Secara umum suhu rata-rata ruang kultur adalah 25 °C, dengan kelembaban udara rata-rata 80 %. Terdapat planlet yang terserang cendawan pada saat planlet diinkubasi di ruang gelap. Serangan cendawan mulai terjadi pada umur 4 sampai 5 MSP. Kultur yang terserang cendawan mencapai 25 % dari seluruh total unit percobaan pada 5 MSP, dan meningkat menjadi 35 % pada 8 MSP. Hifa cendawan menutupi hampir seluruh permukaan media (Gambar 1), dan menyebabkan pertumbuhan planlet terhambat bahkan mati. Serangan cendawan dapat disebabkan oleh lingkungan kultur yang kurang steril, kontaminasi pada saat penanaman, dan kontaminan yang terbawa oleh eksplan.
Kontaminasi cendawan juga dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan kultur, terutama suhu dan kelembapan yang kurang stabil. Suhu dan kelembaban lingkungan kultur yang kurang stabil disebabkan oleh pemadaman listrik. Nugrahani et al. (2011) melaporkan bahwa standar suhu lingkungan in vitro berkisar antara 23 sampai 27 °C sedangkan suhu lingkungan ex vitro berkisar antara 23 sampai 36 °C. Kelembapan relatif lingkungan in vitro berkisar antara 98 sampai 100 % sedangkan kelembapan relatif ex vivo berkisar atara 40 sampai 80 %. Suhu lingkungan kultur pada penelitian ini berkisar antara 23 sampai dengan 30 oC, sedangkan kelembaban udara berkisar antara 80 sampai dengan 100 %. Talanca dan εas’ud(2009) melaporkan bahwa spora cendawan dapat berkecambah dan hidup pada rentang suhu 28-33 oC dengan kelembaban 80-100 %. Oleh karena itu, suhu dan kelembaban lingkungan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan meningkatnya kontaminasi cendawan. Tutup botol kultur yang kurang rapat juga dapat mempermudah cendawan masuk. Keadaan rak kultur yang kurang steril juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kontaminasi pada planlet.
7 kemudian setiap botol ditanam tunas sebanyak 1 eksplan. Botol yang sudah berisi tunas ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol kemudian diletakkan di atas rak kultur dengan penyinaran 24 jam hari¯1. Suhu ruang kultur sekitar 23 sampai 25 ºC. Lama eksplan pada media pertunasan yaitu 4 minggu. Eksplan yang telah berumur 4 minggu kemudian ditambah dengan larutan inisiasi rimpang sebanyak 20 mL botol¯1. Botol kemudian diinkubasi di ruang gelap selama 8 minggu agar menginduksi munculnya rimpang pada eksplan tersebut.
Pengamatan dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan inisiasi rimpang. Peubah yang diamati sebelum perlakuan adalah tinggi planlet, jumlah daun per planlet, dan jumlah akar. Peubah yang diamati setiap minggu setelah perlakuan yaitu jumlah daun total per planlet, jumlah daun gugur, tinggi planlet, waktu terbentuk rimpang mikro, jumlah rimpang per planlet, dan jumlah kontaminasi. Pengamatan pada akhir perlakuan dilakukan terhadap morfologi rimpang, bobot rimpang per planlet, bobot basah keseluruhan, bobot kering contoh, morfologi rimpang mikro dibandingkan dengan rimpang in vivo, anatomi rimpang mikro yang dibandingkan dengan rimpang in vivo
menggunakan mikroskop. Mikroskop yang digunakan pada pengamatan yaitu mikroskop elektrik (Mulyono 2014).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum suhu rata-rata ruang kultur adalah 25 °C, dengan kelembaban udara rata-rata 80 %. Terdapat planlet yang terserang cendawan pada saat planlet diinkubasi di ruang gelap. Serangan cendawan mulai terjadi pada umur 4 sampai 5 MSP. Kultur yang terserang cendawan mencapai 25 % dari seluruh total unit percobaan pada 5 MSP, dan meningkat menjadi 35 % pada 8 MSP. Hifa cendawan menutupi hampir seluruh permukaan media (Gambar 1), dan menyebabkan pertumbuhan planlet terhambat bahkan mati. Serangan cendawan dapat disebabkan oleh lingkungan kultur yang kurang steril, kontaminasi pada saat penanaman, dan kontaminan yang terbawa oleh eksplan.
