• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Anak

Usia, jenis kelamin, dan status gizi

Penelitian ini menganalisis subjek usia sekolah dari rentang usia 8-13 tahun. Tabel 12 menunjukkan perbedaan rata-rata z-skor berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin dan status gizi

Variabel Status Gizi

Kurus Normal Gemuk Usia 8-9 tahun 10-13 tahun 5 (8.8) 13 (12.9) 33 (57.9) 62 (61.4) 19 (33.3) 26 (25.7) Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 7 (8.3) 11 (14.9) 51 (60.7) 44 (59.5) 26 (31) 19 (25.7)

Rata-rata z-skor lebih tinggi pada anak usia 8-9 tahun. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin diperoleh rata-rata z-skor lebih tinggi pada subjek laki- laki. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ogden dan Carroll (2008), dari tiga

cutoff z-skor IMT/U secara signifikan berbeda menurut usia dan kelompok etnis namun tidak berdasarkan jenis kelamin. Dijelaskan lebih lanjut, subjek laki-laki yang gemuk (26%) cenderung lebih banyak ditemukan daripada subjek perempuan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Proper et al. (2006) bahwa laki-laki cenderung lebih besar kemungkinannya untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang. Secara kontras, perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak (WHO 2000). Hasil penelitian tersebut didukung bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Gayle Galetta (2005) mengemukakan bahwa lelaki menggunakan kalori lebih banyak dari wanita pada saat istirahat karena otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipe-tipe jaringan yang lain. Dengan demikian, perempuan lebih mudah bertambah berat badan berbanding lelaki dengan asupan kalori yang sama. Sebaran status gizi berdasarkan jenis kelamin siswa dapat dilihat pada Gambar 4. Grafik tersebut mengacu pada child growth standards (WHO 2007).

Gambar 4 Sebaran status gizi (IMT/U) berdasarkan jenis kelamin siswa Status gizi yang digunakan dalam analisis penelitian ini meliputi kurus, normal, dan gemuk. Kategori kurus yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah

thinness (-3 SD<z-skor<-2 SD) dan overthinness (< -3 SD). Kategori normal adalah subjek dengan rentang z-skor antara -2 SD sampai dengan 1 SD. Sedangkan kategori gemuk adalah overweight (+1 SD<z-skor<+2 SD), obese (+2 SD<z-skor<+3 SD), dan severe obese(≥+3 SD).

Gambar 5 Sebaran status gizi (IMT/U) subjek Harga pangan

Nilai gizi pangan sangat bervariasi dalam satu kelompok pangan. Oleh karena itu, analisis dalam penelitian ini adalah berdasarkan sub kelompok pangan.

Center of Policy Nutrition and Promotion-USDA (CNPP USDA) mengkonversikan harga pangan menjadi dollar per serving dan 100 kkal. Standar yang digunakan dalam penelitian ini adalah rupiah per kkal. Skor NRF/10 000

Perempuan (-0.096±1.63) Laki-Laki (0.126±1.68)

rupiah dihitung untuk mengetahui nilai NRF yang terkandung dalam pembelian pangan seharga 10 000 rupiah.

Pembagian antara skor indeks NRF dengan harga per serving merupakan sebuah pendekatan untuk mengidentifikasi pangan yang kaya akan zat gizi dan harganya terjangkau (Drewnowski 2010). Berdasarkan konteks nilai zat gizi per unit biaya, nilai tertinggi diperoleh pada pangan nabati, pangan sayuran buah, sayuran daun, buah-buahan, pangan sumber karbohidrat, dan telur ayam. Pangan tersebut mengandung zat gizi yang tinggi sama dengan tingginya harga pangan tersebut. Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Drewnowski (2010) di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa jus jeruk, susu, sereal yang siap saji, kentang, sayur, buah dan telur memiliki nilai NRF per dollar tertinggi. Median skor indeks NRF dan median harga pangan dalam sub kelompok pangan yang telah dirangkum dalam tabel 13.

