• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. CNSL (Cashew Nut Shell Liquid)

CNSL merupakan cairan kental berwarna coklat tua yang diperoleh dari ekstraksi kulit gelondong mete. CNSL dalam kulit mete terdapat pada lapisan mesokarp, yaitu lapisan tengah yang berstruktur seperti sarang lebah yang berfungsi memberikan perlindungan pada kernel dari gangguan serangga (Nair et al. 1979). Struktur penampang kulit gelondong mete disajikan pada Gambar 1.

Komponen penyusun CNSL terdiri atas asam anakardat, kardol, kardanol, dan metil kardol (Mahanwar & Kale 1996). Struktur kimia senyawa penyusun CNSL disajikan pada Gambar 2. Komponen CNSL tersebut berbeda pada ikatan rantai C15, yaitu ikatan jenuh, monoena, diena, dan triena (Tyman & France 1979).

Metode ekstraksi yang banyak digunakan adalah pengempaan, penggorengan (roasting), dan ekstraksi dengan pelarut. Komposisi kimia CNSL yang dihasilkan berbeda tergantung cara ekstraksi yang digunakan. Proses dingin (cold-process) umumnya dilakukan dengan ekstraksi pelarut, menghasilkan CNSL dengan komponen utama asam anakardat 60–65%, kardol 15–20%, kardanol 10%, dan sedikit metil kardol. Proses panas

Buah jambu mete Buah semu K e rn e l M e so k a rp E p ik a rp E n d o k a rp Catatan :

Kulit gelondong mete : kacang mete (60 : 40)

Gelondong mete

Gambar 1 Struktur penampang kulit gelondong mete Gelondong mete

(hot-process) umumnya dilakukan dengan cara roasting, menghasilkan CNSL dengan komponen utama kardanol 60–65%, kardol 15–20%, bahan terpolimerisasi 10% dan sedikit metil kardol (Kumar et al. 2002). Pada proses panas asam anakardat mengalami proses dekarboksilasi menjadi kardanol, hal tersebut disebabkan oleh sifat termolabil gugus karboksil dari asam anakardat (Paramashivappa et al. 2001). Rendemen CNSL berkisar antara 18–23% dari kulit gelondong mete tergantung metode ekstraksi. Sifat fisiko-kimia CNSL dari berbagai metode ekstraksi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Sifat fisiko-kimia CNSL dari berbagai metode ekstraksi

Proses dingin Karakteristik Proses panas

(roasting) Ekstraksi

pelarut Pengempaan Bobot jenis spesifik

pada 25°C

0,92–0,96 0,97–1,013 0,9668–1,013 Indeks bias pada 25°C 1,5052 1,5158 1,5158 ‡‡

Bilangan asam 5–14 94–107 94–107 Bilangan penyabunan 18–30 106–118 106–119 Bilangan iod 200–290 270–330 270–296 Ramaiah (1976); 26°C; ‡‡ 41,5°C OH COOH C15H31-n Asam anakardat OH C15H31-n OH Kardol OH C15H31-n

Kardanol 2–metil kardol

OH H2C

C15H31-n

OH

Gambar 2 Struktur kimia komponen penyusun CNSL dengan n = 0, 2, 4, 6 (Mahanwar & Kale 1996)

B. Distilat CNSL (Kardanol)

Distilat CNSL merupakan cairan yang diperoleh dari hasil distilasi CNSL. Distilasi tersebut bertujuan memisahkan senyawa kardanol dari komponen penyusun CNSL yang lainnya. Kardanol merupakan komponen monohidroksi fenol (monohydric) yang mempunyai rantai hidrokarbon (C15H31-n) pada posisi meta.

Kardanol dapat dipisahkan dari kardol dengan cara distilasi. Menurut Risfaheri (2005), kardanol dapat diperoleh dengan cara dekarboksilasi CNSL pada suhu 180 °C selama 1 jam, kemudian didistilasi vakum pada suhu 280 °C. Menurut Bhunia et al. (1998), pemisahan kardanol dengan cara

distilasi vakum dilakukan pada tekanan 5–10 mmHg dengan suhu 180–240 °C. Tahap awal adalah proses dekarboksilasi dengan pemanasan

CNSL pada suhu 170–180 °C selama 2 jam pada kondisi vakum, sehingga asam anakardat berubah menjadi kardanol. Setelah pembentukan CO2 berhenti, suhu ditingkatkan mencapai 230–240 °C. Distilat yang dihasilkan berwarna kuning terang sekitar 65% lebih dan sisanya berupa cairan kental yang berwarna hitam (residol). Distilat CNSL umumnya masih mengandung senyawa kardol sekitar 6% (Kumar et al. 2002). Spesifikasi kardanol komersial disajikan pada Tabel 2.

