rataan indeks gonad somatik tertinggi diperoleh pada ikan yang diinduksi GnRHa dengan dosis 12 μg/kg berat badan, yaitu sebesar 12.14%, yang diikuti oleh dosis induksi 10 μg/kg berat badan dengan rataan indeks gonad somatik sebesar 11,15%. Nilai rataan IGS terendah ditunjukkan pada perlakuan induksi GnRHa dengan dosis 8 μg/kg berat badan yaitu sebesar 10,34%. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap indeks gonad somatik ikan hike. Untuk lebih jelasnya pengaruh perlakuan terhadap nilai rataan indeks gonad somatik ikan hike dapat dilihat pada Gambar 14.

Berdasarkan analisis sidik ragam kemudian dapat dilihat bahwa seperti halnya terhadap indeks gonad somatik, perlakuan induksi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap fekunditas ikan hike. Jumlah telur yang dihasilkan ikan dari seluruh perlakuan berkisar antara 604-806 butir. Fekunditas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan dosis induksi 8 μg/kg berat badan sedangkan fekunditas terendah dihasilkan oleh dosis perlakuan 10 μg/kg berat badan. Perlakuan induksi dengan dosis 12 μg/kg berat badan menempati rataan fekunditas 675 butir dengan simpangan deviasi 125 butir telur. Gambaran pengaruh induksi GnRHa terhadap nilai rataan fekunditas ikan hike dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 14 Histogram nilai rataan IGS ikan hike setelah pemberian GnRHa

Perlakuan peningkatan dosis induksi ovulasi dengan GnRHa berperan meningkatkan nilai indeks gonad somatik dengan kisaran nilai IGS 10,34%-12,14%. Sebaliknya pada induk yang tidak mengalami ovulasi, tidak dapat dilakukan pengukuran tehadap gonad sehingga tidak dapat dihitung nilai IGS. Nilai indeks gonad somatik yang diperoleh dalam penelitian ini berada dalam kisaran pertambahan gonad pada ikan betina yaitu antara 10-25% dari bobot tubuh (Tang dan Affandi 2000, Effendie 2002).

Peningkatan nilai indeks gonad somatik yang diperoleh dalam penelitian ini disebabkan oleh adanya perkembangan oosit karena penimbunan kuning telur. Sebagaimana disebutkan oleh Tyler (1991) bahwa kuning telur merupakan komponen utama dari oosit yang sedang tumbuh. Pada saat proses vitelogenesis berlangsung, granula kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukuran sehingga volume oosit membesar. Selama proses tersebut berlangsung, sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan terdapat perubahan gonad dalam bentuk peningkatan volume dan massa. Secara visual, peningkatan volume gonad dapat dikenali melalui pembesaran bagian abdomen ikan. Bahkan pada saat ikan sudah mencapai perkembangan gonad pada tingkat akhir, bagian kaudal abdomennya akan semakin besar dan lunak apabila dipalpasi. Adapun peningkatan massa gonad dapat dilihat dari relativitasnya terhadap massa tubuh dengan cara penghitungan indeks gonad somatik.

Perlakuan induksi GnRHa dalam penelitian ini secara statistika tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan, baik dalam parameter indeks gonad somatik maupun perolehan fekunditas. Hal ini diduga ada kaitannya dengan kecukupan kadar hormon GnRHa yang diinduksikan.

Fekunditas ikan hike dengan bobot induk 240-300 gram dalam penelitian ini menghasilkan telur dalam kisaran 604-806 butir. Maka fekunditas relatif setiap kilogram induk dapat dihitung dan menghasilkan kisaran angka di atas kertas sebesar 2500-2700 butir telur. Angka fekunditas relatif ini mendekati fekunditas maksimum yang dilaporkan oleh Ingram et al. 2007 pada spesies Tor tambroides yaitu sebesar

2265 butir telur untuk setiap kilogram induk dan spesies Tor duoronensis sebesar 4463 butir telur untuk setiap kiligram induk.

