• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Hasil

3.1.1 Jaringan industri yang ada (existing model)

Gambaran eksisting jaringan industri diformulasikan berdasarkan data sekunder dan data primer berupa hasil wawancara dengan pelaku usaha. Gambaran eksisting jaringan industri faktor output merupakan model pembanding pada analisis waktu tempuh dan biaya transportasi.

3.1.1.1 Jaringan faktor input dan variabel output

Industri perikanan tangkap yang masih berpusat di PPN Tanjung Pandan - Tanjung Pandan – Pulau Belitung. Hampir 90 % lebih faktor input 12 sentra industri berasal dari kota Tanjung Pandan di Pulau Belitung (Gambar 5). Pasokan ada yang dibeli dari pasar secara perorangan atau kelompok, atau dapat diperoleh dari toko-toko pembina nelayan. K ios pembina nelayan menyediakan kebutuhan bahan pokok, kebutuhan biaya hidup. Sedangkan BBM juga disediakan oleh pembina nelayan dengan mengeluarkan

direct order (DO) yang dapat diganti pada SPBN di PPN Tanjung Pandan.

Hampir 80 persen ikan yang diproduksi oleh 12 sentra industri perikanan yang ada di Kabupaten Belitung dijual melalui Pulau Belitung. Penjualan dilakukan secara penjualan langsung di pasar-pasar lokal, pelelangan atau ke cold storage milik pembina nelayan (Gambar 5).

25 Skala 1:12.500 107 o 3o Tanjung Pandan PPI Selat Nasik P Gersik P Seliu P Sumedang BT LS

Gambar 5. Aliran faktor input dan variabel output

3.1.1.2Jaringan pemasaran regional dan ekspor

Sebahagian produksi ikan dijual ke Kabupaten-Kabupaten di Pulau Bangka, ke propinsi lain yaitu Sumatera Selatan, Lampung, Jakarta dan ekspor ke Singapura melalui Pulau Belitung de ngan pusatnya di PPN Tanjung Pandan. Namun apabila produksi melimpah, produksi ikan Pulau Gersik dijual langsung ke Pulau Bangka dan produksi ikan Pulau Sumedang dijual langsung ke Jakarta (Gambar 6).

Gambar 6. Aliran variabel output pemasaran regional dan ekspor

Pulau Sumedang Pulau Gersik Pulau Belitung: Tanjung Binga Keciput Tanjung Pandan Sungai Samak Pegantungan Lassar Tanjung Rusa Pulau Mendanau PulauSeliu

Sentra industri perikanan tangkap

Regional: Bangka Batam Palembang Lampung Jakarta Pontianak Ekspor: Singapura Pasar

Lima perusahaan yang aktif melakukan ekspor ikan beku yaitu CV Wadah Lautan Makmur, PT Nelayan Indah Mandiri, CV Laut Jaya, PT Eka Lancar Mandiri dan PT Serikat Indo Makmur. Negara tujuan ekspor adalah Singapura.

3.1.2 Status sentra industri

Hasil penelitian dengan menggunakan analisis MCA menunjukkan bahwa Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan dengan status penyedia jasa utama karena mendapatkan total score tertinggi yaitu 4 pada analisis MCA dan merupakan rangking pertama pada analisis TOPSIS (Tabel 5 dan Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa prasarana, jumlah kapal perikanan, pasokan faktor input dan jumlah ikan yang didaratkan merupakan sentra industri terbaik, terle ngkap dan terbanyak produksi ikannya dibandingkan dengan 4 sentra di empat pulau lainnya

Tabel 5 Nilai IPFP, IKAPI, IK dan KSI sentra industri perikanan tangkap di Kab. Belitung.

