• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Sekolah

SMP Negeri 8 Kota Bogor merupakan sekolah dengan akreditas A terletak di Jalan Jendral Ahmad Yani No.68 Kecamatan Tanah Sareal Kabupaten Kota Bogor. Sekolah Menengah Pertama ini terdiri dari dua lantai dan memiliki tiga ruangan kelas pada setiap lantainya. Sekolah yang memiliki luas tanah 4.332,71 m2 terdiri dari ruang Kepala Sekolah, guru, laboratorium, perpustakaan, studio band, pantry, tata usaha, tempat ibadah, WC, ruang BP, Ruang UKS, dan kantin. Selain itu terdapat pula lahan terbuka yang merupakan sarana penunjang bagi kegiatan olahraga siswa, taman sekolah, dan tempat parkir. Sejarah perjalanan SMP Negeri 8 Kota Bogor didirikan pada tanggal 31 Mei 1980.

SMP Negeri 8 Kota Bogor dikepalai oleh Warsadi, S.Pd. Tenaga pengajar di sekolah terdiri dari guru tetap dan guru honorer. Jumlah tenaga pengajar sebanyak 43 orang, yaitu sebanyak 42 orang guru yang berstatus PNS, dan 1 orang guru non PNS. Selain itu juga terdapat 16 orang tenaga pendukung diantaranya adalah staf usaha, laboran laboratorium, penjaga perpustakaan, penjaga sekolah, dan petugas kebersihan. Pada tahun pelajaran 2013/2014 SMP Negeri 8 Kota Bogor memiliki jumlah siswa sebanyak 513 siswa. Kegiatan pendidikan di sekolah tidak hanya terpaku pada kegiatan belajar mengajar, namun disediakan pula beberapa program ekstrakurikuler bagi para siswa, sehingga mereka dapat mengembangkan diri dengan lebih baik.

13

Karakteristik Individu

Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan karakteristik individu dapat dilihat pada Tabel 3. Siswa dalam penelitian ini berjumlah 50 orang, dengan persentase jenis kelamin perempuan (80.0%) lebih banyak daripada jenis kelamin laki-laki (20.0%). Usia siswa dalam penelitian ini berkisar antara 12-14 tahun. Sebagian besar siswa laki-laki dan perempuan berada pada usia 13 tahun, sedangkan siswa yang berusia 14 tahun berjumlah satu orang pada jenis kelamin laki-laki. Rata-rata usia siswa laki-laki (12.9±0.6 tahun) hampir sama dengan siswi perempuan (12.8±0.4 tahun). Menurut Indrawagita (2009), usia siswa berada pada masa remaja awal (10-14 tahun). Sebagian besar (40.0%) uang saku siswa termasuk ke dalam kategori tinggi (Rp 10 000-Rp 15 000/hari). Rata-rata uang saku siswi perempuan (Rp 15 825.0 ± 9 789.5) lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki (Rp 13 133.3 ± 2 957.3). Menurut Suci (2011), pengeluaran uang saku yang lebih banyak tidak menjamin keberagaman pola makan yang baik, faktor pribadi dan kesukaanlah yang mempengaruhi jumlah dan jenis yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2010) tentang alokasi uang saku pada siswa menyimpulkan bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka semakin besar uang saku yang diterima oleh siswa.

Pengetahuan gizi siswa sebagian besar tentang sarapan (82.0%) dan buah dan sayur (84.0%) termasuk ke dalam kategori baik. Rata-rata pengetahuan gizi siswa tentang sarapan (95.6±12.8) lebih tinggi daripada pengetahuan gizi siswa tentang buah dan sayur (93.0±10.3). Pengetahuan gizi pada sekolah tersebut sangat beragam pada masing-masing kategori. Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar pengetahuan gizi siswa mengenai pengertian sarapan, waktu sarapan, mengapa perlu sarapan, akibat jika tidak sarapan, manfaat sarapan, perbedaan anak yang sarapan dan tidak sarapan, manfaat konsumsi buah dan sayur, sumber vitamin A dan C, dan manfaat vitamin A dan C tergolong baik, akan tetapi masih tergolong kurang dalam hal kontribusi sarapan dan kandungan zat-zat gizi yang terdapat pada buah dan sayur serta mengapa perlu makan buah dan sayur, dan akibat kurang konsumsi buah dan sayur. Hal ini diduga karena siswa masih belum mendapatkan pengetahuan yang mendalam tentang sarapan dan buah dan sayur.

