• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Fisik Daging Domba Garut dan Domba Ekor Tipis Muda yang Diberi Pakan Mengandung Limbah Tauge

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kualitas Fisik Daging Domba Garut dan Domba Ekor Tipis Muda yang Diberi Pakan Mengandung Limbah Tauge"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS FISIK DAGING DOMBA GARUT DAN DOMBA

EKOR TIPIS MUDA YANG DIBERI PAKAN

MENGANDUNG LIMBAH TAUGE

SKRIPSI

ASTRA MAYANTI NAIBAHO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Astra Mayanti Naibaho. D14080133. 2012. Kualitas Fisik Daging Domba Garut dan Domba Ekor Tipis Muda yang Diberi Pakan Mengandung Limbah Tauge.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, M.Si. Pembimbing Anggota : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.

Indonesia memiliki berbagai jenis domba lokal yang potensial untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging. Kendala pengembangan domba pada masyarakat adalah ketersediaan pakan yang semakin sedikit. Limbah tauge menjadi pakan alternatif yang bisa memungkinkan untuk diberikan kepada domba. Pakan dan bangsa ternak merupakan faktor yang menentukan kualitas daging pada ternak. Indikator kualitas daging salah satunya dapat dilihat dari sifat fisiknya. Sifat fisik daging yang baik dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan.

Penelitian untuk mempelajari dan membandingkan pengaruh bangsa, yaitu domba ekor tipis dan domba garut terhadap kualitas fisik daging dengan pakan mengandung limbah tauge. Penelitian dilakukan di Laboratorium Ruminansia Kecil dan Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni hingga Oktober 2011. Materi penelitian berupa delapan ekor domba berumur delapan bulan yang terdiri atas empat ekor domba ekor tipis yang diperoleh dari UP3 Jonggol dan empat ekor domba garut yang diperoleh dari Mitra Tani Farm. Pakan dan minum diberikan ad libitum. Domba dipelihara tiga bulan kemudian dipotong pada umur 11 bulan. Sampel daging pada bagian Longisimus dorsi diamati kualitas fisiknya yang meliputi: nilai pH, daya mengikat air, keempukan yang diukur melalui daya putus Warner Blatzer (WB), susut masak dan warna daging. Hasil yang didapat diuji t dengan membandingkan perlakuan bangsa domba.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan bangsa tidak memberikan hasil yang berbeda nyata kualitas fisik daging domba seperti nilai pH, daya mengikat air, susut masak dan warna daging. Rataan nilai pH daging domba garut dan ekor tipis adalah (5,85 ± 0,17), rataan persentase air bebas (22,6% ± 6,5%), rataan susut masak (24,6% ± 2,44%) dan rataan skor warna daging (2,38 ± 0,53). Perbedaan yang sangat nyata (P<0,05) pada kualitas daging hanya terlihat pada peubah keempukan. Daging domba ekor tipis tergolong sangat empuk dengan daya putus WB pada daging 2,94 ± 0,51kg/cm2 dan domba garut tergolong empuk dengan daya putus WB pada daging 3,85 ± 0,32 kg/cm2. Kualitas daging domba ekor tipis dan garut tergolong bagus, dengan keempukan tertinggi ditunjukkan pada daging domba ekor tipis.

(3)

ABSTRACT

Physical Quality of Garut and Thin Tail Lamb with Fed of Mungbean Based

Naibaho, A. M., S. Rahayu dan T. Suryati

Garut and thin taill lamb are two Indonesian domestic breeds that have high potential to be developed. However, feedstock availability remains a recurring problem in its development effort. Mungbean waste could be utilized to solve the problem. The aim of this research was to compare the meat physical properties of thin tail and garut lambs fed with mungbean waste. Eight lambs were raised within individual cadge for 3 months. The meat was obtained from Longisimus dorsi (loin) muscle. The meat physical properties were observed and analyzed using t test. The results showed that there were no significant difference (P>0.05) between garut and thin tail lamb in pH, water holding capacity (WHC), meat color, and cooking weight loss. There was significant difference (P<0.01) in meat tanderness, 3,85 ± 0,32 kg/cm2 and 2,94 ± 0,51 kg/cm2 for garut and thin tail lambs respectively. Thin tail lamb was more tender than garut lamb.

(4)

KUALITAS FISIK DAGING DOMBA GARUT DAN DOMBA

EKOR TIPIS MUDA YANG DIBERI PAKAN

MENGANDUNG LIMBAH TAUGE

ASTRA MAYANTI NAIBAHO D14080133

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Kualitas Fisik Daging Domba Garut dan Domba Ekor Tipis Muda yang Diberi Pakan Mengandung Limbah Tauge

Nama : Astra Mayanti Naibaho NRP : D14080133

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

Ir. Sri Rahayu, M.Si. NIP. 19570611 198703 2 001

Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP.19720516199702 2 001

Mengetahui : Ketua Departemen

Ilmu Pruduksi dan Teknologi Peternakan

(Prof Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 195912121986031004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pulau Samosir, Sumatra Utara pada tanggal 13

November 1990. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan

Bapak Mangarindang Naibaho dan Ibu Resti Simbolon. Penulis mengawali

pendidikan di SD Negeri 173759 Ronggurnihuta tahun 1996-2002, dan melanjutkan

Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Pangururan dan lulus tahun 2005.

Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMA Negeri 1 Pangururan pada

Tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan tahun 2008.

Penulis aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan, akademik dan magang.

Penulis pernah menjadi anggota Resimen Mahasiswa (MENWA) IPB tahun

2008-2010, menjadi anggota EMULSI majalah pangan dan gizi tahun 2009-2010 sebagai

staf produksi dan anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Peternakan (BEM-D) sebagai

biro kewirausahaan tahun 2010-2011. Penulis juga aktif dalam Persekutuan

Mahasiswa Kristen (PMK) sebagai pengurus bidang kesenian periode 2010-2011,

aktif dalam Persekutuan Oikumene Protestan Khatolik (POPK) Fakultas Peternakan

serta menjadi pengurus Paguyuban penerima beasiswa Karya Salemba Empat IPB.

Penulis menjadi asisten praktikum MK. Ruminansia Kecil tahun 2011 dan peserta

Building Entrepreuner Student (BEST) Fakultas Peternakan IPB 2010. Penulis sering

mengikuti berbagai kepanitiaan yaitu divisi Konsumsi Tatap Muka Menwa seBogor

2008, Reatret Komisi Kesenian PMK IPB 2009, perayaan Natal Fakultas dan CIVA

IPB (2009-2011), Kuliah Umum Fakultas Peternakan (2010), Tatap Muka Penerima

Beasiswa KSE seJawa (2011), Makrab IPTP IPB (2011).

Penulis pernah mengikuti magang di Balai Inseminasi Buatan (BIB)

Lembang tahun 2010, magang di Peternakan Babi Adhi Farm Solo (2011) dan

menjadi peserta Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (2012).

Penulis juga berkesempatan menjadi penerima beasiswa POM IPB (2008-2009),

beasiswa Karya Salemba Empat (2010-2011) dan beasiswa Otorita Asahan

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Sifat Fisik Daging Domba Garut dan Domba Ekor Tipis Muda yang Diberi Pakan Mengandung Limbah Tauge. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan informasi

mengenai sifat fisik daging domba lokal Indonesia khususnya daging domba garut

dan domba jonggol dengan memanfaatkan limbah tauge sebagai pakannya.

Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis pada bulan

Juni sampai Oktober 2011 di Laboratorium Lapang blok B, Laboratorium

Ruminansia Besar dan Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan Institut Pertanian

Bogor, Bogor. Skripsi ini membahas tentang kualitas fisik daging domba garut dan

jonggol muda yang diberi pakan berbasis limbah tauge. Domba garut dan jonggol

merupakan domba lokal Indonesia yang potensial untuk dikembangkan dan mampu

beradaptasi baik pakan dan lingkungan. Pemanfaatan limbah tauge sebagai pakan

domba diharapkan dapat memberikan informasi penting dalam usaha peternakan

domba sehingga mampu mengurangi biaya pakan dan memberikan kualitas daging

yang lebih baik.

Masyarakat membutuhkan informasi kualitas fisik daging sebagai penilaian

pertama saat memilih dan mengkonsumsi daging. Kualitas daging yang dibahas

dalam skripsi ini meliputi pH, keempukan, daya mengikat air, susut masak dan warna

daging dari bangsa domba yang berbeda. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi

ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat

bagi pembaca dan menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan.