IPFP IKAPI IK KSI

Belitung 1,00 1,00 1,00 1,00

Sumedang 0,04 0,00 0,00 0,00

Seliu 0,04 0,04 0,00 0,06

Mendanau 0,07 0,31 0,04 0,30

Gersik 0,00 0,04 0,00 0,06

Tabel 6 Ranking dan status sentra industri perikanan tangkap di Kab. Belitung

Ranking

Sentra industri Random utility value

Nilai IPFP dan IKAPI Status

1 Belitung 1.00000 Tertinggi Penyedia jasa utama

2 Mendanau 0.20462 Positip Penyedia jasa antara

3 Seliu 0.04046 Positip Penyedia jasa antara

4 Gersik 0.03484 0 Client

5 Sumedang 0.02020 0 Client

Pulau Sumedang mendapatkan score 0,04 pada analisi MCA, score 0 pada parameter IPFP dan IKAPI, ranking terendah pada analisis TOPSIS. Kondisi ini menandakan bahwa kapasitas sentra industri perikanan tangkap di Pulau Sumedang

27

merupakan yang terkecil dibandingkan 4 sentra industri lainnya. Analisis tersebut diatas menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Sumedang mempunyai status sebagai client/feeder.

Pulau Seliu merupakan sentra industri perikanan tangkap yang mendapatkan score

positip pada parameter IPFP dan IKAPI yaitu masing- masing sebesar 0,04 dan 0,04 dengan ranking ke 3 dalam analisis TOPSIS. Hasil analisis tersebut diatas menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Seliu mempunyai status sebagai penyedia jasa antara (server/spoke). Rendahnya nilai IKAPI dan KSI sentra industri ini menunjukkan kapasitas kapal perikanan dan ikan yang didaratkan kecil. Nilai nol parameter IK menandakan pasokan faktor input sentra industri ini tergantung pada pasokan dari Pulau Belitung.

Pulau Mendanau yang merupakan pulau terbesar nomor 2 di Kabupaten Belitung mendapatkan score positip pada analisis MCA pada parameter IPFP dan IK, menempati ranking ke dua pada analisis TOPSIS. Analisis tersebut menunjukkan bahwa sentra industri perikanan tangkap Pulau Mendanau berfungsi sebagai penyedia jasa antara (server/spoke). Rendahnya score IPFP menunjukkan pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan Pulau Mendanau sangat minim. Demikian juga halnya dengan rendahnya score

IK menunjukkan bahwa pasokan faktor input Pulau Mendanau masih sangat tergantung pada Pulau Belitung.

Analisis MCA dan TOPSIS menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Gersik berfungsi sebagai client/feeder karena mendapatkan score nol pada parameter IPFP dan IK, serta menempati ranking ke 4. Nilai nol pada parameter IPFP menunjukkan bahwa Pulau Gersik belum memiliki pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan. Sedangkan score nol pada parameter IK menunjukkan bahwa seluruh faktor

input dipasok dari Pulau Belitung.

3.1.3 Alternatif jaringan industri

Alternatif jaringan industri perikanan tangkap dilakukan dengan formulasi alternatif model, analisis waktu tempuh dan biaya transportasi variabel output.

3.1.3.1Formulasi alternatif model

Formulasi alternatif model dilakukan dengan membuat 3 skenario pengembangan sektor perikanan tangkap. Skenario pertama adalah meningkatkan kapasitas PPI Selat Nasik untuk menjadi server bagi seluruh sentra industri perikanan di pulau-pulau kecil (tidak termasuk pulau utama) yang selanjutnya disebut dengan model A (Gambar 7). Skenario kedua adalah mengoptimalkan PPI Selat Nasik untuk menjadi server bagi sentra industri perikanan di Pulau Gersik yang selanjutnya disebut dengan model B (Gambar 8). Skenario ketiga adalah memfungsikan sentra industri sesuai dengan statusnya dalam jaringan industri yang selanjutnya disebut dengan model C (Gambar 9).

Skala 1:12.500 107 o 3o Tanjung Pandan PPI Selat Nasik P Gersik P Seliu

P Sumedang Gambar 7 Model A

BT LS Skala 1:12.500 107 o 3o Tanjung Pandan PPI Selat Nasik P Gersik P Seliu

P Sumedang Gambar 8 Model B

BT LS Skala 1:12.500 107 o 3o Tanjung Pandan PPI Selat Nasik P Gersik P Seliu

P Sumedang Gambar 9 Model C

BT

29 3.1.3.2Optimasi model

Optimasi model dilakukan dengan analisis minimalisasi jarak berdasarkan status sentra industri seperti yang tertuang dalam Tabel 7.

