• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Rendemen dan Karakteristik Distilat CNSL

Produksi distilat CNSL pada suhu 280 °C dan tekanan vakum 2–4 mmHg menghasilkan rendemen distilat CNSL sebesar 62,88%. Sisa

distilasi berupa cairan yang sangat kental dan hampir padat yang dikenal dengan nama residol. Residol masih memiliki nilai ekonomis karena banyak mengandung senyawa kardol (Sanoor Cashew & Adarsh Industry 2003).

Karakteristik distilat CNSL yang dihasilkan memenuhi spesifikasi kardanol komersial produksi Golden Product–India, kecuali kadar airnya (Tabel 5). Kadar air distilat CNSL sebesar 2,55% lebih tinggi dibandingkan dengan spesifikasi kardanol komersial. Kadar air distilat CNSL yang tinggi disebabkan oleh peralatan dekarboksilasi CNSL yang kurang baik. Peralatan dekarboksilasi tersebut tidak menggunakan isolator panas dan terbuka sehingga uap air yang terbentuk sebagian terkondensasi kembali menjadi air karena terjadi penurunan suhu. Dengan demikian ketika proses distilasi CNSL, air tersebut ikut terdistilasi dan bercampur dengan distilat CNSL. Kadar air yang tinggi kurang baik bagi distilat CNSL karena dapat mempercepat kerusakan akibat proses hidrolisis yang akan memperpendek daya simpannya.

Distilat CNSL memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan CNSL (Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa asam anakardat yang merupakan komponen terbesar dalam CNSL telah terkonversi

Tabel 5 Sifat fisiko-kimia CNSL dan distilat CNSL

Karakteristik CNSL Distilat CNSL (kardanol)

Kadanol komersial

Kadar air (%) 4,52 2,55 maks. 0,3

pH 4,02 9,04 –

Bilangan asam 38,57 0,60 maks. 5

Bobot jenis (20 °C) 0,9765 0,9328 0,927–0,933 Indeks bias (20 °C) – 1,5054 1,5050–1,5080 Viskositas (30 °C, mPa.s) 350,84 46,60 35–50 Bilangan hidroksil 195,44 183,81 180–200

Bilangan iod 199,31 255,05 min. 220

menjadi kardanol yang bersifat basa. Menurut Paramashivappa et al. (2001), terkonversinya senyawa asam anakardat menjadi kardanol selama proses dekarboksilasi diakibatkan oleh sifat termolabil gugus karboksil dari asam anakardat. Konversi asam anakardat menjadi kardanol pada proses dekarboksilasi CNSL disajikan pada Gambar 9.

Terkonversinya senyawa asam anakardat menjadi kardanol juga dapat diindikasikan oleh menurunnya bilangan asam. Tabel 5 menunjukkan bilangan asam distilat CNSL (0,6) yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan bilangan asam CNSL (38,57). Nilai bilangan asam yang rendah dalam distilat CNSL sangat baik untuk menghasilkan resin. Menurut Mahanwar dan Kale (1996), distilat CNSL dengan bilangan asam lebih dari 10 kurang sesuai untuk pembuatan resin, karena akan menghasilkan cairan kental dengan kandungan resin yang sangat rendah.

Bobot jenis distilat CNSL lebih rendah dibandingkan dengan CNSL (Tabel 5). Hal tersebut juga berkaitan dengan terkonversinya senyawa asam anakardat menjadi kardanol yang memiliki bobot jenis lebih rendah. Selain itu, penurunan bobot jenis distilat CNSL dapat disebabkan oleh berkurangnya senyawa kardol dan metil kardol dalam distilat CNSL. Bobot jenis asam anakardat dan kardol masing-masing 1,007 dan 0,980 (Aggarwal 1972, diacu dalam Mulyohardjo 1990), sedangkan bobot jenis kardanol komersial 0,927–0,933 (Golden Product 2001).