Bogor, April 2012

(8)
(9)

Peubah yang Diamati ... 16

Uji Nilai pH ... 16

Uji Warna Daging ... 17

Uji Daya Mengikat Air (DMA) ... 18

Uji Susut Masak (%) ... 18

Uji Keempukan (kg/cm2) ... 18

Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Keadaan Umun ... 21

Lingkungan Tempat Penelitian ... 21

Kondisi Pakan ... 22

Kondisi dan Performa Domba ... 24

Kualitas Fisik Daging... 26

Nilai pH ... 26

Daya Mengikat Air ... 28

Keempukan ... 30

Susut Masak ... 33

Warna Daging ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

UCAPAN TERIMA KASIH ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Syarat Mutu Daging Domba ... 8

2. Komposisi Ransum Penelitian ... 16

3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara... 22

4. Rataan Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian ... 25

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Domba Ekor Tipis ... 3

2. Domba Garut ... 5

3. Limbah Tauge ... 6

4. Ternak dan Pakan yang Digunakan Selama Penelitian ... 14

5. Alat pH Meter untuk Mengukur pH Daging ... 17

6. Meat Color Card yang Digunakan untuk Menilai Warna Daging Domba .. 17

7. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Menguji Keempukan Daging ... 19

8. Kandang Domba Penelitian ... 21

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Uji t Susut Masak Daging ... 43

2. Hasil Analisis Uji t Warna Daging ... 43

3. Hasil Analisis Uji t Nilai pH Daging ... 44

4. Hasil Analisis Uji t Keempukan Daging ... 44

5. Hasil Analisis Uji t Persentase Air Bebas Daging ... 45

6. Gambar Domba Penelitian ... 46

(13)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Domba merupakan ternak prolifik (dapat beranak lebih dari satu dalam satu

kelahiran), mampu beradaptasi, tahan penyakit dan potensial untuk dipelihara di

Indonesia. Usaha penggemukan domba banyak diminati pengusaha dan peternak

karena perputaran modal yang cepat dan pemeliharaan yang praktis. Permasalahan

yang dihadapi sebagian peternak adalah keterbatasan dalam penyediaan pakan.

Pakan merupakan unsur penting dalam suatu peternakan. Biaya pakan dalam

pemeliharan ternak sekitar 60% - 70%, sehingga peternak mencari pakan subsitusi

yang lebih murah, dengan kandungan nutrisi yang baik. Salah satu pakan alternatif

subsitusi yang kemungkinan dapat dijadikan pengganti hijauan adalah limbah tauge.

Limbah tauge merupakan sisa dari produksi tauge yang terdiri atas kulit

tauge atau tudung yang berwarna hijau dan sebagian tauge yang terbuang. Limbah

tauge dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dengan jumlah yang cukup

banyak sehingga menjamin ketersediaannya untuk dijadikan pakan. Produksi tauge

tidak mengenal musim terutama untuk petani/pengrajin tauge di daerah Bogor.

Limbah tauge biasanya dibuang begitu saja sehingga dapat mencemari lingkungan,

oleh karena itu limbah tauge dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Pemanfaatan

limbah tauge dapat membantu meningkatkan produktivitas ternak dan membantu

menanggulangi permasalahan lingkungan.

Pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas daging pada

ternak. Manajemen pemberian dan kandungan nutrisi pakan menunjang perolehan

hasil dari produksi ternak itu sendiri. Kualitas daging domba dapat juga ditentukan

oleh bangsa ternak. Domba garut dan ekor tipis merupakan bangsa domba yang

dipelihara di Indonesia. Perbedaan kedua bangsa domba ini, memungkinkan kualitas

fisik daging yang dihasilkan berbeda pada umur dan pemberian pakan yang sama.

Sifat fisik daging merupakan faktor yang menentukan penilaian kualitas

daging oleh konsumen. Kualitas fisik daging dapat dipengaruhi oleh faktor yang

berpengaruh saat pemotongan (penanganan di rumah potong hewan) dan perlakuan

setelah pemotongan. Faktor antemortem (sebelum pemotongan) seperti pakan dan

bangsa ternak juga dapat mempengaruhi kualitas fisik daging. Indikator kualitas

(14)

2 warna, keempukan dan tekstur daging (Lambe, 2008). Pemberian limbah tauge pada

domba diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas fisik daging

domba garut, maupun domba ekor tipis.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan membandingkan

pengaruh bangsa, dalam hal ini domba ekor tipis dan domba garut, terhadap kualitas

fisik daging dengan pakan berbasis limbah tauge. Kualitas fisik tersebut adalah daya

mengikat air, pH, keempukan, susut masak, dan warna daging domba garut dan

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba

Domba tergolong pada kingdom Animalia (hewan), filum chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui) ordo Arthiodactyla (hewan berkuku genap) famili Bovidae (hewan yang memamah biak) genus Ovis dan spesies

Ovis aries. Bangsa domba yang terdapat di Indonesia adalah domba lokal, ekor

gemuk, garut serta ekor tipis. Domba luar yang sering dipelihara di Indonesia adalah

domba merino, rambuillet, southdown, suffolk, dan dorset (Subandriyo, 1996).

Domba Ekor tipis

Domba ekor tipis merupakan domba lokal Indonesia yaitu domba ekor tipis

dengan tubuh yang kecil. Domba ekor tipis paling banyak ditemukan di Jawa Barat

dengan bobot dewasa jantan berkisar 30-40 kg dan betina 15-20 kg (FAO, 2004).

Jenis domba ekor tipis memiliki tubuh yang kecil, sehingga disebut domba kacang

atau biasa dikenal sebagai domba jawa. Domba ini biasanya berwarna putih disertai

belang hitam disekitar mata dan hidung. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa domba

ekor tipis memiliki tubuh yang ramping, bercak hitam sekitar mata dan hidung, pola

warna tubuh sangat beragam, ekor tipis, pendek dan timbunan lemak tidak terlalu

terlihat (Gambar 1).

Gambar 1. Domba Ekor Tipis (Sumber : Dokumentasi Penelitian)

Domba merupakan ternak penghasil daging yang sangat potensial. Domba

betina umumnya tidak memiliki tanduk, sedangkan pada jantan memiliki tanduk

kecil dan melingkar. Domba ekor tipis biasanya tidak memiliki deposisi lemak pada

(16)

4 karkas yang dihasilkan sangat rendah dan pertumbuhannya lambat (Subandriyo,

1996). FAO (2004) menyatakan domba ekor tipis berwarna putih dan ditemukan

bintik hitam di sekeliling mata dan hidung, dan kadang-kadang tidak ditemukan

banyak lemak pada ekor.

Domba Garut

Domba garut merupakan salah satu ternak yang dipelihara oleh sebagian

masyarakat terutama di Jawa Barat sebagai ternak aduan dan penghasil daging.

Domba garut merupakan hasil persilangan segitiga antara domba asli Indonesia,

domba merino dan domba ekor gemuk dari Afrika Selatan (Riwantoro, 2005).

Domba garut berasal dari Kabupaten Garut tepatnya di daerah Limbangan, kemudian

berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Jawa Barat khususnya, dan seluruh

Indonesia umumnya. Domba garut pedaging jantan maupun betina memiliki ciri-ciri

garis muka lurus, bentuk mata normal,bentuk telinga hiris dan rubak, garis punggung lurus, bentuk bulu lurus dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan

betina kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro, 2005). Bentuk umum domba garut

adalah tubuhnya yang relatif besar dan berbentuk persegi panjang dan kasar (Gambar

2). Keistimewaan lain dari domba garut adalah tanduk yang besar dan melingkar ke

belakang dan bervariasi, tempramen yang unik, pangkal ekor kelihatan agak lebar

dengan ujung yang runcing dan pendek dan warna bulu yang beragam (Riwantoro,

2005).

Bentuk tubuh domba garut hampir sama dengan domba lokal, tetapi tubuh

dan badan domba garut terlihat lebih padat. Domba garut memiliki keistimewaan

produksi lebih tinggi dibandingkan domba lokal lainnya serta sebagai penghasil

daging yang sangat baik sehingga sangat sesuai untuk meningkatkan produksi ternak

domba. Daging domba merupakan sumber protein dan lemak hewani (Riwantoro,

2005). Sifat fisik daging domba garut adalah daging warna merah khas domba,

merah lebih gelap, daging terdiri dari serat-serat halus yang sangat rapat jaringannya,

konsistensi cukup padat, diantara otot-otot dan bawah kulit terdapat banyak lemak,

lemak berwarna putih serta daging domba jantan berbau khas. Mulliadi (1996)

menyatakan bahwa domba garut pedaging memiliki asal-usul yang sama dengan

(17)

5 lokal. Domba garut merupakan persilangan dari domba lokal, domba capstat dan

merino yang secara genetik lebih dominan terhadap sifat pedaging dan tangkas.

