• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkungan Tempat Penelitian

Penggemukan ternak dilakukan pada kandang individu berbentuk kandang panggung. Kandang panggung dicirikan dengan adanya tiang penyangga kandang sehingga lantai kandang terletak diatas tanah (sekitar 0,5 – 1m) dan berbentuk seperti panggung. Bahan lantai terbuat dari bilah bambu yang dipasang dengan sedikit celah sehingga memudahkan kotoran terjatuh ke bawah kandang. Tipe kandang ini memiliki kolong yang bermanfaat sebagai penampung kotoran. Lantai kolong diberi semen dan dibuat miring ke arah selokan agar lebih memudahkan pekerja ketika membersihkan kotoran. Kandang domba dibersihkan setiap hari dengan tujuan menjaga kenyamanan dan kesehatan domba. Kandang domba yang digunakan tergolong baik terlihat dari kesehatan dan tingkah laku domba. Kandang domba yang digunakan saat penelitian ditunjukkan pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8. Kandang Domba Penelitian (a) Kandang Pemeliharaan Tampak Luar dengan Atap Tipe Monitor (b) Kandang Domba Individu Tampak Dalam. Faktor lingkungan yang cukup dominan dalam mempengaruhi produktivitas ternak adalah iklim terutama iklim mikro yaitu suhu, kelembaban udara, radiasi dan kecepatan angin (Yani, 2006). Rataan suhu dan kelembaban di dalam kandang adalah

22 28,97 oC dan 85%. Data suhu dan kelembaban udara pada lingkungan tempat pene-litian (dalam dan luar kandang) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara

Lokasi Waktu Suhu (oC)

Kisaran (oC)

Kelembaban (%)

Kisaran (%) Dalam Kandang Pagi 24 ± 0,80 22,5 - 26 91 ± 2,14 83 – 91

Siang 32 ± 1,26 29 - 32 77 ± 7,22 62 – 77 Sore 31 ± 1,80 27 - 31 81 ± 8,56 57 – 81 Luar Kandang Pagi 26 ± 1,10 21 - 28 85 ± 1,73 80 – 89 Siang 36 ± 0,45 28 - 37 72 ± 3,08 67 – 76 Sore 34 ± 0,90 28 - 35 75 ± 3,08 69 – 80

Keterangan : pagi (07.00), siang (13.00), sore (17.00)

Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi ternak, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Yani, 2006). Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa suhu di dalam kandang lebih rendah dibanding suhu di luar kandang. Suhu dalam kandang berkisar 22 oC – 35 oC dan suhu di luar kandang berkisar 30 oC dengan kelembaban udara 57% - 93%. Sodiq et al. (2003) menyatakan kelembaban udara yang ideal bagi peternakan penggemukan adalah 60% - 80%. Kelembaban udara yang tidak normal dapat menyebabkan penyakit pada domba yang diakibatkan parasit dan jamur saat kelembaban terlalu tinggi, serta penyakit lainnya akibat kelembaban udara yang terlalu rendah/kering. Perbedaan kelembaban di dalam dan luar kandang disebabkan oleh persentasi uap air dalam kandang lebih banyak akibat dari proses respirasi ternak. Kondisi kandang domba penelitian secara umum tergolong baik dan dilengkapi dengan pohon/tumbuhan disamping kandang.

Kondisi Pakan

Pakan yang digunakan selama penelitian adalah pellet dengan bahan dasar limbah tauge. Limbah tauge segar diperoleh dari pasar Bogor selanjutnya dikeringkan untuk dijadikan pellet. Kandungan nutrisi limbah tauge menjadi acuan untuk memanfaatkan limbah tauge sebagai pakan domba. Rahayu (2010) menyatakan limbah tauge memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik, yaitu mengandung protein kasar 13% - 14%, serat kasar (SK) 49,44% dan TDN 64,65%.