Tingginya pesentase seseorang yang memiliki pengetahuan gizi baik dapat disebabkan oleh tingginya tingkat pendidikan mereka (Banwat et al. 2012). Pengetahuan gizi dan tingkat pendidikan berhubungan dengan kemampuan remaja dalam memilih makanan yang beragam (Vijayapuspham et al. 2003). Semakin tinggi sikap gizi seseorang maka semakin tinggi pula praktik gizinya (Paramita 2013). Tingginya pengetahuan gizi belum tentu dapat mengindikasikan praktik gizi yang baik, dimana dalam penelitian Banwat et al. (2012) pada masyarakat dewasa kota Nigeria Utara, hampir seluruh responden memiliki pengetahuan gizi yang baik mengenai buah dan sayur, namun persentase responden menerapkan kebiasaan konsumsi buah dan sayur yang baik sesuai dengan anjuran masih jauh lebih rendah, yaitu 62.9%. Menurut Agustina (2003) bahwa semakin tinggi pengetahuan orang tua maka akan semakin banyak pula pengetahuan orang tua yang diberikan kepada anaknya. Secara statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia, uang saku, dan pengetahuan gizi siswa laki-laki dan perempuan (p>0.05).

14

Tabel 3 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan karakteristik individu

Karakteristik individu Laki Perempuan Total

n % n % n %

Usia (rata-rata±SD, tahun) 12.9±0.6 12.8±0.4 12.8±0.5

12 2 20.0 7 17.5 9 18.0

13 7 70.0 33 82.5 40 80.0

14 1 10.0 0 0.0 1 2.0

Uang saku (rata-rata±SD, Rp/hari) 13133.3±2957.3 15825.0±9789.5 14479.0±6373.4

Rendah (< 5 000) 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Sedang (5 000-9 999) 2 20.0 16 40.0 18 36.0 Tinggi (10 000 -14 999) 6 60.0 14 35.0 20 40.0 Sangat tinggi (≥ 15 000) 2 20.0 10 25.0 12 24.0 Pengetahuan gizi

Sarapan (rata-rata±SD, skor) 97.5±12.9 93.8±12.7 95.6±12.8

Kurang (<60%) 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Cukup (60-80%) 2 20.0 7 17.5 9 18.0

Baik (>80%) 8 80.0 33 82.5 41 82.0

Buah dan sayur (rata-rata±SD, skor) 95.0±8.7 90.9±12.0 93.0±10.3

Kurang (<60%) 0 0.0 1 2.5 1 2.0

Cukup (60-80%) 1 10.0 6 15.0 7 14.0

Baik (>80%) 9 90.0 33 82.5 42 84.0

Karakteristik Keluarga

Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 4. Sebanyak 38.0% jenis pekerjaan ayah siswa adalah PNS/ABRI/Polisi, sedangkan 92.0% ibu siswa adalah ibu rumah tangga (IRT). Pekerjaan dapat berpengaruh terhadap besar-kecilnya perhatian seseorang terhadap makanan yang akan dikonsumsi. Jika seseorang terlalu sibuk bekerja, seringkali ia lalai dalam memenuhi kebutuhan gizinya dan lebih memilih mengkonsumsi makanan cepat saji (Bahria 2009).