Gambar 2. Domba Garut

(Sumber : Dokumentasi Penelitian)

Pakan

Pakan merupakan bagian terpenting dalam pemeliharaan ternak. Pakan dapat

didefenisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian

atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak. Pakan dapat dikelompokkan

menjadi dua jenis garis besar yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan merupakan bahan

pakan segar berupa rumput-rumputan, limbah hasil pertanian/pangan seperti jerami

padi, bungkil kedelai, pucuk tebu atau berasal dari pohon-pohonan (daun gamal dan

daun lamtoro) atau pakan kering serta silase (Williamson et al., 1993).

Limbah Tauge

Limbah tauge merupakan bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi oleh

manusia yaitu berupa kulit tauge atau tudung yang berwarna hijau (Gambar 3).

Limbah tauge merupakan sisa dari produksi tauge yang terdiri atas kulit kacang

hijau, patahan-patahan tauge dan tauge yang terbuang. Potensi limbah tauge cukup

banyak di daerah Bogor, sehingga memungkinkan untuk dijadikan pakan ternak

(Rahayu, 2010). Winarno (1981) menyatakan bahwa limbah adalah bahan buangan

dari proses perlakuan atau pengolahan untuk memperoleh hasil utama dan hasil

sampingan. Produk sisa yang hampir tidak digunakan dari suatu kegiatan pertanian.

Ketersediaan limbah tauge terjamin untuk dimanfaatkan karena produksi tauge yang

(18)

6 Limbah tauge biasanya dibuang begitu saja sehingga dapat mencemari lingkungan

(Saenab, 2010).

Hasil survei Rahayu (2010) menunjukkan bahwa potensi limbah tauge di

Bogor sekitar 1,5 ton/hari. Berdasarkan uji laboratorium, limbah tauge memiliki

kandungan nutrisi yang cukup baik, yaitu mengandung protein kasar 13% - 14%,

serat kasar (SK) 49,44% dan TDN 64,65%. Limbah tauge dihasilkan dari kacang

hijau yang mengalami perubahan secara fisik dan kimia menjadi tauge, kemudian

dilakukan pengayakan. Kacang hijau sebagai bahan dasar tauge memiliki kandungan

protein yang tinggi, susunan asam amino yang mirip dengan kedelai serta

mengandung zat anti nutrisi. Limbah yang dianggap sebagai sumberdaya tambahan

ekonomis ini, sebaiknya dimanfaatkan sebaik mungkin (Rahayu, 2010).

Kacang hijau sebagai sumber tauge memiliki daya cerna 81%. Daya cerna

protein kacang hijau dipengaruhi oleh inhibitor tripsin yang dipengaruhi adanya tanin

atau polifenol. Cara untuk menurunkan maupun menginaktifkan zat antigizi tersebut

adalah dengan menjadikan kacang-kacangan menjadi tauge (Bressani et al., 1982). Molekul protein kecambah dipecah menjadi asam amino sehingga terjadi kenaikan

konsentrasi asam amino yaitu lisin 24%, treonin 19%, alanin 29% dan fenilalanin

7%. Kadar glukosa dan fruktosa dari proses perkecambahan meningkat 10 kali, tetapi

kadar sukrosa meningkat dua kali. Winarno (1981) menyatakan limbah tauge

memiliki kandungan protein kasar (PK) sebesar 13,63%, serat kasar (SK) 49,44%

dan TDN sebesar 64,65%. Nilai gizi yang tinggi serta harga yang ekonomis menjadi

faktor pendukung pemanfaatan limbah tauge sebagai pakan ternak. Pemanfaatan dan

pendaurulangan limbah pertanian seperti tauge dapat mengurangi pencemaran

lingkungan dan memberi keuntungan bagi petani maupun produsen (Rahayu, 2010).

Gambar 3. Limbah Tauge

(19)

7

Konsentrat

Konsentrat merupakan makanan ternak berupa biji-bijian, umbi-umbian,

limbah yang mengandung zat-zat makanan utama seperti protein kasar dengan serat

kasar (SK<18%). Konsentrat merupakan pakan yang mengandung serat kasar lebih

rendah dibandingkan dengan hijauan dan mengandung karbohidrat, protein dan

lemak yang relatif tinggi tetapi kandungan airnya relatif rendah. Pemberian

konsentrat pada domba meningkatkan produktivitas yang lebih baik dibandingkan

domba tanpa tambahan konsentrat (Munier et al., 2004). Saenab (2010) menyatakan bahwa pemberian konsentrat pada domba sangat berpengaruh terhadap pertambahan

bobot badan. Konsentrat berfungsi untuk meningkatkan dan memperkaya nilai gizi

pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Rata-rata konsumsi konsentrat

domba adalah 580 g/ekor/hari.

Daging Domba

Daging domba/kambing adalah urat daging yang melekat pada kerangka

kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari

kambing/domba yang sehat sewaktu dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995).

Lawrie (2003) menambahkan bahwa daging adalah organ-organ seperti hati, ginjal,

otot dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging. Otot hewan

berubah menjadi daging setelah pemotongan, yang disebabkan perubahan fungsi

fisiologisnya. Otot merupakan komponen utama penyusun daging dan sebagai

jaringan yang mempunyai struktur dan fungsi utama sebagai penggerak. Perbedaan

kandungan gizi daging dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, pakan, umur, jenis

ternak serta letak dan fungsi bagian tubuh ternak tersebut (Aberle et al., 2001). Kondisi daging dapat dipengaruhi oleh umur ternak, aktivitas ternak semasa

hidupnya, makanan ternak dan bagian tubuh ternak tersebut. Daging domba yang

bermutu baik memiliki warna merah khas daging segar dengan serat yang halus,

lemak berwarna kuning dan dagingnya keras/elastis (Soeparno, 2005). Kandungan

protein daging domba adalah 18,7% dan daging sapi adalah 18,8%. Tingkat

keempukan daging dapat dipengaruhi oleh waktu pelayuan daging, pembekuan dan

metode pemasakan. Daging domba jantan lebih amis dan memiliki lemak yang

berwarna putih, padat, mudah mencair dan membeku kembali dengan warna sedikit

(20)

8 Vipond (2004) menyatakan bahwa daging domba dewasa memiliki serat yang

lebih halus dibandingkan dengan daging lainnya. Daging domba dewasa memiliki

ciri-ciri jaringan sangat padat, berwarna merah muda, konsistensinya cukup tinggi,

lemaknya terdapat di bawah kulit yaitu antara otot dan kulit serta sedikit berbau

prengus. Ciri-ciri fisik daging domba dapat menentukan kualitas daging tersebut.

Kualitas daging domba menurut (SNI, 1995) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Daging Domba

Syarat Syarat mutu Cara Pengujian Mutu I Mutu II Mutu III

dipotong dari area rusuk dan loin adalah otot Longgissimus dorsi. Otot Longgissimus

dorsi memanjang dari posterior daerah rusuk melalui loin dan berakhir di bagian

anterior dari ilium. Otot Longgissimus dorsi terbagi menjadi beberapa segmen tergantung pada lokasi. Otot pada daerah lumbar disebut Longissimus dorsi et

lumbarum dan pada daerah thoraks disebut Longissimus thoracis. Otot Longgissimus

dorsi pada bagian serviks disebut Longissimus cervicis, Longissimus capitis,

Longissimus atlantis (Purbowati, 2006). Swatland (1994) menyatakan bahwa

penampang lintang Longisimus dorsi meluas kearah posterior rusuk. Area

(21)

9 karkas yaitu diantara rusuk ke 12 dan ke 13. Bagian rusuk ke 12 dan ke 13 sering

diuji untuk menaksir jumlah daging dari suatu karkas.

Otot Longgissimus dorsi tersusun dari banyak subunit otot yang masing-masing membantu fleksibilitas vetebra columm dan gerakan leher serta aktivitas pernafasan (Swatland, 1994). Schilling (2010) menyatakan bahwa otot Longgissimus

dorsi terdiri dari subunit yang bertindak membantu fleksibilitas vertebral kolom. Otot

Longissimus thoracis et lumborum berperan dalam fleksibilitas otot ketika berjalan

dan berlari. Otot Longgissimus dorsi bagian loin mempunyai penampang lintang yang hampir konstan. Luas area Longgissimus dorsi dapat digunakan sebagai petunjuk perbedaan tingkat perototan karkas (Lawrie, 2003).