Menurut Kumar et al. (2002), kardanol dapat dipisahkan dari kardol dengan cara ekstraksi pelarut. CNSL dilarutkan dalam campuran metanol dan ammonium hidroksida dengan perbandingan methanol dan ammonium

Tabel 2 Spesifikasi kardanol komersial

Karakteristik Nilai

Kadar air (%), maks. 0,3

Bobot jenis spesifik pada 20 °C 0,927–0,933

Indeks bias pada 20 °C 1,5050–1,5080

Bilangan asam, maks. 5

Bilangan iod, min. 220

Bilangan hidoksil 180–200

Viskositas pada 30 °C (mPa.s), Brookfield 35–50

Bobot molekul 300

hidroksida 8 : 5. Larutan ini kemudian diekstraksi dengan heksana untuk memperoleh kardanol. Kardanol yang dihasilkan dari proses ini sekitar 65%, dan memerlukan perlakuan arang aktif untuk menghilangkan warna pengotor. Senyawa kardanol (Gambar 3) merupakan campuran dari bentuk jenuh dan tidak jenuh pada rantai karbon sampingnya. Ketidakjenuhan pada rantai karbon samping kardanol merupakan campuran dari satu (monoena), dua (diena), dan tiga ikatan rangkap (triena) dengan komposisinya berturut-turut 31,97%, 16,12%, dan 47,97%, sedangkan ikatan jenuh 3,94% (Tyman & France 1979).

Struktur kimia kardanol yang memiliki ikatan tidak jenuh pada rantai karbon sampingnya mengakibatkan senyawa kardanol dapat dengan mudah mengalami polimerisasi. Bentuk struktur itu juga memberikan sifat baking dan pengeringan bertahap (gradual drying) yang cukup baik sehingga banyak digunakan dalam produk pelapis permukaan. Selain itu, lapisan film memiliki sifat insulasi, daya lentur serta ketahanan terhadap air dan bahan kimia yang baik (Sanoor Cashew & Adarsh Industry 2003). Rantai karbon samping kardanol juga dapat meningkatkan kelarutan produk kondensasi kardanol aldehida di dalam minyak pengering seperti linseed oil, tung oil, dan dehydrated castor oil (minyak jarak dehidrasi).

C. Resin Fenolik

Resin fenolik merupakan produk polimer yang dibentuk dari reaksi resinifikasi (polimerisasi kondensasi) antara senyawa fenol dengan aldehida. Dalam hal ini fenol bereaksi dengan aldehida menghasilkan produk polimer

n = 0 n = 4 C15H31-n n = 2 n = 6 OH

Gambar 3 Struktur kardanol dan rantai karbon sampingnya C15H31-n

dengan membebaskan air atau senyawa lain yang lebih sederhana. Formaldehida merupakan aldehida yang banyak digunakan karena memiliki kereaktifan yang tinggi dan harganya relatif murah.

Reaksi resinifikasi antara fenol dengan formaldehida dikatalis oleh asam atau basa, dan hasil yang terbentuk tergantung pada jenis katalis dan nisbah mol formaldehida terhadap fenol (Cowd 1991). Menurut

Tobiason (1990), keragaman resin fenolik yang dihasilkan tergantung pada : 1) pemilihan senyawa fenol, 2) nisbah mol formaldehida terhadap fenol, 3) pH

(jenis dan konsentrasi katalis), serta 4) suhu dan waktu reaksi. Produk resin fenolik yang dihasilkan dari berbagai nisbah mol formaldehida terhadap fenol ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Produk resin fenolik yang dihasilkan dari berbagai nisbah mol formaldehida dengan fenol

Nisbah mol formaldehida

dengan fenol Produk resin fenolik

0,5 : 1 Dimer

1 : 1 Polimer dengan ikatan silang pendek 2 : 1 Polimer dengan ikatan silang

3 : 1 Polimer dengan ikatan silang yang sangat banyak (terlalu reaktif untuk digunakan sebagai pelapis permukaan)

