• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN DISERTASI

MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN

TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN

MARWAN SYAUKANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

▸ Baca selengkapnya: judul skripsi perikanan tangkap

(2)

ABSTRACT

MARWAN SYAUKANI. M odel of Fishing Industry Networking in Archipelagic Region. (Under supervision of M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW and DANIEL R MONINTJA)

Fishing port networking is an important element of the fisheries development. There are two models of fishing port networking applied in Indonesia, namely “HUB” and”Point” models. The Jakarta Fishing Port is an example of HUB model and others are Point models. It seems that the current

Point model of Indonesia fishing port networking is inefficient.

The research was held in Belitung, Mendanau, Seliu, Gersik and Sumedang islands - Belitung Regency from October 2007 to May 2009. The research purposes are to classify the status of fishing ports in fishing industry networking, to formulate an efficient model that considers industrial linkage among fishing ports, and to formulate a strategy of fishing management for each island. It was identified that fishing ports in Belitung Regency can be classified into (1) main service provider, (2) intermediate service provider or server, and (3) client.

The Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) followed by Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimizing distance analysis, minimizing transportation time, and minimizing transportation cost analysis were used in this research. The NMCA is a two-step MCA. The first MCA and TOPSIS analysis are to classify of fishing port status based on fishing facilities, fishing capacity, input dependency and fish landing capacity. The second MCA analysis were to formulate the most efficient model based on minimizing distance analysis, transportation time and transportation cost analyzing. The model with the lowest transportation cost is selected.

The result s showed that the Belitung is the main service provider while the Mendanau and Seliu islands are the intermediate service providers or servers and the other 2 islands are the client s. The network among these fishing ports is theoretically more efficient than the current available networking.

For protecting fishing port from over capacity, the research formulated fishing management strategies for each island by using technical efficiency (TE) and Danmark Theory analysis. The result showed that prevention of environmental degradation should be implemented in Belitung and Mendanau islands. While, controlling of fishing effort should be implemented in Seliu and Gersik islands. On the other hand, fishing effort may be expanded in Sumedang island.

(3)

RINGKASAN

MARWAN SYAUKANI. Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan (Dibimbing oleh M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW dan DANIEL R MONINTJA)

Kondisi geografis dan keterbatasan infrastruktur merupakan masalah krusial yang dihadapi dalam pembangunan industri perikanan di Indonesia. Kedua permasalahan di atas hanya dapat diatasi dengan rekayasa jaringan pelabuhan perikanan yang efektif dan efisien. Terdapat dua model jaringan industri antar pelabuhan perikanan yang berkembang di Indonesia, yaitu: model “HUB” dan ”POINT”. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan model HUB walaupun model yang dikembangkan masih bersifat

kontinental. Pelabuhan perikanan lainnya mengembangkan model Point dan terindikasikan tidak efisien.

Penelitian dilaksanakan di Pulau Belitung, Pulau Mendaunau, Pulau Seliu, Pulau Gersik dan Pulau Sumedang - Kabupaten Belitung dari bulan Oktober 2007 hingga bulan Mei 2009. Penelitian bertujuan menent ukan status sentra industri dalam suatu jaringan industri, menyusun model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efesien dan menyusun strategi pengelolaan industri perikanan tangkap pada masing- masing pulau.

Penelitian menggunakan metode analisis Nested Multi Criteria Analysis

(NMCA) yang diikuti dengan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimalisasi jarak, minimalisasi waktu tempuh dan minimalisasi biaya transportasi. NMCA adalah analisis MCA dua tahap. Analisis MCA tahap pertama yang dipadu dengan analisis TOPSIS bertujuan menentukan status sentra industri dalam jaringan industri berdasarkan parameter pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, kapasitas kapal perikanan, kemandirian faktor input, jumlah ikan yang didaratkan. Dalam penelitian ini, status sentra industri di Kabupaten Belitung diklasifikasi menjadi 3, yaitu: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server) dan client. Hasil analisis MCA tahap pertama menunjukkan bahwa Pulau Belitung berstatus sebagai penyedia jasa utama, Pulau Mendanau dan Pulau Seliu sebagai penyedia jasa antara (server) sedangkan Pulau Gersik dan Pulau Sumedang sebagai sumber bahan baku (client).

(4)

Dalam upaya mencegah kelebihan kapasitas pelabuhan perikanan, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan tangkap dengan analisis efisiensi teknik (TE) yang dipadukan dengan analisis Danmark teori. Efisiensi teknik adalah penbandingan produktivitas suatu wilayah penangkapan dengan produktivitas wilayah lainnya yang masih memiliki terbaik. Sedangkan Danmark teori adalah analisis kebijakan pengelolaan perikanan dengan memplotkan hasil analisis efisiensi teknik (TE) kedalam diagram Cartesius.

Hasil analisis efisiensi teknik menunjukkan bahwa industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung diarahkan pada pengembangan setiap sentra industri sesuai dengan status dalam jaringan industri yang optimum. Nilai TE Pulau Belitung dan Pulau Mendanau terletak pada kuadran ke tiga dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pencegahan degradasi sumber daya ikan. Nilai TE Pulau Seliu dan Pulau Gersik terletak pada kuadran kedua dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengendalian sumber daya ikan. Nilai TE Pulau terletak pada kuadran pertama dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengembangan industri perikanan tangkap.

(5)

MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN

TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN

MARWAN SYAUKANI

Ringkasan disertasi

Disampaikan sebagai bahan ujian terbuka untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap d i Wilayah Kepulauan

Nama Mahasiswa : Marwan Syaukani NIM : C 561 030 174

Program Studi : Teknologi Kelautan

Komisi Pembimbing : Dr. Ir M. Fedi A. Sondita, MSc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, MSc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Penguji Luar Komisi :

Ujian Terbuka pada

Hari/Tanggal : Jumat / 11 September 2009 Waktu : 13.30 - selesai

(7)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan global yang dihadapi oleh negara-negara didunia sekarang ini

membawa konsekuensi timbulnya persaingan antar negara, antar daerah dan antar pengusaha. Meningkatnya persaingan usaha tersebut diatas mendorong kesadaran

pentingnya peningkatan efisiensi industri. Peningkatan efisiensi juga diamanatkan dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Bab IV.B. 9 dan 10 tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil yang efisien. Penelitian tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil belum

banyak dilakukan di Indonesia. Namun penelitian jaringan industri antar pelabuhan di beberapa pulau dalam suatu kawasan telah banyak dilakukan diluar negeri antara lain peneliti dari negara Korea dan Jepang. Wang (2007) melakukan analisis jaringan kapal pengangkut dan pembangunan pelabuhan di Korea dan Jepang. Penelitian tersebut menyimpulkan diperlukan adanya kerjasama antar pelabuhan di Semenanjung Korea dan Jepang. Hubungan antar pelabuhan berupa jaringan

industri perlu ditingkatkan terutama antara pelabuhan HUB dan pelabuhan Spoke. Keterkaitan jaringan industri sangat dipengaruhi oleh geografis pelabuhan,

infrastruktur yang tersedia, efisiensi penanganan barang serta biaya penanganan barang (handling cost).

Industri di Indonesia secara umum dan sektor perikanan tangkap secara

khusus tergolong ekonomi biaya tinggi. Tingginya biaya investasi dan operasional industri tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor

administrasi dan faktor teknik. Penyalahgunaan wewenang dalam perijinan merupakan contoh nyata tingginya biaya akibat faktor administrasi. Sedangkan

(8)

perikanan bagi pelabuhan itu sendiri. Model Point berkembang di negara-negara yang wilayahnya luas dan menyebar, wilayah penangkapannya terbagi atas beberapa wilayah (zonasi), terkendalakan penguasaan teknologi dan permodalan. Model

Point cenderung mandiri terhadap pelabuhan perikanan lainnya dan sentralistik. Ditinjau dari segi ekonomi, model Point yang sentralistik ini mengakibatkan jaringan antar sentra industri tidak efisien, yaitu: biaya transportasi per unit tinggi, praktek perdagangan monopoli, oligopoli, monopsoni, oligopsoni serta

menimbulkan dead weight loss (DWL). Ditinjau dari segi teknik, model Point

menyebabkan kesulitan dalam hal pengawasan mutu, pengawasan SDA, hilangnya penerimaan negara dari pajak dan retribusi. Namun keuntungan model Point adalah biaya investasi relatif kecil. Tidak efisiennya jaringan industri antar sentra industri mendorong dilakukannya penelitian ini.