Berkaitan dengan perkembangan oosit dalam ovarium, pengamatan mikroskopis terhadap sediaan histologi ovarium yang tidak berhasil melakukan ovulasi juga mengindikasikan bahwa ikan hike termasuk tipe ikan dengan tipe pemijahan parsial. Keberadaan sel-sel oosit dalam ovarium memperlihatkan gambaran bahwa setidaknya terdapat 3 tingkat ukuran oosit yang berbeda (Gambar 16).

Gambar 16 Gambaran histologi ovarium ikan hike dengan 3 tingkat ukuran oosit (Pewarnaan HE, pembesaran 10x40)

A. Fase vitelogenik, sitoplasma penuh butiran lemak

B. Fase kortikal alveoli, butiran lemak sedikit dekat vesikula germinalis C. Fase perinuklear, nukleoli kecil pada tepi nukleoplasma

Berdasarkan ukuran oosit tersebut maka diduga bahwa ikan hike dapat memijah lebih dari satu kali dalam setahun selain pada periode Mei-Juni yang merupakan waktu dilakukannya penelitian ini. Keadaan ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Ingram et al. (2007) pada ikan Tor tambroides dan Tor duoronensis bahwa kedua spesies ini memiliki tipe pemijahan parsial, asinkronous atau intermitten. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Hardjamulia et al. (1995) yang mengemukakan hal serupa untuk spesies Tor duoronensis, bahwa ikan tersebut memiliki 4 tingkat perkembangan ovari dan 5 stadium perkembangan oosit.

Diameter Telur

Rata–rata diameter telur terovulasi yang dihasilkan oleh induk ikan hike disajikan pada Tabel 3. Distribusi diameter telur pada setiap pengamatan menunjukkan ukuran diameter telur yang bervariasi, dengan perolehan diameter telur berukuran 1,78-1,91 mm. Ukuran diameter telur yang relatif besar didominasi oleh hasil pemijahan induk yang diberi perlakuan induksi dengan dosis 12 μg/kg berat badan. Nilai rataan diameter telur terbesar berikutnya diperoleh dari hasil induksi dengan dosis 10 μg/kg berat badan, sedangkan perlakuan dosis induksi 8 μg/kg berat badan hanya menghasilkan 1 ekor induk ovulasi dengan rataan diameter telur 1,78 mm. Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan terhadap ukuran diameter telur dengan gambaran hasil secara histogramik disajikan pada Gambar 17 di bawah ini.

Gambar 17 Histogram nilai rataan diameter telur ikan hike setelah pemberian GnRHa

Gambaran telur secara mikroskopik juga memperlihatkan tidak tampaknya perbedaan antara perlakuan dosis 8, 10 dan 12 μg/kg berat badan dalam hal kematangan telur pada tahap akhir, ditandai dengan posisi inti sel yang berada di tepi.

Hal ini mengandung arti bahwa ikan induk siap dipijahkan atau dilakukan koleksi telur untuk fertilisasi. Dari hasil pengamatan terhadap mikroskopik gonad pada induk yang tidak berhasil mengovulasikan telurnya, memperlihatkan bahwa sebagian telur pada gonad mengalami atresia.

Diameter telur ikan hike dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh perlakuan induksi GnRHa. Ukuran diameter telur menggambarkan potensi cadangan energi untuk pertumbuhan larva. Selain hal tersebut, ukuran telur juga dapat berkorelasi dengan ukuran larva. Dengan makna bahwa larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil.