OCCA (1983)

Menurut Cowd (1991), katalis basa digunakan pada nisbah mol formaldehida dengan fenol lebih dari 1 : 1 (formaldehida berlebih). Metilol fenol saling berkondensasi membentuk senyawa rantai pendek yang disebut resin resol. Resin ini sangat reaktif terhadap panas sehingga mudah mengeras bila dipanaskan dan akhirnya berubah menjadi insoluble gel. Katalis asam digunakan pada nisbah mol formaldehida dengan fenol kurang dari 1 : 1 (fenol berlebih). Hasilnya diperoleh resin novolak yang bersifat dapat larut dan fleksibel. Novolak kurang reaktif terhadap panas sehingga resin ini tidak mengeras oleh panas.

Perbedaan antara proses yang menggunakan katalis basa dan asam menurut Pizzi (1983) terletak pada : 1) perbedaan derajat penyerangan aldehida pada fenol, 2) polimerisasi kondensasi metilol fenol lebih lanjut, dan

3) pada reaksi polimerisasi kondensasi alami, katalis asam akan membentuk metilol fenol secara perlahan. Menurut Steven (1989), perbedaan antara resin novolak dan resol adalah bahwa resin novolak tidak mengandung gugus reaktif (metilol bebas) sehingga tidak bisa dikonversi menjadi polimer terikat silang hanya dengan pemanasan. Proses ikat silang pada resin novolak dilakukan dengan menambahkan formaldehida tambahan.

Resin fenolik banyak digunakan dalam produk pelapis permukaan seperti vernis, cat dan enamel. Resin novolak digunakan dalam pelapis permukaan tipe air drying (proses pengeringan film melalui mekanisme polimerisasi oksidatif), sedangkan resol digunakan dalam pelapis permukaan tipe baking (proses pengeringan dengan pemanasan) (Swern 1979). Menurut OCCA (1983), nisbah mol formaldehida terhadap fenol untuk produk pelapis permukaan berkisar antara 0,75–2,0 : 1.

Resin fenolik diperoleh melalui dua tahapan, yaitu reaksi metilolasi dan reaksi polimerisasi kondensasi. Mekanisme reaksi metilolasi dalam pembentukan metilol fenol dengan katalis asam disajikan pada Gambar 4. Menurut Swaraj (1985), reaksi metilolasi fenol dengan formaldehida diawali dengan protonasi gugus karbonil pada formaldehida oleh kehadiran ion hidrogen (H+). Formaldehida berproton aktif bertindak sebagai elektrofil, yang kemudian akan menyerang posisi orto atau para dalam fenol melalui reaksi substitusi aromatik elektrofilik untuk membentuk kompleks teraktifkan

C H H O + H+ H C H + OH H C+ H OH

Gambar 4 Mekanisme reaksi pembentukan metilol fenol (Swaraj 1985)

CH2OH OH C+ H H OH + H + OH metilol fenol + OH H + Kompleks teraktifkan CH2OH

(hidroksimetilen karbonium). Kompleks teraktifkan kemudian terpecah dengan membebaskan ion H+ membentuk metilol fenol atau fenol alkohol.

Pembentukan resin fenolik jenis novolak disajikan pada Gambar 5. Selama reaksi metilolasi secara bersamaan terjadi pula reaksi polimerisasi kondensasi antara metilol fenol dengan fenol atau dengan metilol fenol lainnya membentuk dimer (di–fenil metana) (Gambar 5a). Resin dimer merupakan produk intermediet dalam resin novolak (Pizzi 1983). Reaksi metilolasi dalam pembentukan resin novolak umumnya dilakukan dengan pemanasan pada suhu 90–100 °C (Tobiason 1990).