Tingkat pendidikan ayah dan ibu siswa adalah SMA, yaitu sebanyak 56.0% dan 60.0%. Tingkat pendidikan orang tua yang baik akan memungkinkan orang tua dapat memantau dan menerima informasi tentang kesehatan anaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka diasumsikan bahwa kemampuannya akan semakin baik dalam mengakses dan menyerap informasi demi memenuhi kebutuhan gizi (Isnani 2011). Ibu yang berpendidikan tinggi cenderung akan memberikan makanan yang sehat kepada anaknya, sedangkan ibu yang berpendidikan rendah akan cenderung memberikan makanan yang enak tetapi kurang sehat (Marzuki 2006). Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerjaan dan pendidikan orang tua siswa laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Sebagian besar (56.0% ) pendapatan keluarga/kap/bulan siswa termasuk ke dalam kategori tinggi (Rp 500 000-Rp 1 000 000). Menurut Little et al. (2002), keadaan sosial ekonomi keluarga khususnya pendapatan akan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makan yang akan dikonsumsi. Penelitian Zenk et al. (2005) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat ekonomi dan perilaku konsumsi individu.

15

Rata-rata pendapatan keluarga yang didapatkan dalam penelitian ini sama dengan hasil penelitian Darmayanti pada tahun 2010 di salah satu sekolah menengah pertama negeri di kota Bogor. Menurut Darmayanti (2010), rata-rata pendapatan keluarga/kap/bulan di sekolah menengah pertama negeri tersebut antara Rp 500 000-Rp 1 000 000. Hal ini menunjukkan semua keluarga sekolah menengah pertama negeri tersebut memiliki pendapatan yang homogen. Pendapatan pada suatu keluarga dapat dikategori menjadi miskin dan tidak miskin dengan menggunakan garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan untuk kota Bogor pada tahun 2010 sebesar Rp 278 530.00. Sebagian besar siswa tergolong tidak miskin sebesar 96.0% dan selebihnya tergolong miskin sebesar 4.0%.

Persentase tertinggi siswa laki-laki (80.0%) dan perempuan (62.5%) memiliki besar keluarga yang tergolong kecil (≤4 orang). Menurut Sediaoetama (2004), keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak amat dekat akan menimbulkan masalah. Pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-hari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi kebutuhan. Selain dalam hal konsumsi pangan, besar keluarga juga akan berpengaruh terhadap perhatian orang tua, bimbingan, petunjuk, dan perawatan kesehatan. Secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga/kap/bulan dan besar keluarga siswa laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan karakteristik keluarga Karakteristik keluarga Laki Perempuan Total

n % n % n % Pekerjaan ayah PNS/ABRI/Polisi 4 40.0 15 37.5 19 38.0 Swasta 0 0.0 2 5.0 2 4.0 Wiraswasta 2 20.0 8 20.0 10 20.0 Buruh 3 30.0 7 17.5 10 20.0 Lainnya 1 10.0 8 20.0 9 18.0 Pekerjaan ibu PNS/ABRI/Polisi 0 0.0 2 5.0 2 4.0 Swasta 0 0.0 1 2.5 1 2.0 Wiraswasta 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Buruh 0 0.0 1 2.5 1 2.0 Ibu RT 10 100.0 36 90.0 46 92.0 Lainnya 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Pendidikan ayah Tidak sekolah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 SD 0 0.0 2 5.0 2 4.0 SMP 0 0.0 4 10.0 4 8.0 SMA 7 70.0 21 52.5 28 56.0 PT 3 30.0 13 32.5 16 32.0 Pendidikan ibu Tidak sekolah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 SD 0 0.0 2 5.0 2 4.0 SMP 3 30.0 6 15.0 9 18.0 SMA 5 50.0 25 62.5 30 60.0 PT 2 20.0 7 17.5 9 18.0

16

Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan karakteristik keluarga (lanjutan)

Karakteristik keluarga Laki Perempuan Total

n % n % n %

Pendapatan (rata-rata±SD, Rp/kap/bulan) 909117±296753 895417±404083 902267±350418