Disamping model ”Point”, terdapat model jaringan industri berbasis pelabuhan lainnya yaitu model ”HUB”. Model HUB adalah model jaringan industri perikanan yang menonjolkan sebuah pelabuhan perikanan sebagai sentral aktivitas ekonomi industri perikanan yang didukung oleh beberapa pelabuhan perikanan lainnya. Pemilihan atas kedua model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas wilayah, letak geografis, jarak daerah penangkapan ikan (fishing ground), aksesbilitas faktor input dan variabel output, infrastruktur serta penguasaan teknologi. Model pelabuhan HUB banyak diaplikasikan di wilayah kontinental, wilayah yang dibatasi oleh banyak negara, memiliki wilayah penangkapan ikan yang kecil, penguasaan teknologi, transportasi dan telekomunikasi memadai.

Pelabuhan HUB berfungsi sebagai tempat transhipment barang dan terminal kontainer (Subagiyo 2007). Di benua Eropa, pelabuhan perikanan HUB berfungsi sebagai pelabuhan masuk dan keluar komoditi dari dan ke beberapa negara yang

(9)

3

(SDA), mempermudah pengawasan penerimaan negara dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan dari model HUB adalah investasinya yang tinggi.

Industri perikanan tangkap Indonesia mengembangkan model HUB dan model Point. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan HUB bagi beberapa pelabuhan perikanan pendukung antara lain pelabuhan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu, PPN Cirebon dan PPN Pekalongan. Model pelabuhan perikanan HUB yang diaplikasikan oleh

PPS Jakarta mengandalkan hubungan jaringan darat dan belum mencerminkan keterkaitan antar pulau. Sedangkan PPS dan PPN lainnya seperti PPS Bungus, PPS Belawan dan PPS Cilacap dan PPN Tanjung Pandan mempraktekan model Point. PPN Tanjung Pandan mempraktek model Point dimana pengadaan pasokan faktor

input, pengolahan dan pemasaran hasil, ekspor dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha yang berdomisili di PPN Tanjang Pandan. Faktor input bagi selur uh sentra industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung berasal dari PPN Tanjung Pandan. Ikan yang di produksi dan didaratkan di PPN Tanjung Pandan dijual ke pasar regional atau diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan umum Pangkal Balam yang terletak di Pulau Bangka. Penerapan model Point yang dipraktekkan PPN Tanjung Pandan menyuburkan sistem perdagangan oligopsoni yang

mengakibatkan adanya dead weight loss (DWL).

Hubungan jaringan industri antar sentra industri telah banyak dilakukan di luar negeri, antara lain: jaringan pelabuhan Selat Gibraltar oleh Hadi dan Moron (2007), jaringan pelabuhan Korea Selatan, China dan Jepang oleh Wang (2007) dan jaringan pelabuhan Asia Timur oleh Tai dan Hwang (2005). Perbedaan penelitian

hubungan jaringan industri dengan penelitian jaringan industri tersebut diatas adalah model jaringan industri disesuaikan dengan karakteristik wilayah kepulauan.

Klasifikasi pelabuhan yang dipergunakan penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server/spoke) dan client (feeder). Klasifikasi tersebut diatas mengacu pada penelitian Israel dan Roque (2000) mengenai jaringan pelabuhan perikanan di Philipina.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan empat

(10)

dilakukan di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal

perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di

Kabupaten Be litung.

1.2 Perumusan Masalah

Sektor industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan menghadapi

permasalahan laten yakni rendahnya keunggulan komparatif, praktek oligopoli dan atau oligopsoni yang merugikan nelayan dan rendahnya daya kompetitif. Salah satu

sebabnya adalah jaringan industri perikanan tangkap tidak efisien yang ditandai dengan tingginya biaya transportasi.

(11)

RINGKASAN DISERTASI

MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN

TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN

MARWAN SYAUKANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRACT

MARWAN SYAUKANI. M odel of Fishing Industry Networking in Archipelagic Region. (Under supervision of M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW and DANIEL R MONINTJA)

Fishing port networking is an important element of the fisheries development. There are two models of fishing port networking applied in Indonesia, namely “HUB” and”Point” models. The Jakarta Fishing Port is an example of HUB model and others are Point models. It seems that the current

Point model of Indonesia fishing port networking is inefficient.

The research was held in Belitung, Mendanau, Seliu, Gersik and Sumedang islands - Belitung Regency from October 2007 to May 2009. The research purposes are to classify the status of fishing ports in fishing industry networking, to formulate an efficient model that considers industrial linkage among fishing ports, and to formulate a strategy of fishing management for each island. It was identified that fishing ports in Belitung Regency can be classified into (1) main service provider, (2) intermediate service provider or server, and (3) client.

The Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) followed by Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimizing distance analysis, minimizing transportation time, and minimizing transportation cost analysis were used in this research. The NMCA is a two-step MCA. The first MCA and TOPSIS analysis are to classify of fishing port status based on fishing facilities, fishing capacity, input dependency and fish landing capacity. The second MCA analysis were to formulate the most efficient model based on minimizing distance analysis, transportation time and transportation cost analyzing. The model with the lowest transportation cost is selected.

The result s showed that the Belitung is the main service provider while the Mendanau and Seliu islands are the intermediate service providers or servers and the other 2 islands are the client s. The network among these fishing ports is theoretically more efficient than the current available networking.

For protecting fishing port from over capacity, the research formulated fishing management strategies for each island by using technical efficiency (TE) and Danmark Theory analysis. The result showed that prevention of environmental degradation should be implemented in Belitung and Mendanau islands. While, controlling of fishing effort should be implemented in Seliu and Gersik islands. On the other hand, fishing effort may be expanded in Sumedang island.

(13)

RINGKASAN

MARWAN SYAUKANI. Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan (Dibimbing oleh M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW dan DANIEL R MONINTJA)

Kondisi geografis dan keterbatasan infrastruktur merupakan masalah krusial yang dihadapi dalam pembangunan industri perikanan di Indonesia. Kedua permasalahan di atas hanya dapat diatasi dengan rekayasa jaringan pelabuhan perikanan yang efektif dan efisien. Terdapat dua model jaringan industri antar pelabuhan perikanan yang berkembang di Indonesia, yaitu: model “HUB” dan ”POINT”. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan model HUB walaupun model yang dikembangkan masih bersifat

kontinental. Pelabuhan perikanan lainnya mengembangkan model Point dan terindikasikan tidak efisien.

Penelitian dilaksanakan di Pulau Belitung, Pulau Mendaunau, Pulau Seliu, Pulau Gersik dan Pulau Sumedang - Kabupaten Belitung dari bulan Oktober 2007 hingga bulan Mei 2009. Penelitian bertujuan menent ukan status sentra industri dalam suatu jaringan industri, menyusun model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efesien dan menyusun strategi pengelolaan industri perikanan tangkap pada masing- masing pulau.

Penelitian menggunakan metode analisis Nested Multi Criteria Analysis

(NMCA) yang diikuti dengan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimalisasi jarak, minimalisasi waktu tempuh dan minimalisasi biaya transportasi. NMCA adalah analisis MCA dua tahap. Analisis MCA tahap pertama yang dipadu dengan analisis TOPSIS bertujuan menentukan status sentra industri dalam jaringan industri berdasarkan parameter pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, kapasitas kapal perikanan, kemandirian faktor input, jumlah ikan yang didaratkan. Dalam penelitian ini, status sentra industri di Kabupaten Belitung diklasifikasi menjadi 3, yaitu: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server) dan client. Hasil analisis MCA tahap pertama menunjukkan bahwa Pulau Belitung berstatus sebagai penyedia jasa utama, Pulau Mendanau dan Pulau Seliu sebagai penyedia jasa antara (server) sedangkan Pulau Gersik dan Pulau Sumedang sebagai sumber bahan baku (client).

(14)

Dalam upaya mencegah kelebihan kapasitas pelabuhan perikanan, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan tangkap dengan analisis efisiensi teknik (TE) yang dipadukan dengan analisis Danmark teori. Efisiensi teknik adalah penbandingan produktivitas suatu wilayah penangkapan dengan produktivitas wilayah lainnya yang masih memiliki terbaik. Sedangkan Danmark teori adalah analisis kebijakan pengelolaan perikanan dengan memplotkan hasil analisis efisiensi teknik (TE) kedalam diagram Cartesius.

Hasil analisis efisiensi teknik menunjukkan bahwa industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung diarahkan pada pengembangan setiap sentra industri sesuai dengan status dalam jaringan industri yang optimum. Nilai TE Pulau Belitung dan Pulau Mendanau terletak pada kuadran ke tiga dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pencegahan degradasi sumber daya ikan. Nilai TE Pulau Seliu dan Pulau Gersik terletak pada kuadran kedua dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengendalian sumber daya ikan. Nilai TE Pulau terletak pada kuadran pertama dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengembangan industri perikanan tangkap.

