Pengujian rRT-PCR
Tiga puluh sampel usap trakea dari semua daerah tidak terdeteksi virus AI terhadap uji rRT-PCR (Tabel 6).
Tabel 6 Hasil rRT-PCR pada sampel anak burung puyuh
Nama sampel Detektor Ct
S1 AI Duplex H5 Tidak terdeteksi
S2 AI Duplex H5 Tidak terdeteksi
S3 AI Duplex H5 Tidak terdeteksi
S4 AI Duplex H5 Tidak terdeteksi
S5 AI Duplex H5 Tidak terdeteksi
S6 AI Duplex H5 Tidak terdeteksi
Kontrol positif AI Duplex H5 28.39
Kontrol negatif AI Duplex H5 Tidak terdeteksi
NTC AI Duplex H5 Tidak terdeteksi
keterangan : NTC (Non template Control), S (sampel), Ct (cycle threshold). Analisa sekuen target gen H5 menunjukkan tidak diperoleh amplifikasi target gen H5 pada kontrol negatif (NTC) dan semua sampel yang diuji konfirmasi hasil positif hanya diperoleh kontrol positif yang digunakan seperti ditunjukkan oleh kurva amplifikasi yang memotong garis deteksi (threshold) di siklus PCR ke 28.39 atau nilai ct 28.39 (Gambar 2) .
Gambar 2 Grafik hasil pengujian rRT-PCR, (a) Grafik raw data sampel uji rRT-PCR, (b) Grafik kurva amplifikasi dengan garis sampel yang tidak menembus garis Treshold: 0.200000, Baseline start: 3, Baseline End: 15.
15 Hasil pembacaan rRT-PCR pada sampel ini memberikan informasi bahwa sampel anak burung puyuh yang akan dilalulintaskan tidak terdeteksi adanya agen virus AI. Hasil pemeriksaan fisik mendukung hasil pengujian rRT-PCR yang menunjukkan bahwa sampel pada tersebut tidak terdeteksi virus AI.
Real time PCR adalah teknik yang relatif baru, namun sudah banyak digunakan untuk mendiagnosa dan mempelajari penyakit-penyakit unggas yang pathogen (Lee & Suarez 2004). Untuk mempermudah dan mempercepat waktu deteksi virus AI ini maka metode yang digunakan adalah rRT-PCR, dikarenakan dengan rRT-PCR akan mempersingkat waktu dan dengan jumlah virus yang sedikit pun mampu mendeteksi karena rRT-PCR mempunyai sensitifitas dan spesitifitas yang tinggi dibangingkan dengan pengujian PCR konvensional (Widiasih et al. 2012).
Metode pengujian rRT-PCR berfokus pada fase eksponensial karena memberikan data yang paling tepat dan akurat. Garis threshold adalah tingkat deteksi dimana reaksi mencapai intensitas fluoresens diatas latar belakang. Jumlah siklus PCR yang dibutuhkan untuk mendapatkan signal fluoresens yang melintasi threshold disebut cycle threshold (Ct). Nilai Ct digunakan dalam kuantisasi hilir atau deteksi ada atau tidaknya agen. Jumlah template DNA pada reaksi yang tidak diketahui dapat ditentukan secara akurat dengan membandingkan nilai-nilai Ct sampel yang tidak diketahui konsentrasinya dengan standart uji (AAHL 2013). Nilai Ct berkorelasi dengan kuantitas urutan DNA target. Kuantitas urutan DNA target tinggi diawal reaksi, nilai Ct akan lebih cepat diketahui (Hejawuli & Dharmayanti 2014).
Sampel yang digunakan adalah usap trakea, dikarenakan hampir sebagian besar subtipe virus influenza A selain bereplikasi pada saluran pernafasan juga bereplikasi pada saluran pencernaan (Tumpey et al. 2002) sehingga diharapkan hasil akan lebih akurat dengan adanya jumlah virus yang lebih banyak pada alat swab yang digunakan. RT-PCR merupakan salah satu alternatif metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi virus influenza walaupun gen virus ada dalam jumlah sedikit pada suatu sampel, spesimen asal hewan hidup yang dapat digunakan untuk diagnosis AI berupa usap pada traktus respiratorius bagian atas (usap hidung, usap trakea) atau usap kloaka, namun pada kondisi di lapang cara pengambilan usap kloaka merupakan cara yang paling cepat dan aman (WHO 2003).