Kontaminasi cendawan juga dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan kultur, terutama suhu dan kelembapan yang kurang stabil. Suhu dan kelembaban lingkungan kultur yang kurang stabil disebabkan oleh pemadaman listrik. Nugrahani et al. (2011) melaporkan bahwa standar suhu lingkungan in vitro berkisar antara 23 sampai 27 °C sedangkan suhu lingkungan ex vitro berkisar antara 23 sampai 36 °C. Kelembapan relatif lingkungan in vitro berkisar antara 98 sampai 100 % sedangkan kelembapan relatif ex vivo berkisar atara 40 sampai 80 %. Suhu lingkungan kultur pada penelitian ini berkisar antara 23 sampai dengan 30 oC, sedangkan kelembaban udara berkisar antara 80 sampai dengan 100 %. Talanca dan εas’ud(2009) melaporkan bahwa spora cendawan dapat berkecambah dan hidup pada rentang suhu 28-33 oC dengan kelembaban 80-100 %. Oleh karena itu, suhu dan kelembaban lingkungan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan meningkatnya kontaminasi cendawan. Tutup botol kultur yang kurang rapat juga dapat mempermudah cendawan masuk. Keadaan rak kultur yang kurang steril juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kontaminasi pada planlet.
8
Gambar 1 Planlet K. parviflora yang terserang cendawan pada 4 (a) dan 8 (b) MSP Tanda panah menunjukkan hifa serangan cendawan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi BAP tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali terhadap jumlah rimpang pada 8 MSP (Tabel 1). Konsentrasi sukrosa berpengaruh nyata terhadap bobot basah planlet pada 10 MSP dan jumlah rimpang pada 8 MSP, serta berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas pada 2 MSP. Interaksi antara konsentrasi BAP dan sukrosa tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali berpengaruh nyata terhadap jumlah rimpang pada 8 MSP.
Tinggi planlet tidak dipengaruhi oleh konsentrasi BAP maupun konsentrasi sukrosa pada semua minggu pengamatan. Hal tersebut diduga karena planlet mengalami etiolasi. Ruang kultur gelap merupakan faktor yang dapat menyebabkan planlet mengalami etiolasi. Tyagi et al. (2006) melaporkan bahwa etiolasi dapat terjadi apabila tanaman kurang mendapat cahaya atau berada di tempat gelap. Konsentrasi BAP dan sukrosa tidak berpengaruh terhadap jumlah daun, jumlah akar, bobot kering planlet, bobot basah tajuk, bobot rimpang tidak dipengaruhi oleh konsentrasi BAP dan sukrosa. Tabel 1 menunjukkan jumlah tunas dipengaruhi oleh konsentrasi sukrosa pada 2 MSP. Karimah et al. (2013) melaporkan bahwa pertambahan tunas berhubungan erat dengan banyaknya calon-calon rimpang yang akan dihasilkan dari planlet tersebut, semakin banyak jumlah tunas yang dihasilkan semakin banyak pula rimpang yang akan diperoleh.
Harjadi (1989) melaporkan bahwa fase vegetatif tanaman meliputi perkembangan akar, daun dan batang baru. Fase tersebut berhubungan dengan 3 proses penting yaitu pembelahan sel, pemanjangan sel, dan tahap awal diferensiasi sel. Laju pembelahan sel berhubungan erat dengan laju pembentukan daun, batang, dan akar. Pembelahan, pembesaran dan pembentukan jaringan berhubungan erat dengan ketersediaan karbohidrat. Fase vegetatif dari suatu perkembangan organ tanaman memerlukan tersedianya karbohidrat yang banyak, agar laju perkembangannya menjadi cepat. Berdasarkan hal tersebut laju terbentuknya rimpang berhubungan erat dengan ketersediaan karbohidrat dalam media induksi. Ketersediaan karbohidrat yang banyak akan mempercepat laju terbentuknya rimpang mikro. Harjadi (1991) melaporkan bahwa cadangan makanan disimpan pada suatu organ, salah satu organ tersebut berupa rimpang. K. parviflora merupakan tanaman yang menyimpan cadangan makanannya dalam bentuk rimpang.