23 Ransum domba yang terbentuk dengan bahan dasar limbah tauge memiliki komposisi nutrisi Protein Kasar sebesar 16,66%, Serat Kasar (24,51%), Lemak (3,71%), Ca (1,39%), P (0,23%) dan Beta-N (36,26%). Limbah tauge digolongkan ke dalam hijauan karena mengandung serat kasar yang tinggi dengan kandungan protein dan TDN yang hampir sama dengan konsentrat. Limbah tauge yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

(a) (b) (c)

Gambar 9. Limbah Tauge dan Pellet yang Digunakan. (a) Limbah Tauge Dalam Bentuk Segar (b) Limbah Tauge Kering Udara (c) Ransum Berbentuk Pellet

Limbah tauge dan ransum yang terbentuk memiliki nilai Beta-N yang tinggi. Semakin tinggi nilai Beta-N suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik, karena semakin banyak zat-zat makanan yang dapat dicerna seperti protein, lemak, serat kasar. Alasan pemilihan limbah tauge menjadi bahan dasar pakan adalah limbah tauge yang ekonomis dan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat. Penelitian yang telah dilakukan pada peternakan penggemukan domba ekor gemuk di wilayah Bogor dengan memanfaatkan limbah tauge dalam ransumnya menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam ransum menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang cukup tinggi yaitu sebesar 145 g/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum konsentrat yaitu sebesar 96 g/ekor/hari (Rahayu et al., 2011).

24

Kondisi dan Performa Domba

Domba yang digunakan dalam penelitian ini dipilih menggunakan seleksi bangsa, bobot badan, jenis kelamin dan umur. Noor (2010) menyatakan perbedaan yang dapat diamati pada ternak untuk berbagai sifat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Pemilihan awal ternak didasarkan pada genetik yaitu dengan memilih bangsa domba garut dan domba ekor tipis jantan, selanjutnya diberikan lingkungan yang sama terhadap kedua bangsa domba tersebut. Bobot badan rata-rata domba yang digunakan adalah domba ekor tipis muda 13,6 ± 0,6 kg dan domba garut muda 14,9 ± 1,1 kg dengan umur 7 - 8 bulan. Rataan bobot badan domba ekor tipis mengalami penurunan pada bulan pertama. Hal ini disebabkan oleh domba ekor tipis pada ulangan kedua (DE2) mengalami diare. Letak kandang domba ekor tipis2 (DE2) yang berada disamping ventilasi kandang menyebabkan domba masuk angin/diare sehingga bobot badan domba mengalami penurunan. Kesehatan dan bobot badan domba kembali normal pada bulan kedua setelah diberi obat diare seperti diapet dan herbal ekstrak daun jambu sehingga performa domba terlihat lebih baik.

Performa produksi pada saat ternak hidup dapat dilihat melalui indikator-indikator seperti bobot badan akhir, pertambahan bobot badan harian (pbbh), rataan konsumsi harian, efisiensi ransum. Konsumsi pakan harian domba ekor tipis (859 ± 65 g) dan garut (997 ± 151 g). Rataan konsumsi bahan kering pakan domba ekor tipis 753,09 ± 57,24 g/ekor/hari dan domba garut 873,93 ± 132,67 g/ekor/hari. Konsumsi tersebut sesuai dengan NRC (1985) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering harian domba dengan bobot badan 10 - 20 kg adalah 500 - 1000 g/ekor/hari. Rataan konsumsi protein kasar domba ekor tipis 163,58 ± 37,98 g/ekor/hari dan konsumsi protein kasar domba garut 183,88 ± 29,15 g/ekor/hari. Konsumsi serat kasar domba ekor tipis adalah 240,66 ± 55,87 g/ekor/hari dan domba garut 270,53 ± 42,89 g/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan harian domba garut dan ekor tipis tergolong baik.

Harahap (2009) menyatakan bahwa rataan konsumsi harian domba yang diberi pakan berbasis kulit singkong dan rumput lapang adalah konsumsi bahan kering (503,71 g/ekor/hari), rataan konsumsi protein kasar (45,03 g/ekor/hari), rataan konsumsi TDN (221,03 g/ekor/hari) dengan rataan pertambahan bobot badan harian

25 21,51 g/ekor/hari. Tingginya konsumsi protein kasar harian domba menunjukkan bahwa pakan yang diberikan baik dengan kandungan protein kasar pakan yang tinggi. Pakan domba pada penelitian ini tergolong baik terlihat juga dari tingginya konsumsi TDN dan pertambahan bobot badan harian domba di atas 100 g/ekor/hari.

Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan ternak adalah jenis kelamin, bobot badan, kondisi ternak, kondisi lingkungan dan palatabilitas pakan (bentuk pakan, bau, rasa dan tekstur pakan). Perbedaan konsumsi pakan dari berbagai jenis pakan dapat menghasilkan perbedaan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan ternak sebelum pemotongan berhubungan dengan kualitas daging diantaranya adalah keempukan. Peningkatan laju pertumbuhan merupakan refleksi dari elevali laju sintesis protein (Soeparno, 2005).