Kualitas Fisik Daging

Kualitas fisik daging menjadi penilaian awal dalam memilih daging. Warna

daging memberikan informasi kualitas daging pertamakali, ketika melihat daging

(Vipond, 2004). Soeparno (2005) menambahkan bahwa parameter spesifik kualitas

daging pada umumnya adalah warna daging, daya mengikat air oleh protein, pH

daging, susut masak serta keempukan.

Daya Mengikat Air (DMA)

Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kelezatan

dan daya terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyaknya air yang hilang dan

drip merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga karena mempengrauhi bobot daging. Tingkat daya mengikat air ditentukan oleh spesies,

genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan dan lama penyimpanan

(Honikel, 1998). Soeparno (2005) menyatakan daya mengikat air oleh protein

daging atau water holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya

pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Hertog-Meischke (2011)

menambahkan bahwa kemampuan daging untuk mengikat air dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti panjang sarkomer daging, banyaknya air yang hilang, daya

(22)

10 Lawrie (2003) menambahkan bahwa besarnya penurunan pH mempengaruhi

nilai DMA. Semakin tinggi pH akhir daging maka semakin sedikit penurunan DMA.

Daya mengikat air dipengaruhi oleh spesies, umur, fungsi dari otot, pakan,

transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan

sebelum dipotong dan lemak intramuskular (Soeparno, 2005). Semakin tua umur

ternak dipotong, maka persentase lemak intramuskular akan semakin tinggi. Daging

dengan lemak intramuskular tinggi akan mempunyai daya mengikat air yang tinggi

(Zein, 1991).Daya mengikat air paling rendah tercapai pada titik isoelektrik daging.

Titik isoelektrik miosin daging pada pH 5,4 dan aktin 4,7 (Aberle et al., 2001).

Nilai pH Daging

Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan

daging posmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging

karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa

simpan (Lukman et al., 2007). Nilai pH ternak akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. Perubahan nilai pH tergantung dari jumlah glikogen sebelum

dilakukan pemotongan. Jumlah glikogen dalam ternak yang normal akan

mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi apabila glikogen dalam ternak

tidak cukup atau terlalu banyak akan menghasilkan daging yang kurang berkualitas,

bahkan mendapatkan daging yang berkualitas jelek (Pearson, 1989). Penurunan nilai

pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot dan dapat

berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi

otot dalam bentuk ATP (Henckle et al., 2000).

Nilai pH daging akan turun bila terjadi akumulasi asam laktat akibat proses

glikolisis selama proses konversi otot menjadi daging pasca pemotongan (Gomez et al.,1994). Nilai pH daging mempunyai pengaruh yang berarti pada kualitas daging karena nilai pH daging berhubungan dengan warna, daya mengikat air, kesan jus

daging, keempukan dan susut masak. Nilai pH ultimat daging yang normal berkisar

5,4 - 5,8. Aberle et al. (2001) menyatakan laju penurunan pH daging secara umum dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Pola penurunan pH normal. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,4

sampai 5,6 - 5,7 dalam waktu 6-8jam setelah pemotongan dan mencapai pH

(23)

11 2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan

dan tetap sampai mencapai pH akhir 6,5 - 6,8. Sifat daging yang dihasilkan

lebih gelap, keras dan kering atau dark firm dry (DFD).

3. Nilai pH turun relatif cepat sampai sampai berkisar 5,4 - 5,5 pada jam-jam

pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,4 - 5,6. Sifat

daging yang dihasilkan menjadi pucat, lembek dan berair. Daging ini disebut

juga pale soft exudatif (PSE).

Keempukan

Keempukan merupakan penentu kualitas daging yang paling besar. Faktor

yang mempengaruhi keempukan daging dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor

antemortem dan faktor postmortem (Lawrie, 2003). Faktor antemortem tersebut

meliputi genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, umur, manajemen, jenis

kelamin, dan stress. Faktor-faktor postmortem yang mempengaruhi kualitas daging

diantaranya; metode chilling, refrigasi, pelayuan, dan pembekuan termasuk lama dan temperatur penyimpanan, cara pengolahan atau pemasakan serta pemakaian zat

pengempuk daging. Keempukan bisa bervariasi antara spesies, bangsa, ternak dalam

spesies yang sama, potongan karkas, dan diantara otot, serta pada otot yang sama

(Soeparno, 2005).

Tekstur dan keempukan merupakan hal terpenting menurut konsumen.

Keempukan daging banyak ditentukan setidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu

struktur miofibriliar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan

silangnya, daya ikat air oleh protein serta juiceness daging (Soeparno, 2005). Suryati

et al. (2008) menyatakan bahwa daging sangat empuk apabila daya putus Warner

Blatzer (WB) < 3,30 kg/cm2, empuk (3,30 - 5,00 kg/cm2), agak empuk (5,00 - 6,71

kg/cm2), agak alot (6,71 - 8,42 kg/cm2), alot (8,42 - 10,12 kg/cm2), sangat alot

(>10,12 kg/cm2). Semakin tinggi nilai daya putus WB berarti semakin banyak gaya

yang diperlukan untuk memutus serabut daging persentimeter persegi, yang berarti

daging semakin alot atau tingkat keempukan semakin rendah.

Susut Masak

Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Beberapa

(24)

12 panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril ukuran dan berat sampel

daging dan penampang lintang daging (Lawrie, 2003). Daging dengan susut masak

yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik dari pada daging dengan

susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan

lebih sedikit. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah

jus dalam daging. Jus daging atau juiciness mempunyai hubungan yang erat dengan susut masak. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak yang

tinggi (Soeparno, 2005).

Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek.

Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot

terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya

umur ternak. Perbedaan jenis ternak juga mempengaruhi perbedaan susut masak.

Faktor lain yang mempengaruhi susut masak adalah berat potong dan perbedaan

deposisi lemak intramuskular marbling, karena lemak intramuskular marbling

menghambat atau mengurangi cairan daging yang keluar selama pemasakan

(Soeparno, 2005).

Warna Daging

Faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen

daging mioglobin dan tipe molekul dan status kimia mioglobin (Soeparno, 2005).

Faktor penentu warna daging tersebut dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur,

jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Bertambahnya

umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat, tetapi peningkatan ini tidak

konstan (Lawrie, 2003). Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi

warna “tristimulus”, yaitu : 1) hue = warna (misalnya merah, hijau dan biru); 2) nilai = terang atau gelap; dan 3) kroma = jumlah atau intensitas warna. Warna daging

domba bervariasi antara merah terang hingga merah gelap (Gomez et al., 1995). Mioglobin sebagai salah satu protein sarkoplasmik yang terbentuk dari suatu

rantai polipeptida tunggal terikat di sekeliling grup heme yang membawa oksigen. Grup heme tersusun dari atom Fe dan cincin porfirin. Proporsi relatif dan distribusi ketiga pigmen daging adalah mioglobin reduksi ungu, oksimioglobin merah terang,

metmioglobin coklat yang akan menentukan intensitas warna daging (Soeparno,

(25)

13 oksigen pada atom besi (Fe2+) pada struktur molekul mioglobin. Lawrie (2003) juga

menambahkan bahwa bentuk kimia yang paling penting pada daging yang belum

dimasak adalah oksimioglobin yang menggambarkan pigmen warna merah pada

(26)

14

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium lapang Ruminansia Kecil blok B

dan analisis kualitas daging dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar serta

Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2011.

Materi Ternak dan Pakan

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba lokal (domba ekor

tipis) dengan umur 8 bulan (Io) 4 ekor dengan bobot awal 13,5 ± 0,6 kg, dan domba

garut dengan umur 8 bulan (Io) 4 ekor yang dikategorikan bobot badannya rata-rata

15 kg. Domba Ekor tipis berasal dari UP3 Jonggol dan domba Garut berasal dari MT

Farm dan Indocement. Limbah tauge yang digunakan diperoleh dari pedagang tauge

di pasar Bogor. Ransum yang diberikan adalah berupa pellet yang mengandung

limbah tauge yang diberikan ad libitum. Ternak dan pakan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.