Sejumlah kecil RNA virus AI dapat dideteksi bahkan ketika virus sudah terinaktivasi dengan menggunakan teknik RT-PCR, sedangkan isolasi virus pada TAB (telur ayam berembrio) membutuhkan virus yang hidup, oleh karenanya metode amplifikasi dengan RT-PCR lebih sensitif. Pada surveilans virus AI secara rutin di lapangan, diperlukan metode yang cepat, akurat, sensitive, dan spesifik sehingga keberadaan virus AI dapat dengan cepat, tepat, dan akurat diketahui. Metode RT-PCR dapat menjadi solusi karena beberapa kelebihan yang dimiliki. Sampel yang dibutuhkan juga bervariasi, baik sampel usap maupun sampel organ. Pada studi mengenai surveilans virus AI pada pasar unggas ditunjukkan pada usap trakea lebih cocok digunakan dan mengandung lebih banyak virus dibandingkan sampel dari usap kloaka atau lingkungan (Bulaga et al., 2003; Haryanto et al. 2012).
Pemeriksaan sampel dengan menggunakan rRT-PCR dikenal akurat, tetapi masih perlu diperhatikan tata cara pengambilan sampel yang benar di lapangan
16
serta media yang digunakan harus dipastikan dalam keadaan baik dan tidak melewati masa kadaluwarsa pemakaian media tersebut agar hasil diagnosa yang didapat benar-benar akurat (Fiqri et al. 2011). Amplifikasi gen virus AI secara RT-PCR akan memberikan hasil positif apabila dilakukan dengan jumlah RNA sebagai template memenuhi jumlah minimum yang telah ditentukan. Jumlah DNA virus kurang dari 0.01-0.1µg tidak dapat diamplifikasi menggunakan RT-PCR (Yuwono 2006). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil amplifikasi RT-PCR adalah adanya perbedaan materi dan metode yang digunakan serta adanya perbedaan strain dan subtipe virus yang diteliti, selain itu perbedaan kualitas masing-masing sampel juga ikut berperan (Noroozian et al. 2007).
Penggunaan primer H5-Duplex Primer Probe mix pada penelitian ini dikarenakan diantara 16 subtipe HA, virus-virus AI dari subtipe H5 dan H7 memiliki kemampuan untuk melakukan mutasi genetik yang berakibat pada perubahan patogenesitas virus dari LPAI menjadi HPAI yang umumnya terjadi setelah proses introduksi dan adaptasi virus LPAI pada unggas-unggas domestik golongan ayam, puyuh dan kalkun. Indonesia adalah salah satu Negara yang masih melaporkan adanya kasus AI khususnya H5N1 HPAI pada unggas (Wibawa, 2013). Agen VAI tidak terdeteksi dalam pengujian rRT-PCR yang sudah menggunakan primer H5-Duplex Primer Probe mix ini menunjukkan bahwa tidak adanya VAI dari subtipe H5 yang sudah banyak ditemukan di wilayah Jawa Tengah dan DIY, sehingga dapat disimpulkan bahwa burung puyuh yang diperiksa tidak terinfeksi VAI terutama subtipe H5.
Menurut Kartikasari (2008), metode rRT-PCR ini memiliki sensitifitas dan spesitivitas yang sangat tinggi dalam mendeteksi keberadaan virus influenza dalam spesimen apapun walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Ketika pembacaan amplifikasi DNA menggunakan mesin rRT-PCR, selain sampel yang dibaca, disertakan juga kontrol positif dan kontrol negatif. Fungsi dari kontrol ini adalah untuk mengetahui apakah sewaktu mencampurkan mix reagen ke dalam sampel terdapat kontaminasi atau tidak. Kontrol negatif akan tetap negatif setelah pembacaan jika tidak ada kontaminasi atau dengan kata lain bahwa pengerjaan pencampuran reagen berhasil dan hasil rRT-PCR dianggap layak dan dapat dipercaya. Hal itu pun berlaku sebaliknya, apabila kontrol negatif menjadi positif maka dapat diperkirakan adanya kontaminasi pada saat pencampuran reagen dan hasil dari pembacaan itu dianggap tidak dapat dipercaya dan untuk selanjutnya pemeriksaan harus dilakukan pengulangan. Pada penelitian ini telah melalui proses yang benar dengan hasil kontrol negatif tetap negatif sehingga pembacaan proses rRT-PCR ini dapat dipercaya.