Tabel 7. Jarak antar pelabuhan perikanan

Asal (client)

Tujuan (server) Pulau Mendanau

(PPI Selat Nasik)

Pulau Seliu

Pulau Gersik 15 0 30 15

Pulau Sumedang 45 30 15 0

Berdasarkan tabel diatas, disimpulkan:

(1) Pulau Gersik (client) mempunyai jarak terdekat dengan Pulau Mendanau sehingga produksi ikan dari Pulau Gersik akan langsung dikirim langsung ke Pulau Mendanau

(2) Pulau Sumedang (client) mempunyai jarak terdekat dengan Pulau Seliu sehingga produksi ikan dari Pulau Sumedang akan langsung dikirim langsung ke Pulau Seliu

Berdasarkan kesimpulan analisis minimalisasi jarak diatas, diperoleh model terpilih yaitu: Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan berstatus sebagai penyedia jasa utama (main server) berinteraksi langsung dengan 2 server (Pulau Mendanau dan Pulau Seliu) dimana server yang berinteraksi langsung dengan 1 client

lain (Pulau Mendanau berstatus sebagai server yang melayani Pulau Gersik dan Pulau Seliu berstatus sebagai server yang melayani Pulau Sumedang) (Gambar 10). Model jaringan industri terpilih tersebut sesuai dengan model C.

Skala 1:12.500 107 o 3o Tanjung Pandan PPI Selat Nasik P Gersik P Seliu P Sumedang BT LS

Gambar 10 Model C jaringan industri perikanan tangkap:

Kota Tanjung Pandan sebagai main server yang berinteraksi langsung dengan 2 server dan satu server melayani satu client

3.1.3.3Analisis waktu tempuh dan biaya transportasi

Analisis MCA tahap kedua dilakukan terhadap kedua model, yaitu: eksisting model (Gambar 5) dan model C (Gambar 10) dengan parameter total waktu tempuh dan biaya transfer dengan hasil sebagai berikut:

3.1.3.2.1 Jaringan industri yang ada (eksisting model)

Pada model jaringan industri yang ada sekarang (Point 3.1.1.1), produksi hasil tangkapan di transportasikan secara langsung dari masing- masing pelabuhan perikanan (sentra industri) ke penyedia jasa utama. Variabel ouput yang ditransportasikan selama setahun dari sentra produksi ke pelabuhan penyedia jasa utama pada tahun 2007 berjumlah 17. 531, 09 ton dengan biya transportasi senilai Rp. 23.452.470.680,-. Biaya transportasi rata-rata Rp 1.337.764,55. Total waktu tempuh yang dibutuhkan mengangkut variabel produksi dari sentra industri yang tersebar di 4 pulau ke penyedia jasa utama adalah 20,999 jam (Tabel 8). Waktu tempuh eksisting model merupakan waktu tempuh terlama yang mengindikasikan jaringan industri belum efisien.

31

Tabel 8 Route, volume, waktu tempuh dan biaya transportasi eksisting model

No Route Volume (Ton) Waktu tempuh (Jam) Biaya (Rp)

1 P.Mendanau – P. Belitung 8.429,75 2,218 9.626.774.500 2 P. Gersik – P. Belitung 3.458,08 4,732 5.432.643.680 3 P. Seliu – P. Belitung 3.429,97 6,655 4.630.459.500 4 P. Sumedang – P. Belitung 2.213,29 7,394 3.762.593.000 Total 17.531,09 20,999 23.452.470.680 3.1.3.2.2 Model C

Pada model C, produksi dari semua sentra industri yang berstatus client terlebih dahulu dikumpulkan di penyedia jasa antara (server) terdekat sebelum ditransportasikan lebih lanjut ke Pulau Belitung (penyedia jasa utama). Biaya transportasi yang dipergunakan pada model C mencapai Rp 27,806,246,860,- dengan biaya transportasi rata-rata sebesar Rp 1.586.110,55 per ton. Total waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mengangkut variabel output dari seluruh sentra industri ke penyedia jasa utama adalah 13,309 jam (Tabel 9).