(a) (b) (c)

Gambar 5. Ternak dan Pakan yang Digunakan Selama Penelitian. (a) Domba Garut (b) Domba Ekor tipis (c) Pellet

Kandang

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang individu dengan

ukuran 70 x 125 cm. Jenis kandang yang digunakan berupa kandang panggung

(27)

15

Peralatan

Peralatan yang digunakan adalah timbangan dengan kapasitas 120 kg, pisau,

pinset, kertas label, plastik tahan panas, carper press, planimeter, chiller, Warner-

Blatzer shear, pH meter, panci, waterbath, termometer bimetal, kertas whatman-41,

kertas buram, gergaji karkas, timbangan digital, gunting, penggantung karkas domba,

kamera, meat color card score, tissu, serta benang kasur.

Prosedur Persiapan Ternak

Identifikasi awal dilakukan dengan penentuan umur domba dengan melihat

gigi dan catatan dari peternak, jenis kelamin dan pengukuran tubuh. Domba diseleksi

dengan kriteria jantan, bobot awal domba (kg), tingkah laku normal dan sehat.

Bangsa domba yang berbeda diberi kode yang berbeda. Domba ekor tipis diberi kode

(DE) dan domba garut diberi tanda (DG). Perawatan yang diberikan terhadap domba

sebelum penelitian berlangsung antara lain pencukuran bulu, pemberian obat cacing

dan pemberian identitas (kalung). Domba berumur 8 bulan dipelihara secara intensif

selama 3 bulan. Pakan dan minum diberikan ad libitum. Komposisi ransum yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 2.

Pemotongan dan Penguraian Karkas

Domba yang telah dipelihara tiga bulan kemudian dipotong untuk

mendapatkan karkas dan potongan komersialnya. Ternak dipuasakan terlebih dahulu

sebelum dipotong selama 18 jam untuk mengurangi jumlah digesta dalam saluran

pencernaan. Domba ditimbang sebelum dipotong untuk mengetahui bobot

potongnya. Domba dipotong pada persendian tulang atlas, memotong vena jugularis,

oseophagus dan trachea, selanjutnya domba digantung pada tendon achilesnya.

Karkas diperoleh setelah pemotongan kepala, kaki, pengulitan serta eviserasi. Tahap

selanjutnya karkas digantung dan disimpan di chiller 4 oC selama 24 jam. Karkas dipotong kemudian daging dan tulang dipisahkan untuk memperoleh 100 g sampel

(28)

16 Tabel 2. Komposisi Bahan Ransum Penelitian

Bahan Pakan dan Kandungan Kimia Komposisi (%)

Limbah Tauge 30

Sumber: Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011). Departemen Ilmu Nutrisi dan teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kualitas fisik daging domba

dengan bangsa yang berbeda. Sifat fisik daging yang diamati meliputi nilai pH,

warna daging daya mengikat air (DMA), keempukan (kg/cm2) dan susut masak (g).

Uji Nilai pH

Nilai pH daging diukur dengan menggunakan pH meter (Gambar 5).

Pengukuran pH dilakukan dengan kalibrasi pH meter pada pH 4 dan pH 7 kemudian

alat ditusukkan pada bagian daging paha Semimembranosus yang tidak berlemak.

(29)

17 Gambar 5. Alat pH Meter untuk Mengukur pH Daging

Uji Warna Daging

Warna daging didapat dengan melihat daging bagian Longisimus dorsi antara rusuk ke 12 dan ke 13. Warna dilihat dengan bantuan cahaya senter yang

dibandingkan dengan meat colour card score dari AUS-MEAT dengan skala angka 1-7 (Gambar 6). Skor warna dimulai dari 1 (warna merah pucat) sampai skor 7

(merah gelap).

Gambar 6. Meat Color Card yang Digunakan untuk Menilai Warna Daging Domba

Uji Daya Mengikat Air (DMA)

Pengukuran daya mengikat air daging dianalisis dengan metode Hamm

seperti yang ditulis Soeparno (2005) dengan memberi tekanan kepada 0,3 g sampel

daging dengan beban 35 kg. Sampel pada kertas saring Whatman-41 diberi tekanan

dengan alat pressure gaugage selama 5 menit. Area yang tertutup sampel daging yang telah pipih dan luas area basah di sekelilingnya pada kertas saring ditandai

dengan pulpen kemudian dilakukan pengepresan. Luas area basah diukur dengan

menggunakan planimeter. Area basah diperoleh dengan mengurangkan area yang

tertutup daging dari area total yang meliputi area basah pada kertas saring.

(30)

18 jumlah air yang keluar. Jumlah air daging yang keluar dari daging setelah

pengepresan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

mg H2O =

( )

, - 8,0

%airyangkel uar = x 100%

Persentase air yang keluar dapat digunakan sebagai pendekatan kemampuan daging

dalam mengikat air (DMA). Semakin banyak air yang keluar dari daging maka daya

mengikat air semakin rendah.

Uji Susut Masak (%)

Susut masak merupakan perbedaan antara berat daging awal (sebelum) dan

sesudah dimasak, dinyatakan dalam persentase (%) (Abd El-aal, 2008). Susut masak

dihitung dengan mempersiapkan daging bagian Longisimus dorsi, kemudian termometer bimetal ditancapkan pada daging sekitar 100 g. Daging kemudian

dimasukkan kedalam plastik tahan panas. Plastik diikat dengan benang kasur,

kemudian digantungkan pada tungku segitiga diatas waterbath. Suhu air waterbath

diatur pada 71 oC, kemudian daging direbus 35 menit sampai mencapai suhu internal

68 oC (Hopkins, 2011). Sampel daging diangkat, ditiriskan dan didinginkan selama

satu jam sampai mencapai berat konstant, kemudian ditimbang dengan menggunakan

timbangan digital. Susut masak dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Susut masak

=

x 100%

Uji Keempukan (kg/cm2)

Sampel daging bagian Longisimus dorsi dipotong sekitar 100 g, kemudian termometer bimetal ditusuk di tengah daging. Hopkins (2011) menyatakan

pengukuran keempukan dapat dilakukan dengan merebus daging selama 35 menit

dengan air pada waterbath 71 oC. Berdasarkan pernyataan (Hopkins, 2011) sampel daging direbus menggunakan waterbath pada suhu 71 oC sampai mencapai suhu internal daging 68 oC. Sampel daging diangkat dan didinginkan satu jam, sampai

tercapai berat konstant. Sampel ditimbang dengan menggunakan timbangan digital,

(31)

19 seperti Gambar 7. Sampel dibentuk dengan diameter 1,27 cm mengikuti arah serat

daging/secara sejajar dengan penjang kira-kira 4 cm. Potongan daging kemudian

diukur dengan alat Warner-Blatzer shear untuk menentukan nilai daya putusnya dalam kg/cm2. Pengukuran nilai keempukan dilakukan tiga kali ulangan. Nilai

keempukan daging terlihat pada angka yang ditunjukkan Warner-Blatzer shear.

Semakin besar nilai yang terlihat pada Warner-Blatzer shear menunjukkan bahwa keempukan daging yang semakin rendah.

(a) (b) (c)

Gambar 7. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Menguji Keempukan Daging (a). Selongsong untuk Core, (b) Daging yang Telah dicore, (c) Warner

BlatzerShear

Analisis Data

Domba yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 8 ekor yang terdiri

atas 4 ekor domba garut jantan dewasa dan 4 ekor domba ekor tipis jantan dewasa

yang diberi pakan berbasis limbah tauge. Perlakuan dalam penelitian ini adalah

membandingkan dua bangsa domba yang berbeda (domba garut dan domba ekor

tipis). Setiap perlakuan bangsa terdiri atas empat ulangan. Data yang diperoleh

diban-dingkan dengan menggunakan uji t berdasarkan Steel dan Torrie (1993).

Model uji t yang digunakan adalah:

=

1

(32)

20 Keterangan:

= Rata-rata perlakuan ke i

Xj = Rata-rata perlakuan ke j

S = Simpangan baku

n = Jumlah individu sampel

(33)

21

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lingkungan Tempat Penelitian

Penggemukan ternak dilakukan pada kandang individu berbentuk kandang

panggung. Kandang panggung dicirikan dengan adanya tiang penyangga kandang

sehingga lantai kandang terletak diatas tanah (sekitar 0,5 – 1m) dan berbentuk seperti

panggung. Bahan lantai terbuat dari bilah bambu yang dipasang dengan sedikit celah

sehingga memudahkan kotoran terjatuh ke bawah kandang. Tipe kandang ini

memiliki kolong yang bermanfaat sebagai penampung kotoran. Lantai kolong diberi

semen dan dibuat miring ke arah selokan agar lebih memudahkan pekerja ketika

membersihkan kotoran. Kandang domba dibersihkan setiap hari dengan tujuan

menjaga kenyamanan dan kesehatan domba. Kandang domba yang digunakan

tergolong baik terlihat dari kesehatan dan tingkah laku domba. Kandang domba yang

digunakan saat penelitian ditunjukkan pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8. Kandang Domba Penelitian (a) Kandang Pemeliharaan Tampak Luar dengan Atap Tipe Monitor (b) Kandang Domba Individu Tampak Dalam.