Rendah (< 200 000) 0 0.0 0 0,0 0 0.0

Sedang (200 000 - 500 000) 2 20.0 8 20.0 12 24.0 Tinggi (500 000 - 1 000 000) 4 40.0 26 65,0 28 56.0 Sangat tinggi (≥ 1 000 000) 4 40.0 6 15.0 10 20.0 Besar keluarga (rata-rata±SD, orang) 3.9±1.0 4.4±0.7 4.2±0.4

Kecil (≤4) 8 80.0 25 62.5 33 66.0

Sedang (5-7) 2 20.0 15 37.5 17 34.0

Besar (≥8) 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Konsumsi Buah dan Sayur

Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan konsumsi buah dan sayur dapat dilihat pada Tabel 5. Sebagian besar siswa konsumsi buah (80.0%) dan sayur (64.0%) termasuk kategori kurang, artinya konsumsi buah < 2 porsi/hari dan konsumsi sayur < 1 ½ porsi/hari. Menurut Almatsier (2004) anjuran konsumsi buah dan sayur yaitu 200-300 g atau 2-3 porsi per hari untuk konsumsi buah dan 150-200 g atau 1½-2 porsi per hari untuk konsumsi sayur. Rata-rata konsumsi buah siswa adalah 1.0 porsi/hari, padahal seharusnya konsumsi buah adalah 2-3 porsi/hari. Selanjutnya rata-rata konsumsi sayur siswa adalah 1.1 porsi/hari, padahal seharusnya konsumsi sayur adalah 1½-2 porsi/hari.

Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan konsumsi buah dan sayur Konsumsi buah dan sayur Laki Perempuan Total

n % n % n %

Konsumsi buah (rata-rata±SD, porsi/hari) 1.0±0.7 1.0±0.7 1.0±0.7

Baik 1 10.0 9 22.5 10 20.0

Kurang 9 90.0 31 77.5 40 80.0

Konsumsi sayur (rata-rata±SD, porsi/hari) 1.1±0.6 1.1±0.7 1.1±0.7

Baik 3 30.0 15 37.5 18 36.0

Kurang 7 70.0 25 62.5 32 64.0

Faktor kebiasaan dan ekonomi dapat menjadi alasan rendahnya angka konsumsi buah dan sayur pada siswa.WHO (2005) menjelaskan bahwa kurangnya kemampuan dalam menyiapkan buah dan sayur untuk dikonsumsi menjadi faktor lain yang menghambat konsumsinya. Hal tersebut membentuk kebiasaan makan seseorang yang sulit untuk diubah meskipun telah dilakukan peningkatan pengetahuan gizi. Studi Widyawati (2010) menyatakan bahwa preferensi pangan yang menjadi sumber karbohidrat yang dikonsumsi oleh penduduk Bogor masih dominan pada kelompok padi-padian. Penelitian yang dilakukan Story (2002) ditemukan bahwa konsumsi buah dan sayur pada masyarakat dapat dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu faktor individu (pengetahuan dan alasan seseorang mengonsumsi buah dan sayur), faktor lingkungan sosial (keluarga dan teman sebaya), faktor lingkungan fisik dan faktor media massa (pemasaran).

17

Khomsan et al. (2006) menunjukkan bahwa di Bogor dan Indramayu, baik rumahtangga miskin maupun tidak miskin mengonsumsi buah dengan frekuensi yang hampir sama yaitu umumnya kurang dari satu kali per minggu. Sedangkan untuk rumahtangga miskin maupun tidak miskin, terdapat variasi frekuensi sayur-sayuran antara rumahtangga di Bogor dan Indramayu. Rumahtangga di Bogor terlihat memiliki frekuensi konsumsi lebih tinggi untuk semua jenis sayuran, kecuali kacang panjang. Bogor sebagai wilayah dataran tinggi menghasilkan sayuran lebih banyak dibandingkan Indramayu sebagai wilayah pantai.