Pertambahan bobot badan, nutrisi, umur merupakan faktor yang berhubungan erat antara yang satu dengan yang lain. Bobot tubuh berhubungan erat terhadap komposisi tubuh (Soeparno, 2005). Rataan PBBH kedua bangsa domba tergolong baik yaitu diatas 100 g/hari. Bobot akhir dan PBBH domba meningkat seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Kelompok Bobot Badan Akhir(kg) PBBH (g)

Domba Rataan Kisaran Rataan Kisaran Domba Ekor tipis

n=4 24,7 ± 1,67 22,4 - 26,4 127 ± 21 98 - 143 Domba Garut

n=4 29,45 ± 1,28 28,4 - 31,2 153 ± 24 129 - 179

Sumber : Laporan Akhir Penelitian Unggulan Fakultas Peternakan

Hasil yang diperoleh pada Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot badan domba garut (29,45 ± 1,28 kg) lebih besar dibandingkan dengan bobot badan domba ekor tipis (24,7 ± 1,67 kg). Perbedaan ini dipengaruhi oleh bobot awal pemeliharaan kedua jenis domba yang berbeda. Bobot badan yang berbeda pada umur yang sama disebabkan oleh genetik ternak itu sendiri. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa jenis domba ekor tipis memiliki tubuh yang kecil/ramping, bercak hitam sekitar mata dan hidung, pola warna tubuh sangat beragam, ekor tipis, pendek dan timbunan lemak tidak terlalu kelihatan.

26 Pertambahan bobot badan domba garut lebih besar dibandingkan dengan domba ekor tipis tetapi tidak berbeda secara nyata (P<0,05). Riwantoro (2005) menjelaskan bahwa domba garut memiliki keistimewaan tubuhnya yang relatif besar, berbentuk persegi panjang dan kasar, produksi lebih tinggi dibandingkan domba lokal lainnya serta sebagai penghasil daging yang sangat baik.

Efisiensi pakan didefinisikan sebagai perbandingan jumlah unit produksi yang dihasilkan yaitu pertambahan bobot badan dengan jumlah unit konsumsi pakan dalam satuan waktu yang sama. Efisiensi ransum domba ekor tipis 0,20 ± 0,02 dan efisiensi 0,16 ± 0,02. Nilai ini menunjukkan bahwa domba ekor tipis lebih efisien dalam mengkorversi pakan menjadi daging dibandingkan domba garut meskipun tidak berbeda nyata (P>0,05). Semakin tinggi nilai efisiensi pakan menunjukkan bahwa ternak tersebut semakin efisien dalam mengubah ransum menjadi bobot badan.

Kualitas Fisik Daging

Hasil pengujian kualitas fisik daging domba garut dan ekor tipis muda dapat dilihat pada Tabel 5. Kualitas fisik daging yang diamati meliputi warna daging, daya mengikat air oleh protein, pH daging, susut masak serta keempukan. Vipond (2004) menyatakan sifat fisik daging menjadi indikator kualitas suatu daging tersebut. Tabel 5. Data Kualitas Fisik Daging Domba Penelitian

Parameter

Domba Ekor

tipis Domba Garut Rataan pH 5,86 ± 0,18 5,83 ± 0,17 5,85 ± 0,17 % mg H2O bebas 20,61 ± 2,67 24,58 ± 10,33 22,6 ± 6,5 Daya Putus (kg/ cm) 2,94 ± 0,51a 3,85 ± 0,32b - Susut Masak (%) 24,62 ± 2,75 24,58 ± 2,13 24,6 ± 2,44 Warna 2,5 ± 0,57 2,25 ± 0,5 2,38 ± 0,53

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05).

Nilai pH

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai pH daging domba garut muda yang diberi ransum limbah tauge tidak berbeda nyata dengan daging domba

27 ekor tipis. Nilai pH domba ekor tipis (5,86 ± 0,18) dan nilai pH daging domba garut (5,83 ± 0,17). Nilai yang tidak berbeda ini disebabkan oleh genetik dari domba garut dan domba ekor tipis yang masih memiliki persamaan. Domba garut merupakan domba lokal Indonesia hasil persilangan dari domba lokal, merino dan capstat (Mulliadi, 1996). Bangsa domba pada penelitian ini sangat sedikit mempengaruhi nilai pH. Aberle et al. (2001) menyatakan nilai pH daging yang berbeda pada umumnya dipengaruhi oleh penanganan daging setelah pemotongan.