9 Tabel 1 Rekapitulasi sidik ragam peubah yang diamati pada inisiasi rimpang mikro
K. parviflora
Parameter
F-hitung
KK (%) BAP Sukrosa Interaksi
BAP Sukrosa Tinggi Planlet 1 MSP 0.019 tn 2.246 tn 1.046 tn 14.08 2 MSP 0.405 tn 1.744 tn 1.316 tn 11.11 3 MSP 0.286 tn 1.611 tn 1.075 tn 10.09 4 MSP 0.378 tn 0.438 tn 1.357 tn 12.13 5 MSP 0.361 tn 0.324 tn 0.914 tn 10.89 6 MSP 0.173 tn 0.184 tn 0.581 tn 9.97 7 MSP 0.104 tn 0.150 tn 0.539 tn 10.75 8 MSP 0.056 tn 0.190 tn 0.530 tn 10.35 Jumlah Daun 1 MSP 1.083 tn 0.148 tn 0.120 tn 10.57 tr2 2 MSP 0.583 tn 0.101 tn 0.101 tn 10.17 tr2 3 MSP 0.527 tn 0.250 tn 0.194 tn 10.99 tr2 4 MSP 0.354 tn 0.215 tn 0.268 tn 12.57 tr2 5 MSP 0.193 tn 1.043 tn 0.450 tn 11.80 tr2 6 MSP 0.616 tn 0.984 tn 0.998 tn 13.92 tr2 7 MSP 0.203 tn 1.060 tn 0.989 tn 19.09 tr 8 MSP 0.282 tn 0.710 tn 0.917 tn 12.70 tr2 Jumlah Tunas 1 MSP 0.083 tn 0.101 tn 0.268 tn 17.21 2 MSP 0.583 tn 1.259 ** 0.287 tn 12.91 tr 3 MSP 1.083 tn 0.740 tn 0.824 tn 11.01 tr 4 MSP 0.369 tn 0.901 tn 0.509 tn 14.60 tr2 5 MSP 0.966 tn 0.249 tn 0.635 tn 15.20 tr 6 MSP 2.617 tn 0.552 tn 1.593 tn 14.82 tr 7 MSP 2.433 tn 0.051 tn 0.669 tn 18.51 tr 8 MSP 2.023 tn 1.213 tn 2.037 tn 13.14 tr2 Jumlah Akar 6 MSP 9.156 tn 5.806 tn 37.957 tn 14.82 tr 7 MSP 53.957 tn 1.964 tn 55.041 tn 11.86 tr 8 MSP 50.638 tn 4.044 tn 43.575 tn 12.95 tr
Bobot Basah Planlet
8 MSP 0.126 tn 0.042 tn 0.559 tn 12.82 tr3
10 MSP 0.518 tn 1.540 * 0.537 tn 18.44 tr
Bobot Kering Planlet
8 MSP 0.034 tn 0.002 tn 0.012 tn 1.85 tr3
10 MSP 0.004 tn 0.025 tn 0.013 tn 5.28 tr2
Bobot Basah Tajuk
8 MSP 0.061 tn 0.039 tn 0.109 tn 14.41 tr2
10 MSP 0.297 tn 0.207 tn 0.251 tn 10.05 tr2
Bobot Rimpang dan Akar
8 MSP 0.029 tn 0.033 tn 0.223 tn 17.32 tr2
10 MSP 0.378 tn 0.642 tn 0.130 tn 13.46 tr2
Jumlah Rimpang
8 MSP 0.025 ** 0.012 * 0.009 * 10.58tr2
MSP: minggu setelah perlakuan **: sangat nyata pada taraf 1 %. *: nyata pada taraf 5 %. tn: tidak nyata. tr: hasil
10
Planlet yang dikulturkan pada media yang mengandung sukrosa 30, 60, dan 90 g L¯1 memiliki bobot basah yang lebih tinggi dibandingkan planlet yang dikulturkan pada media tanpa sukrosa (Tabel 2) pada 10 MSP. Hasil penelitian Rahmawati et al.