Polimerisasi antara metilol fenol dengan fenol atau dengan metilol fenol lainnya selama reaksi metilolasi terbatas hanya sampai bentuk dimer (OCCA 1983). Peningkatan bobot molekul resin (Gambar 5b) dilakukan

metilol fenol CH2OH OH OH CH2OH OH + CH2O atau

resin fenolik (jenis novolak) OH

OH OH OH

CH2

CH2 CH2

...….. ( b)

Gambar 5 Jalur reaksi pembentukan resin fenolik jenis novolak (Pizzi 1983) OH OH CH2OH CH2 dimer + OH CH2OH dimer CH2 OH OH OH + OH CH2OH ... (a) + H2O + H2O

dengan reaksi polimerisasi kondensasi melalui penghilangan air baik yang berasal dari formaldehida maupun yang terbentuk dari hasil reaksi. Penghilangan air penting artinya agar dapat terbentuk massa polimer yang lebih tinggi (Oldring et al. 1987; Cowd 1991). Penghilangan air dapat dilakukan dengan pemanasan pada tekanan atmosfir atau vakum. Resin novolak rata-rata memiliki 2–10 cincin aromatik yang dihubungkan dengan ikatan metilen para-para, orto-orto, dan orto-para yang acak.

Berbagai jenis katalis asam dapat digunakan untuk pembentukan resin novolak baik asam mineral seperti asam sulfat, asam klorida, dan asam fosfat maupun asam organik seperti asam oksalat, asam para toluensulfonat, dan asam susinat (Pizzi 1983). Konsentrasi katalis yang biasa digunakan berkisar 1–6%. Menurut Steven (1989), pada kondisi asam yang kuat (pH < 3) posisi para dalam cincin aromatik lebih reaktif sehingga reaksi polimerisasi kondensasi yang menghasilkan ikatan orto-orto jarang terjadi, sedangkan pada pH yang lebih tinggi polimerisasi kondensasi antara posisi orto lebih dominan. Resin fenolik dari distilat CNSL merupakan resin fenolik yang dihasilkan dari reaksi distilat CNSL (kardanol) dengan formaldehida. Reaksi kardanol dengan formaldehida menyerupai reaksi fenol dengan formaldehida yang menghasilkan resin termoset (resol) dan termoplastik (novolak) tergantung jenis katalis dan nisbah mol formaldehida terhadap distilat CNSL (Rishabh Group 2001).

Menurut Mahanwar dan Kale (1996), kardanol merupakan sumber fenol alami yang memiliki rantai karbon samping tidak jenuh, sehingga memungkinkan reaksi tidak hanya terjadi pada cincin aromatiknya tetapi juga pada rantai karbon samping. Kardanol dapat bereaksi dengan metilen aktif seperti formaldehida dan heksametilen tetramin melalui gugus hidroksil dan dapat mengalami polimerisasi adisi melalui rantai karbon samping tidak jenuhnya. Dengan demikian, penggunaan kardanol memungkinkan terbentuknya resin fenolik dengan struktur yang lebih kompleks. Resin fenolik dari kardanol memiliki kelarutan yang baik di dalam minyak pengering, pelarut alifatik dan aromatik. Lapisan film resin ini memiliki kelenturan serta ketahanan yang baik terhadap air, asam, dan alkali (Rishabh Group 2001).

D. Vernis

Vernis merupakan campuran homogen satu jenis resin atau lebih (resin sintetik atau alami) dengan minyak pengering, bahan pengering dan pelarut. Vernis berfungsi sebagai pelapis permukaan baik sebagai pelindung maupun dekoratif (Marten 1983). Vernis tidak mengandung pigmen sehingga merupakan pelapis permukaan yang transparan.

Menurut Praptowidodo dan Mu’min (1984), bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi vernis dan fungsi bahan tersebut yaitu : (1) resin berfungsi memperbaiki kekerasan dan kilap film disamping mempercepat pengeringan dan meningkatkan daya lekat; (2) minyak pengering berfungsi sebagai material utama pembentuk film, memberikan kelenturan, dan daya tahan terhadap cuaca; (3) bahan pengering merupakan katalis logam yang digunakan dalam jumlah kecil dan berfungsi untuk meningkatkan laju pengeringan lapisan film; (4) pelarut (thinner) berfungsi untuk mengurangi viskositas agar aplikasi mudah dilakukan; dan (5) bahan-bahan aditif seperti anti skinning dan ultra violet screening agent yang berfungsi untuk meningkatkan mutu vernis.

Jenis minyak pengering dan resin serta perbandingan antara kedua bahan tersebut merupakan faktor yang menentukan sifat vernis. Pemilihan jenis minyak pengering dan resin tergantung kesesuaian antara kedua bahan tersebut serta tujuan penggunaan vernis (Marten 1983; Marino 2003).