Tabel 9 Route, volume, waktu tempuh dan biaya transportasi model C

No Route Volume (Ton) Waktu tempuh (Jam) Biaya (Rp)

1 P. Mendanau – P.Belitung 11,887.83 2,218 13,575,901,860.00 2 P. Gersik – P.Mendanau 3,458.08 2,218 4,841,312,000.00 3 P. Sumedang – P.Seliu 2,213.29 2,218 1,770,632,000.00 4 P. Seliu – P. Belitung 5,643.26 6,655 7,618,401,000.00 Total - 13,309 27,806,246,860.00 3.1.3.2.3 Model Terpilih

Model terpilih ditentukan berdasar biaya terendah setelah dilakukan pembobotan terhadap waktu tempuh sebagaimana tertuang dalam Tabel 10.

Tabel 10 Biaya transportasi rata-rata jaringan industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung Model Total waktu tempuh (jam) Biaya transportasi per tahun (Rp) Biaya rata-rata biaya transfer (Rp/ton) Bobot waktu tempuh

Biaya transfer rata-rata (Rp/ton/jam)

Eksisting 20,999 23.452.470.680 1.337.764,55 0,612 818.711,90

C 13,309 27.806.246.860 1.586.110,55 0,388 615.410,89

Jumlah 34,308

Berdasarkan analisis tersebut ditentukan bahwa model C merupakan model dengan biaya transportasi yang rendah, yaitu Rp 615.410,89/ton /jam. Perbedaan nyata waktu tempuh sebesar 7,70 jam (30 % lebih singkat dari jaringan yang ada) dan biaya transportasi sebesar Rp 203.301,01 (25 % lebih hemat dari jaringan yang ada) terbukti bahwa konfigurasi jaringan industri menentukan tingkat efisiensi industri perikanan tangkap yang diukur terhadap waktu dan biaya transportasi.

3.1.4 Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra industri

Salah satu pertimbangan dalam melakukan pembangunan sektor perikanan tangkap di wilayah kepulauan adalah kapasitas pengusahaan penangkapan ikan. Nilai kapasitas pengusahaan penangkapan ikan berbeda antara satu perairan dengan perairan lainnya. Salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengukur kapasitas pengusahaan penangkapan ikan suatu perairan adalah mengukur efisiensi teknik (TE) relatif armada penangkapan ikan. TE adalah ratio produktivitas kapal perikanan pada suatu pelabuhan perikanan atau perairan. Berdasarkan pengukuran TE masing-masing pulau diperoleh hasil sebagaimana dalam Gambar 11.

33

Gambar 11. Efisiensi teknik kapal perikanan di lokasi penelitian

Gambar 11 menunjukkan tingkat efisiensi teknis tertinggi dari kapal perikanan diperoleh kapal perikanan di Pulau Sumedang dengan nilai 1 dan terletak pada kuadran I. Nilai ini menunjukkan bahwa pengusahaan penangkapan ikan di Pulau Sumedang merupakan yang terbaik dan usaha penangkapan ikan masih perlu dikembangkan.

Tingkat efisiensi teknis relatif dengan kategori sedang diperoleh Pulau Seliu dan Pulau Gersik dengan nilai masing- masing 0,63 dan 0,62 terletak pada kuadran 2. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan penangkapan ikan di kedua pulau tersebut masih dapat dikembangkan namun usaha penangkapan ikan diarahkan pada pengendalian terhadap degradasi sumber daya ikan.

Tingkat efisiensi terendah adalah armada penangkapan di Pulau Belitung dan Pulau Mendanau dengan nilai antara 0,29 – 0,31 dan terletak pada kuadran 3. Dengan nilai yang rendah tersebut, pengembangan industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan infrastruktur dalam memenuhi statusnya sebagai pusat pelayanan jasa utama dan antara, serta usaha penangkapan ikan diarahkan pada pencegahan terhadap degradasi sumber daya ikan

. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Belitung Gersik Mendanau Sumedang Seliu

Pulau TE

3.2 Pembahasan

3.2.1 Pembangunan sentra industri perikanan tangkap dalam suatu jaringan industri Pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, telah sesuai dengan konsep jaringan industri perikanan tangkap. Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan difokuskan sebagai pelayanan jasa utama. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Pemda tengah melengkapi pulau ini dengan pelabuhan kontainer dengan luas 50 hektar te rletak di daerah Pegantungan – Kecamatan Membalong. Diharapkan dengan pembangunan pelabuhan kontainer ini, akses transportasi faktor asupan dan variabel keluaran dapat diangkut dengan volume besar sehingga dapat menurunkan biaya transportasi. Di samping itu Pulau Belitung juga memiliki kawasan khusus yaitu kawasan pertumbuhan pengolahan ikan yang terletak di Desa Tanjung Binga – Kecamatan Sijuk. Kawasan pengolahan ikan ini dilengkapi dengan sumber energi matahari sebagai suplemen energi ruang proses (processing room), cold storage dan ruang pembeku (freezing room).