(2004) pada planlet jahe emprit juga menunjukkan bahwa planlet yang dikulturkan pada media yang mengandung 30-50 g L¯1 sukrosa memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan planlet yang dikulturkan pada media tanpa sukrosa.
Tabel 2 Pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap jumlah tunas 2 MSP dan bobot basah planlet K. parviflora pada 10 MSP
Parameter Konsentrasi Sukrosa (g L¯
1)
0 30 60 90
Jumlah Tunas 2.00 a 1.67 ab 1.11 b 1.89 a
Bobot Basah Planlet 1.15 b 2.02 a 1.86 a 2.00 a
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5 %.
Jumlah daun berkisar antara 1 sampai 3 helai seperti yang tersaji pada tabel 3. Jumlah daun paling banyak dengan standar deviasi yang kecil terdapat pada kombinasi konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa BAP. Pemberian konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa BAP memiliki nilai tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain. Jumlah tunas untuk semua perlakuan secara umum berkisar antara 1 sampai 2. Semua konsentrasi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, meskipun perlakuan tanpa BAP dan sukrosa dengan BAP 4 mg L¯1 dan tanpa sukrosa berbeda sangat nyata. Jumlah akar menunjukkan nilai yang berkisar antara 11 sampai 38. Semua konsentrasi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah akar. Bobot rimpang dan akar berkisar antara 0.1 sampai 1.3 g planlet-1. Semua konsentrasi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot rimpang dan akar per planlet.
Tabel 3 Pengaruh konsentrasi sukrosa dan BAP terhadap pertumbuhan planlet
K. parviflora pada 8 MSP Konsentrasi BAP (mg L¯1) Konsentrasi Sukrosa (g L¯1) 0 30 60 90 ---Jumlah Daun--- 0 2 ± 1.26 2 ± 0.24 2 ± 1.18 3 ± 0.82 2 2 ± 0.47 3 ± 1.18 2 ± 1.04 1 ± 0.25 4 2 ± 1.04 2 ± 0.82 2 ± 0.58 2 ± 0.50 ---Jumlah Tunas--- 0 1 ± 0.29 2 ± 1.41 2 ± 0.19 2 ± 0.24 2 3 ± 0.71 3 ± 1.04 2 ± 1.04 2 ± 0.84 4 4 ± 0.69 2 ± 1.77 2 ± 1.04 2 ± 0.76 ---Jumlah Akar--- 0 12 ± 5.32 19 ± 4.60 20 ± 9.56 19 ± 7.10 2 24 ± 12.96 24 ± 14.35 17 ± 2.10 15 ± 6.89 4 18 ± 8.93 18 ± 5.12 14 ± 7.43 19 ± 5.65
---Bobot Rimpang dan Akar(g planlet-1)--- 0 0.2 ± 0.01 0.3 ± 0.20 0.7 ± 0.30 0.4 ± 0.17 2 0.5 ± 0.45 0.5 ± 0.17 0.1 ± 0.32 0.2 ± 0.08 4 0.8 ± 0.68 0.5 ± 0.13 0.5 ± 0.35 1.3 ± 0.63
11 Gambar 2 menunjukkan keragaan planlet berbagai konsentrasi BAP dan sukrosa yang diaplikasikan. Secara umum planlet dengan konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa BAP terlihat memiliki batang yang lebih tegar dan besar dibandingkan semua perlakuan. Daun secara keseluruhan memiliki kenampakkan warna yang hijau. Akar secara umum berwarna putih kecokelatan, warna akar yang putih menunjukkan akar yang baru terbentuk.