Faktor lingkungan yang cukup dominan dalam mempengaruhi produktivitas

ternak adalah iklim terutama iklim mikro yaitu suhu, kelembaban udara, radiasi dan

(34)

22 28,97 oC dan 85%. Data suhu dan kelembaban udara pada lingkungan tempat

pene-litian (dalam dan luar kandang) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara

Lokasi Waktu Suhu (oC)

Keterangan : pagi (07.00), siang (13.00), sore (17.00)

Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi

produksi ternak, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam

tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah

laku ternak (Yani, 2006). Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa suhu di dalam

kandang lebih rendah dibanding suhu di luar kandang. Suhu dalam kandang berkisar

22 oC – 35 oC dan suhu di luar kandang berkisar 30 oC dengan kelembaban udara

57% - 93%. Sodiq et al. (2003) menyatakan kelembaban udara yang ideal bagi peternakan penggemukan adalah 60% - 80%. Kelembaban udara yang tidak normal

dapat menyebabkan penyakit pada domba yang diakibatkan parasit dan jamur saat

kelembaban terlalu tinggi, serta penyakit lainnya akibat kelembaban udara yang

terlalu rendah/kering. Perbedaan kelembaban di dalam dan luar kandang disebabkan

oleh persentasi uap air dalam kandang lebih banyak akibat dari proses respirasi

ternak. Kondisi kandang domba penelitian secara umum tergolong baik dan

dilengkapi dengan pohon/tumbuhan disamping kandang.

Kondisi Pakan

Pakan yang digunakan selama penelitian adalah pellet dengan bahan dasar

limbah tauge. Limbah tauge segar diperoleh dari pasar Bogor selanjutnya

dikeringkan untuk dijadikan pellet. Kandungan nutrisi limbah tauge menjadi acuan

untuk memanfaatkan limbah tauge sebagai pakan domba. Rahayu (2010)

menyatakan limbah tauge memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik, yaitu

(35)

23 Ransum domba yang terbentuk dengan bahan dasar limbah tauge memiliki

komposisi nutrisi Protein Kasar sebesar 16,66%, Serat Kasar (24,51%), Lemak

(3,71%), Ca (1,39%), P (0,23%) dan Beta-N (36,26%). Limbah tauge digolongkan ke

dalam hijauan karena mengandung serat kasar yang tinggi dengan kandungan protein

dan TDN yang hampir sama dengan konsentrat. Limbah tauge yang digunakan

selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

(a) (b) (c)

Gambar 9. Limbah Tauge dan Pellet yang Digunakan. (a) Limbah Tauge Dalam Bentuk Segar (b) Limbah Tauge Kering Udara (c) Ransum Berbentuk Pellet

Limbah tauge dan ransum yang terbentuk memiliki nilai Beta-N yang tinggi.

Semakin tinggi nilai Beta-N suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik,

karena semakin banyak zat-zat makanan yang dapat dicerna seperti protein, lemak,

serat kasar. Alasan pemilihan limbah tauge menjadi bahan dasar pakan adalah limbah

tauge yang ekonomis dan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian

(PBBH) yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat. Penelitian yang telah

dilakukan pada peternakan penggemukan domba ekor gemuk di wilayah Bogor

dengan memanfaatkan limbah tauge dalam ransumnya menunjukkan bahwa

penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam ransum menghasilkan pertambahan

bobot badan harian (PBBH) yang cukup tinggi yaitu sebesar 145 g/ekor/hari lebih

tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum konsentrat yaitu sebesar 96

(36)

24

Kondisi dan Performa Domba

Domba yang digunakan dalam penelitian ini dipilih menggunakan seleksi

bangsa, bobot badan, jenis kelamin dan umur. Noor (2010) menyatakan perbedaan

yang dapat diamati pada ternak untuk berbagai sifat disebabkan oleh faktor genetik

dan lingkungan. Pemilihan awal ternak didasarkan pada genetik yaitu dengan

memilih bangsa domba garut dan domba ekor tipis jantan, selanjutnya diberikan

lingkungan yang sama terhadap kedua bangsa domba tersebut. Bobot badan rata-rata

domba yang digunakan adalah domba ekor tipis muda 13,6 ± 0,6 kg dan domba garut

muda 14,9 ± 1,1 kg dengan umur 7 - 8 bulan. Rataan bobot badan domba ekor tipis

mengalami penurunan pada bulan pertama. Hal ini disebabkan oleh domba ekor tipis

pada ulangan kedua (DE2) mengalami diare. Letak kandang domba ekor tipis2

(DE2) yang berada disamping ventilasi kandang menyebabkan domba masuk

angin/diare sehingga bobot badan domba mengalami penurunan. Kesehatan dan

bobot badan domba kembali normal pada bulan kedua setelah diberi obat diare

seperti diapet dan herbal ekstrak daun jambu sehingga performa domba terlihat lebih

baik.

Performa produksi pada saat ternak hidup dapat dilihat melalui

indikator-indikator seperti bobot badan akhir, pertambahan bobot badan harian (pbbh), rataan

konsumsi harian, efisiensi ransum. Konsumsi pakan harian domba ekor tipis (859 ±

65 g) dan garut (997 ± 151 g). Rataan konsumsi bahan kering pakan domba ekor tipis

753,09 ± 57,24 g/ekor/hari dan domba garut 873,93 ± 132,67 g/ekor/hari. Konsumsi

tersebut sesuai dengan NRC (1985) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering

harian domba dengan bobot badan 10 - 20 kg adalah 500 - 1000 g/ekor/hari. Rataan

konsumsi protein kasar domba ekor tipis 163,58 ± 37,98 g/ekor/hari dan konsumsi

protein kasar domba garut 183,88 ± 29,15 g/ekor/hari. Konsumsi serat kasar domba

ekor tipis adalah 240,66 ± 55,87 g/ekor/hari dan domba garut 270,53 ± 42,89

g/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan harian domba garut dan ekor tipis tergolong

baik.

Harahap (2009) menyatakan bahwa rataan konsumsi harian domba yang

diberi pakan berbasis kulit singkong dan rumput lapang adalah konsumsi bahan

kering (503,71 g/ekor/hari), rataan konsumsi protein kasar (45,03 g/ekor/hari), rataan

(37)

25 21,51 g/ekor/hari. Tingginya konsumsi protein kasar harian domba menunjukkan

bahwa pakan yang diberikan baik dengan kandungan protein kasar pakan yang

tinggi. Pakan domba pada penelitian ini tergolong baik terlihat juga dari tingginya

konsumsi TDN dan pertambahan bobot badan harian domba di atas 100 g/ekor/hari.

Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan ternak adalah jenis kelamin,

bobot badan, kondisi ternak, kondisi lingkungan dan palatabilitas pakan (bentuk

pakan, bau, rasa dan tekstur pakan). Perbedaan konsumsi pakan dari berbagai jenis

pakan dapat menghasilkan perbedaan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan ternak

sebelum pemotongan berhubungan dengan kualitas daging diantaranya adalah

keempukan. Peningkatan laju pertumbuhan merupakan refleksi dari elevali laju

sintesis protein (Soeparno, 2005).