Pulau Mendanau dengan pusatnya di PPI Selat Nasik difokuskan sebagai pangkalan armada perikanan tangkap yang berstatus penyedia jasa antara atau server

dengan kapasitas produksi 11.000 ton per tahun. Untuk mewujudkan status server

tersebut, PPP Selat Nasik telah dilengkapi dengan pabrik es berkapasitas 5 ton per hari dan ruang penyimpanannya. Energi listrik pabrik es ini berasal dari energi matahari dan energi diesel yang disebut dengan pembangkit listrik tenaga hibrid (PLTH). Dengan memanfaatkan PLTH ini, biaya pembuatan es dapat ditekan 50 %. Namun kapasitas pabrik es dan ruang penyimpanan yang tersedia tersebut belum mencukupi kebutuhan. Untuk itu perlu dibangun pabrik es dengan kapasitas 4 kali lipat. Dengan kapasitas 11.000 ton per tahun, Pulau Mendanau tidak mampu menampung semua produksi dari daerah client (total produksi client dan sekitarnya kurang lebih 17.000 ton per tahun) sehingga sebagian dari produksi daerah client masih harus dipasarkan langsung ke Pulau Belitung dan pasar regional. Kendala yang dihadapi sekarang ini adalah belum tersedianya pasokan faktor asupan, keterbatasan penampungan BBM dan energi listrik.

Pulau Seliu yang menempati ranking ketiga berfungsi sebagai penyedia jasa antara. Pulau terbesar nomor 3 di Kabupaten Belitung dapat dikembangkan sebagai pangkalan armada penangkapan ikan dengan kapasitas mencapai 5.000 ton per tahun.

35

Pangkalan armada layak dikembangkan mengingat terdapat 2 alternatif moda transportasi yang mungkin dibangun yaitu transportasi laut ke PPN Tanjung Pa ndan dan gabungan moda transportasi laut ke wilayah terdekat di Pulau Belitung yang ditandemkan dengan moda transportasi darat ke PPN Tanjung Pandan. Prasarana minimal yang perlu dibangun adalah pabrik es mini dimana merupakan salah satu prasyarat rantai dingin. Pembangunan pabrik es ini sangat memungkinkan mengingat pada saat ini telah mulai banyak penampung ikan di pulau ini. Disamping itu di pulau ini telah dibangun pembangkit listrik alternatif berupa energi angin dan matahari yang baru dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga.

Pulau Sumedang dan Pulau Gersik yang mempunyai status sebagai client (sumber pasokan ikan) diupayakan dapat melakukan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Beberapa hal yang perlu dilakukan di ketiga pulau ini adalah menjaga ekosistem perairan serta pengendalian volume penangkapan ikan. Penduduk ketiga pulau tersebut yang umumnya berasal dari Bugis mempunyai cara khusus dalam upaya pelestaria n sumber daya ikan yaitu dengan pengendalian penangkapan ikan. Nelayan Pulau Gersik tidak diperkenankan menggunakan lampu dengan intensitas cahaya yang besar dalam upaya penangkapan ikan dan alat tangkap yang diperkenankan hanya berupa pancing. Sedangkan jenis alat jaring hanya dapat dipergunakan pada daerah tertentu.

3.2.2 Implikasi efektifitas dan efisiensi jaringan industri terhadap pendapatan nelayan Alternatif model jaringan industri perikanan tangkap mendorong dilakukannya pembangunan dan meningkatkan in vestasi daerah terpencil. Model Point yang sentralistik seperti yang sekarang ada di Kabupaten Belitung mengakibatkan pasar berbentuk oligopsoni. Harga ikan pada pasar berbentuk oligopsoni ditentukan oleh beberapa pembeli. Pengumpul dan nelayan hanya merima harga yang ditentukan oleh pembeli (nelayan sebagai price taker) (Arifin 2004; Putong 2008).