Gambar 2 Kondisi planlet K. parviflora pada berbagai media perlakuan pada 8 MSP Interaksi antara konsentrasi BAP dan sukrosa berpengaruh nyata terhadap jumlah rimpang mikro pada 8 MSP (Tabel 4). Planlet yang dikulturkan pada media tanpa BAP dan sukrosa memiliki jumlah rimpang mikro terendah dibandingkan planlet yang dikulturkan pada media yang mengandung BAP dan sukrosa. Hasil interaksi lainnya menunjukkan hasil yang tidak signifikan antar kombinasi media yang digunakan. Konsentrasi BAP 0, 2, dan 4 mg L¯1 tidakmemiliki pengaruh yang nyata terhadap jumlah rimpang mikro yang dihasilkan. Konsentrasi 90 g L¯1 sukrosa dan 0 mg L¯1 BAP dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam penelitian sejenis mengenai inisiasi rimpang mikro. Penggunaan kombinasi tersebut lebih dipilih karena ditinjau dari segi ekonomi lebih menguntungkan dari sudut pandang bisnis, dalam hal penyediaan bahan tanam secara cepat, banyak dan bermutu.
BAP (mg L-1)
12
Tabel 4 Interaksi konsentrasi BAP dan sukrosa terhadap jumlah rimpang mikro planlet
K. parviflora pada 8 MSP
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf kecil pada kolom yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf besar pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α =5 %.
Gambar 3 menunjukkan pola yang seragam untuk pertumbuhan tinggi planlet
Kaempferia parviflora hingga 8 MSP. Pengamatan terhadap tinggi planlet menunjukkan kurva yang sigmoid seperti yang tersaji pada gambar 3. Secara umum pertumbuhan tinggi planlet meningkat hingga 3 MSP dan mulai menurun pada 5 MSP. Pertumbuhan tinggi paling rendah ditunjukkan oleh konsentrasi BAP 2 mg L¯1 dan sukrosa 60 g L¯1. Pertumbuhantinggi perlakuan lain secara umum menunjukkan pertumbuhan yang relatif sama.
Gambar 3 Grafik pertumbuhan tinggi planlet K. parviflora. Ket: b1s1: 0 BAP 0 sukrosa, b1s2: 0 BAP 30 sukrosa, b1s3: 0 BAP 60 sukrosa, b1s4: 0 BAP 90 sukrosa, b2s1: 2 BAP 0 sukrosa, b2s2: 2 BAP 30 sukrosa, b2s3: 2 BAP 60 sukrosa, b2s4: 2 BAP 90 sukrosa, b3s1: 4 BAP 0 sukrosa, b3s2: 4 BAP 30 sukrosa, b3s3: 4 BAP 60 sukrosa, b3s4: 4 BAP 90 sukrosa, BAP (mg L¯1), sukrosa (g L¯1).
Gambar 4 menunjukkan kurva yang tidak berpola namun, secara umum jumlah tunas meningkat pada 1 MSP hingga 2 MSP. Konsentrasi BAP 3 mg L¯1 tanpa sukrosa menunjukkan pertumbuhan tunas yang paling tinggi dibandingkan semua perlakuan. Perlakuan tanpa BAP dan sukrosa menunjukkan pertumbuhan tunas yang meningkat hanya pada 1 MSP, serta selanjutnya tidak mengalami pertumbuhan tunas. Pertumbuhan tunas mulai 4 MSP terlihat melambat pada semua kombinasi perlakuan.