Indeks bias distilat CNSL (1,5054) relatif sama dengan spesifikasi kardanol komersial (1,5050–1,5080), sehingga diperkirakan komponen

Gambar 9 Mekanisme konversi asam anakardat menjadi kardanol pada proses dekarboksilasi CNSL (Risfaheri 2005)

Kardanol COOH R OH Asam anakardat R OH CO2 + Panas

terbesar di dalam distilat CNSL adalah kardanol. Menurut Ketaren (1986), nilai indeks bias sangat berguna dalam menentukan tingkat kemurnian, panjang rantai karbon, dan ikatan rangkap suatu senyawa. Nilai indeks bias semakin meningkat dengan semakin panjangnya rantai karbon dan semakin banyaknya ikatan rangkap dan pengotor.

Viskositas distilat CNSL (46,6 mPa.s) lebih rendah dibandingkan dengan CNSL (350,84 mPa.s). Tingginya viskositas CNSL dipengaruhi oleh keberadaan senyawa asam anakardat yang dapat membentuk ikatan hidrogen pada gugus karboksilnya (Gambar 10). Menurut Fessenden RJ dan Fessenden JS (1984), molekul asam karboksilat yang saling berikatan hidrogen dapat membentuk dimer asam karboksilat yang akan meningkatkan viskositasnya. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa penurunan nilai viskositas distilat CNSL disebabkan oleh terkonversinya senyawa asam anakardat menjadi kardanol.

Gambar 10 Ikatan hidrogen gugus karboksilat pada asam anakardat

Bilangan hidroksil mengindikasikan jumlah gugus hidroksil yang terdapat di dalam distilat CNSL. Bilangan hidroksil distilat CNSL lebih rendah dibandingkan dengan CNSL (Tabel 5). Penurunan bilangan hidroksil di dalam distilat CNSL juga berkaitan dengan berkurangnya komponen dihidroksi fenol seperti kardol, dan metil kardol. Kardol dan metil kardol memiliki dua gugus hidroksil pada cincin aromatiknya, sedangkan kardanol hanya memiliki satu gugus hidroksil.

Bilangan iod merupakan ukuran untuk mengetahui tingkat ketidakjenuhan suatu senyawa. Bilangan iod distilat CNSL lebih tinggi

Asam anakardat H C O O C O O H (----) Ikatan hidrogen R OH R OH Asam anakardat

dibandingkan dengan CNSL (Tabel 5). Menurut Risfaheri (2005), peningkatan bilangan iod tersebut diduga disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi akibat berkurangnya massa CNSL dengan pelepasan gugus karboksil (COOH) dan air selama proses dekarboksilasi. Selain itu, peningkatan konsentrasi tersebut juga dapat disebabkan oleh berkurangnya bahan terpolimerisasi dalam distilat CNSL. Diketahui bahwa CNSL mengandung bahan terpolimerisasi sekitar 10% (Kumar et al. 2002).

Berdasarkan hasil identifikasi dengan HPLC, terlihat profil kromatogram distilat CNSL (Gambar 11b) memiliki kemiripan dengan kromatogram kardanol standar (Gambar 11a), sehingga dapat dipastikan bahwa distilat CNSL memiliki komponen serupa dengan kardanol standar Profil kromatogram tersebut menunjukkan bahwa distilat CNSL (kardanol) merupakan campuran tiga komponen yang ditunjukkan dengan munculnya tiga peak pada profil kromatogram HPLC–nya. Menurut Tyman dan France

Gambar 11 Profil kromatogram HPLC : (a) Kardanol standar (produk Sigma); dan (b) Distilat CNSL 2 3 4 2 3 4 (a) (b) 5

Peak No. 1. Pelarut

2. 3–[8(Z),11(Z),14–pentadecatrienyl] phenol (triena) 3. 3–[8(Z),11(Z)–pentadecadienyl] phenol (diena) 4. 3–[8(Z)–pentadecenyl] phenol (monoena) 5. tidak diketahui

1 1

(1979), senyawa kardanol merupakan campuran dari bentuk jenuh dan tidak jenuh pada rantai karbon sampingnya pada posisi meta. Ketidakjenuhan pada rantai karbon samping tersebut merupakan campuran dari satu (monoena), dua (diena), dan tiga ikatan rangkap (triena).