Pertambahan bobot badan, nutrisi, umur merupakan faktor yang berhubungan

erat antara yang satu dengan yang lain. Bobot tubuh berhubungan erat terhadap

komposisi tubuh (Soeparno, 2005). Rataan PBBH kedua bangsa domba tergolong

baik yaitu diatas 100 g/hari. Bobot akhir dan PBBH domba meningkat seperti pada

Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian

Kelompok Bobot Badan Akhir(kg) PBBH (g)

Domba Rataan Kisaran Rataan Kisaran Domba Ekor tipis

n=4 24,7 ± 1,67 22,4 - 26,4 127 ± 21 98 - 143 Domba Garut

n=4 29,45 ± 1,28 28,4 - 31,2 153 ± 24 129 - 179

Sumber : Laporan Akhir Penelitian Unggulan Fakultas Peternakan

Hasil yang diperoleh pada Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot badan domba

garut (29,45 ± 1,28 kg) lebih besar dibandingkan dengan bobot badan domba ekor

tipis (24,7 ± 1,67 kg). Perbedaan ini dipengaruhi oleh bobot awal pemeliharaan

kedua jenis domba yang berbeda. Bobot badan yang berbeda pada umur yang sama

disebabkan oleh genetik ternak itu sendiri. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa jenis

domba ekor tipis memiliki tubuh yang kecil/ramping, bercak hitam sekitar mata dan

hidung, pola warna tubuh sangat beragam, ekor tipis, pendek dan timbunan lemak

(38)

26 Pertambahan bobot badan domba garut lebih besar dibandingkan dengan

domba ekor tipis tetapi tidak berbeda secara nyata (P<0,05). Riwantoro (2005)

menjelaskan bahwa domba garut memiliki keistimewaan tubuhnya yang relatif besar,

berbentuk persegi panjang dan kasar, produksi lebih tinggi dibandingkan domba

lokal lainnya serta sebagai penghasil daging yang sangat baik.

Efisiensi pakan didefinisikan sebagai perbandingan jumlah unit produksi

yang dihasilkan yaitu pertambahan bobot badan dengan jumlah unit konsumsi pakan

dalam satuan waktu yang sama. Efisiensi ransum domba ekor tipis 0,20 ± 0,02 dan

efisiensi 0,16 ± 0,02. Nilai ini menunjukkan bahwa domba ekor tipis lebih efisien

dalam mengkorversi pakan menjadi daging dibandingkan domba garut meskipun

tidak berbeda nyata (P>0,05). Semakin tinggi nilai efisiensi pakan menunjukkan

bahwa ternak tersebut semakin efisien dalam mengubah ransum menjadi bobot

badan.

Kualitas Fisik Daging

Hasil pengujian kualitas fisik daging domba garut dan ekor tipis muda dapat

dilihat pada Tabel 5. Kualitas fisik daging yang diamati meliputi warna daging, daya

mengikat air oleh protein, pH daging, susut masak serta keempukan. Vipond (2004)

menyatakan sifat fisik daging menjadi indikator kualitas suatu daging tersebut.

Tabel 5. Data Kualitas Fisik Daging Domba Penelitian

Parameter

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05).

Nilai pH

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai pH daging domba garut

(39)

27 ekor tipis. Nilai pH domba ekor tipis (5,86 ± 0,18) dan nilai pH daging domba garut

(5,83 ± 0,17). Nilai yang tidak berbeda ini disebabkan oleh genetik dari domba garut

dan domba ekor tipis yang masih memiliki persamaan. Domba garut merupakan

domba lokal Indonesia hasil persilangan dari domba lokal, merino dan capstat

(Mulliadi, 1996). Bangsa domba pada penelitian ini sangat sedikit mempengaruhi

nilai pH. Aberle et al. (2001) menyatakan nilai pH daging yang berbeda pada umumnya dipengaruhi oleh penanganan daging setelah pemotongan.

Pengukuran pH daging domba dilakukan pada 24 jam postmortem untuk mengetahui nilai pH yang tercapai setelah glikogen otot habis. Penurunan pH

disebabkan adanya konversi otot menjadi daging akan berlangsung proses glikolisis

dalam keadaan anaerob. Proses ini menyebabkan glikogen dikonversi menjadi asam

laktat sampai pH mencapai suatu titik sampai enzim pemecah tidak aktif.

Enzim-enzim pemecah (glikolitik) pada daging mamalia yang spesifik akan berhenti pada pH 5,4 - 5,5 dan kondisi ini glikogen tidak ditemukan lagi pada daging (Lawrie,

2003). Soeparno (2005) juga menyatakan bahwa variasi pH daging dapat disebabkan

stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan kimia

tertentu, individu ternak, jenis otot, stimulasi listrik. Lawrie (2003) juga menegaskan

bahwa tingkat penurunan pH pascamati dipengaruhi karena faktor instrinsik seperti

spesies, tipe urat daging, variabilitas antara urat hewan serta faktor luar seperti

pemberian obat-obatan sebelum dipotong dan suhu lingkungan.

Dihansih (2006) menyatakan nilai pH daging yang tidak berbeda

kemungkinan disebabkan kandungan glikogen otot yang sama. Kadar glikogen yang

sama menyebabkan ketersediaan asam laktat yang sama pada daging postmortem.

Rataan nilai pH daging domba yang diperoleh (5,85 ± 0,17). Penurunan nilai pH

setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot dan dapat

berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi

otot dalam bentuk ATP (Henckle et al., 2000). Nilai pH daging domba garut dan ekor tipis tergolong normal. Nilai pH ultimat daging yang normal berkisar 5,4 - 5,8

(DeMan,1997).

Perlakuan terhadap ternak domba garut dan ekor tipis sebelum pemotongan

seperti sistem pemeliharaan di kandang individu dan jenis pakan yang sama

(40)

28 tipis diminimalkan dengan pengistrahatan dan pemuasaan selama 18 jam setelah

digiring dari kandang blok B. Soeparno (2005) menyatakan stres berpengaruh

terhadap kualitas daging seperti nilai pH, keempukan dan DMA. Domba yang tidak

stres (tenang) saat dipotong memiliki cadangan glikogen yang cukup untuk

rigormortis. Minimalnya stres yang dialami domba menyebabkan cadangan glikogen

yang cukup dan nilai pH ultimat yang normal. Nilai pH daging merupakan faktor

kualitas daging yang berpengaruh terhadap daya mengikat air, kesan jus daging,

susut masak, keempukan dan daya simpan daging (Lawrie, 2003).

Daya Mengikat Air

Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata nilai DMA pada

L.Dorsi domba garut dan domba ekor tipis. DMA yang tidak berbeda disebabkan

adanya hubungan antara nilai pH dan DMA, sehingga nilai pH yang tidak berbeda

nyata menyebabkan nilai DMA yang tidak berbeda nyata juga. Persentase air bebas

pada daging domba garut (24,8% ± 10,33%) dan domba ekor tipis (20,61% ±

2,67%). Suryantoro (2010) menyatakan persentase air keluar setelah penekanan pada

daging domba rata-rata 35,40% ± 5,98%. Daya mengikat air daging (DMA) akan

semakin tinggi apabila nilai DMA (persentase air bebasnya) semakin rendah.

Rendahnya nilai persentase air bebas daging domba garut dan ekor tipis pada

penelitian ini menunjukkan bahwa nilai DMA daging kedua bangsa domba tersebut

tergolong tinggi.

Honikel (1998) menyatakan persentase air yang keluar dari sampel daging

dapat digunakan sebagai pendekatan kemampuan daging dalam mengikat air (DMA).

Daya mengikat air daging dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Hertog-Meischke

(2011) menambahkan bahwa kemampuan daging untuk mengikat air dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti panjang sarkomer daging, banyaknya air

yang hilang, daya mengikat air miofibrilar, aktivitas ATPase miofibrilar, bentuk

phosphorylase, kelarutan protein dan konsentrasi protein yang hilang. Daya mengikat

air akan menurun dari pH tinggi sekitar 7 - 10 sampai mencapai titik isoelektrik

antara 5,0 - 5,1. Titik isoelektrik menunjukkan bahwa protein daging tidak

bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan

(41)

29 muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif. Peristiwa ini

menyebabkan adanya penolakan dari mikrofilamen dan memberi lebih banyak ruang

untuk molekul air. Kondisi yang berbeda ketika pH lebih rendah dari titik isoelektrik

protein terdapat akses muatan positif dan memberi lebih banyak ruang untuk

molekul-molekul air dengan protein daging.

Nilai pH daging domba garut (5,83) dan ekor tipis (5,86) lebih tinggi daripada

titik isoelektrik sehingga terjadi penolakan filamen yang menyebabkan ruang untuk

air lebih banyak sehingga jumlah air bebasnya sedikit. Sedikitnya jumlah air yang

keluar mengidentifikasikan bahwa daya mengikat air daging tersebut tinggi.

Soeparno (2005) menyatakan DMA daging dapat dipengaruhi oleh spesies, umur,

transportasi ternak, temperatur, kelembaban, penyimpanan, preservasi, jenis kelamin,

kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Berbagai faktor

yang menyebabkan perbedaan nilai DMA seperti umur, spesies, jenis kelamin serta

perlakuan sebelum pemotongan domba garut dan ekor tipis diberikan perlakuan yang

sama sehingga nilai DMA dari kedua bangsa domba tersebut tidak berbeda nyata.