Ukuran diameter telur ikan hike termasuk besar jika dibandingkan dengan diameter telur ikan mas. Telur ikan mas Majalaya yang merupakan strain besar hanya berukuran 0,9-1,6 mm. Akan tetapi dibandingkan dengan spesies Tor yang lain, telur ikan hike relatif berukuran kecil. Ikan spesies mahseer yakni Tor putitora yang dipelihara dalam kolam penangkaran di Nepal memiliki diameter telur 2,8-3,02 mm (Rai et al. 2006). Ikan semah (Tor douronensis) dalam pemeliharaan jaring apung memiliki telur matang dengan diameter sekitar 2,5 mm (Hardjamulia et al. 1995), sementara hasil pengamatan Rupawan et al. 1999 terhadap ikan semah hasil penangkapan dari Jambi dengan tingkat kematangan gonad IV memiliki dimeter telur 2,16-3,18 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran telur juga berkaitan dengan ukuran induknya.

Pengamataan antar individu dalam penelitian ini juga memperlihatkan terdapatnya kecenderungan kaitan antara fekunditas dengan diameter telur. Meskipun parameter fekunditas dan diameter telur dalam penelitian ini, keduanya tidak dipengaruhi oleh perlakuan tapi secara relatif ditemukan kecenderungan keterkaitan antara fekunditas dengan ukuran diameter telur. Pada penelitian ini, induksi GnRHa dengan dosis 8 μg/kg berat badan menghasilkan fekunditas lebih banyak dan ukuran diameter telur yang lebih kecil dibandingkan perlakuan induksi GnRHa dengan dosis 10 μg/kg berat badan yang menghasilkan angka fekunditas lebih kecil dan ukuran telur ralatif lebih tinggi. Banyak penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa semakin banyak telur yang dipijahkan oleh ikan, ukuran telurnya akan semakin kecil.

Hal tersebut diantaranya ditemukan pada ikan salmon atlantik, ikan dengan diameter telur 5-6 mm memiliki fekunditas 2000-3000 butir dan angka fekunditas naik menjadi 10 juta telur pada diameter 1-1,7 mm (Blaxter 1969).

Derajat Telur Terfertilisasi dan Derajat Tetas Telur

Nilai rataan telur terfertilisasi ikan hike tertinggi ditemukan pada ikan yang diberi induksi GnRHa dengan dosis 12 μg/kg berat badan, yaitu 83,0±3,7%, diikuti oleh perlakuan dosis 10 μg/kg berat badan dengan rataan derajat telur terfertilisasi sebesar 68,7±3,1%. Derajat telur terfertilisasi paling rendah ditemukan pada perlakuan dosis 8 μg/kg berat badan yaitu sebesar 44,0±0,0%. Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa induksi GnRHa memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap derajat telur terfertilisasi. Selanjutnya, berdasarkan uji rentang Tukey diketahui bahwa antar kelompok perlakuan dosis juga menunjukkan perbedaan pengaruh. Hasil perlakuan dosis GnRH 8 μg/kg berat badan berbeda sangat nyata (P<0,01) dibandingkan dengan dosis perlakuan 10 μg/kg berat badan. Demikian pula dosis GnRH 8 μg/kg berat badan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) dibandingkan dengan dosis perlakuan 12 μg/kg berat badan. Hal serupa juga terjadi antara dosis perlakuan 10 μg/kg berat badan dengan dosis GnRHa 12 μg/kg berat badan, terdapat perbedaan pengaruh sangat nyata (P<0,01) antara keduanya terhadap derajat telur terfertilisasi. Gambar histogram mengenai perlakuan dosis GnRHa terhadap derajat terbuahi telur ikan hike dapat dilihat pada Gambar 18.

Pengamatan telur terfertilisasi dilakukan dalam waktu setengah jam setelah dilakukan pencampuran antara telur dengan semen. Pada umur tersebut gambaran mikroskopik yang terlihat pada telur fertil adalah warnanya menjadi terang akibat telah terbentuknya polar bodi II karena telah terjadi peleburan inti sel telur dan inti sel spermatozoa (Gambar 19).

Gambar 18 Histogram derajat terbuahi telur ikan hike setelah induksi GnRHa

Dokumen terkait