Merujuk hasil identifikasi senyawa kardanol dengan HPLC oleh Kumar et al. (2002) dan Risfaheri (2005), dapat diketahui komponen yang muncul pada setiap peak dari distilat CNSL (Tabel 6). Konsentrasi komponen dengan ikatan rangkap triena (42,61%) lebih tinggi dibandingkan dengan ikatan rangkap diena (26,93%) dan monoena (30,46%). Hal tersebut memberikan keuntungan karena kardanol akan lebih mudah diproses dan terpolimerisasi. Ikatan rangkap pada rantai karbon samping tersebut juga menyebabkan kardanol dapat berfungsi sebagai minyak pengering yang sangat diperlukan dalam formulasi vernis.

Tabel 6 Identifikasi komponen kimia distilat CNSL dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography)

Komponen kimia Konsentrasi (%)

Kardanol standar (98%)

3–[8(Z),11(Z),14–pentadecatrienyl] phenol (triena) 3–[8(Z),11(Z)–pentadecadienyl] phenol (diena) 3–[8(Z)–pentadecenyl] phenol (monoena) Tidak diketahui 45,54 24,68 27,96 1,82 Distilat CNSL

3–[8(Z),11(Z),14–pentadecatrienyl] phenol (triena) 3–[8(Z),11(Z)–pentadecadienyl] phenol (diena) 3–[8(Z)–pentadecenyl] phenol (monoena)

42,61 26,93 30,46

Berdasarkan perbandingan total luas area ketiga peak yang muncul pada distilat CNSL dan kardanol standar, maka dapat ditentukan kandungan kardanol dalam distilat CNSL yaitu sebesar 90,24% (Lampiran 4). Distilat CNSL yang dihasilkan masih mengandung komponen lain selain kardanol. Komponen tersebut diduga terdiri atas air, kardol, dan komponen fenolik lainnya. Menurut Kumar et al. (2002), distilasi vakum merupakan metode pemisahan kardanol yang efisien. Kelemahannya yaitu kardanol yang diperoleh dari metode ini masih mengandung senyawa kardol ± 6%.

B. Waktu Reaksi Polimerisasi Kondensasi

Menurut Steven (1989), resin fenolik jenis novolak tidak mengandung gugus reaktif (metilol bebas) sehingga resin ini tidak dapat dikonversi menjadi polimer terikat silang tanpa menambahkan formaldehida tambahan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan bobot molekul pada resin jenis novolak relatif terbatas, sehingga memungkinkan diperoleh viskositas yang konstan. Nilai viskositas resin yang konstan menunjukkan pembentukan produk polimer selama reaksi polimerisasi kondensasi telah berjalan sempurna.

Pengukuran viskositas dilakukan pada konsentrasi resin 80% (dalam pelarut toluen). Data pengukuran viskositas resin disajikan pada Lampiran 5. Grafik hubungan viskositas dengan waktu reaksi polimerisasi kondensasi (Gambar 12a–c), menunjukkan bahwa resin yang diperoleh dari perlakuan dengan pH 2 untuk seluruh nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL tidak dapat menghasilkan viskositas yang konstan. Viskositas resin meningkat terus sampai reaksi polimerisasi kondensasi dihentikan (1,0 jam). Resin yang diperoleh dari waktu reaksi selama 0,75 jam sangat kental (viskositas 5,175–7,848 Pa.s), sedangkan resin yang diperoleh dari waktu reaksi selama 1 jam berbentuk semi padat pada suhu kamar (viskositas 12,027–16,442 Pa.s). Kondisi ini tidak dikehendaki karena kemampuan mengalir resin yang rendah, dan kelarutannya berkurang yang mempersulit penanganan resin selanjutnya. Resin yang diperoleh dari waktu reaksi 0,5 jam (viskositas 2,068–3,721 Pa.s) memiliki kemampuan mengalir yang lebih baik dan lebih mudah ditangani dibandingkan dengan resin dari waktu reaksi 0,75 dan 1 jam. Oleh karena itu, reaksi polimerisasi kondensasi pada pH 2 untuk seluruh nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL cukup dilakukan selama 0,5 jam.