(15)

MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN

TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN

MARWAN SYAUKANI

Ringkasan disertasi

Disampaikan sebagai bahan ujian terbuka untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Judul Disertasi : Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap d i Wilayah Kepulauan

Nama Mahasiswa : Marwan Syaukani NIM : C 561 030 174

Program Studi : Teknologi Kelautan

Komisi Pembimbing : Dr. Ir M. Fedi A. Sondita, MSc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, MSc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Penguji Luar Komisi :

Ujian Terbuka pada

Hari/Tanggal : Jumat / 11 September 2009 Waktu : 13.30 - selesai

(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan global yang dihadapi oleh negara-negara didunia sekarang ini

membawa konsekuensi timbulnya persaingan antar negara, antar daerah dan antar pengusaha. Meningkatnya persaingan usaha tersebut diatas mendorong kesadaran

pentingnya peningkatan efisiensi industri. Peningkatan efisiensi juga diamanatkan dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Bab IV.B. 9 dan 10 tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil yang efisien. Penelitian tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil belum

banyak dilakukan di Indonesia. Namun penelitian jaringan industri antar pelabuhan di beberapa pulau dalam suatu kawasan telah banyak dilakukan diluar negeri antara lain peneliti dari negara Korea dan Jepang. Wang (2007) melakukan analisis jaringan kapal pengangkut dan pembangunan pelabuhan di Korea dan Jepang. Penelitian tersebut menyimpulkan diperlukan adanya kerjasama antar pelabuhan di Semenanjung Korea dan Jepang. Hubungan antar pelabuhan berupa jaringan

industri perlu ditingkatkan terutama antara pelabuhan HUB dan pelabuhan Spoke. Keterkaitan jaringan industri sangat dipengaruhi oleh geografis pelabuhan,

infrastruktur yang tersedia, efisiensi penanganan barang serta biaya penanganan barang (handling cost).

Industri di Indonesia secara umum dan sektor perikanan tangkap secara

khusus tergolong ekonomi biaya tinggi. Tingginya biaya investasi dan operasional industri tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor

administrasi dan faktor teknik. Penyalahgunaan wewenang dalam perijinan merupakan contoh nyata tingginya biaya akibat faktor administrasi. Sedangkan

(18)

perikanan bagi pelabuhan itu sendiri. Model Point berkembang di negara-negara yang wilayahnya luas dan menyebar, wilayah penangkapannya terbagi atas beberapa wilayah (zonasi), terkendalakan penguasaan teknologi dan permodalan. Model

Point cenderung mandiri terhadap pelabuhan perikanan lainnya dan sentralistik. Ditinjau dari segi ekonomi, model Point yang sentralistik ini mengakibatkan jaringan antar sentra industri tidak efisien, yaitu: biaya transportasi per unit tinggi, praktek perdagangan monopoli, oligopoli, monopsoni, oligopsoni serta

menimbulkan dead weight loss (DWL). Ditinjau dari segi teknik, model Point

menyebabkan kesulitan dalam hal pengawasan mutu, pengawasan SDA, hilangnya penerimaan negara dari pajak dan retribusi. Namun keuntungan model Point adalah biaya investasi relatif kecil. Tidak efisiennya jaringan industri antar sentra industri mendorong dilakukannya penelitian ini.

Disamping model ”Point”, terdapat model jaringan industri berbasis pelabuhan lainnya yaitu model ”HUB”. Model HUB adalah model jaringan industri perikanan yang menonjolkan sebuah pelabuhan perikanan sebagai sentral aktivitas ekonomi industri perikanan yang didukung oleh beberapa pelabuhan perikanan lainnya. Pemilihan atas kedua model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas wilayah, letak geografis, jarak daerah penangkapan ikan (fishing ground), aksesbilitas faktor input dan variabel output, infrastruktur serta penguasaan teknologi. Model pelabuhan HUB banyak diaplikasikan di wilayah kontinental, wilayah yang dibatasi oleh banyak negara, memiliki wilayah penangkapan ikan yang kecil, penguasaan teknologi, transportasi dan telekomunikasi memadai.

Pelabuhan HUB berfungsi sebagai tempat transhipment barang dan terminal kontainer (Subagiyo 2007). Di benua Eropa, pelabuhan perikanan HUB berfungsi sebagai pelabuhan masuk dan keluar komoditi dari dan ke beberapa negara yang

(19)

3

(SDA), mempermudah pengawasan penerimaan negara dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan dari model HUB adalah investasinya yang tinggi.

Industri perikanan tangkap Indonesia mengembangkan model HUB dan model Point. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan HUB bagi beberapa pelabuhan perikanan pendukung antara lain pelabuhan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu, PPN Cirebon dan PPN Pekalongan. Model pelabuhan perikanan HUB yang diaplikasikan oleh

PPS Jakarta mengandalkan hubungan jaringan darat dan belum mencerminkan keterkaitan antar pulau. Sedangkan PPS dan PPN lainnya seperti PPS Bungus, PPS Belawan dan PPS Cilacap dan PPN Tanjung Pandan mempraktekan model Point. PPN Tanjung Pandan mempraktek model Point dimana pengadaan pasokan faktor

input, pengolahan dan pemasaran hasil, ekspor dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha yang berdomisili di PPN Tanjang Pandan. Faktor input bagi selur uh sentra industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung berasal dari PPN Tanjung Pandan. Ikan yang di produksi dan didaratkan di PPN Tanjung Pandan dijual ke pasar regional atau diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan umum Pangkal Balam yang terletak di Pulau Bangka. Penerapan model Point yang dipraktekkan PPN Tanjung Pandan menyuburkan sistem perdagangan oligopsoni yang

mengakibatkan adanya dead weight loss (DWL).

Hubungan jaringan industri antar sentra industri telah banyak dilakukan di luar negeri, antara lain: jaringan pelabuhan Selat Gibraltar oleh Hadi dan Moron (2007), jaringan pelabuhan Korea Selatan, China dan Jepang oleh Wang (2007) dan jaringan pelabuhan Asia Timur oleh Tai dan Hwang (2005). Perbedaan penelitian

hubungan jaringan industri dengan penelitian jaringan industri tersebut diatas adalah model jaringan industri disesuaikan dengan karakteristik wilayah kepulauan.

Klasifikasi pelabuhan yang dipergunakan penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server/spoke) dan client (feeder). Klasifikasi tersebut diatas mengacu pada penelitian Israel dan Roque (2000) mengenai jaringan pelabuhan perikanan di Philipina.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan empat

(20)

dilakukan di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal

perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di

Kabupaten Be litung.

1.2 Perumusan Masalah

Sektor industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan menghadapi

permasalahan laten yakni rendahnya keunggulan komparatif, praktek oligopoli dan atau oligopsoni yang merugikan nelayan dan rendahnya daya kompetitif. Salah satu

sebabnya adalah jaringan industri perikanan tangkap tidak efisien yang ditandai dengan tingginya biaya transportasi.

(21)

5

Gambar 1 Perumusan masalah

Guna meningkatkan efisiensi industri tersebut diatas, diperlukan suatu

perbaikan jaringan industri melalui peningkatkan kapasitas wilayah-wilayah terpencil. Perbaikan jaringan industri yang dimaksud berupa pembentukan jaringan

model HUB yang disesuaikan dengan kondisi geografi Indonesia. Model jaringan

HUB yang dimaksud adalah membangun jaringan antar sentra industri yang sesuai dengan wilayah kepulauan dengan mengklasifikasikan sentra industri dalam 3 status, yakni: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server / spoke) dan client / feeder

sebagaimana diusulkan oleh Departemen Perhubungan pada tahun 2004 dan diteliti oleh Israel dan Rouge pada tahun 2000 di Philipina.

Karakteristik geografi pulau-pulau kecil

Rentan terhadap bencana

Wilayahnya luas

Letaknya menyebar

Keterbatasan infrastruktur

SDA terbatas SDM terbatas SDB terbatas Biaya tinggi

Kapasitas rendah

Jaringan industri ya ng terindikasikan tidak efesien ditandai dengan tingginya biaya transportasi

Rendahnya daya kompetitif Rendahnya keunggulan

komparatif

Oligopoli atau oligopsoni

(22)

1.3 Tujuan

Penelitian ini mempunyai tujuan umum mengembangkan model jaringan

industri perikanan tangkap di wilayah pulau-pulau kecil yang efektif dan efisien. Tujuan umum ini dijabarkan kedalam 3 tujuan khusus, yaitu :

(1) Menentukan status sentra industri dalam mewujudkan jaringan industri perikanan tangkap yang efektif.