Berdasarkan nilai oil length, vernis dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu vernis short oil, vernis medium oil, dan vernis long oil. Vernis short oil mengandung < 20 galon minyak, vernis medium oil mengandung 20–30 galon minyak, dan vernis long oil mengandung > 30 galon minyak dalam setiap 100 pound resin (Marten 1983). Vernis short oil memiliki sifat mengering yang lebih cepat dengan sifat film yang lebih keras tetapi rapuh (brittle), sedangkan vernis long oil memiliki sifat mengering yang lebih lambat dengan sifat film yang lebih lentur (Marten 1983; Marino 2003).

Vernis short oil banyak digunakan untuk pemakaian di dalam (interior) yang umumnya memerlukan kekerasan dan ketahanan terhadap bahan kimia.

Vernis medium oil merupakan vernis yang dapat digunakan untuk berbagai kegunaan (general purpose). Menurut Marino (2003), vernis untuk pemakaian di luar (ekterior) paling baik menggunakan formulasi long oil karena pengaruh dari minyak pengering yang memberikan kelenturan dan ketahanan terhadap cuaca. Vernis eksterior harus memiliki daya tahan yang baik terhadap cuaca, sehingga unsur-unsur dalam vernis harus dapat bertahan terhadap kegagalan karena keretakan, pengelupasan, timbulnya noda (bintik-bintik), penguningan, dan kehilangan kilap.

Standar mutu vernis telah disusun oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Standar mutu untuk vernis kayu (SNI No. 06–1009–1989) disajikan pada Tabel 4. Standar mutu vernis tersebut mengklasifikasikan dua jenis vernis berdasarkan penggunaannya yaitu : 1) vernis untuk pemakaian di luar dan di dalam (tipe A), dan 2) vernis untuk pemakaian di dalam (tipe B).

Tabel 4 Standar mutu vernis SNI No. 06–1009–1989

Persyaratan Syarat Mutu

Tipe A Tipe B

Kadar bahan menguap (%), maks. 65 65

Bobot jenis pada 28-30 °C (g/ml), min. 0,88 0,88 Waktu kering pada 28-30 °C (jam), maks.

- Kering semu - Kering keras 3 6 3 6

Titik nyala (°C ), min. 23 23

Kekentalan pada 28-30 °C (cps), min. 40 40 Kilap setelah 20 hari, dilakukan

pengukuran di luar (%), min. 50 18

BSN (1989)

E. Mekanisme Pengeringan Vernis Tipe Air Drying

Proses pengeringan vernis tipe air drying disebabkan oleh penguapan pelarut yang diikuti oleh polimerisasi oksidatif minyak pengering/resin. Sejumlah reaksi kimia yang berlainan tercakup di dalam polimerisasi oksidatif (polimerisasi yang bergantung pada hadirnya oksigen atmosferik) seperti disajikan pada Gambar 6.

Tahap awal adalah periode induksi, dimana minyak pengering setelah dioleskan dan membentuk suatu lapisan tipis dan dihadapkan ke udara tidak ada perubahan yang berarti. Pada periode ini, reaksi yang terjadi belum terdeteksi dan tidak terjadi perubahan sifat fisik dan kimia minyak (Swern 1979; Ketaren 1986). Minyak pengering tetap basah dan viskositasnya rendah. Selama periode induksi film basah mulai menyerap oksigen yang terdapat di dalam minyak pengering dan teroksidasi (Swern 1979). Periode induksi sangat bervariasi tergantung pada jenis minyak pengering, kondisi pengeringan, dan kandungan bahan pengering.

Oksigen memasuki film basah karena adanya ikatan tidak jenuh pada minyak dan membentuk peroksida/hidroperoksida. Selama pembentukan peroksida dan hidroperoksida terjadi sedikit polimerisasi dan pertambahan viskositas (Gambar 6). Pada tahapan ini diyakini banyaknya terjadi pergeseran ikatan rangkap dari posisi tak terkonyugasi menjadi posisi terkonyugasi yang dapat mempercepat proses pengeringan (Swern 1979; Pilernand et al. 2003).