Pemeriksaan Fisik Anak Burung Puyuh
Sebanyak 30 sampel usap trakea anak burung puyuh dan DOQ yang berasal dari Kota Solo, Kabupaten Klaten, Boyolali dan DI Yogyakarta diambil sesaat sebelum dilalulintaskan dengan disertai tindakan karantina di tempat pengeluaran seperti pemeriksaan fisik dan dokumen.
Anak burung puyuh yang berumur satu hari disebut DOQ. Besarnya seukuran jari dengan berat 8 gram sampai 10 gram dan berbulu jarum halus. Anak burung puyuh yang sehat berbulu kuning mengembang, gerakannya lincah, besarnya seragam dan aktif mencari makan atau minum (Sugiharto 2005). Untuk
17 pengiriman anak burung puyuh selain yang berumur satu hari ada juga yang berumur tiga sampai lima hari, karena pada umur tersebut kondisi anak burung puyuh masih seragam dengan cara pemberian pakan yang mudah pada saat dalam kemasan (sebagian besar sampai umur tiga hari masih ada yolk sac pada anak burung puyuh tersebut) (Wheindrata 2014).
Hasil pemeriksaan fisik sebelum pengambilan sampel usap trakea, menunjukkan bahwa DOQ maupun anak burung puyuh yang akan dilalulintaskan dalam kondisi sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit AI. Gejala LPAI pada unggas dalam bentuk ringan yang tidak diikuti oleh infeksi sekunder, akan terlihat adanya gangguan pernafasan, anoreksia, depresi, sinusitis, serta tidak menunjukkan ada gejala-gejala penyakit seperti lesu, menyendiri, mengantuk (Tabbu 2000) seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 DOQ yang sehat
Menurut Tabbu (2006) gejala klinis HPAI pada ayam pedaging, ayam buras maupun burung puyuh cenderung bersifat tidak spesifik dibandingkan dengan gejala klinis HPAI pada ayam petelur. Gejala yang terlihat biasanya hanya depresi berat dan peningkatan kematian yang drastis dari hari ke hari. Mortalitas dapat mencapai 70%-100%. Hasil pengumpulan informasi dari peternak burung puyuh yang akan dilalulintaskan, tidak mengalami penurunan produksi maupun peningkatan jumlah kematian dalam kurun waktu enam bulan terakhir (BKPK II Yogyakarta 2014).
Perdagangan unggas antara daerah membutuhkan proses yang lebih sulit. Seperti proses pemilihan kesehatan unggas yang akan dikirim, proses pengemasan dan proses pengiriman. Proses kemasan pengiriman anak burung puyuh ke luar daerah dapat dilihat pada Gambar 4.
18
Gambar 4 Kemasan box untuk pengiriman Anak burung puyuh melalui BKP II Yogyakarta ke luar Jawa, (a) Box tertutup, (b) Box terbuka.
Proses pemilihan unggas yang akan dikirim termasuk faktor utama dalam lalu lintas unggas termasuk pemilihan bibit burung puyuh. Bibit burung puyuh yang unggul merupakan modal utama beternak burung puyuh untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan kelangsungan produksi telur yang panjang. Berawal di Semarang Selatan, pembibitan burung puyuh ini menyebar sampai ke wilayah Jawa Tengah bagian selatan seperti Kota Solo, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Klaten bahkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Seiring perkembangan jaman ternak burung puyuh merambat sampai pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan juga Papua (Wheindrata 2013). Oleh karena itu burung puyuh sebagai salah satu hewan pembawa virus AI yang sebagian besar berasal dari daerah yang endemik AI serta burung puyuh merupakan reservoir yang paling potensial untuk terjadinya mutasi genetik virus AI ke bentuk yang transmissible ke mamalia (Sun et al. 2011) maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas media pembawa AI ini.
Saat ini, burung puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) banyak berkembang untuk tujuan produksi daging dan telur. Produksi puyuh telah menjadi sektor yang penting dalam industri perunggasan bagi banyak Negara. Rasa yang khas dari daging dan telur, pertumbuhan yang lebih cepat dibanding dengan unggas lain, produksi lebih cepat dengan hasil yang banyak, biaya pemeliharaan rendah merupakan beberapa keuntungan dari burung puyuh (Ozsoy & Orhan 2011).