(2) Menyusun model jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efisien.

(3) Menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap di setiap sentra industri

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah :

(1) Referensi bagi ilmu pengetahuan dalam mengembangkan model pembangunan regional industri perikanan di wilayah kepulauan.

(2) Alternatif model pembangunan industri perikanan nasional yang efektif dan efisien.

(3) Merupakan acuan pembangunan industri perikanan di Kabupaten Belitung

dalam mewujudkan program Etalase Kelautan dan Perikanan di Indonesia bagian Barat.

1.5 Kerangka Pikir

Berdasarkan penelitian sebelumnya, sistem jaringan industri antar sentra

industri perikanan tangkap dipengaruhi oleh 5 sub sistem, yaitu: sumber komoditi (Slack 1993, Murphy dan Daley 1994, Song 2002 yang diacu dalam Tai dan Hwang

2005), lokasi pelabuhan (Ha 2003, Malchow dan Kanafani 2001 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005), fasilitas pelabuhan (Chen 1997, Cullinane 2002, Fung 2001

yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005), jarak (Malchow dan Kanafani 2001, Zohil dan Prijon 1999 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005) dan biaya operasi (Tai dan Hwang 2001, Tai 2000, Wu 2000 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005).

(23)

7

(1) Subsistem sumber komoditi dilakukan analisis kapasitas dan aliran faktor

input, kemandirian faktor input serta kapasitas dan aliran variabel faktor out put.

(2) Subsistem lokasi pelabuhan dilakukan analisis terhadap kapasitas kapal perikanan.

(3) Subsistem fasilitas pelabuhan perikanan dilakukan analisis pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan meliputidermaga, tempat pelelangan ikan,

fasilitas BBM, pabrik es dan cold storage.

(4) Subsistem jarak dilakukan analisis terhadap jarak dan waktu yang paling efisien.

(5) Subsistem biaya transportasi dilakukan analisis biaya yang paling efisien. Hubungan kelima subsistem tersebut diatas sangat kompleks sehingga

(24)

Gambar 2. Kerangka pikir

1.6 Hipotesis

Konfigurasi jaringan industri menentukan tingkat efisiensi industri perikanan tangkap yang diukur terhadap waktu dan biaya transportasi.

Sistem jaringan antar sentra industri perikanan tangkap

Subsistem jaringan industri per ikanan tangkap yang utama

Model jaringan industri perikanan tangkap yang efektif dan efisien

Instrumen analisis

Status pelabuhan perikanan

dalam jaringan industri Jaringan industri yang efektif

dan efisien Analisis

(25)

2

METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan pentahapan sebagai berikut :

(1) Persiapan dilakukan pada Oktober 2007

(2) Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada Nopember 2007 hingga Juni 2008

(3) Pengolahan data dilakukan pada Juli 2008 – Agustus 2008 (4) Penulisan disertasi dilakukan pada September 2008 – Mei 2009

Penelitian jaringan industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu (Gambar 3). Pangkalan kapal perikanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah konsentrasi tambat labuh kapal perikanan yang merupakan sentra industri perikanan tangkap namun dari segi infrastruktur belum masuk dalam klasifikasi pelabuhan perikanan. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di Kabupaten Belitung.

2.2Peralatan Pendukung

(26)

Pulau Belitung PPN Tanjung Pandan (LP1) Pulau Mendanau PPI

Selat Nasik (LP2)

Pulau Seliu (LP5) Pulau Gersik

(LP3)

Pulau Sumedang (LP4)

107o

3o

Skala : 1:12.500

BT

LS

Gambar 3 Peta Pulau Belitung dan lokasi penelitian (Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah - Kab. Belitung)

Keterangan :

LP 1: PPN Tanjung Pandan, sentra industri perikanan tangkap di Pulau Belitung (02o44’45’’LS; 107o37’41’’BT) LP 2: PPI Selat Nasik, sentra industri perikanan tangkap di PulauMindanau (02o49’55’’LS; 107o24’55’’BT) LP 3: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik (03o00’20’’LS; 107o16’17’’BT)

LP 4: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang (03o19’60’’LS; 107o12’41’’BT) LP 5: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu (03o13’13’’LS; 107o31’47’’BT)

2.3Metode Penelitian

Penelitian model jaringan industri perikanan tangkap dilakukan dalam 3 tahap, yaitu:

(1) Penentuan status pelabuhan perikanan (sebagai suatu sentra industri) yang dilakukan dengan analisis MCA tahap pertama dan analisis TOPSIS

(2) Penentuan model jaringan industri perikanan terpilih yang dilakukan dengan analisis mnimalisasi waktu tempuh dan biaya transportasi variabel output. (3) Perumusan strategi pembangunan industri perikanan tangkap yang dilakukan

(27)

11

merupakan bagian dari analisis MCA pertama. Analisis NMCA adalah salah satu cara pengambilan keputusan yang didasari beberapa parameter dan memiliki beberapa alternatif.

Penentuan status pelabuhan perikanan ditentukan berdasarkan analisis MCA tahap pertama dan analisis TOPSIS. Analisis MCA pertama dilakukan terhadap 4 parameter yaitu indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan (IPFP), indeks kapasitas kapal perikanan (IKAPI), indeks kemandirian (IK) dan kapasitas sentra industri (KSI). Score keempat parameter di atas, dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution

yang disingkat dengan TOPSIS (Li dan Xie 2006). Berdasarkan kedua analisis tersebut diatas kemudian ditentukan status sentra industri sebagai sentra pelayanan jasa utama, sentra pelayanan jasa antara (server/spoke) dan client/feeder.

Perumusan jaringan industri perikanan diawali dengan melakukan optimasi model melalui analisis minimalisasi jarak. Analisis minimalisasi jarak adalah teknik analisis untuk mendapatkan jarak yang paling minimal melalui teknik penyapuan. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan jarak antar sentra industri yang paling minimal.

Model jaringan industri perikanan tangkap terpilih diuji dengan analisis MCA tahap kedua. MCA tahap kedua yang dilakukan terhadap jaringan industri yang ada sekarang (existing model) dan alternatif model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan. Parameter yang dianalisis pada MCA tahap dua adalah waktu tempuh dan biaya transportasi.

(28)

Gambar 4 Diagram metode penelitian

Analisis MCA tahap I meliputi berdasarkan :

Ø Indeks Pelayanan Fasilitas Pelabuhan Perikanan (IPFP) Ø Indeks Kapasitas Kapal Perikanan (IKAPI)

Ø Indeks Kemandirian (IK) Ø Kapasitas Sentra Industri (KSI)

Optimasi Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan melalui analisis minimalisasi jarak dengan teknik penyapuan yang berpatokan

pada status pelabuhan perikanan

Analisis MCA tahap II: perbandingan jaringan industri yang ada sekarang dan alternatif model terhadap parameter waktu tempuh dan biaya transportasi

Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan

Analisis efisiensi teknik (TE) relatif kapasitas sentra industri dan analisis Danmark teori

Strategi pengelolaan perikanan tangkap di wilayah kepulauan Analisis MCA tahap I dan analisis TOPSIS dilakukan klasifikasi status sentra

industri perikanan tangkap

(29)

13

2.4Metode Analisis

2.4.1 Penetapan status sentra industri perikanan tangkap

Penetapan status dilakukan dengan analisis Multi Criteria Analysis (MCA) tahap pertama dan analisis TOPSIS. Parameter yang diukur meliputi: indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, indeks kapasitas kapal perikanan, indeks kemandirian dan kapasitas sentra industri. Asumsi yang dipergunakan adalah keempat parameter tersebut diatas mempunyai bobot yang sama dalam penentuan status pelabuhan perikanan.