Tabel 14 Sebaran kelompok pangan berdasarkan skor NRF dan harga pangan Sub kelompok pangan

NRF 9.3/ 100 kkal Harga (Rp)/ 100 kkal Skor NRF 9.3/ 10 000 rupiah* Pangan sumber karbohidrat (n=7) 2.68 727.10 67.26

Mie instan (n=1) 0.7 750 9.37

Roti (n=1) 0.42 1725.22 2.46

Daging dan unggas (n=3) 0.49 4493.26 1.38

Ikan asin/air laut (n=2) 7.26 7997.45 10.72

Ikan air tawar (n=4) 5.32 12221.24 14.03

Telur ayam (n=1) 2.88 1394.58 20.66

Susu (n=3) 2.93 2197.06 12.82

Pangan nabati (n=5) 3.17 1514.76 54.22

Pangan sayuran daun (n=9) 34.15 11999.67 84.90

Buah-buahan (n=6) 15.59 5830.64 25.90

Chiki (n=2) 1.33 1771.13 7.63

Biskuit (n=6) 0.66 1405.67 5.87

Kerupuk (n=2) 1.49 2811.65 19.35

Minuman manis dan eskrim (n=5) 2.60 4521.18 3.75

Pangan lainnya (n=4) 4.21 1968.55 17.23

Lemak/minyak (n=3) -2.98 1419.91 -

*Skor indeks NRF 9.3/10 000 rupiah hanya tersedia pada kelompok pangan dengan nilai indeks NRF 9.3>0 Berat lahir anak

Dari data berat lahir anak dikategorikan menjadi berat lahir normal yaitu lebih besar dari 2500 gram dan berat bayi lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram. Variabel berat lahir anak didapatkan berdasarkan ingatan ibu anak.

Tabel 15 Sebaran status gizi anak berdasarkan berat lahir Berat Lahir Status Gizi (IMT/U)

Kurus Normal Gemuk Normal 15 (10.2) 88 (59.9) 44 (29.9)

BBLR 3 (27.3) 7 (63.6) 1 (9.1)

Penelitian ini menemukan bahwa anak yang gemuk dan berat lahirnya BBLR adalah sebanyak 9.1 %. Sementara itu, anak yang kurus dan BBLR ditemukan sebanyak 3 orang (27.3%).Beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi berat lahir maka semakin tinggi pula IMT dan persentase

lemaknya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh ibu yang obesitas dan memiliki riwayat penyakit diabetes gestasional.

Hasil systematic review dan meta-analysis yang dilakukan oleh Yu et al.

(2011) menunjukkan bahwa berat lahir yang tinggi (>4000 gram) berhubungan dengan meningkatnya risiko obesitas (OR=2.07). Berat lahir yang rendah berhubungan dengan rendahnya risiko obesitas (OR=0.61) dibandingkan dengan anak dengan berat lahir ≥2500 gram. Analisis subgrup berdasarkan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda (anak usia prasekolah, usia sekolah, dan dewasa) mengungkapkan bahwa berat lahir yang tinggi berhubungan dengan meningkatnya risiko obesitas dari anak ke dewasa awal. Sejalan dengan hasil penelitian ini, terdapat artikel yang menunjukkan bahwa berat lahir yang lebih rendah berhubungan dengan IMT yang lebih tinggi pada masa anak-anak. Berdasarkan penelitian review yang dilakukan oleh Barker (2004), tiga mekanisme fisiologis utama yang disebutkan dalam literatur menjadi mediator BBLR dalam perkembangan obesitas ke depannya. Mekanisme pertama adalah perubahan ekspresi fenotip yang dibentuk karena ketidakcukupan replikasi sel yang tampak yang akan menyebabkan tubuh akan menyimpan energi sebagai respon adaptif. Mekanisme kedua adalah permbentukan dalam metabolisme melalui ekspresi hormon yang merupakan hubungan antara resistensi insulin dan BBLR. Beberapa hipotesis tetap menyebutkan bahwa BBLR memungkinkan seseorang untuk rentan dengan pengaruh lingkungan dalam siklus kehidupan berikutnya.

Aktivitas Fisik Anak

Aktivitas fisik merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan memerlukan energi. Setiap aktivitas fisik membutuhkan energi yang berbeda-beda berdasarkan lama intensitas dan jenis aktivitas fisiknya. Aktivitas fisik juga dapat diartikan sebagai gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya untuk menggerakkan badan (Almatsier 2005). Kelebihan energi karena rendahnya aktivitas fisik diperkirakan dapat meningkatkan risiko kegemukan dan obesitas.

Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik Variabel

Status Gizi

Kurus Normal Gemuk

n (%) n(%) n(%) Aktivitas Fisik Ringan Sedang Berat 15 (11.2) 2 (10.5) 1 (20) 79 (59) 13 (68.4) 3 (60) 40 (29.9) 4 (21.1) 1 (20) Hasil penelitian ini didapatkan bahwa subjek yang memiliki status gizi gemuk namun aktivitas fisiknya ringan adalah sebanyak 40 murid (29.9 %). Hal ini diduga karena sebagian besar subjek tidak melakukan olahraga secara rutin, berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan bermotor serta lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan menetap (sedentary) sehingga dianggap tidak melakukan aktivitas fisik yang berarti. Aktivitas fisik sebagian besar subjek yang tergolong ringan diperkirakan karena waktunya lebih banyak digunakan untuk kegiatan belajar dan bermain di rumah seperti

mengobrol, makan, menonton televisi, dan bermain gadget yang memerlukan sedikit energi.

Tabel 17 Distribusi kegiatan aktivitas fisik berdasarkan median, nilai minimum, dan nilai maksimum (menit)

Waktu dalam kegiatan Median Min Maks

Tidur 585 205 935

Bermain game 117.5 60 317.5

Menonton televisi 145 15 525

Hasil analisis data aktivitas fisik juga menunjukkan bahwa median waktu tidur adalah 585 menit setara dengan 9.75 jam, waktu bermain game setara dengan 1.96 jam, dan waktu menonton televisi setara dengan 2.42 jam. Jika ditelaah berdasarkan hasil penelitian lain, hasil penelitian Karimah (2014) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat aktivitas fisik pada siswa kelas V dari SD Bina Insani dan SD Insan Kamil Bogor. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan tidak ada hubungan karena metode yang digunakan berbeda. Penelitian tersebut menggunakan kuesioner IPAQ (International Physical Activity Questionnaire) sehingga lebih detail berdasarkan jenis aktivitas fisik dan dijumlahkan dengan frekuensi ditiap jenis kegiatan yang dilakukan siswa. Kegiatan siswa rata-rata mempunyai kategori aktivitas ringan karena kegiatan siswa tidak hanya kegiatan belajar di sekolah, tetapi siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang diwajibkan dan kegiatan kursus mata pelajaran dan kegiatan lainnya (Silvano et al. 2013).

Penelitian di beberapa negara menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Anak dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Sementara itu, penelitian di Jepang mendapatkan bahwa pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0.48 kali mengalami obesitas. Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5.3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya (Hidayati

et al. 2009).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa salah satu bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa senang adalah menonton televisi. Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik. Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berhubungan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005).

Penelitian yang dikemukakan oleh Boyles (2005) menyebutkan bahwa aktivitas fisik merupakan salah satu aktivitas yang perlu diamati karena terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak dengan kejadian gizi lebih. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1960-2000 menyebutkan kejadian kegemukan meningkat dua kali lipat pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 sampai 2 jam. Yayasan Tidur Nasional juga mengungkapkan bahwa anak usia 5

sampai dengan 10 tahun seharusnya tidur selama 8.5 sampai dengan 9.25 jam per malam. Dr. Frederick Zimmerman dari Universitas California dan Bell juga telah mencatat dalam laporan mereka bahwa mereka yang lebih lama tidak tidur biasanya lebih banyak menyempatkan waktu untuk makan. Bell berpendapat bahwa orang dewasa yang kurang tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar seperti leptin dan ghrelin, hal ini pun dapat terjadi pada anak (Priyambodo 2010).

Karakteristik Keluarga

Tempat pertama seorang anak berinteraksi adalah keluarga. Keluarga juga menentukan jenis makanan yang akan dikonsumsi oleh anak. Kondisi gizi lebih biasanya terjadi pada keluarga yang memiliki perekonomian menengah ke atas karena kemampuan mereka untuk memberikan makanan pada anaknya. Akan tetapi, fenomena lainnya juga ditemukan di Indonesia bahwa gizi lebih juga terjadi pada masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah (RISKESDAS 2013). Karakteristik keluarga yang diamati dalam penelitian ini antara lain pendapatan keluarga, IMT Ibu, dan pengetahuan gizi ibu.