Konsentrasi BAP ( mg L¯1) Konsentrasi Sukrosa ( g L¯1) 0 30 60 90 0 0.33 aB 0.67 aAB 0.67 aAB 1.33 aA 2 1.00 aA 1.33 aA 1.00 aA 1.00 aA 4 1.00 aA 1.33 aA 0.67 aA 1.00 aA 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 T ing g i pla nle t (c m)
Minggu setelah perlakuan (MSP)
0.0 0.30 0.60 0.90 2.0 2.30 2.60 2.90 4.0 4.30 4.60 4.90
13
Gambar 4 Grafik pertumbuhan jumlah tunas planlet K. parviflora. Ket: b1s1: 0 BAP 0 sukrosa, b1s2: 0 BAP 30 sukrosa, b1s3: 0 BAP 60 sukrosa, b1s4: 0 BAP 90 sukrosa, b2s1: 2 BAP 0 sukrosa, b2s2: 2 BAP 30 sukrosa, b2s3: 2 BAP 60 sukrosa, b2s4: 2 BAP 90 sukrosa, b3s1: 4 BAP 0 sukrosa, b3s2: 4 BAP 30 sukrosa, b3s3: 4 BAP 60 sukrosa, b3s4: 4 BAP 90 sukrosa, BAP (mg L¯1), sukrosa (g L¯1).
Gambar 5 menunjukkan bahwa secara umum pertumbuhan daun meningkat mulai 5MSP. Pertumbuhan daun paling tinggi terjadi pada konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa BAP. Pertumbuhan daun paling rendah terjadi pada konsentrasi BAP 2 mg L¯1 dan sukrosa 90 g L¯1. Pertumbuhan daun mulai melambat pada 6 MSP.
Gambar 5 Grafik pertumbuhan jumlah daun planlet K. parviflora. Ket: b1s1: 0 BAP 0 sukrosa, b1s2: 0 BAP 30 sukrosa, b1s3: 0 BAP 60 sukrosa, b1s4: 0 BAP 90 sukrosa, b2s1: 2 BAP 0 sukrosa, b2s2: 2 BAP 30 sukrosa, b2s3: 2 BAP 60 sukrosa, b2s4: 2 BAP 90 sukrosa, b3s1: 4 BAP 0 sukrosa, b3s2: 4 BAP 30 sukrosa, b3s3: 4 BAP 60 sukrosa, b3s4: 4 BAP 90 sukrosa, BAP (mg L¯1), sukrosa (g L¯1). 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Jum lah tu nas
Minggu setelah perlakuan (MSP)
0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Juml ah da un (h elai)
14
Pola pertumbuhan tinggi dan jumlah tunas planlet K. parviflora terlihat pada awal perlakuan cepat meningkat. Hal tersebut disebabkan oleh ketersediaan hara dan gula dalam media yang masih banyak. Pertambahan tinggi dan jumlah tunas mulai melambat pada 5 MSP. Hal tersebut diduga sebagian energi digunakan planlet untuk perkembangan dan pertambahan jumlah daun. Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah daun mulai meningkat pada 5 MSP. Pertambahan jumlah daun mulai melambat pada 6 MSP, hal tersebut dapat disebabkan oleh ketersediaan hara dan gula yang sudah mulai sedikit. Pertambahan jumlah daun yang melambat diduga juga planlet sedang menginisiasi pembentukan rimpang mikro. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penambahan sumber hara dan gula untuk meningkatkan energi yang tedapat dalam media. Marlin et al. (2013) melaporkan bahwa penambahan media cair dalam media padat (double layer) pada kultur jahe menghasilkan jumlah tunas yang lebih tinggi (5.5 tunas per eksplan) dan jumlah akar tertinggi (32.5 akar per eksplan).
Konsentrasi 30 g L¯1 sukrosa dan 2 mg L¯1 BAP terlihat jumlah tunas yang lebih banyak dibandingkan semua perlakuan, meskipun tidak berpengaruh nyata pada analisis data. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Lyla (2011) yang melaporkan bahwa dengan taraf sukrosa 5 % mampu menghasilkan tunas optimum untuk perbanyakan mata tunas kunyit putih. Hasil tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Rahmawati et al. (2004) yang melaporkan bahwa jahe dapat diinduksi rimpang mikro dengan penambahan konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa BAP. Konsentrasi perlakuan tersebut juga dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam penelitian multlipikasi planlet.