2.4.1.1Indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan

Indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan (IPFP) adalah ukuran ketersediaan fasilitas prasarana pada sentra industri perikanan tangkap. Prasarana yang diukur meliputi fasilitas pokok, yaitu: dermaga, tempat pelelangan ikan (TPI), fasilitas BBM, pabrik es dan fasilitas penunjang berupa cold storage. Formula untuk menghitung indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan adalah :

5

IPFPi = ? Iij j=1

dimana : Iij = Xij Bj Bj = nj / n

IPFPi = index pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan lokasi i Iij = nilai IPFP lokasi ke-i prasarana ke-j

Xij = volume prasarana j pada lokasi i Bj = bobot prasarana j

nj = jumlah prasarana j n = jumlah prasarana.

i = lokasi

j = jenis prasarana

2.4.1.2Indeks kapasitas kapal perikanan

(30)

kegiatan penangkapan ikan. Kapasitas kapal perikanan diukur berdasarkan daya tampung rata-rata palka. Tiga jenis kapal yang dijadikan pengamatan adalah kapal perikanan yang berukuran kurang dari 5 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 1,2 ton, kapal yang berukuran antara 5 sampai 10 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 2 ton dan kapal yang berukuran di atas 10 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 4 ton. Formula untuk menghitung indeks kapasitas kapal perikanan adalah:

3

IKAPIi = ? Jik k=1

dimana : Jik = Yik Ck Ck = mk / m

IKAPIi = index kapasitas kapal perikanan pada lokasi i Jik = nilai IKAPI lokasi ke-i kapal perikanan ke k Yi k = Jumlah kapal perikanan k pada lokasi i Ck = bobot sarana k

mk = volume palka kapal perikanan jenis k

m = volume palka maksimal kapal perikanan yang diamati

i = lokasi

k = jenis kapal perikanan

2.4.1.3Indeks kemandirian

Indeks kemandirian (IK) adalah ukuran ukuran kemampuan sentra industri perikanan tangkap untuk memenuhi kebutuhan faktor input sendiri. Faktor input

yang dianalisis adalah BBM dan es. Nilai ini diukur berdasarkan proporsi (%) faktor

input, yaitu dengan rumus:

2

IKi = ? IKil

l=1

IKil = Il / Dl

dimana:

IKi = tingkat kemandirian lokasi ke -i

IKil = tingkat kemandirian asupan l pada lokasi ke- i Il = volume pasokan faktor asupan l

Dl = volume kebutuhan faktor asupan l

i = lokasi

(31)

15 2.4.1.4Kapasitas sentra industri

Kapasitas sentra industri (KSI) adalah volume ikan yang diproduksi dari suatu sentra industri. KSI dihitung dengan rumus sebagai berikut :

n

KSIi = ? Xio o=1

dimana:

KSIi = kapasitas sentra industri ke-i

Xo = volume ikan o yang dihasilkan lokasi ke-i

i = lokasi

o = jenis ikan

2.4.1.5Status sentra industri perikanan tangkap

Penentapan status sentra industri perikanan tangkap diawali dengan penetapan

score untuk keempat parameter di atas. Score setiap parameter berkisar mulai dari 0 hingga 1. Rumus untuk menghitung score tersebut adalah:

ai – min (a)

Score ai = —————————

Maks (a) –min (a)

dimana:

a = nilai indeks

Kemudian dilakukan analisis technique for order preference by similarity to ideal solution (TOPSIS) untuk mendapatkan ranking sentra industri perikanan tangkap dengan nilai yang ideal. Adapun analisis TOPSIS dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

(1) Menentukan matrik kriteria alternatif sebagai baris dan kolom

a11 a12 a13 a14 ... a1n

a21 a22 a23 a24 ... a2n

Aij = a31 a32 a33 a34 ... a3n

am1 am2 am3 am4 ... amn

dimana :

aij = score untuk indeks i pada lokasi j i = indeks

(32)

(2) Normalisasi matrik A dengan dengan formula : m

rij = a ij ? a ij2 , i = 1, 2, 3, ..., m i = 1 j = 1, 2, 3, ..., n

(3) Menentukan ranking yang terbobot (weighted normalized rating) yakni :

Vij = w j r ij ; i = 1,2,3,... ,m

j = 1,2,3,...,n

(4) Identifikasi alternatif ideal dan non ideal melalui formula :

A* = { ( maks Vij ¦ j e J1 ), (min Vij ¦ j e J2), ¦ i = 1, 2, 3, ..., m}}

= {V1*, V2*, ..., Vn*}

A- = { ( min Vij ¦ j e J1 ), (maks Vij ¦ j e J2), ¦ i = 1, 2, 3, ..., m}}

= {V1-, V2-, ..., Vn-}

(5) Menghitung Euclidean distance dengan solusi ideal melalui formula : n

S* = ( ? ( Vij – Vj*)2 , i = 1, 2, 3,..., m

J=1 n

S- = ( ? ( Vij – Vj-)2 , i = 1, 2, 3, ..., m

J=1

(6) Menghitung „relative closeness“ melalui :

Ci * = Si- / ( Si* + Si-), i = 1, 2, 3, …, m

dimana 0 < Ci* < 1

Status sentra industri ditetapkan berdasarkan score MCA dan ranking hasil analisis TOPSIS. Sentra industri yang mendapatkan nilai tertinggi ditetapkan sebagai penyedia jasa utama. Sentra industri yang mempunyai nilai positif pada parameter IPFP dan IKAPI ditetapkan sebagai penyedia jasa antara. Sentra industri yang mempunyai nilai rendah pada keempat parameter diatas ditetapkan sebagai

(33)

17 Tabel 1 Status sentra industri perikanan tangkap

Status Kriteria

Penyedia jasa utama Nilai tertinggi

Server Nilai positif pada IPFP dan IKAPI

Client Nilai rendah

2.4.2 Optimasi model

Optimasi model dilakukan berdasarkan analisis minimalisasi jarak dengan teknik penyapuan terhadap 3 alternatif jaringan industri yaitu peningkatan kapasitas jaringan industri yang ada, optimalisasi jaringan industri yang ada dan pengembangan jaringan industri berdasarkan status sentra industri. Analisis minimalisasi jarak adalah salah satu teknik dalam pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif yang paling efesien (Mulyono 1999). Teknik penyapuan dilakukan dengan mengurangi setiap elemen matriks baris dan kolom terhadap elemen matriks terendah sehingga pada baris atau kolom terdapat elemen matriks dengan nilai nol.

Analisis minimalisasi jarak dilakukan dengan membuat matriks dimana kolom vertikal merupakan pelabuhan perikanan asal dan horizontal merupakan tujuan. Berdasarkan status pelabuhan perikanan disusun berupa matriks 2 kali 2 dimana 2 pelabuhan perikanan tujuan (server) dan 2 pelabuhan perikanan sumber bahan baku (client). Elemen matriks adalah jarak antar pelabuhan perikanan sumber bahan baku dengan daerah tujuan. Jarak diukur berdasarkan alur pelayaran yang dipergunakan oleh kapal pengangkut variabel output.

2.4.3 Model terpilih

Penetapan model terpilih dilakukan dengan melakukan analisis waktu tempuh dan analisis biaya transportasi variable output.

2.4.3.1 Waktu tempuh

(34)

n Min Tp = ? Sr / V

r=1

Keterangan :

Tp = total waktu tempuh alternatif model p Sr = jarak jalur r (jalur pelayaran tradisional)

V = kecepatan rata-rata kapal angkut (dengan spesifikasi 15 GT, 60 HP, 6,762 knot)

p = model

r = jalur

2.4.3.2Biaya transportasi

Biaya transportasi adalah biaya yang diperlukan untuk memindahan suatu barang/komoditi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dalam penelitian ini dibatasi hanya pada biaya transportasi yang dikeluarkan untuk mengangkut variabel output dari suatu sentra industri di suatu pulau ke pulau lainnya. Biaya transportasi terdiri dari biaya penyewaan kapal, pembelian es untuk pengawetan ikan, dan ongkos kuli angkut. Biaya transportasi ini dihitung dengan rumus :

n

p = model jaringan industri (model sekarang dan model alternatif)

r = jalur

2.4.4. Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra produksi Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra produksi dilakukan dengan analisis efisiensi teknik dan analisis Danmark Teori.

2.4.4.1Analisis efisiensi teknik

(35)

19

diukur berdasarkan produksi yang dihasilkan dibagi kapasitas kapal perikanan dengan formula sebagai berikut (Fauzi dan Anna 2005) :

TEi = E i / Eimax

Yi

Eimax = ———————

Xi

dimana :

TE = efisiensi teknik relatif kapasitas kapal perikanan dapa suatu pelabuhan perikanan Ei = produktifitas kapal perikanan pada lokasi i

Yi = jumlah keluaran pada lokasi i Xi = kapasitas kapal perikanan pada lokasi i

i = lokasi

2.4.4.2Analisis Danmark teori

(36)

Tabel 2 Diagram Cartesius Danmark teori di daerah padat dan

non padat

(37)

21

Diagram strategi tersebut terdiri dari 4 kuadran yang pembagiannya berdasarkan pada nilai efisiensi tehnik TE (Tabel 3). Kuadran I adalah strategi pengembangan industri disertai dengan pemantauan terhadap efek negatif terhadap sumber daya ikan, kuadran II adalah strategi pengembangan industri disertai pengendalian untuk mencegah degradasi sumber daya ikan, kuadran III adalah strategi penguatan industri disertai pencegahan degradasi sumber daya alam, dan kuadran IV adalah stategi penguatan industri disertai dengan pemulihan sumber daya ikan, Analisis Danmark dilakukan terhadap setiap sentra industri perikanan tangkap.