Tabel 18 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan keluarga, status gizi ibu, dan pengetahuan gizi ibu

Variabel Status Gizi Anak

Kurus Normal Gemuk n (%) n (%) n (%) Pendapatan Per Kapita Per Bulan

Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 6 (19.4) 2 (6.7) 5 (14.7) 2 (6.7) 3 (9.1) 17 (54.8) 17 (56.7) 20 (58.8) 17 (56.7) 24 (72.7) 8 (25.8) 11 (36.7) 9 (26.5) 11 (36.7) 6 (18.2) Status Gizi Ibu

Gizi Tidak Lebih Gizi Lebih 8 (9) 10 (14.5) 60 (67.4) 35 (50.7) 21 (23.6) 24 (34.8)

Pendapatan merupakan salah satu faktor yang crucial namun tidak berhubungan langsung terhadap status gizi. Subjek yang gemuk dalam penelitian ini tidak hanya ditemukan pada orang tua dengan pendapatan menengah ke bawah tetapi juga pada kalangan menengah ke atas. Studi cross-sectional yangdilakukan oleh Wang (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara obesitas dan status sosial ekonomi di berbagai negara. Subjek dengan status sosial ekonomi menengah ke atas cenderung untuk mengalami gizi lebih di negara China dan Rusia. Akan tetapi, di negara Amerika Serikat kelompok dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah berisiko tinggi terhadap gizi lebih. Yang menyebabkan perbedaan di antara negara-negara tersebut adalah gaya hidup dan aktivitas fisiknya. Masyarakat China dengan sosial ekonomi menengah ke atas lebih menyukai mengakses daging dan makanan padat energi lainnya dibandingkan dengan masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan di Amerika Serikat, masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke atas biasanya mengonsumsi makanan yang tidak padat energi seperti sayuran dan buah dibandingkan dengan masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Faktor utama yang mendukung pendapatan salah satunya adalah perhatian keluarga. Keluarga dengan status ekonomi yang rendah diartikan sebagai ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar yaitu kecukupan gizi bagi anggota keluarganya. Di negara seperti Indonesia yang sebagian besar penduduknya memiliki jumlah pendapatan yang tergolong menengah ke bawah akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan makanan terutama yang bergizi. Keterbatasan ekonomi yang dimiliki berarti ketidakmampuan untuk membeli bahan makanan yang berkualitas baik makan pemenuhan gizi pada anggota keluarganya akan terganggu. Selain itu, keluarga dengan pendapatan yang rendah tersebut cenderung menghabiskan waktunya aktivitas fisik yang rendah (Freedman 2005).

Dalam perihal faktor genetik, sebanyak 34.8 % anak yang gemuk mempunyai ibu dengan status gizi lebih. Penelitian ini hanya memasukkan data dari status gizi ibu tanpa mengikutsertakan ayah karena sebagian besar ayah dari siswa/i SDN Pekayon 16 Pagi bekerja saat pengumpulan data dilakukan. Rubenstein et al. (2007) berpendapat bahwa sebagian besar anak yang obese

memiliki satu orang tua yang obesitas. AAAS (2006) mengemukakan bahwa obesitas merupakan faktor interaksi dari faktor genetik dan lingkungan. Genetik bekerja dengan cara lain, sel lemak menghasilkan hormon pengontrol nafsu makan yaitu leptin yang akan menghantarkan ke otak bahwa tubuh merasa kenyang. Ketika seseorang memiliki sedikit sel lemak, leptin akan diproduksi dan otak akan menghantarkan bahwa kita membutuhkan makanan.

Pengetahuan gizi ibu pada anak yang gemuk sebagian besar sudah tergolong sedang dan baik. Beberapa penelitian juga masih menunjukkan hasil yang kontradiktif. Berikut hasil persentase benar dan salah berdasarkan pertanyaan dan pernyataan terkait pengetahuan gizi ibu yang tercantum pada Tabel 19.

Tabel 19 Item pertanyaan multiple choice terkait pengetahuan gizi

15 Pertanyaan mengenai Pengetahuan Gizi Ibu Benar n(%) Salah n(%)

1.Makanan yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh

108 (68.35) 50 (31.65) 2.Pangan yang termasuk sumber protein 147 (93.04) 11 (6.96) 3.Penyebab anemia 133(84.18) 25(15.82) 4.Makanan yang mengandung banyak zat besi 141(89.24) 17(10.76) 5.Manfaat sinar pagi untuk matahari 106(67.09) 52(32.91) 6.Buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C 109(68.99) 49(31.01) 7.Berat lahir bayi minimal yang dikatakan sehat 65(41.14) 93(58.86) 8.Usia untuk mendukung pertumbuhan anak dalam