Setelah waktu tertentu, tergantung pada kondisi pengeringan dan kandungan bahan pengering, maka peroksida/hidroperoksida mencapai maksimum dan

mulai turun, meskipun kandungan oksigen dalam film tetap meningkat karena reaksi-reaksi penyerapan oksigen lainnya. Pada saat yang bersamaan,

Periode Pembentukan Dekomposisi Polimerisasi

induksi peroksida peroksida Degradasi absorpsi oksigen Oksigen dalam minyak Peroksida Viskositas Waktu (jam)

polimerisasi semakin meningkat yang ditandai dengan semakin meningkatnya viskositas sampai terbentuk lapisan film yang kering dan sinambung.

Polimerisasi oksidatif minyak pengering dihasilkan akibat pembentukan radikal bebas ketika peroksida/hidroperoksida berdekomposisi menghasilkan air, CO2, dan produk-produk volatil lainnya (Swern 1979). Radikal-radikal bebas pada molekul minyak yang berdekatan saling bereaksi membentuk ikatan silang sehingga terbentuk lapisan film yang kering dan sinambung. Tipe ikatan silang yang terbentuk berbeda-beda tergantung pada tipe radikal bebas pada molekul minyak yang saling bereaksi (Gambar 7).

Inisiasi : RH + O2 R + OOH Propagasi : R + O2 ROO + RH ROO ROOH + R Terminasi

(ikat silang) : ROO + R ROO + ROO R + R

ROOR ROOR + O2 R R

Gambar 7 Mekanisme polimerisasi oksidatif (Pilernand et al. 2003)

F. Kinetika Reaksi

Pengertian mengenai kinetika reaksi kimia meliputi kecepatan reaksi kimia dan mekanisme reaksi kimia yang terjadi. Kecepatan reaksi digunakan untuk menggambarkan laju perubahan kimia, sedangkan mekanisme reaksi digunakan untuk menggambarkan serangkaian langkah-langkah reaksi yang meliputi perubahan keseluruhan dari suatu reaksi yang terjadi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju suatu reaksi kimia meliputi sifat pereaksi, konsentrasi pereaksi, suhu, dan katalis (Sastrohamidjojo 2001). Dalam suatu reaksi kimia terjadi pemutusan ikatan dan pembentukan ikatan baru, sehingga laju reaksi tergantung pada macam ikatan yang terdapat pada senyawa-senyawa yang melakukan reaksi bersama. Selain itu, laju reaksi kimia tergantung pada sifat pereaksi karena energi aktivasi berbeda dari satu reaksi dengan reaksi yang lain. Reaksi yang memiliki energi aktivasi yang besar umumnya berjalan lambat karena hanya sejumlah kecil partikel pereaksi yang memiliki cukup energi kinetik untuk mengatasi energi aktivasi.

Laju suatu reaksi yang homogen tergantung pada konsentrasi pereaksi dalam larutan. Persamaan 1 merupakan persamaan hukum laju reaksi

untuk dua molekul yang bereaksi (Heldman & Lund 1992). Persamaan ini dibatasi untuk laju pada reaksi permulaan sebelum setiap perubahan

konsentrasi terjadi.

Laju = k [A]a[B]b …….………...…. (1)

Pada saat reaksi berlangsung, laju reaksi berubah karena konsentrasi hasil reaksi atau konsentrasi pereaksi berubah terhadap waktu. Oleh karena itu, laju reaksi dapat dihitung baik dari laju pembentukan produk maupun dari laju berkurangnya konsentrasi pereaksi. Persamaan 2 merupakan persamaan laju reaksi ordo pertama untuk dua molekul yang bereaksi yang dikembangkan dari laju berkurangnya konsentrasi pereaksi, sedangkan Persamaan 3 merupakan persamaan laju reaksi ordo kedua (Heldman & Lund 1992).

Ordo– 1 : = k1 C ………. ... Ordo–2 : = k2 CaCb…... ...

Reaksi metilolasi dalam pembentukan resin fenolik dari distilat CNSL didekati dari reaksi antara kardanol dengan formaldehida karena kardanol merupakan komponen terbesar dalam distilat CNSL. Persamaan laju reaksi

•C •t dimana : – •C/•t k1, k2 C Ca Cb : : : : :

laju perubahan konsentrasi molar pereaksi (C) terhadap waktu (t) (mol/liter/jam)

konstanta laju reaksi ordo pertama dan ordo kedua (liter/mol.jam)

konsentrasi molar pereaksi pada waktu t (mol/liter) konsentrasi molar pereaksi A pada waktu t (mol/liter) konsentrasi molar pereaksi B pada waktu t (mol/liter) dimana : k a, b [A], [B] : : :

konstanta laju reaksi ordo reaksi

konsentrasi molar pereaksi (mol/liter)

•C •t

(2)

metilolasi formaldehida dengan kardanol dikembangkan berdasarkan Persamaan 2 dan 3.