Tabel 3 Pembagian kuadran diagram kartesius Danmark teori

Kuadran Nilai TE Kebijakan

I 0,75 - 1 Industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan industri perikanan tangkap yang disertai dengan kebijakan pemantauan terhadap degradasi sumber daya ikan

II 0,50 – 0,75 Industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan industri perikanan tangkap namun disertai dengan kebijakan pengendalian terhadap degradasi sumber daya ikan

III 0,25 – 0,50 Industri perikanan tangkap diarahkan pada penguatan (establishing) industri perikanan tangkap namun disertai dengan kebijakan pencegahan degradasi sumber daya ikan

IV 0,00 – 0,25 Industri perikanan tangkap diarahkan pada penguatan (establishing) industri perikanan tangkap namun diisertai dengan kebijakan pemantauan pemulihan sumber daya ikan

2.5 Teknik Pengumpulan Data

(38)

tinjauan langsung mengenai keadaan ak tual dari berbagai pelaku (stakeholder) yang terlibat dalam sistem bisnis perikanan.

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui mekanisme pengamatan langsung terhadap aktivitas perikanan serta wawancara dengan pelaku bisnis perikanan yang dikelompokan dalam 4 kelompok, yaitu: pembina nelayan, nelayan, penguasaha pengangkutan ikan dan pengolah hasil perikanan. Wawancara dilak ukan terhadap 3 pembina nelayan di masing – masing lokasi penelitian, 32 nelayan kapal penangkap ikan dengan kapasitas = 7 10 GT, 3 pengusaha pengangkut hasil perikanan dan 6 pengolah hasil perikanan (cold storage). Informasi keterlibatan pelaku bisnis perikanan berikut data yang dikumpulkan dari masing- masing sampel disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Data primer yang dikumpulkan selama penelitian

No Pelaku bisnis perikanan

Jumlah sampel

Uraian data yang dikumpulkan Teknik pengumpulan data

1 2 3 4 5

Produksi

1 Pembina nelayan 15 Kepemilikan kapal

Jumlah kapal dan nelayan binaan Mekanisme pembiayaan Bagi hasil usaha Biaya operasional Biaya tetap

Wawancara

2 Nelayan 32 Spesifikasi teknis unit penangkapan a.Ukuran, bahan dan alat tangkap b.Bobot kapal dan permesinan c.Metode operasi

d.Lama trip dan jumlah trip per tahun e.Jumlah ABK

6 Mekanisme pengumpulan bahan baku Mekanisme pembayaran

(39)

23

1 2 3 4 5

2 Pengusaha pengangkutan ikan

3 Spesifikasi teknik kapal a.Bobot kapal

b.Kapasitas c.Lama trip

d.Jumlah trip per tahun Biaya tarif angkut Mekanisme pembayaran Biaya operasional Bagi hasil Pendapatan ABK

Wawancara

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara penelusuran pustaka dari suatu sumber publikasi. Data sekunder yang dikumpulkan berupa laporan-laporan resmi yang dipublikasikan atau yang tidak dipublikasikan meliputi:

(1) Geofisik, demografi, jumlah kapal, produksi yang diperoleh dari Belitung Dalam Angka Tahun 2000 – 2006 - Badan Pusat Statistik (2) Produk Domestik Bruto Kabupaten Belitung Tahun 2005 dan 2006 (3) Rumah tangga nelayan, kapal dan alat tangkap, produksi, sarana dan

prasarana 2001 – 2005

(4) Kebutuhan solar dan jumlah kapal Tahun 2003

(5) Data bulanan pengiriman ikan Kabupaten Belitung 2006 dan 2007 (6) Infrastruktur dan produksi ikan Pelabuhan Perikanan Nusantara –

(40)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Jaringan industri yang ada (existing model)

Gambaran eksisting jaringan industri diformulasikan berdasarkan data sekunder dan data primer berupa hasil wawancara dengan pelaku usaha. Gambaran eksisting jaringan industri faktor output merupakan model pembanding pada analisis waktu tempuh dan biaya transportasi.

3.1.1.1 Jaringan faktor input dan variabel output

Industri perikanan tangkap yang masih berpusat di PPN Tanjung Pandan - Tanjung Pandan – Pulau Belitung. Hampir 90 % lebih faktor input 12 sentra industri berasal dari kota Tanjung Pandan di Pulau Belitung (Gambar 5). Pasokan ada yang dibeli dari pasar secara perorangan atau kelompok, atau dapat diperoleh dari toko-toko pembina nelayan. K ios pembina nelayan menyediakan kebutuhan bahan pokok, kebutuhan biaya hidup. Sedangkan BBM juga disediakan oleh pembina nelayan dengan mengeluarkan

direct order (DO) yang dapat diganti pada SPBN di PPN Tanjung Pandan.

(41)

25

3.1.1.2Jaringan pemasaran regional dan ekspor

Sebahagian produksi ikan dijual ke Kabupaten-Kabupaten di Pulau Bangka, ke propinsi lain yaitu Sumatera Selatan, Lampung, Jakarta dan ekspor ke Singapura melalui Pulau Belitung de ngan pusatnya di PPN Tanjung Pandan. Namun apabila produksi melimpah, produksi ikan Pulau Gersik dijual langsung ke Pulau Bangka dan produksi ikan Pulau Sumedang dijual langsung ke Jakarta (Gambar 6).

Gambar 6. Aliran variabel output pemasaran regional dan ekspor

Pulau Sumedang

Sentra industri perikanan tangkap

(42)

Lima perusahaan yang aktif melakukan ekspor ikan beku yaitu CV Wadah Lautan Makmur, PT Nelayan Indah Mandiri, CV Laut Jaya, PT Eka Lancar Mandiri dan PT Serikat Indo Makmur. Negara tujuan ekspor adalah Singapura.

3.1.2 Status sentra industri

Hasil penelitian dengan menggunakan analisis MCA menunjukkan bahwa Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan dengan status penyedia jasa utama karena mendapatkan total score tertinggi yaitu 4 pada analisis MCA dan merupakan rangking pertama pada analisis TOPSIS (Tabel 5 dan Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa prasarana, jumlah kapal perikanan, pasokan faktor input dan jumlah ikan yang didaratkan merupakan sentra industri terbaik, terle ngkap dan terbanyak produksi ikannya dibandingkan dengan 4 sentra di empat pulau lainnya

Tabel 5 Nilai IPFP, IKAPI, IK dan KSI sentra industri perikanan tangkap di Kab. Belitung.

IPFP IKAPI IK KSI

Belitung 1,00 1,00 1,00 1,00

Sumedang 0,04 0,00 0,00 0,00

Seliu 0,04 0,04 0,00 0,06

Mendanau 0,07 0,31 0,04 0,30

Gersik 0,00 0,04 0,00 0,06

Tabel 6 Ranking dan status sentra industri perikanan tangkap di Kab. Belitung

Ranking

Sentra industri Random utility value

Nilai IPFP dan IKAPI Status

1 Belitung 1.00000 Tertinggi Penyedia jasa utama

2 Mendanau 0.20462 Positip Penyedia jasa antara

3 Seliu 0.04046 Positip Penyedia jasa antara

4 Gersik 0.03484 0 Client

5 Sumedang 0.02020 0 Client

(43)

27

merupakan yang terkecil dibandingkan 4 sentra industri lainnya. Analisis tersebut diatas menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Sumedang mempunyai status sebagai client/feeder.

Pulau Seliu merupakan sentra industri perikanan tangkap yang mendapatkan score

positip pada parameter IPFP dan IKAPI yaitu masing- masing sebesar 0,04 dan 0,04 dengan ranking ke 3 dalam analisis TOPSIS. Hasil analisis tersebut diatas menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Seliu mempunyai status sebagai penyedia jasa antara (server/spoke). Rendahnya nilai IKAPI dan KSI sentra industri ini menunjukkan kapasitas kapal perikanan dan ikan yang didaratkan kecil. Nilai nol parameter IK menandakan pasokan faktor input sentra industri ini tergantung pada pasokan dari Pulau Belitung.

Pulau Mendanau yang merupakan pulau terbesar nomor 2 di Kabupaten Belitung mendapatkan score positip pada analisis MCA pada parameter IPFP dan IK, menempati ranking ke dua pada analisis TOPSIS. Analisis tersebut menunjukkan bahwa sentra industri perikanan tangkap Pulau Mendanau berfungsi sebagai penyedia jasa antara (server/spoke). Rendahnya score IPFP menunjukkan pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan Pulau Mendanau sangat minim. Demikian juga halnya dengan rendahnya score

IK menunjukkan bahwa pasokan faktor input Pulau Mendanau masih sangat tergantung pada Pulau Belitung.