pemberian makanan tambahan selain ASI

139(87.97) 19(12.03) 9.Akibat mengonsumsi makanan berlemak tinggi dalam

jangka waktu lama

138(87.34) 20(12.66) 10.Faktor penyebab sebagian besar obesitas (kegemukan) 148(93.67) 10(6.33) 11.Penyebab obesitas menjadi berbahaya 124(78.48) 34(21.52) 12.Contoh dari penyakit degeneratif akibat obesitas 112(70.89) 46(29.11) 13.Cara mengatasi obesitas yang baik 155(98.10) 3(1.90) 14.Saran yang dianjurkan untuk anak yang gemuk (obesitas) 149(94.30) 9(5.70) 15. Upaya terkait konsumsi pangan untuk penderita obesitas 148(93.67) 10(6.33)

Tabel 20 Item pernyataan mengenai pengetahuan gizi ibu

10 Pernyataan mengenai Pengetahuan Gizi Ibu Benar n(%) Salah n(%)

1. Prinsip gizi seimbang adalah asupan makanan lebih besar dibandingkan dengan energi yang keluar

90 (56.96) 68 (43.04) 2.Energi didapatkan dari bahan makanan yang mengandung

karbohidrat, lemak, protein, cairan, dan vitamin

4 (2.53) 154 (97.47) 3.Dalam menghitung perkiraan kebutuhan energi, komponen yang

dibutuhkan adalah berat badan, tinggi badan, dan aktivitas fisik

133 (84.18) 25 (15.82) 4.Telur merupakan sumber protein yang mempunyai mutu yang

rendah

147 (93.04) 11 (6.96) 5.Ikan merupakan bahan makanan sumber zat pembangun 107 (67.72) 51 (32.28) 6.Konsumsi makanan sumber energi yang melebihi kebutuhan

secara terus menurus

91 (57.59) 67 (42.41) 7.Roti, nasi, bihun, daging, dan telur merupakan kelompok

makanan yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga

150 (94.94) 8 (5.06) 8.Konsumsi protein yang berlebih tidak akan berakibat apapun

bagi tubuh

111 (70.25) 47 (29.75) 9.Pemenuhan kebutuhan cairan didapatkan dari makanan dan

minuman

142 (89.87) 16 (10.13) 10.Salah satu fungsi protein adalah mengganti jaringan yang rusak 134 (84.81) 24 (15.19)

Dari data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa pertanyaan terkait pengetahuan gizi yang benar terbanyak dijawab oleh subjek adalah sebanyak 155 orang (98.1%). Pertanyaan tersebut adalah mengenai cara mengatasi obesitas yang baik. Sementara itu, subjek yang menjawab benar terbanyak adalah 150 (94.94 %) pada pernyataan terkait roti, nasi, bihun, daging, dan telur merupakan kelompok makanan yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga jika ditinjau berdasarkan pernyataan mengenai pengetahuan gizi ibu.

Hasil penelitian Hendrayati (2010) pada siswa SMPN 4 Tompobulu Kabupaten Bantaeng bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan status gizi. Akan tetapi, berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Huriah (2006) yang mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan status gizi pada ibu di Kecamatan Beji Kabupaten Depok. Menurut Wawan (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan ada dua yaitu faktor internal yang terdiri dari pendidikan, pekerjaan dan umur sedangkan yang kedua adalah faktor eksternal yang terdiri dari faktor lingkungan dan sosial budaya. Kecenderungan seseorang untuk memiliki motivasi berperilaku kesehatan yang baik dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilannya (Emilia 2008). Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih pangan yang lebih baik, dalam jumlah dan mutu, dibandingkan yang berpendidikan rendah. Apabila penerimaan perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan berlangsung lama (Notoatmodjo 2010). Oleh karena itu, apabila seseorang mempunyai pengetahuan gizi baik diharapkan mempunyai status gizi yang baik pula. Menurut Zulaekah (2011), pendidikan mempengaruhi pengetahuan dengan memberikan intervensi pendidikan gizi dua minggu sekali dengan alat bantu booklet secara langsung pada siswa didukung dengan pendidikan gizi pada guru kelas dan orangtua sehingga dapat meningkatkan pengetahuan.

