• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3 dan Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Pelaksanaan penelitian

5 Sukrosa merupakan komponen organik yang terdiri atas glukosa dan fruktosa yang wajib ada pada media sebagai sumber energi pada eksplan yang tidak berfotosintesis (Wattimena 1988). Rahmawati et al. (2004) melaporkan bahwa penambahan sukrosa sebesar 20 sampai 50 g L¯1 mampu mempercepat terbentuknya rimpang pada jahe. Penambahan konsentrasi sukrosa sebesar 30 sampai 50 g L¯1 mampu menginduksi terbentuknya umbi mikro pada kentang (Ratna 2010). Media MS yang mengandung konsentrasi rendah berisi 3 g L¯1 sukrosa, 1 mg L¯1 BA serta 0.5 mg L¯1 ancymidol, dapat menginduksi rimpang pada ruang gelap dengan konsentrasi sukrosa sebesar 6 dan 8 % (Archana et al. 2013a). Ni’mah et al. (2012) mengemukakan sukrosa berfungsi sebagai sumber karbon, sumber energi, pengatur tekanan osmotik, pengatur stabilitas membran, serta pelindung terhadap stress.

Konsentrasi sukrosa untuk pengumbian kentang secara in vitro harus lebih tinggi dibandingkan konsentrasi untuk pertunasan karena digunakan sebagai induksi umbi mikro. Konsentrasi gula yang rendah maka akan membuat waktu pembentukan umbi menjadi lama. Konsentrasi sukrosa yang diperlukan berkisar antara 90 sampai 100 g L¯1. Sukrosa dalam hal tersebut berperan dalam penyediaan karbohidrat untuk pengumbian, karena pada in vitro suhu dalam botol akan meningkat melebihi batas yang dapat diterima oleh tunas in vitro sehingga diperlukan penambahan sukrosa (Puspitanigtyas dan Wattimena 1992). Penambahan sukrosa tersebut diharapkan akan diakumulasi dalam organ planlet berupa rimpang sebagai tempat penyimpanan hasil sisa sukrosa yang dipergunakan. Pembentukan rimpang pada kultur jaringan umumnya dilakukan di tempat gelap, hal tersebut didukung oleh Artati (1989) yang mengemukakan bahwa dalam pembentukan umbi mikro kentang secara in vitro diperlukan keadaan tanpa cahaya dan suhu yang rendah (15 sampai 20 °C).

Nayak dan Naik (2006) melaporkan bahwa rimpang Curcuma dapat diinduksi pada media MS0 yang ditambahkan BA 13.3 με dan sukrosa 60 g L¯1 serta diinkubasi di tempat tanpa penyinaran 20 jam per hari. Rimpang yang dihasilkan dari hasil induksi tersebut berkisar antara 1 sampai 4, dengan bobot antara 50 sampai 580 mg. Archana et al. (2013b) melaporkan juga penambahan 60 g L¯1 sukrosa, 3 ppm BA, serta 0.5 ppm ancymidol dapat menginduksi terbentuknya rimpang mikro pada Curcuma

dengan jumlah berkisar 3 sampai 8 rimpang. Singh et al. (2014) melaporkan bahwa kombinasi NAA, BAP, sukrosa, dan AgNO3 mampu menginduksi terbentuknya rimpang mikro pada Zingiber officinale. Konsentrasi optimum berdasarkan penelitian tersebut yaitu NAA 1 mg L¯1, BAP 2 mg L¯1, sukrosa 80 g L¯1, dan AgNO3 11 με. Jumlah rimpang yang terbentuk mencapai 28 rimpang per botol. Cheethaparambil et al.

(2014) melaporkan bahwa hanya dengan pemberian sukrosa 80 g L¯1 dan ½ MS0 mampu menginduksi terbentuknya rimpang mikro pada Curcuma. Rimpang yang terbentuk berkisar antara 7 sampai 9 per botol. Archana et al. (2013b) juga melaporkan bahwa pemberian 90 g L¯1 mampu menginduksi rimpang mikro Curcuma dengan jumlah berkisar antara 2 sampai 5.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3 dan Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Pelaksanaan penelitian

6

dimulai dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2014. Bahan tanaman yang digunakan adalah planlet Kaempferia parviflora dengan umur 4 MST yang dikultur pada media MS0, setiap botol terdiri atas 1 planlet, kemudian dilakukan inisiasi rimpang dengan penambahan media cair yang berisi kombinasi antara BAP dan sukrosa. Pengamatan terhadap inisiasi rimpang dilakukan selama 8 MSP.