Resin yang diperoleh dari perlakuan dengan pH 3 dan 4 untuk seluruh nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dapat menghasilkan viskositas yang konstan (Gambar 12a–c). Resin ini sangat mudah ditangani dan memiliki kemampuan mengalir yang sangat baik. Waktu reaksi polimerisasi kondensasi yang diperlukan untuk mencapai viskositas resin yang konstan hanya dipengaruhi oleh pH reaksi (Gambar 12a–c). Waktu reaksi polimerisasi

kondensasi yang optimal (viskositas resin konstan) pada perlakuan dengan pH 3 dicapai setelah reaksi berlangsung selama 2 jam, sedangkan pada pH 4 dicapai setelah reaksi berlangsung selama 3 jam untuk seluruh nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL.

Pada pembuatan resin novolak berbasis distilat CNSL khususnya pada pH rendah (pH 2), viskositas resin yang konstan tidak dapat dicapai walaupun

0 3 6 9 12 0 1 2 3 4

Gambar 12 Hubungan viskositas resin dengan waktu reaksi polimerisasi kondensasi pada berbagai nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL (a = 0,7 : 1; b = 0,8 : 1; c = 0,9 : 1) dan pH reaksi

V is k o si ta s r esi n ( P a. s)

Waktu reaksi kondensasi (jam)

pH 2 pH 3 pH 4 (c) 0 3 6 9 12 0 1 2 3 4 V is k o si ta s r esi n ( P a. s) pH 2 pH 3 pH 4 (b)

Waktu reaksi kondensasi (jam)

0 3 6 9 12 0 1 2 3 4 V is k o si ta s r esi n ( P a. s)

Waktu reaksi kondensasi (jam)

pH 2

pH 3

pH 4

resin ini tidak mengandung gugus metilol bebas. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya reaktivitas kardanol pada pH yang rendah. Peningkatan

reaktivitas ini diduga muncul akibat struktur molekul kardanol yang memiliki ikatan rangkap pada rantai karbon sampingnya. Dengan demikian, reaksi polimerisasi yang terjadi pada pH 2 tidak hanya melibatkan polimerisasi kondensasi melalui pembentukan ikatan metilen tetapi juga polimerisasi melalui ikatan rangkap pada rantai karbon samping kardanol. Hasil penelitian Manjula et al. (1992), memperlihatkan bahwa kardanol dapat berpolimerisasi melalui ikatan rangkap pada rantai karbon sampingnya membentuk dimer, trimer, tetramer, dst. pada penggunaan katalis asam dengan tingkat keasaman yang tinggi. Oleh karena itu, adanya polimerisasi melalui ikatan rangkap pada rantai karbon samping kardanol menyebabkan bobot molekul resin meningkat terus sehingga tidak dapat diperoleh viskositas resin yang konstan.

Pada pH reaksi yang lebih tinggi (pH 3–4), kardanol kurang reaktif sehingga polimerisasi sebagian besar terjadi melalui pembentukan ikatan metilen dan kurang melibatkan polimerisasi melalui ikatan rangkap pada rantai karbon samping kardanol. Hal ini menyebabkan viskositas resin yang dihasilkan lebih rendah, dan viskositas yang konstan dapat dicapai.

C. Pembuatan Resin Fenolik dari Distilat CNSL 1. Waktu Reaksi Metilolasi

Formaldehida merupakan pereaksi yang memiliki kontribusi terhadap pembentukan ikatan metilen untuk menghasilkan resin fenolik. Dengan demikian, sifat akhir resin fenolik sangat dipengaruhi oleh kesempurnaan reaksi metilolasi. Waktu reaksi metilolasi dapat dideteksi dengan mengukur konsentrasi formaldehida yang tidak bereaksi (bebas). Konsentrasi formaldehida bebas yang rendah dalam medium reaksi menunjukkan kesempurnaan reaksi metilolasi.

Waktu reaksi metilolasi dari setiap perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dan pH reaksi memberikan respon yang berbeda. Waktu reaksi metilolasi yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi formaldehida

• 0,5% pada akhir reaksi berkisar antara 1,5–11,5 jam dengan rata-rata 5,9 jam (Lampiran 6). Konsentrasi formaldehida pada akhir reaksi metilolasi berkisar antara 0,35–0,43% (Lampiran 6).