Pengukuran pH daging domba dilakukan pada 24 jam postmortem untuk mengetahui nilai pH yang tercapai setelah glikogen otot habis. Penurunan pH disebabkan adanya konversi otot menjadi daging akan berlangsung proses glikolisis dalam keadaan anaerob. Proses ini menyebabkan glikogen dikonversi menjadi asam laktat sampai pH mencapai suatu titik sampai enzim pemecah tidak aktif. Enzim-enzim pemecah (glikolitik) pada daging mamalia yang spesifik akan berhenti pada pH 5,4 - 5,5 dan kondisi ini glikogen tidak ditemukan lagi pada daging (Lawrie, 2003). Soeparno (2005) juga menyatakan bahwa variasi pH daging dapat disebabkan stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan kimia tertentu, individu ternak, jenis otot, stimulasi listrik. Lawrie (2003) juga menegaskan bahwa tingkat penurunan pH pascamati dipengaruhi karena faktor instrinsik seperti spesies, tipe urat daging, variabilitas antara urat hewan serta faktor luar seperti pemberian obat-obatan sebelum dipotong dan suhu lingkungan.

Dihansih (2006) menyatakan nilai pH daging yang tidak berbeda kemungkinan disebabkan kandungan glikogen otot yang sama. Kadar glikogen yang sama menyebabkan ketersediaan asam laktat yang sama pada daging postmortem.

Rataan nilai pH daging domba yang diperoleh (5,85 ± 0,17). Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot dan dapat berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP (Henckle et al., 2000). Nilai pH daging domba garut dan ekor tipis tergolong normal. Nilai pH ultimat daging yang normal berkisar 5,4 - 5,8 (DeMan,1997).

Perlakuan terhadap ternak domba garut dan ekor tipis sebelum pemotongan seperti sistem pemeliharaan di kandang individu dan jenis pakan yang sama memungkinkan ternak tidak banyak beraktivitas. Stres pada domba garut dan ekor

28 tipis diminimalkan dengan pengistrahatan dan pemuasaan selama 18 jam setelah digiring dari kandang blok B. Soeparno (2005) menyatakan stres berpengaruh terhadap kualitas daging seperti nilai pH, keempukan dan DMA. Domba yang tidak stres (tenang) saat dipotong memiliki cadangan glikogen yang cukup untuk rigormortis. Minimalnya stres yang dialami domba menyebabkan cadangan glikogen yang cukup dan nilai pH ultimat yang normal. Nilai pH daging merupakan faktor kualitas daging yang berpengaruh terhadap daya mengikat air, kesan jus daging, susut masak, keempukan dan daya simpan daging (Lawrie, 2003).

Daya Mengikat Air

Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata nilai DMA pada

L.Dorsi domba garut dan domba ekor tipis. DMA yang tidak berbeda disebabkan

adanya hubungan antara nilai pH dan DMA, sehingga nilai pH yang tidak berbeda nyata menyebabkan nilai DMA yang tidak berbeda nyata juga. Persentase air bebas pada daging domba garut (24,8% ± 10,33%) dan domba ekor tipis (20,61% ± 2,67%). Suryantoro (2010) menyatakan persentase air keluar setelah penekanan pada daging domba rata-rata 35,40% ± 5,98%. Daya mengikat air daging (DMA) akan semakin tinggi apabila nilai DMA (persentase air bebasnya) semakin rendah. Rendahnya nilai persentase air bebas daging domba garut dan ekor tipis pada penelitian ini menunjukkan bahwa nilai DMA daging kedua bangsa domba tersebut tergolong tinggi.

Honikel (1998) menyatakan persentase air yang keluar dari sampel daging dapat digunakan sebagai pendekatan kemampuan daging dalam mengikat air (DMA). Daya mengikat air daging dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Hertog-Meischke (2011) menambahkan bahwa kemampuan daging untuk mengikat air dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti panjang sarkomer daging, banyaknya air yang hilang, daya mengikat air miofibrilar, aktivitas ATPase miofibrilar, bentuk

phosphorylase, kelarutan protein dan konsentrasi protein yang hilang. Daya mengikat

air akan menurun dari pH tinggi sekitar 7 - 10 sampai mencapai titik isoelektrik antara 5,0 - 5,1. Titik isoelektrik menunjukkan bahwa protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya rendah (Aberle et al., 2001). Arief et al. (2006) menyatakan bahwa pada nilai pH yang lebih tinggi daripada pH isoelektrik protein daging, sejumlah

29 muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif. Peristiwa ini menyebabkan adanya penolakan dari mikrofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Kondisi yang berbeda ketika pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein terdapat akses muatan positif dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air dengan protein daging.