Mekanisme pembentukan resin fenolik dari distilat CNSL mirip dengan pembentukan resin fenol formaldehida (Rishabh Group 2001). Menurut Pizzi (1983), dalam pembentukan resin fenol formaldehida dengan katalis asam, metilol fenol yang dibentuk selama reaksi metilolasi tidak stabil dan akan bereaksi dengan fenol atau metilol fenol lainnya membentuk dimer (Gambar 5). Terdapat dua jalur reaksi pembentukan dimer selama reaksi metilolasi, dimana salah satu jalur melibatkan pemakaian fenol lainnya yang menyebabkan fenol bereaksi lebih banyak. Dengan demikian, pengembangan persamaan laju reaksi metilolasi khususnya pada reaksi ordo kedua perlu memasukkan faktor koreksi. Malhotra dan Avinash (1976), telah mengembangkan kinetika reaksi metilolasi fenol dengan formaldehida (katalis asam) dengan memasukkan nilai rata-rata perbandingan fenol dan formaldehida yang berekasi (n) sebagai faktor koreksi.

Dengan mengacu pada mekanisme reaksi metilolasi fenol dengan formaldehida, maka persamaan laju reaksi metilolasi kardanol dengan formaldehida sebagai berikut :

Cc = Cco–Cxc; Cf = Cfo–Cxf; n = Ordo–1 : ln = k1 t ... (4) Ordo–2 : ln = k2 t ...(5) Cfo (Cco–nCxf) Cco (Cfo–Cxf) (Cco–nCfo) n Cfo Cfo–Cxf dimana : t k1 k2 Cfo Cco Cf Cc Cxf Cxc n : : : : : : : : : :

waktu reaksi (jam)

konstanta laju reaksi ordo pertama (liter/mol.jam) konstanta laju reaksi ordo kedua (liter/mol.jam) konsentrasi molar awal formaldehida (mol/liter) konsentrasi molar awal kardanol (mol/liter)

konsentrasi molar formaldehida pada waktu t (mol/liter) konsentrasi molar kardanol pada waktu t (mol/liter)

konsen. molar formaldehida yang bereaksi pada waktu t (mol/liter) konsen. molar kardanol yang bereaksi pada waktu t (mol/liter) rata-rata perbandingan kardanol dan formaldehida yang bereaksi

Cxc Cxf

Menurut Sastrohamidjojo (2001), suhu berpengaruh terhadap laju reaksi karena kenaikan suhu mengakibatkan molekul bergerak lebih cepat dan tumbukan antar molekul lebih intensif sehingga menyebabkan terjadinya reaksi. Pada umumnya kenaikan suhu sebesar 10 °C akan mengakibatkan kenaikan laju reaksi menjadi dua atau tiga kali lipat.

Hubungan antara konstanta laju reaksi dengan suhu dinyatakan oleh persamaan Arrhenius seperti dinyatakan pada Persamaan 6 (Heldman & Lund 1992). Selanjutnya plot antara ln k dengan 1/T akan diperoleh garis lurus dengan slope –E/R sehingga diperoleh nilai energi aktivasi.

k = Ae–E/RT ……….………..…… …. (6)

ln k = ln A – E/RT ………....………... (7)

Laju reaksi dipengaruhi juga oleh adanya katalis. Umumnya sejumlah kecil katalis sudah cukup untuk mempercepat reaksi. Meskipun demikian, banyak reaksi yang laju reaksinya berbanding langsung dengan pangkat dari konsentrasi katalis. Ketergantungan kelajuan pada konsentrasi katalis ditentukan berdasarkan percobaan.

dimana : k A E R T : : : : :

konstanta laju reaksi (liter/mol.jam) frequency factor (liter/mol.jam) energi aktivasi (kkal/mol)

konstanta gas (1,987 x 10–3 kkal/mol °K) suhu (°K)

Dokumen terkait