Hasil analisis keragaman (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu reaksi metilolasi (á = 0,05). Gambar 13, memperlihatkan bahwa waktu reaksi metilolasi semakin cepat dengan semakin rendahnya nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semakin cepatnya waktu reaksi tersebut nyata perbedaannya pada ketiga perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL. Berdasarkan hal tersebut maka waktu reaksi metilolasi yang paling cepat diperoleh pada perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL 0,7 : 1, yang kemudian diikuti oleh nisbah mol 0,8 : 1 dan 0,9 : 1.

Pengaruh nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL terhadap waktu reaksi metilolasi berkaitan dengan jumlah formaldehida yang tersedia dalam setiap nisbah mol yang digunakan. Mengacu pada mekanisme reaksi metilolasi fenol dengan formaldehida (Gambar 4), dapat dipahami bahwa waktu reaksi metilolasi dipengaruhi oleh jumlah formaldehida karena senyawa formaldehida merupakan pereaksi yang bertindak sebagai elektrofil dalam

0 3 6 9 12 0,7 : 1 0,8 : 1 0,9 : 1 W ak tu r ea k si m e til o la si ( ja m ) pH 2 pH 3 pH 4

Nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL

Gambar 13 Pengaruh nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dan pH reaksi terhadap waktu reaksi metilolasi

reaksi tersebut. Semakin rendah nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL maka jumlah elektrofil yang akan bereaksi dengan kardanol untuk membentuk kompleks teraktifkan dan kemudian metilol kardanol semakin sedikit sehingga reaksi metilolasi memerlukan waktu yang lebih cepat. Menurut Swaraj (1985), reaksi penyerangan elektrofil untuk membentuk kompleks teraktifkan merupakan tahapan reaksi yang paling lambat, sehingga tahap ini merupakan penentu laju reaksi metilolasi.

Hasil analisis keragaman (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan pH reaksi memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu reaksi metilolasi (á = 0,05). Gambar 13, memperlihatkan bahwa waktu reaksi metilolasi semakin cepat dengan semakin rendahnya pH reaksi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semakin cepatnya waktu reaksi tersebut nyata perbedaannya pada ketiga perlakuan pH reaksi yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut maka waktu reaksi metilolasi yang paling cepat diperoleh pada pH 2, yang kemudian diikuti oleh pH 3 dan 4.

Pengaruh pH terhadap waktu reaksi metilolasi berkaitan dengan penggunaan asam sulfat sebagai katalis. Nilai pH merupakan negatif logaritma dari konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam medium reaksi. Semakin banyak jumlah katalis yang ditambahkan maka nilai pH reaksi semakin rendah karena konsentrasi ion H+ dalam medium reaksi meningkat. Mengacu pada mekanisme reaksi metilolasi (Gambar 4), dapat dilihat bahwa ion H+ memiliki peranan penting dalam reaksi tersebut. Menurut Swaraj (1985), laju reaksi metilolasi sebanding dengan konsentrasi ion H+ sehingga meningkatnya konsentrasi ion H+ dalam medium reaksi akan mempercepat waktu reaksi. Konsentrasi ion H+ yang tinggi dalam medium reaksi menyebabkan jumlah formaldehida yang teraktifkan semakin banyak sehingga pembentukan kompleks teraktifkan dan kemudian metilol kardanol semakin cepat.

Penelitian Malhota dan Avinash (1976), menunjukkan bahwa energi aktivasi semakin menurun dengan semakin rendahnya pH reaksi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu reaksi dapat berlangsung lebih cepat pada pH yang rendah. Menurut Sastrohamidjojo (2001), reaksi yang memiliki energi aktivasi yang rendah dapat berjalan lebih cepat karena banyaknya partikel pereaksi

yang memiliki cukup energi kinetik untuk mengatasi energi aktivasi. Menurunnya energi aktivasi pada pH rendah kemungkinan dipengaruhi oleh konsentrasi ion H+ dalam medium reaksi.