Nilai pH daging domba garut (5,83) dan ekor tipis (5,86) lebih tinggi daripada titik isoelektrik sehingga terjadi penolakan filamen yang menyebabkan ruang untuk air lebih banyak sehingga jumlah air bebasnya sedikit. Sedikitnya jumlah air yang keluar mengidentifikasikan bahwa daya mengikat air daging tersebut tinggi. Soeparno (2005) menyatakan DMA daging dapat dipengaruhi oleh spesies, umur, transportasi ternak, temperatur, kelembaban, penyimpanan, preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Berbagai faktor yang menyebabkan perbedaan nilai DMA seperti umur, spesies, jenis kelamin serta perlakuan sebelum pemotongan domba garut dan ekor tipis diberikan perlakuan yang sama sehingga nilai DMA dari kedua bangsa domba tersebut tidak berbeda nyata.

Lawrie (2003) menambahkan bahwa penurunan pH pascamati dapat mempengaruhi nilai DMA. Nilai pH akhir daging yang tinggi akan mengakibatkan penurunan nilai DMA yang lebih sedikit. Pemecahan dan habisnya ATP serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigormortis akan menyebabkan peenurunan daya mengikat air. Penurunan daya mengikat air (DMA) daging sapi dan domba disebabkan karena pembentukan aktomiosin dan habisnya ATP pada saat rigor. Sepertiga penurunan DMA daging disebabkan oleh penurunan pH. Penurunan pH yang cepat akibat dari pemecahan ATP yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya mengikat air protein (Soeparno, 2005).

Spesies ternak yang sama dengan bangsa yang sama dapat juga menyebabkan DMA yang berbeda apabila sumber daging yang diamati adalah berbeda (Lawrie, 2003). Uji kualitas daging domba garut dan domba ekor tipis menggunakan daging loin. Loin adalah otot Longgissimus dorsi yang sangat penting dalam membentuk urat daging mata rusuk jika dipotong dari area rusuk. Otot ini sangat sedikit dipengaruhi oleh pergerakan/aktivitas sehingga pada bagian loin pengaruh bangsa yang diberikan terhadap ternak terlihat nyata. Bangsa domba yang berbeda tidak

30 mengakibatkan nilai DMA yang berbeda apabila pengujian dilakukan pada daging

L.Dorsi.

Keempukan

Keempukan merupakan salah satu sifat mutu yang penting pada daging dan menjadi faktor utama yang diperhatikan konsumen. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa bangsa domba berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap keempukan daging. Hasil pengukuran keempukan dengan melihat nilai pemutus Warner Blatzer pada daging domba ekor tipis (2,94 ± 0,51 kg/cm2) dan pada daging domba garut adalah (3,85 ± 0,32 kg/cm2). Daya putus WB daging domba garut dan ekor tipis bagian longisimus dorsi pada penelitian ini tergolong rendah dibandingkan Suryantoro (2010) yang menyatakan daya putus WB daging domba muda rata-rata (6,23 ± 2,10 kg/cm2). Daging domba ekor tipis pada penelitian ini tergolong sangat empuk dan daging domba garut tergolong empuk sesuai berdasarkan Suryati et al.

(2008) yang menyatakan bahwa daging tergolong sangat empuk apabila daya putus WB < 3,30 kg/cm2, empuk (3,30 - 5,00 kg/cm2), agak empuk (5,00 - 6,71 kg/cm2), agak alot (6,71 - 8,42 kg/cm2), alot (8,42 - 10,12 kg/cm2), sangat alot (>10,12 kg/cm2). Semakin tinggi nilai daya putus WB berarti semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging persentimeter persegi, yang berarti daging semakin alot atau tingkat keempukan semakin rendah.

Perbedaan nilai daya putus WB daging pada penelitian ini disebabkan oleh faktor sebelum pemotongan ternak yaitu perbedaan bangsa. Daging domba ekor tipis pada penelitian ini lebih empuk dibandingkan daging domba garut. Salomon (1980) menyatakan bahwa daging domba dari bangsa yang berbeda menghasilkan keempukan yang berbeda juga. Aberle et al. (2001) juga menambahkan bahwa perbedaan nilai keempukan dapat dipengaruhi oleh bangsa dan genetik ternak, stress, umur, lokasi otot, penanganan pemotongan, temperatur penyimpanan dan stimulasi listrik. Domba garut sebagai persilangan dari domba lokal, domba cape dan merino, secara genetik lebih dominan terhadap sifat pedaging dan tangkas dibandingkan dengan domba lokal ekor tipis yang dominan terhadap pedaging (Riwantoro, 2005).