Glewwe (1999) menyoroti tiga hubungan melalui pendidikan yang dapat mempengaruhi kesehatan anak. Pertama, pendidikan formal ibu langsung mempengaruhi kesehatan calon ibu. Kedua, keterampilan membaca dan berhitung

menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan pendidikan yang layak dan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali penyakit dan merawat anak mereka. Ketiga, lamanya sekolah membuat wanita lebih mengerti pengobatan modern. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa wanita yang berpendidikan tinggi lebih memungkinkan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Selain itu, apabila wanita tersebut didukung menikah dengan pria yang pendidikannya lebih tinggi dan tinggal di lingkungan yang kondusif maka akan berpengaruh pada kesehatan anak dan kelangsungan hidup.

Subjek dalam penelitian ini diambil dari satu daerah yaitu Kelurahan Pekayon, maka semua subjek mempunyai lingkungan dan sosial budaya yang relatif sama. Oleh karena itu, lingkungan dan sosial budaya sama menyebabkan tidak adanya perbedaan dalam tingkat pengetahuan gizi. Penyebab tidak adanya perbedaan antara pengetahuan dengan status gizi adalah karena pengetahuan memberi pengaruh secara tidak langsung terhadap status gizi, tetapi pengetahuan gizi adalah pokok masalah dari permasalahan gizi. Sedangkan penyebab langsung dari masalah gizi adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Di antara penyebab langsung dan pokok masalah ada penyebab tidak langsung yaitu persediaan makanan di rumah, perawatan anak dan pelayanan kesehatan. Pokok masalah selain dari pengetahuan juga terdiri dari pendidikan, kemiskinan, dan keterampilan dimana akar masalahnya adalah krisis ekonomi langsung (Supariasa 2001).

Masyarakat akan semakin baik tingkat kesehatannya jika pengetahuan gizinya bertambah dan jika mereka dapat menerapkan pengetahuan gizi tersebut untuk orang yang berbeda tingkat usia dan keadaan fisiologisnya. Pengetahuan gizi diperlukan namun tidak cukup untuk mengubah kebiasaan makan seseorang karena banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya yaitu keadaan ekonomi (Worsley 2002).

Pola Konsumsi Anak Riwayat Makan Anak

Gizi lebih pada anak dapat disebabkan oleh asupan makanan yang berlebih. Ditambah lagi jika anak pada waktu lahir tidak dibiasakan mengkonsumsi ASI tetapi dibiasakan mengkonsumsi susu formula dalam botol. Asupan pada anak yang diberikan ASI biasanya sesuai dengan kebutuhannya. Anak yang terbiasa diberikan susu dalam botol, jumlah asupan yang diberikan tidak dapat dihitung secara tepat sehingga melebihi porsi yang dibutuhkan anak.

Tabel 21 Sebaran status gizi anak berdasarkan riwayat pemberian makan

Variabel

Status Gizi

Kurus Normal Gemuk n (%) n (%) n (%) Riwayat Pemberian ASI Eksklusif

Ya 7 (16.3) 26 (65) 10 (23.3)

Tidak 11 (9.6) 69 (60) 35 (30.4) Riwayat Pemberian Susu Formula < 6 Bulan

Tidak Ya 11 (10.4) 7 (13.5) 65 (61.3) 30 (57.7) 30 (28.3) 15 (28.8) Riwayat Pemberian Makanan Padat < 6 Bulan

Tidak 9 (10.5) 51 (59.3) 26 (30.2) Ya 9 (12.5) 44 (61.1) 19 (26.4)

Subjek dengan status gizi gemuk masih ditemukan tidak diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan (30.4 %). Dari segi pemberian susu formula, subjek yang gemuk dan diberikan susu formula kurang dari 6 bulan adalah sebanyak 28.8 %. Sebanyak 26.4 % subjek gemuk masih diberikan makanan padat kurang dari 6 bulan. Penelitian yang dilakukan oleh Nugrahaeni (2011) menggunakan uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara pemberian eksklusif dengan status gizi batita indeks BB/U,TB/U, dan BB/TB. Rahayu RP (2005) mengemukakan bahwa pertumbuhan bayi dengan berat badan lahir cukup yang mendapatkan ASI ekslusif ternyata pertumbuhannya sesuai dengan standar pertumbuhan menurut WHO-NCHS bahkan sampai usia 9 bulan, walaupun asupan energi dan protein perkilogram berat badan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula, namun resiko kenaikan berat badan per 100 lebih tinggi pada bayi yang diberi ASI secara eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energi pada bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih efisien.

Tidak ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi anak dapat disebabkan oleh multifaktor disaat anak sudah berusia lebih besar dari 6 bulan diantaranya dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan yang tidak mendukung,

Dokumen terkait