Bibit burung puyuh yang unggul merupakan modal utama beternak burung puyuh untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan kelangsungan produksi telur yang panjang. Berawal di Semarang Selatan, pembibitan burung puyuh ini menyebar sampai ke wilayah Jawa Tengah bagian selatan seperti Kota Solo, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Klaten bahkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Seiring perkembangan jaman ternak burung puyuh merambat sampai pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan juga Papua (Wheindrata 2013).
Gejala klinis HPAI pada ayam pedaging, ayam buras maupun burung puyuh cenderung bersifat tidak spesifik dibandingkan dengan gejala klinis HPAI pada ayam petelur. Gejala yang terlihat biasanya hanya depresi berat dan peningkatan kematian yang drastis dari hari ke hari. Mortalitas dapat mencapai 70-100%. Kondisi tersebut mungkin erat hubungannya dengan proses penyakit yang berlangsung lebih cepat kepada ayam pedaging, ayam buras ataupun burung
19 puyuh sehinga ayam/unggas telah mati sebelum terbentuk lesi tertentu. Hal ini mengingat bahwa ayam/unggas tersebut tidak divaksinasi terhadap AI dan kondisi biosekuriti cenderung kurang baik (Tabbu 2006).
Pada dunia peternakan burung puyuh, jarang ada program vaksinasi terhadap AI hanya vaksinasi terhadap virus ND. Sebagian besar peternak melakukan biosekuriti yang ketat untuk kandangnya. Bisosekuriti yang dilakukan seperti menyemprot kandang secara rutin dan pada saat kandang kosong, membersihkan kandang rutin, memelihara sirkulasi udara. Pemelihaaran kesehatan merupakan faktor utama, kesehatan dipengaruhi oleh perubahan cuaca disekitarnya terutama musim pancaroba dan musim penghujan karena pada musim ini banyak penyakit akan mudah menyerang seperti penyakit bakterial maupun viral seperti AI (Wheindrata 2013). Pernyataan ini sesuai dengan waktu pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus sampai awal September yang termasuk pada musim kemarau.
Menurut Setyawati (2010) tingkat kejadian AI pada musim kemarau cenderung rendah atau lebih sedikit, hal ini dikarenakan virus AI relatif tidak stabil pada lingkungan dan virus cepat mengalami inaktivasi ketika terjadi perubahan pH (kondisi nonisotonik) dan suhu (panas) serta kekeringan. Penyakit AI dan beberapa penyakit unggas lainnya biasanya muncul saat pergantian musim/perubahan cuaca disekitarnya, terutama pada musim pancaroba dan musim penghujan yang mana angin cukup deras dan udara cukup dingin yang menyebabkan burung puyuh mudah lapar dan mengalami cekaman sehingga daya tahan melemah dan mudah sekali terinfeksi oleh agen penyakit (Wheindrata 2014). Hal ini mendukung hasil tidak terdeteksinya agen virus AI pada burung puyuh yang diperiksa, karena tidak adanya wabah AI pada peternakan dan wilayah disekitar peternakn burung puyuh tersebut.
Penelitian yang dilakukan Nili et al (2007) menyatakan respon serologi pada puyuh yang di tantang dengan vaksinasi dan tidak divaksinasi tidak ada perbedaan secara signifikan. Sehingga banyak peternakan puyuh tidak melakukan program vaksinasi, apabila dalam satu peternakan terserang oleh AI maka biasanya dilakukan stamping out dan semprot kandang menggunakan desinfektan serta istirahat kandang selama dua minggu. Sehingga dalam pemeriksaan dengan menggunakan rRT-PCR tidak ditemukan agen penyakit AI karena pada sampel yang diperiksa tidak terinfeksi virus AI baik secara alami maupun sengaja seperti vaksinasi.
Wabah AI di Indonesia dimulai pada awal Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa dan beberapa provinsi di Indonesia. Dalam kurun waktu beberapa bulan (Agustus 2003–Februari 2004) telah terjadi kematian unggas sebesar 4.859.911 atau sebesar 6.4% dari populasi unggas di seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Lampung (Ditkeswan 2009). Oleh karena itu burung puyuh sebagai salah satu hewan pembawa virus AI yang sebagian besar berasal dari daerah yang endemik AI maka perlu dilakukan pengawasan lalulintas AI. Selain itu, burung puyuh merupakan reservoir yang paling potensial untuk terjadinya mutasi genetik virus AI ke bentuk yang transmissible ke mamalia (Sun et al. 2011).