Interaksi perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dan pH reaksi memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu reaksi metilolasi (á = 0,05) (L ampiran 6). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa waktu reaksi metilolasi paling cepat diperoleh pada perlakuan nisbah mol 0,7 : 1 dengan pH 2, sedangkan yang paling lambat pada perlakuan nisbah mol 0,9 : 1 dengan pH 4. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa pada penggunaan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dan pH reaksi yang masing-masing rendah maka waktu reaksi metilolasi akan berlangsung lebih cepat.

2. Kadar Padatan Resin

Kontribusi terbesar bahan berupa padatan (bahan tidak menguap) dalam vernis diperoleh dari resin. Kadar padatan dalam vernis selain berpengaruh pada viskositas, juga sangat berpengaruh pada kemampuan daya tutup dan kilap film vernis. Persyaratan kadar bahan menguap dalam standar mutu vernis maksimum 65% (SNI No. 06–1009–1989), sehingga kadar padatannya minimum 35%. Kadar padatan dalam vernis dapat diatur sesuai keinginan dengan menambahkan atau mengurangi jumlah pelarut.

Kadar padatan resin yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 87,55–96,58% dengan rata-rata 92,68% (Lampiran 7). Kadar padatan yang tinggi dalam resin dapat memberikan keuntungan karena produk vernis yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan resin yang memiliki kadar padatan rendah. Namun demikian, kadar padatan resin yang terlalu tinggi menyebabkan resin terlalu kental yang akan mempersulit penanganan resin.

Hasil analisis keragaman (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar padatan resin (á = 0,05). K adar padatan resin semakin meningkat dengan semakin tingginya nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL (Gambar 14). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa peningkatan kadar padatan resin tersebut nyata perbedaannya pada ketiga perlakuan nisbah

mol formaldehida dengan distilat CNSL yang digunakan, dengan kadar padatan resin tertinggi diperoleh pada perlakuan nisbah mol 0,9 : 1 sedangkan yang terendah pada perlakuan 0,7 : 1.

Formaldehida merupakan pereaksi yang memiliki kontribusi terhadap pembentukan ikatan metilen untuk menghasilkan resin fenolik. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah formaldehida dalam setiap nisbah mol yang digunakan maka derajat polimerisasi resin yang dihasilkan semakin meningkat. Meningkatnya derajat polimerisasi resin akan meningkatkan kadar padatan, karena komponen terpolimerisasi ini akan menjadi bahan tidak menguap dalam resin. Molekul resin yang terbentuk pada nisbah mol yang tinggi akan memiliki rantai lebih panjang dan bobot molekul yang lebih tinggi. Menurut Pizzi (1983), resin novolak merupakan polimer linier dengan derajat polimerisasi antara 2–10 cincin aromatik tergantung nisbah mol formaldehida dengan fenol. Dalam resin fenol formaldehida, meningkatnya nisbah mol formaldehida dengan fenol dari 0,2 : 1 sampai 0,9 : 1 akan meningkatkan bobot molekul dari 250 sampai 1000 (Steven 2001).

Hasil analisis keragaman (Lampiran 7) menunjukkan bahwa pH reaksi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar padatan resin (á = 0,05). Kadar padatan resin semakin meningkat dengan semakin rendahnya pH reaksi (Gambar 14). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa peningkatan kadar

80 85 90 95 100 0,7 : 1 0,8 : 1 0,9 : 1

Nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL

K ad ar p ad at an r es in ( % ) pH 2 pH 3 pH 4

Gambar 14 Pengaruh nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dan pH reaksi terhadap kadar padatan resin

padatan resin tersebut nyata perbedaannya pada ketiga perlakuan pH yang digunakan, dengan kadar padatan resin tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan pH 2 sedangkan yang terendah pada pH 4. Kadar padatan resin yang dihasilkan dari pH 2 terlalu tinggi. Kondisi tersebut tidak dikehendaki karena resin terlalu kental yang mempersulit penanganan resin.

Mekanisme pembentukan resin dari distilat CNSL berbeda tergantung pH reaksi yang digunakan. Seperti telah dijelaskan terdahulu, reaksi polimerisasi pada pH yang rendah (pH 2) tidak hanya melibatkan polimerisasi kondensasi melalui pembentukan ikatan metilen tetapi juga polimerisasi melalui ikatan rangkap pada rantai karbon samping kardanol. Hal ini menyebabkan struktur kimia resin menjadi semakin kompleks dan bobot molekul semakin meningkat yang akan meningkatkan kadar padatannya.