Analisis MCA dan TOPSIS menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Gersik berfungsi sebagai client/feeder karena mendapatkan score nol pada parameter IPFP dan IK, serta menempati ranking ke 4. Nilai nol pada parameter IPFP menunjukkan bahwa Pulau Gersik belum memiliki pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan. Sedangkan score nol pada parameter IK menunjukkan bahwa seluruh faktor

input dipasok dari Pulau Belitung.

3.1.3 Alternatif jaringan industri

(44)

3.1.3.1Formulasi alternatif model

Formulasi alternatif model dilakukan dengan membuat 3 skenario pengembangan sektor perikanan tangkap. Skenario pertama adalah meningkatkan kapasitas PPI Selat Nasik untuk menjadi server bagi seluruh sentra industri perikanan di pulau-pulau kecil (tidak termasuk pulau utama) yang selanjutnya disebut dengan model A (Gambar 7). Skenario kedua adalah mengoptimalkan PPI Selat Nasik untuk menjadi server bagi sentra industri perikanan di Pulau Gersik yang selanjutnya disebut dengan model B (Gambar 8). Skenario ketiga adalah memfungsikan sentra industri sesuai dengan statusnya dalam jaringan industri yang selanjutnya disebut dengan model C (Gambar 9).

Skala 1:12.500

P Sumedang Gambar 7 Model A

BT

P Sumedang Gambar 8 Model B

BT

P Sumedang Gambar 9 Model C

BT

(45)

29 3.1.3.2Optimasi model

Optimasi model dilakukan dengan analisis minimalisasi jarak berdasarkan status sentra industri seperti yang tertuang dalam Tabel 7.

Tabel 7. Jarak antar pelabuhan perikanan

Asal (client)

Tujuan (server) Pulau Mendanau

(PPI Selat Nasik)

Pulau Seliu

Pulau Gersik 15 0 30 15

Pulau Sumedang 45 30 15 0

Berdasarkan tabel diatas, disimpulkan:

(1) Pulau Gersik (client) mempunyai jarak terdekat dengan Pulau Mendanau sehingga produksi ikan dari Pulau Gersik akan langsung dikirim langsung ke Pulau Mendanau

(2) Pulau Sumedang (client) mempunyai jarak terdekat dengan Pulau Seliu sehingga produksi ikan dari Pulau Sumedang akan langsung dikirim langsung ke Pulau Seliu

Berdasarkan kesimpulan analisis minimalisasi jarak diatas, diperoleh model terpilih yaitu: Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan berstatus sebagai penyedia jasa utama (main server) berinteraksi langsung dengan 2 server (Pulau Mendanau dan Pulau Seliu) dimana server yang berinteraksi langsung dengan 1 client

(46)

Skala 1:12.500 107 o

3o

Tanjung Pandan PPI Selat

Nasik

P Gersik

P Seliu

P Sumedang

BT

LS

Gambar 10 Model C jaringan industri perikanan tangkap:

Kota Tanjung Pandan sebagai main server yang berinteraksi langsung dengan 2 server dan satu server melayani satu client

3.1.3.3Analisis waktu tempuh dan biaya transportasi

Analisis MCA tahap kedua dilakukan terhadap kedua model, yaitu: eksisting model (Gambar 5) dan model C (Gambar 10) dengan parameter total waktu tempuh dan biaya transfer dengan hasil sebagai berikut:

3.1.3.2.1 Jaringan industri yang ada (eksisting model)

(47)

31

Tabel 8 Route, volume, waktu tempuh dan biaya transportasi eksisting model

No Route Volume (Ton) Waktu tempuh (Jam) Biaya (Rp)

1 P.Mendanau – P. Belitung 8.429,75 2,218 9.626.774.500

2 P. Gersik – P. Belitung 3.458,08 4,732 5.432.643.680

3 P. Seliu – P. Belitung 3.429,97 6,655 4.630.459.500

4 P. Sumedang – P. Belitung 2.213,29 7,394 3.762.593.000

Total 17.531,09 20,999 23.452.470.680

3.1.3.2.2 Model C

Pada model C, produksi dari semua sentra industri yang berstatus client terlebih dahulu dikumpulkan di penyedia jasa antara (server) terdekat sebelum ditransportasikan lebih lanjut ke Pulau Belitung (penyedia jasa utama). Biaya transportasi yang dipergunakan pada model C mencapai Rp 27,806,246,860,- dengan biaya transportasi rata-rata sebesar Rp 1.586.110,55 per ton. Total waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mengangkut variabel output dari seluruh sentra industri ke penyedia jasa utama adalah 13,309 jam (Tabel 9).

Tabel 9 Route, volume, waktu tempuh dan biaya transportasi model C

No Route Volume (Ton) Waktu tempuh (Jam) Biaya (Rp)

1 P. Mendanau – P.Belitung 11,887.83 2,218 13,575,901,860.00

2 P. Gersik – P.Mendanau 3,458.08 2,218 4,841,312,000.00

3 P. Sumedang – P.Seliu 2,213.29 2,218 1,770,632,000.00

4 P. Seliu – P. Belitung 5,643.26 6,655 7,618,401,000.00

Total - 13,309 27,806,246,860.00

3.1.3.2.3 Model Terpilih

(48)

Tabel 10 Biaya transportasi rata-rata jaringan industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung

Model

Total waktu tempuh

(jam)

Biaya transportasi per tahun (Rp)

Biaya rata-rata biaya transfer (Rp/ton)

Bobot waktu tempuh

Biaya transfer rata-rata (Rp/ton/jam)

Eksisting 20,999 23.452.470.680 1.337.764,55 0,612 818.711,90

C 13,309 27.806.246.860 1.586.110,55 0,388 615.410,89

Jumlah 34,308

Berdasarkan analisis tersebut ditentukan bahwa model C merupakan model dengan biaya transportasi yang rendah, yaitu Rp 615.410,89/ton /jam. Perbedaan nyata waktu tempuh sebesar 7,70 jam (30 % lebih singkat dari jaringan yang ada) dan biaya transportasi sebesar Rp 203.301,01 (25 % lebih hemat dari jaringan yang ada) terbukti bahwa konfigurasi jaringan industri menentukan tingkat efisiensi industri perikanan tangkap yang diukur terhadap waktu dan biaya transportasi.

3.1.4 Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra industri

(49)

33

Gambar 11. Efisiensi teknik kapal perikanan di lokasi penelitian

Gambar 11 menunjukkan tingkat efisiensi teknis tertinggi dari kapal perikanan diperoleh kapal perikanan di Pulau Sumedang dengan nilai 1 dan terletak pada kuadran I. Nilai ini menunjukkan bahwa pengusahaan penangkapan ikan di Pulau Sumedang merupakan yang terbaik dan usaha penangkapan ikan masih perlu dikembangkan.

Tingkat efisiensi teknis relatif dengan kategori sedang diperoleh Pulau Seliu dan Pulau Gersik dengan nilai masing- masing 0,63 dan 0,62 terletak pada kuadran 2. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan penangkapan ikan di kedua pulau tersebut masih dapat dikembangkan namun usaha penangkapan ikan diarahkan pada pengendalian terhadap degradasi sumber daya ikan.

Tingkat efisiensi terendah adalah armada penangkapan di Pulau Belitung dan Pulau Mendanau dengan nilai antara 0,29 – 0,31 dan terletak pada kuadran 3. Dengan nilai yang rendah tersebut, pengembangan industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan infrastruktur dalam memenuhi statusnya sebagai pusat pelayanan jasa utama dan antara, serta usaha penangkapan ikan diarahkan pada pencegahan terhadap degradasi sumber daya ikan

. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Belitung Gersik Mendanau Sumedang Seliu

(50)

3.2 Pembahasan

3.2.1 Pembangunan sentra industri perikanan tangkap dalam suatu jaringan industri Pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, telah sesuai dengan konsep jaringan industri perikanan tangkap. Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan difokuskan sebagai pelayanan jasa utama. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Pemda tengah melengkapi pulau ini dengan pelabuhan kontainer dengan luas 50 hektar te rletak di daerah Pegantungan – Kecamatan Membalong. Diharapkan dengan pembangunan pelabuhan kontainer ini, akses transportasi faktor asupan dan variabel keluaran dapat diangkut dengan volume besar sehingga dapat menurunkan biaya transportasi. Di samping itu Pulau Belitung juga memiliki kawasan khusus yaitu kawasan pertumbuhan pengolahan ikan yang terletak di Desa Tanjung Binga – Kecamatan Sijuk. Kawasan pengolahan ikan ini dilengkapi dengan sumber energi matahari sebagai suplemen energi ruang proses (processing room), cold storage dan ruang pembeku (freezing room).