Lawrie (2003) menambahkan bahwa penurunan pH pascamati dapat

mempengaruhi nilai DMA. Nilai pH akhir daging yang tinggi akan mengakibatkan

penurunan nilai DMA yang lebih sedikit. Pemecahan dan habisnya ATP serta

pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigormortis akan menyebabkan peenurunan daya mengikat air. Penurunan daya mengikat air (DMA) daging sapi dan

domba disebabkan karena pembentukan aktomiosin dan habisnya ATP pada saat

rigor. Sepertiga penurunan DMA daging disebabkan oleh penurunan pH. Penurunan

pH yang cepat akibat dari pemecahan ATP yang cepat akan meningkatkan kontraksi

aktomiosin dan menurunkan daya mengikat air protein (Soeparno, 2005).

Spesies ternak yang sama dengan bangsa yang sama dapat juga menyebabkan

DMA yang berbeda apabila sumber daging yang diamati adalah berbeda (Lawrie,

2003). Uji kualitas daging domba garut dan domba ekor tipis menggunakan daging

loin. Loin adalah otot Longgissimus dorsi yang sangat penting dalam membentuk urat daging mata rusuk jika dipotong dari area rusuk. Otot ini sangat sedikit

dipengaruhi oleh pergerakan/aktivitas sehingga pada bagian loin pengaruh bangsa

(42)

30 mengakibatkan nilai DMA yang berbeda apabila pengujian dilakukan pada daging

L.Dorsi.

Keempukan

Keempukan merupakan salah satu sifat mutu yang penting pada daging dan

menjadi faktor utama yang diperhatikan konsumen. Hasil analisis statistik

menunjukkan bahwa bangsa domba berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap

keempukan daging. Hasil pengukuran keempukan dengan melihat nilai pemutus

Warner Blatzer pada daging domba ekor tipis (2,94 ± 0,51 kg/cm2) dan pada daging

domba garut adalah (3,85 ± 0,32 kg/cm2). Daya putus WB daging domba garut dan

ekor tipis bagian longisimus dorsi pada penelitian ini tergolong rendah dibandingkan Suryantoro (2010) yang menyatakan daya putus WB daging domba muda rata-rata

(6,23 ± 2,10 kg/cm2). Daging domba ekor tipis pada penelitian ini tergolong sangat

empuk dan daging domba garut tergolong empuk sesuai berdasarkan Suryati et al.

(2008) yang menyatakan bahwa daging tergolong sangat empuk apabila daya putus

WB < 3,30 kg/cm2, empuk (3,30 - 5,00 kg/cm2), agak empuk (5,00 - 6,71 kg/cm2),

agak alot (6,71 - 8,42 kg/cm2), alot (8,42 - 10,12 kg/cm2), sangat alot (>10,12

kg/cm2). Semakin tinggi nilai daya putus WB berarti semakin banyak gaya yang

diperlukan untuk memutus serabut daging persentimeter persegi, yang berarti daging

semakin alot atau tingkat keempukan semakin rendah.

Perbedaan nilai daya putus WB daging pada penelitian ini disebabkan oleh

faktor sebelum pemotongan ternak yaitu perbedaan bangsa. Daging domba ekor tipis

pada penelitian ini lebih empuk dibandingkan daging domba garut. Salomon (1980)

menyatakan bahwa daging domba dari bangsa yang berbeda menghasilkan

keempukan yang berbeda juga. Aberle et al. (2001) juga menambahkan bahwa perbedaan nilai keempukan dapat dipengaruhi oleh bangsa dan genetik ternak, stress,

umur, lokasi otot, penanganan pemotongan, temperatur penyimpanan dan stimulasi

listrik. Domba garut sebagai persilangan dari domba lokal, domba cape dan merino,

secara genetik lebih dominan terhadap sifat pedaging dan tangkas dibandingkan

dengan domba lokal ekor tipis yang dominan terhadap pedaging (Riwantoro, 2005).

Perbedaan keempukan daging domba ekor tipis dan domba garut

kemungkinan dipengaruhi oleh aktivitas dan tingkah laku dari ternak tersebut.

(43)

31 (Soeparno, 2005). Ternak yang beraktivitas banyak akan menghasilkan otot yang

lebih kasar dibandingkan dengan ternak yang kurang banyak beraktivitas karena

adanya kontraksi otot pada bagian yang beraktivitas. Tingkah laku domba garut lebih

agresif dibandingkan domba ekor tipis. Hal ini terlihat pada aktivitas domba garut

lebih banyak dibandingkan domba ekor tipis meskipun dikandangkan dalam kandang

individu. Domba garut memiliki tingkah laku mengadukan tanduknya terhadap

dinding kandang, meloncat-loncat dalam kandang, menggigit kandang dan kadang

meloncat keluar kandang. Tingkah laku domba ekor tipis terlihat lebih sedikit

bergerak dibandingkan domba garut meskipun diberi kandang, pakan dan perlakuan

yang sama. Tingkah laku domba garut akan terlihat nyata lebih agresif ketika

diberikan pakan. Domba garut biasanya dengan cepat dan aktif mencium dan

menggoyang tempat pakan ketika ingin diberikan pakan yang baru. Tingkah laku

seperti ini menunjukkan pergerakan dan aktivitas khususnya leher domba garut yang

lebih banyak, sehingga memungkinkan terjadinya kontraksi dan pemendekan otot

yang lebih besar dibandingkan dengan domba ekor tipis.

Perbedaan agresivitas antara domba garut dan domba ekor tipis dipengaruhi

oleh keterlibatan antara hormon steroid dari testes dan ovarium serta interaksinya

dari hormon kelompok pituitari, pankreas serta hipotalamus (Lawrie, 2003).

Nataatmaja dan Arifin (2005) juga menambahkan bahwa sifat galak dan agresif dari

domba garut lebih tinggi dibanding domba ekor tipis disebabkan ukuran testis dari

dombah garut lebih besar daripada domba ekor tipis pada umur yang sama.

Perkembangan testis terlihat sangat nyata sampai umur satu tahun. Ukuran testis

berkorelasi positif dengan produksi hormon testosteron, FSH dan LH. Hormon ini

berpengaruh terhadap libido dan menstimulasi sintesis protein otot yang terjadi

karena adanya reseptor androgen (Toliehere, 1981). Tingginya hormon testosteron

domba garut mengakibatkan aktivitas, agresivitas dan pergerakan otot yang lebih

besar dibandingkan domba ekor tipis. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa otot yang biasa dipakai untuk beraktivitas akan meningkatkan pembentukan asam laktat

dan penurunan pH, sehingga DMA lebih besar dan keempukan rendah.

Otot domba bagian Longisimus dorsi yang diamati pada penelitian ini mengalami kontraksi ketika domba beraktivitas sehingga terjadi stimulus dari saraf

Gambar

Gambar 2. Domba Garut
Tabel 1. Syarat Mutu Daging Domba
Gambar 5. Ternak dan Pakan yang Digunakan Selama Penelitian. (a) Domba Garut
Tabel 2. Komposisi Bahan Ransum Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemuda terdapat lampu lalu- lintas dan jarak yang cukup dekat dengan zebra cross (64 m), maka penyediaan lampu lalulintas untuk penyeberang dapat digabung dengan lampu yang

Penyusunan Rencana Kerja ini adalah wujud implementasi dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004

Pihak Kedua menyerahkan kepada PJP dan PPK untuk membatalkan pembayaran dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi rumah, sebagian atau seluruhnya, jika, menurut penelitian KMK, PJP

Penerapan metode certainty factor untuk mendiagnosa dan pencegahan penyakit cacingan pada anak balita diharapkan mendapatkan solusi penanggulangan terbaik dan

(c) Ada siswa SMAN 2 Bengkulu yang tidak lulus ujian nasional (d) Ada hewan berkaki empat yang berkembang biak dengan

Penilaian Kelas merupakan suatu kegiatan guru yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti

Data berupa angka tersebut sebagai bantuan untuk menginterpretasikan hasil pengujian validitas dan reliabilitas hasil tes terkait dengan tujuan pembelajaran pada semester

Nur Asyita Trijayanti, A210110031. Program Studi Pendidikan Akuntansi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015. Tujuan penelitian ini adalah