Gambar dibawah memberikan ilustrasi tidak efisien industri yang mengakibatkan kerugian pada nelayan. Jaringan industri model Point yang sentralistik menimbulkan pasar berstruktur oligopsoni. Pada pasar oligopoli, kurva pasokan terletak pada S. Namun apabila pasar berupa pasar bebas, maka kurva pasokan berubah menjadi S1. Perubahan kurva pasokan dari S ke S1 menggambarkan adanya segitiga ABC yang

dikenal dengan dead weight loss (DWL). DWL mencerminkan pasar tidak efisien. DWL (segitiga ABC) merupakan keuntungan tambahan yang diperoleh pelaku kartel (inti) dan merupakan beban yang ditanggung oleh nelayan (Case dan Fair 1999). Dengan melakukan perbaikan jaringan industri yakni dengan membangun jaringan HUB, pasar dipaksa memasuki pasar bebas yang mengakibatkan hilangnya segitiga ABC (Gambar 12).

Gambar 12. Perbandingan harga pasar oligopsoni dan pasar bebas

3.2.3 Implikasi pengembangan jaringan industri terhadap Triple Tracks Strategi –

Kabinet Indonesia Bersatu

Selain bermanfaat langsung pada peningkatan efektifitas dan efisiensi industri, pengembangan jaringan industri perikanan tangkap juga merupakan penjabaran trilogi pembangunan nasional, yaitu: pertumbuhan ekonomi (pro growth), pembukaan lapangan pekerjaan (pro job) dan keberpihakan pada rakyat miskin (pro poor). Pengembangan jaringan industri perikanan tangkap menjadi beberapa klasifikasi pelabuhan menjadikan kebijakan pembangunan perikanan lebih terarah. Tabel 11 menunjukkan keterkaitan pengembangan model jaringan industri perikanan tangkap terhadap Tripple Tracks Strategi – Kabinet Indonesia Bersatu (Yudhoyono dan Kalla 2004).

H 1 H0

Pasar oligopsoni Pasar bebas Harga Kuantitas O A B C Pasokan Permintaan S S1 S1

37

Tabel 11 Keterkaitan model jaringan industri perikanan terhadap Tripple Tracks Strategi

Model Triple Tracks Strategi

Pertumbuhan ekonomi (Pro growth)

Lapangan pekerjaan (Pro job)

Keberpihakan ada rakyat miskin (Pro poor)

HUB v v -

Point - v v

Model alternatif v v v

Keterangan : v : Capaian sasaran

Jaringan industri perikanan tangkap model HUB merupakan model jaringan industri yang berdampak peningkatan efektitas dan efisiensi industri. Penggunaan teknologi modern mendorong peningkatan pelayanan, meningkatkan volume perdagangan meningkatkan efisiensi dan pembukaan lapangan pekerjaan. Akan tetapi model ini tidak menunjang penutasan kemiskinan karena pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di daerah-daerah perkotaan. Model HUB lebih sesuai dipraktek oleh negara-negara maju dimana pembangunannya sudah merata.

Pembangunan pelabuhan perikanan tangkap model Point cocok bagi negara-negara kepulauan kecil dengan kapasitas yang terbatas. Biaya investasi yang murah mengakibatkan pembangunan dapat dilakukan di daerah yang kapasitas industrinya lebih kecil. Model ini menguntungkan karena berhasil membuka lapangan pekerjaan baru berbasis usaha kecil dan menengah, serta berpihak pada masyarakat miskin yang berdomisili di pedesaan. Namun model Point tidak mendukung efisiensi industri karena jaringan industrinya tidak teratur dan mengakibatkan mahalnya biaya transpotasi.

Model alternatif yang merupakan hasil penelitian ini adalah kombinasi dan integrasi antara model HUB dan Point terbukti dapat meningkatkan efisiensi yaitu menekan biaya transportasi. Model alternatif yang sejalan dengan saran Israel dan Roque (2000) ini berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan pekerjaan dan keberpihakan pada masyarakat miskin.

Dokumen terkait