Korelasi adalah hubungan antar peubah dari faktor yang diamati. Korelasi antar peubah dari beberapa parameter yang diamati disajikan pada tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot basah per planlet pada umur 8 MSP berkorelasi positif sangat nyata dengan bobot kering per planlet umur 8 MSP dan bobot basah tajuk per planlet. Hal tersebut menjelaskan bahwa bobot basah planlet mempengaruhi bobot kering dan bobot basah tajuk. Korelasi positif sangat nyata juga ditunjukkan oleh bobot kering per planlet dengan bobot basah akar per planlet, hal tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya bobot basah akar dapat meningkatkan bobot kering planlet. Bobot basah akar berkorelasi positif sangat nyata terhadap bobot kering tajuk, meningkatnya bobot basah akar dapat meningkatkan bobot tajuk planlet. Bobot basah tajuk juga berkorelasi positif nyata terhadap bobot kering planlet, dengan demikian bobot basah tajuk mempengaruhi bobot basah planlet. Hasil analisis korelasi tersebut menunjukkan bahwa jumlah rimpang mikro tidak dipengaruhi oleh semua faktor seperti jumlah tunas, jumlah daun, jumlah akar, bobot basah, serta bobot kering.
Jumlah rimpang tidak berkorelasi nyata terhadap jumlah tunas, jumlah daun, tinggi tunas, jumlah akar, bobot basah per planlet, bobot kering per planlet, bobot basah akar, serta bobot basah tajuk per planlet. Hal tersebut diduga jumlah rimpang dipengaruhi oleh waktu inisiasi, seperti hasil penelitian Ferry et al. (2009) yang menunjukkan bahwa waktu yang lebih lama mempengaruhi jumlah rimpang yang terbentuk pada produksi rimpang di lapang.
15 Tabel 5 Korelasi beberapa parameter pengamatan K. parviflora pada 8 MSP
Peubah JT JD TS JA BB BK BBA BBT JD 0.317 0.078 TS 0.114 0.534 0.142 0.437 JA 0.244 0.178 0.003 0.986 0.275 0.128 BB 0.091 0.627 0.201 0.278 0.204 0.271 0.094 0.614 BK 0.179 0.335 -0.112 0.548 -0.026 0.889 -0.248 0.179 0.456 0.006** BBA 0.068 0.716 0.098 0.602 0.203 0.274 0.124 0.506 0.954 0.000** 0.505 0.002** BBT 0.108 0.561 0.308 0.092 0.181 0.331 0.045 0.812 0.824 0.000** 0.338 0.047* 0.726 0.000** JR 0.154 0.484 0.150 0.494 0.255 0.240 0.341 0.112 0.078 0.706 -0.174 0.395 0.098 0.633 0.003 0.987
**: sangat nyata pada taraf 1 %, *: nyata pada taraf 5 %. JD : Jumlah daun per planlet, JT: Jumlah tunas per planlet, JA: Jumlah akar per planlet, TS: Tinggi tunas, BB: Bobot basah per planlet, BK: Bobot kering per planlet, BBA: Bobot basah akar per planlet, BBT: Bobot basah tajuk per planlet, JR: Jumlah rimpang per planlet
Hasil pengamatan mikroskopis rimpang baik secara in vitro maupun in vivo, dilakukan untuk mendukung hasil penelitian. Rimpang in vivo yang digunakan sebagai pembanding berasal dari tanaman asal planlet in vitro (Alveno 2012) yang diaklimatisasi (Putri 2014b) dan ditanam dilapang selama 6 bulan. Struktur jaringan seperti yang tersaji pada gambar 6 menunjukkan bahwa terdapat kesamaan anatomi antara rimpang invitro
dan in vivo. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rimpang in vitro memiliki jaringan yang lengkap yaitu xilem, endodermis, korteks, epidermis, silinder pusat dan floem seperti halnya rimpang in vivo. Hal tersebut menunjukkan bahwa planlet yang diperbanyak secara in vitro dapat menghasilkan rimpang yang sama seperti tanaman yang di lapang.