Percobaan disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP (B) dengan 3 taraf yaitu 0, 2, dan 4 mg L¯1 (berturut-turut b1, b2, b3). Faktor kedua adalah konsentrasi sukrosa (S) dengan 4 taraf konsentrasi yaitu 0, 30, 60, dan 90 g L¯1 (berturut- turut s1, s2, s3, s4). Setiap ulangan terdiri atas 3 botol, tiap botol ditanami 1 tunas. Setiap eksplan menjadi satuan pengamatan.

Model rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah (Gomez dan Gomez 1995) :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + k + ijk

Keterangan :

Yijk = respon perlakuan konsentrasi sukrosa taraf ke-i dan BAP pada taraf ke-j pada ulangan ke-k

μ = pengaruh rata-rata umum

αi = pengaruh perlakuan taraf konsentrasi sukrosa, i = 1, 2, 3, 4 βj = pengaruh perlakuan taraf konsentrasi BAP, j = 1, 2, 3

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara sukrosa taraf ke-i dan BAP taraf ke-j k = pengaruh ulangan ke-k, k = 1, 2, 3

ijk = Galat pada perlakuan konsentrasi sukrosa taraf ke-i dan BAP taraf ke-j pada ulangan ke-k.

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan uji F. Apabila terdapat pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α= 5 %. Pengolahan data dilakukan dengan program Statistical Analysis System (SAS).

Botol kultur yang akan digunakan, pinset, gunting, dan cawan petri dicuci menggunakan detergen. Seluruh peralatan yang digunakan disterilkan dalam autoklaf selama 60 menit pada suhu 121 ºC dengan tekanan 17.5 psi (pounds per square inch). Media pertunasan menggunakan media MS0, dari larutan yang dibuat dengan kode A, B, C, D, E, dan F yaitu larutan yang berisi garam-garam anorganik, seperti yang terlampir pada Lampiran 1. Konsentrasi media pada larutan dipipet, kemudian ditambahkan myo-inositol 10 ml L¯1, gula 40 g L¯1, agar 7 g L¯1 dan vitamin (thiamine, nicotine, pyridoxine, glycine) 10 ml L¯1.

Larutan media diaduk merata dan pH-nya diatur sekitar 5.8 sampai 6.0 dengan penambahan beberapa tetes KOH 1 N. Media pertunasan ditambahkan agar 7 g L¯1, setelah itu semua larutan yang telah disiapkan dicampur dengan agar dan dimasak hingga mendidih. Media yang telah masak dimasukkan kedalam botol kultur yang telah di autoklaf dengan volume sekitar 25 mL botol¯1. Botol kemudian ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang, lalu disterilkan kembali pada tekanan 17.1 psi selama 30 menit.

Media yang telah diautoklaf kemudian didiamkan terlebih dahulu selama satu minggu untuk melihat adanya kontaminasi, apabila media tersebut baik dan bebas dari kontaminasi maka media siap ditanam eksplan. Eksplan yang ditanam diambil dari pertunasan rimpang hasil perbanyakan. Penanaman dilakukan pada laminar air flow cabinet yang telah dibersihkan sebelumnya. Tunas dipindahkan kedalam cawan petri

7 kemudian setiap botol ditanam tunas sebanyak 1 eksplan. Botol yang sudah berisi tunas ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol kemudian diletakkan di atas rak kultur dengan penyinaran 24 jam hari¯1. Suhu ruang kultur sekitar 23 sampai 25 ºC. Lama eksplan pada media pertunasan yaitu 4 minggu. Eksplan yang telah berumur 4 minggu kemudian ditambah dengan larutan inisiasi rimpang sebanyak 20 mL botol¯1. Botol kemudian diinkubasi di ruang gelap selama 8 minggu agar menginduksi munculnya rimpang pada eksplan tersebut.

Pengamatan dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan inisiasi rimpang. Peubah yang diamati sebelum perlakuan adalah tinggi planlet, jumlah daun per planlet, dan jumlah akar. Peubah yang diamati setiap minggu setelah perlakuan yaitu jumlah daun total per planlet, jumlah daun gugur, tinggi planlet, waktu terbentuk rimpang mikro, jumlah rimpang per planlet, dan jumlah kontaminasi. Pengamatan pada akhir perlakuan dilakukan terhadap morfologi rimpang, bobot rimpang per planlet, bobot basah keseluruhan, bobot kering contoh, morfologi rimpang mikro dibandingkan dengan rimpang in vivo, anatomi rimpang mikro yang dibandingkan dengan rimpang in vivo

menggunakan mikroskop. Mikroskop yang digunakan pada pengamatan yaitu mikroskop elektrik (Mulyono 2014).

Dokumen terkait