Perbedaan keempukan daging domba ekor tipis dan domba garut kemungkinan dipengaruhi oleh aktivitas dan tingkah laku dari ternak tersebut. Aktivitas ternak akan mempengaruhi struktur miofibrilar dan kontraksi otot

31 (Soeparno, 2005). Ternak yang beraktivitas banyak akan menghasilkan otot yang lebih kasar dibandingkan dengan ternak yang kurang banyak beraktivitas karena adanya kontraksi otot pada bagian yang beraktivitas. Tingkah laku domba garut lebih agresif dibandingkan domba ekor tipis. Hal ini terlihat pada aktivitas domba garut lebih banyak dibandingkan domba ekor tipis meskipun dikandangkan dalam kandang individu. Domba garut memiliki tingkah laku mengadukan tanduknya terhadap dinding kandang, meloncat-loncat dalam kandang, menggigit kandang dan kadang meloncat keluar kandang. Tingkah laku domba ekor tipis terlihat lebih sedikit bergerak dibandingkan domba garut meskipun diberi kandang, pakan dan perlakuan yang sama. Tingkah laku domba garut akan terlihat nyata lebih agresif ketika diberikan pakan. Domba garut biasanya dengan cepat dan aktif mencium dan menggoyang tempat pakan ketika ingin diberikan pakan yang baru. Tingkah laku seperti ini menunjukkan pergerakan dan aktivitas khususnya leher domba garut yang lebih banyak, sehingga memungkinkan terjadinya kontraksi dan pemendekan otot yang lebih besar dibandingkan dengan domba ekor tipis.

Perbedaan agresivitas antara domba garut dan domba ekor tipis dipengaruhi oleh keterlibatan antara hormon steroid dari testes dan ovarium serta interaksinya dari hormon kelompok pituitari, pankreas serta hipotalamus (Lawrie, 2003). Nataatmaja dan Arifin (2005) juga menambahkan bahwa sifat galak dan agresif dari domba garut lebih tinggi dibanding domba ekor tipis disebabkan ukuran testis dari dombah garut lebih besar daripada domba ekor tipis pada umur yang sama. Perkembangan testis terlihat sangat nyata sampai umur satu tahun. Ukuran testis berkorelasi positif dengan produksi hormon testosteron, FSH dan LH. Hormon ini berpengaruh terhadap libido dan menstimulasi sintesis protein otot yang terjadi karena adanya reseptor androgen (Toliehere, 1981). Tingginya hormon testosteron domba garut mengakibatkan aktivitas, agresivitas dan pergerakan otot yang lebih besar dibandingkan domba ekor tipis. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa otot yang biasa dipakai untuk beraktivitas akan meningkatkan pembentukan asam laktat dan penurunan pH, sehingga DMA lebih besar dan keempukan rendah.

Otot domba bagian Longisimus dorsi yang diamati pada penelitian ini mengalami kontraksi ketika domba beraktivitas sehingga terjadi stimulus dari saraf yang diteruskan ke ujung saraf perhubungan neuromuskular. Potensial aksi

32 menyebabkan pembebasan asetilkolin ke serabut otot melalui tubulus T. Potensial aksi diteruskan ke sarkoplasmik retikulum kemudian sarkoplasmik reticulum akan membebaskan ion Ca2+. Ion Ca2+ mengaktifkan troponin dan tropomiosin pada filamen tipis sehingga terbentuk jembatan lintang antara aktin dan miosin sehingga terjadi pergeseran filamen yang menyebabkan kontraksi otot. Kontraksi yang terjadi menyebabkan sarkomer otot memendek sehingga daging terlihat kasar (Lawrie, 2003).

Keempukan daging dapat juga dipengaruhi oleh daya mengikat air dan nilai pH daging. Tingginya nilai pH daging menyebabkan daya mengikat air yang tinggi sehingga nilai keempukan daging rendah. Rendahnya nilai keempukan menunjukkan bahwa daging tersebut empuk. Daging dengan daya mengikat air tinggi biasanya memiliki nilai keempukan yang lebih rendah, sebaliknya daging dengan DMA rendah akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Keempukan daging domba garut lebih rendah dibandingkan daging domba ekor tipis karena adanya perbedaan

Dokumen terkait