Rimpang menjadi bagian yang penting untuk diamati, hal tersebut karena bagian utama yang dimanfaatkan dari kencur hitam tersebut yakni bagian rimpangnya, sebagai penyimpan senyawa-senyawa yang berguna untuk bidang kesehatan. Struktur bagian yang sama menjadi indikasi khusus bahwa rimpang yang dihasilkan baik secara in vitro
maupun in vivo merupakan rimpang yang sama, yakni yang dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan. Pengembangan usaha bisnis di bidang hortikultura khususnya penyediaan bahan tanam dari famili zingiberaceae dapat diatasi melalui induksi rimpang mikro secara in vitro. Hal tersebut karena bahan yang diperoleh lebih cepat, seragam, serta memiliki mutu yang tinggi dari hasil penyediaan bahan tanam rimpang mikro. Rimpang in vitro yang diamati berasal dari kultur berumur 8 minggu setelah kultur dan rimpang in vivo berumur 12 bulan setelah aklimatisasi.
16
Gambar 6 Keragaan rimpang dan anatomi in vitro dan in vivo Kaempferia parviflora
Hasil pengamatan mikroskopis terhadap tangkai daun in vitro dan in vivo
(gambar 7) menunjukkan bahwa terdapat kesamaan antara anatomi hasil tangkai daun
in vitro dengan in vivo. Keragaan anatomi tangkai daun in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa berkas vaskular lebih banyak ditunjukkan oleh anatomi in vivo dibandingkan anatomi in vitro, hal tersebut mengindikasikan bahwa tangkai daun in vivo lebih tua dibandingkan in vitro (Campbell dan Reece 2008).
Gambar 7 Keragaan tangkai daun dan anatomi in vitro pada 8 MSP dan in vivo pada 12 bulan setelah aklimatisasi K. parviflora
Iris an melint an g rimpa ng R im pa ng In Vitro In Vivo Rimpang Xilem Endodermis Korteks Epidermis Silinder pusat Floem In Vitro In Vivo Ta ng k ai daun Iris an m eli nt an g tang k ai daun Tangkai daun Jaringan dasar Berkas vaskular Epidermis
17 Keragaan daun K. parviflora in vitro dan in vivo ditunjukkan pada gambar 8. Gambar anatomi dapat terlihat bahwa terdapat kesamaan struktur antara daun in vitro
dengan in vivo, meskipun pada daun in vitro masih terdapat sedikit urat daun. Hal tersebut karena jaringan pada daun in vitro tersebut lebih muda dibandingkan dengan daun in vivo. Anatomi daun in vitro terlihat sedikit terdapat stomata, hal tersebut diduga karena daun tidak mengalami fotosintesis, berbeda dengan tampilan anatomi daun
in vivo yang terdapat banyak stomata yang menyebar hampir diseluruh permukaan daun.
Gambar 8 Keragaan daun anatomi daun in vitro dan in vivo Kaempferia parviflora
Induksi rimpang mikro dapat dilakukan dengan beberapa syarat yang dapat memenuhi kriteria agar planlet dapat berimpang. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kondisi tempat seperti cahaya, kelembaban, suhu, dalam hal ini diperlukannya tempat gelap, suhu yang cukup rendah berkisar 23 sampai 27 °C, kelembaban yang stabil (Tyagi et al. 2006). Ketersediaan cadangan makanan menjadi hal yang penting dalam induksi rimpang, apabila cadangan makanan melimpah, maka akan ditranslokasikan untuk terbentuknya rimpang mikro. Ketersediaan ZPT juga memiliki peranan penting dalam mempercepat proses inisiasi yaitu terbentuknya rimpang mikro, ZPT tersebut seperti sitokinin. Keadaan demikian dapat dimodifikasi secara teknis dalam rancangan penelitian, dengan tujuan untuk terbentuknya rimpang mikro pada planlet tersebut. In Vitro In Vivo