Pulau Mendanau dengan pusatnya di PPI Selat Nasik difokuskan sebagai pangkalan armada perikanan tangkap yang berstatus penyedia jasa antara atau server

dengan kapasitas produksi 11.000 ton per tahun. Untuk mewujudkan status server

tersebut, PPP Selat Nasik telah dilengkapi dengan pabrik es berkapasitas 5 ton per hari dan ruang penyimpanannya. Energi listrik pabrik es ini berasal dari energi matahari dan energi diesel yang disebut dengan pembangkit listrik tenaga hibrid (PLTH). Dengan memanfaatkan PLTH ini, biaya pembuatan es dapat ditekan 50 %. Namun kapasitas pabrik es dan ruang penyimpanan yang tersedia tersebut belum mencukupi kebutuhan. Untuk itu perlu dibangun pabrik es dengan kapasitas 4 kali lipat. Dengan kapasitas 11.000 ton per tahun, Pulau Mendanau tidak mampu menampung semua produksi dari daerah client (total produksi client dan sekitarnya kurang lebih 17.000 ton per tahun) sehingga sebagian dari produksi daerah client masih harus dipasarkan langsung ke Pulau Belitung dan pasar regional. Kendala yang dihadapi sekarang ini adalah belum tersedianya pasokan faktor asupan, keterbatasan penampungan BBM dan energi listrik.

(51)

35

Pangkalan armada layak dikembangkan mengingat terdapat 2 alternatif moda transportasi yang mungkin dibangun yaitu transportasi laut ke PPN Tanjung Pa ndan dan gabungan moda transportasi laut ke wilayah terdekat di Pulau Belitung yang ditandemkan dengan moda transportasi darat ke PPN Tanjung Pandan. Prasarana minimal yang perlu dibangun adalah pabrik es mini dimana merupakan salah satu prasyarat rantai dingin. Pembangunan pabrik es ini sangat memungkinkan mengingat pada saat ini telah mulai banyak penampung ikan di pulau ini. Disamping itu di pulau ini telah dibangun pembangkit listrik alternatif berupa energi angin dan matahari yang baru dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga.

Pulau Sumedang dan Pulau Gersik yang mempunyai status sebagai client (sumber pasokan ikan) diupayakan dapat melakukan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Beberapa hal yang perlu dilakukan di ketiga pulau ini adalah menjaga ekosistem perairan serta pengendalian volume penangkapan ikan. Penduduk ketiga pulau tersebut yang umumnya berasal dari Bugis mempunyai cara khusus dalam upaya pelestaria n sumber daya ikan yaitu dengan pengendalian penangkapan ikan. Nelayan Pulau Gersik tidak diperkenankan menggunakan lampu dengan intensitas cahaya yang besar dalam upaya penangkapan ikan dan alat tangkap yang diperkenankan hanya berupa pancing. Sedangkan jenis alat jaring hanya dapat dipergunakan pada daerah tertentu.

3.2.2 Implikasi efektifitas dan efisiensi jaringan industri terhadap pendapatan nelayan Alternatif model jaringan industri perikanan tangkap mendorong dilakukannya pembangunan dan meningkatkan in vestasi daerah terpencil. Model Point yang sentralistik seperti yang sekarang ada di Kabupaten Belitung mengakibatkan pasar berbentuk oligopsoni. Harga ikan pada pasar berbentuk oligopsoni ditentukan oleh beberapa pembeli. Pengumpul dan nelayan hanya merima harga yang ditentukan oleh pembeli (nelayan sebagai price taker) (Arifin 2004; Putong 2008).

Gambar dibawah memberikan ilustrasi tidak efisien industri yang mengakibatkan kerugian pada nelayan. Jaringan industri model Point yang sentralistik menimbulkan pasar berstruktur oligopsoni. Pada pasar oligopoli, kurva pasokan terletak pada S. Namun apabila pasar berupa pasar bebas, maka kurva pasokan berubah menjadi S1.

(52)

dikenal dengan dead weight loss (DWL). DWL mencerminkan pasar tidak efisien. DWL (segitiga ABC) merupakan keuntungan tambahan yang diperoleh pelaku kartel (inti) dan merupakan beban yang ditanggung oleh nelayan (Case dan Fair 1999). Dengan melakukan perbaikan jaringan industri yakni dengan membangun jaringan HUB, pasar dipaksa memasuki pasar bebas yang mengakibatkan hilangnya segitiga ABC (Gambar 12).

Gambar 12. Perbandingan harga pasar oligopsoni dan pasar bebas

3.2.3 Implikasi pengembangan jaringan industri terhadap Triple Tracks Strategi –

Kabinet Indonesia Bersatu

Selain bermanfaat langsung pada peningkatan efektifitas dan efisiensi industri, pengembangan jaringan industri perikanan tangkap juga merupakan penjabaran trilogi pembangunan nasional, yaitu: pertumbuhan ekonomi (pro growth), pembukaan lapangan pekerjaan (pro job) dan keberpihakan pada rakyat miskin (pro poor). Pengembangan jaringan industri perikanan tangkap menjadi beberapa klasifikasi pelabuhan menjadikan kebijakan pembangunan perikanan lebih terarah. Tabel 11 menunjukkan keterkaitan pengembangan model jaringan industri perikanan tangkap terhadap Tripple Tracks Strategi – Kabinet Indonesia Bersatu (Yudhoyono dan Kalla 2004).

H 1

H0

Pasar oligopsoni Pasar bebas Harga

Kuantitas

O

A

B C

Pasokan

Permintaan S

S1

(53)

37

Tabel 11 Keterkaitan model jaringan industri perikanan terhadap Tripple Tracks Strategi

Model Triple Tracks Strategi

Pertumbuhan ekonomi (Pro growth)

Lapangan pekerjaan (Pro job)

Keberpihakan ada rakyat miskin (Pro poor)

HUB v v -

Point - v v

Model alternatif v v v

Keterangan : v : Capaian sasaran

Jaringan industri perikanan tangkap model HUB merupakan model jaringan industri yang berdampak peningkatan efektitas dan efisiensi industri. Penggunaan teknologi modern mendorong peningkatan pelayanan, meningkatkan volume perdagangan meningkatkan efisiensi dan pembukaan lapangan pekerjaan. Akan tetapi model ini tidak menunjang penutasan kemiskinan karena pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di daerah-daerah perkotaan. Model HUB lebih sesuai dipraktek oleh negara-negara maju dimana pembangunannya sudah merata.

Pembangunan pelabuhan perikanan tangkap model Point cocok bagi negara-negara kepulauan kecil dengan kapasitas yang terbatas. Biaya investasi yang murah mengakibatkan pembangunan dapat dilakukan di daerah yang kapasitas industrinya lebih kecil. Model ini menguntungkan karena berhasil membuka lapangan pekerjaan baru berbasis usaha kecil dan menengah, serta berpihak pada masyarakat miskin yang berdomisili di pedesaan. Namun model Point tidak mendukung efisiensi industri karena jaringan industrinya tidak teratur dan mengakibatkan mahalnya biaya transpotasi.

Gambar

Gambar 1 Perumusan masalah
Gambar 2. Kerangka pikir
Gambar 3  Peta Pulau Belitung dan lokasi penelitian (Sumber : Badan Perencanaan
Gambar  4  Diagram metode penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengelolaan pengetahuan guru dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang ada di sekolah luar biasa tunarungu saat ini, dimana para guru nantinya

11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ditegaskan bahwa “tanah yang menjadi obyek tanah terlantar dapat berupa tanah yang berstatus Hak Milik, Hak

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan kesimpulan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang melalui BKD Kabupaten Semarang berupaya melakukan manajemen sumber daya manusia

Saling tukar informasi tentang Penyajian data tunggal dalam bentuk pictogramdengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh

Yaitu transfer depo yang berfungsi sebagai tempat pertemuan kendaraan pengumpul yang sudah terisi penuh dengan sampah dengan kendaraan pengangkut, dimana transfer depo ini

Hasil penelitian yang dilakukan prosentase tertinggi intensitas nyeri disminorea sebelum dilakukan stimulasi kutaneus (slow stroke back massage) Pada Siswi Kelas VII MTS

Variabel demografi dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada tenaga medis dan paramedis di RSIA Mutiara

Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : PT.Bumi Aksara.. Mudrajad Kuncoro,