Dalam kurun tiga bulan terakhir tidak terjadi kejadian AI pada peternakan burung puyuh. Menurut Sun et al. (2011) menyatakan bahwa
20
virus yang diisolasi dari burung puyuh ada dua isolat H5N1 HPAI yaitu A/Quail/Guangdong/342/2008 (QL 342) clade 2.3.2 dan A/Quail/ Guangdong/176/2004 (QL 176) clade 7 serta mempunyai tingkat
mortalitas 18,3-100% dan dapat ditularkan dengan kontak langsung antar burung puyuh. Hal ini sesuai dengan informasi bahwa tidak ada kejadian dalam tiga bulan terakhir karena apabila terjadi wabah AI pada suatu peternakan burung puyuh maka akan segera dilakukan stamping out.
Burung puyuh mempunyai peranan dalam evolusi virus tipe A dengan menyediakan lingkungan yang memungkinkan virus influenza asal itik dapat beradaptasi dan menghasilkan varian yang mempunyai kemampuan untuk menginfeksi spesies unggas lain. Puyuh dianggap sebagai hospes asal virus H5N1/97 yang menginfeksi manusia. Hal ini didasarkan pada tinggi derajat kerentanan puyuh terhadap virus A/Goose/Guang Dong/1/96 (H5N1) dan infeksi ulang yang terus menerus dari virus H6N1 dan H9N2 pada puyuh (Webster et al. 2002). Dalam hal ini burung puyuh mungkin berperan sebagai mixing vessel yang memfasilitasi peristiwa reasortasi virus H9N2, H5N1 dan H6N1 dan terjadinya virus pandemik potensial di Asia (Xu et al. 2007). Menurut Bertran et al (2013) menyatakan bahwa burung puyuh jepang ( Coturnix c Japonica) merupakan host intermediet dan reservoir dari virus AI. Burung puyuh mampu bertindak sebagai sumber penularan bagi unggas lain karena di dalam tubuh burung puyuh semua tipe virus AI asal unggas air yang dapat bereplikasi dan berperan dalam penyebaran virus ke unggas lain . Dari 15 subtipe virus AI pada burung puyuh yang disaji, 14 subtipe mampu bereplikasi pada burung puyuh, terutama pada saluran pernafasannya (Wan & Perez 2006).
Dampak sosio-ekonominya cukup luas mempengaruhi status kesehatan masyarakat dan perdagangan internasional terutama pada perdagangan produk unggas dan hasil olahannya. Penyakit ini menyebabkan penurunan produksi serta memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi. Salah satu faktor yang berperan dalam kegiatan perniagaan unggas adalah pasar hewan tradisional atau pasar unggas hidup (live bird markets). Sistem perdagangan atau penjualan unggas hidup di pasar antar daerah bahkan antar pulau, meningkatkan potensi terjadinya penyebaran penyakit ini dengan adanya pencampuran unggas berbagai macam ras dan jenis dalam satu kandang. Penempatan unggas dari berbagai macam sumber dalam satu kandang di pasar juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit AI (Dinar Hadi & Diarmita 2014).
Tingkat kerentanan burung puyuh terhadap virus AI lebih tinggi dibandingkan dengan ayam. Apabila burung puyuh terinfeksi virus AI maka akan menunjukkan gelaja klinis lebih cepat dari pada ayam dan menimbulkan kematian lebih cepat daripada ayam atau unggas lainnya. Penelitian oleh Perez et al.(2003) menggunakan virus H9N2 isolat A/Duck/HK/149/77 dan A/Duck/HK/702/79 yang dipadu dengan virus A/Quail/HK/A28945/88 atau A/Guinea Fowl/HK/WF10/99 sebagai sumber pengganti HA dan / atau NA ternyata mampu bereplikasi dan menyebar secara efisien pada burung puyuh hanya melalui perubahan gen HA saja, sedangkan pada ayam diperlukan perubahan molekuler gen-gen internal yang lebih kompleks. Hal ini mendukung hasil penelitian ini, dimana kondisi burung puyuh yang diambil sampel dalam kondisi sehat, dan lokasi sekitar kadang juga tidak terkena wabah AI, maka burung puyuh dalam kondisi bebas atau tidak sedang terdeteksi virus AI. Pada penelitian menggunakan
21 angsa yang diinfeksi A/Goose/GD/1/96 (H5N1), puyuh dapat tertular melalui kontak dengan udara dan feses, sedangkan pada ayam hanya tertular melalui kontak dengan feses (Webster et al. 2002).
22