Adanya polimerisasi melalui rantai samping kardanol pada pH 2 semakin nyata ditunjukkan pada Gambar 14, dimana kadar padatan resin yang dihasilkan dari nisbah mol yang rendah (0,7 : 1 dan 0,8 : 1) tidak jauh berbeda dengan kadar padatan resin dari nisbah mol 0,9 : 1. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua kardanol bereaksi membentuk molekul resin, walaupun pada nisbah mol yang rendah ketersediaan formaldehida sebagai pembentuk ikatan metilen lebih sedikit.

Interaksi antara perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dan pH reaksi memberikan pengaruh nyata terhadap kadar padatan

resin (á = 0,05) (L ampiran 7). Gambar 14, memperlihatkan bahwa dengan

meningkatkan pH reaksi untuk seluruh nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL maka kadar padatan resin dapat diturunkan.

3. Sifat Film Resin a. Waktu Kering

Waktu kering merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui kecepatan pengeringan lapisan film resin. Proses pengeringan lapisan film resin berbasis distilat CNSL sangat ditentukan oleh reaksi polimerisasi oksidatif antara ikatan rangkap pada rantai karbon samping kardanol dengan

adanya oksigen dan bahan pengering. Adanya ikatan rangkap yang dimiliki kardanol tersebut menyebabkan resin ini dapat berfungsi sebagai minyak pengering dan sangat sesuai digunakan sebagai vernis tipe air drying.

Waktu kering sentuh lapisan film resin berkisar antara 2,5–11,0 jam dengan rata-rata 5,8 jam, sedangkan waktu kering keras berkisar antara 5,5–22,0 jam dengan rata-rata 12,4 jam (Lampiran 8). Waktu kering lapisan film resin yang memenuhi standar mutu vernis diperoleh dari perlakuan dengan pH 2 pada nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL 0,8 : 1 dan 0,9 : 1 serta pada pH 3 dengan nisbah mol 0,9 : 1.

Hasil analisis keragaman (Lampiran 8) menunjukkan bahwa nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL memberikan pengaruh yang nyata

terhadap waktu kering sentuh dan kering keras lapisan film resin (á = 0,05).

Gambar 15a–b, memperlihatkan bahwa waktu kering sentuh dan kering keras lapisan film resin semakin cepat dengan semakin tingginya nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semakin cepatnya kedua waktu kering tersebut nyata perbedaannya pada ketiga perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL. Waktu kering sentuh dan kering keras paling cepat diperoleh pada perlakuan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL 0,9 : 1, sedangkan yang paling lambat pada nisbah mol 0,7 : 1.

Bobot molekul resin sangat mempengaruhi waktu pengeringan lapisan film. Menurut Pilernand et al. (2003), resin yang memiliki bobot molekul tinggi memerlukan waktu pengeringan lapisan film yang lebih singkat. Hal ini disebabkan oleh semakin sedikitnya ikatan silang (crosslink) yang diperlukan untuk membentuk lapisan film yang koheren. Ikatan silang untuk membentuk lapisan film pada resin dari distilat CNSL diperoleh dari reaksi polimerisasi oksidatif pada ikatan rangkap kardanol. Berdasarkan hal tersebut, semakin cepatnya waktu kering pada nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL yang tinggi disebabkan oleh semakin meningkatnya bobot molekul resin. Peningkatan bobot molekul resin pada nisbah mol yang tinggi dapat diindikasikan oleh semakin meningkatnya viskositas resin (Gambar 12a–c) dan kadar padatannya (Gambar 14).

Tingginya kandungan monomer/dimer kardanol dalam resin diduga akan memperlambat waktu pengeringan lapisan film resin karena bobot molekul monomer/dimer yang rendah. Waktu kering lapisan film resin yang lama (rata-rata waktu kering sentuh 8,0 jam dan kering keras 16,7 jam)

Dokumen terkait