Dauchet et al. (2006) dalam studinya menemukan bahwa konsumsi buah dan sayur berhubungan signifikan negatif dengan kejadian penyakit jantung kronis. Setiap kenaikan satu porsi konsumsi buah dan sayur, terdapat penurunan risiko terkena penyakit jantung kronis sebanyak 4.0%. Penelitian Mikkila et al. (2004) bahwa pola makan anak usia 3-18 tahun yang lebih banyak mengkonsumsi makanan tinggi lemak jenuh dibandingkan mengkonsumsi buah dan sayur dapat meningkat resiko penyakit kardiovaskuler dikemudian hari. Secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi buah dan sayur siswa laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan jenis buah dan sayur yang paling sering dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 6. Jenis buah dan sayur yang paling sering dikonsumsi oleh siswa adalah buah apel (20.0%) dan sayur bayam (26.0%). Kelompok buah yang disukai yaitu buah apel diduga karena segar, manis, dan warna menarik. Pada anak usia sekolah menengah pertama di Bogor ini menemukan bahwa sayur bayam merupakan sayur yang paling disukai karena alasan rasanya yang enak dan banyak mengandung zat besi.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan jenis buah dan sayur yang paling sering dikonsumsi

Jenis buah dan sayur Laki Perempuan Total

n % n % n % Jenis buah Apel 2 20.0 8 20.0 10 20.0 Pisang 1 10.0 7 17.5 8 16.0 Jeruk 0 0.0 7 17.5 7 14.0 Mangga 1 10.0 4 10.0 5 10.0 Melon 2 20.0 2 5.0 4 8.0 Nanas 0 0.0 3 7.5 3 6.0 Jambu manis 2 20.0 1 2.5 3 6.0 Pepaya 1 10.0 1 2.5 2 4.0 Anggur 0 0.0 2 5.0 2 4.0 Alpukat 1 10.0 0 0.0 1 2.0 Kelengkeng 0 0.0 1 2.5 1 2.0 Jambu Biji 0 0.0 1 2.5 1 2.0 Rambutan 0 0.0 1 2.5 1 2.0 Pir 0 0.0 1 2.5 1 2.0 Semangka 0 0.0 1 2.5 1 2.0

18

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan jenis buah dan sayur yang paling sering dikonsumsi (lanjutan)

Jenis buah dan sayur Laki Perempuan Total

n % n % n % Jenis sayur Bayam 2 20.0 11 27.5 13 26.0 Kangkung 0 0.0 13 32.5 13 26.0 Wortel 1 10.0 8 20.0 9 18.0 Kentang 0 0.0 3 7.5 3 6.0 Brokoli 2 20.0 1 2.5 3 6.0 Daun singkong 0 0.0 2 5.0 2 4.0 Ketimun 2 20.0 0 0.0 2 4.0 Jagung muda 1 10.0 0 0.0 1 2.0 Tomat 1 10.0 0 0.0 1 2.0 Buncis 1 10.0 0 0.0 1 2.0 Toge 0 0.0 1 2.5 1 2.0 Sawi 0 0.0 1 2.5 1 2.0

Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan pengolahan buah dan sayur yang paling sering dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 7. Pengolahan buah dan sayur yang paling sering dikonsumsi adalah dalam bentuk buah segar (76.0%) dan sayur adalah ditumis (52.0%). Alasan pemilihan pengolahan buah dengan cara langsung dimakan atau dalam keadaan buah segar antara lain karena lebih segar, enak dan lebih banyak mengandung vitamin dibandingkan dengan pengolahan lainnya. Mengonsumsi buah dalam bentuk jus juga bisa memberikan manfaat yang lebih optimal bagi tubuh karena mudah dicerna oleh tubuh. Pemilihan pengolahan sayur dengan cara ditumis antara lain karena lebih enak, gurih dan lezat dibandingkan pengolahan sayur lainnya. Pengolahan sayuran dengan minyak (ditumis atau disantan merupakan cara yang paling baik apabila sayuran tersebut digunakan sebagai sumber vitamin A.

Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan pengolahan buah dan sayur yang paling sering dikonsumsi

Pengolahan buah dan sayur Laki Perempuan Total

n % n % n % Pengolahan buah Buah segar 6 60.0 32 80.0 38 76.0 Jus 4 40.0 5 12.5 9 18.0 Rujak 0 0.0 3 7.5 3 6.0 Pengolahan sayur Ditumis 3 30.0 23 57.5 26 52.0 Direbus 2 20.0 17 42.5 19 38.0

Sayur segar (lalapan) 4 40.0 0 0.0 4 8.0

19

Ketersediaan Buah dan Sayur

Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan ketersediaan buah dan sayur di rumah dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan data yang diperoleh, tidak terdapat data ketersediaan buah dan sayur di sekolah SMP Negeri 8 Bogor. Hasil survei menunjukkan sekolah tersebut tidak menyediakan kantin dan makanan yang berupa buah-buahan maupun sayur-sayuran, tetapi cenderung memiliki banyak jajanan di luar sekolah. Oleh karena itu, data yang digunakan pada penelitian ini adalah ketersediaan buah dan sayur berdasarkan ketersediaan di rumah. Sebagian besar siswa memiliki ketersediaan buah (50.0%) dan sayur (62.0%) di rumah positif artinya tersedia buah dan sayur di rumah.

Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan ketersediaan buah dan sayur di rumah

Ketersediaan buah dan sayur di rumah Laki Perempuan Total

n % n % n % Ketersediaan buah Positif 6 60.0 19 47.5 25 50.0 Negatif 4 40.0 21 52.5 25 50.0 Ketersediaan sayur Positif 7 70.0 24 60.0 31 62.0 Negatif 3 30.0 16 40.0 19 38.0

Sebagian besar anak usia 11-12 tahun di sembilan negara di Eropa memiliki ketersediaan buah dan sayur yang cukup di rumah setiap hari. Namun, sayangnya hal tersebut tidak didukung dengan ketersediaan buah dan sayur di sekitar rumah dan sekolahnya. Hanya seperempat anak yang mengatakan terdapat ketersediaan buah dan sayur di sekitar rumah dan sekolahnya (Sandvik et al. 2005). Ketersediaan buah dan sayur terutama di rumah dapat menjadi faktor yang berpengaruh paling besar dalam mencapai tingkat konsumsi buah dan sayur pada anak usia sekolah. Tingginya ketersediaan dan keterjangkauan buah dan sayur terutama di rumah dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur pada anak usia sekolah (Sylvestre 2003).

Menurut Andika (2014) bahwa di SDN Cibanteng sebagian besar (53.7%) tidak tersedia buah di rumah setiap hari, sedangkan di SDN Papandayan sebagian besar (51.9%) tersedia setiap hari. Ketersediaan sayur di rumah sebagian besar tersedia sayur setiap kali makan di SDN Cibanteng dan SDN Papandayan. Selanjutnya, menurut penelitian Annisa (2014) bahwa ketersediaan buah dapat dilihat bahwa sebanyak 53.7% di SDN Cibanteng hanya menyediakan buah kurang dari dua hari dalam seminggu di rumah dan sebanyak 51.9% di SDN Papandayan sudah menyediakan buah setiap hari di rumah. Sebagian besar keluarga di SDN Cibanteng dan SDN Papandayan sudah menyediakan sayur untuk setiap waktu makan di rumah. Penelitian Koui dan Jago (2008) bahwa terdapat hubungan signifikan antara ketersediaan buah dan sayur di rumah dengan tingkat konsumsi buah dan sayur pada anak. Kemudian penelitian Andika (2014) bahwa terdapat hubungan signifikan antara ketersediaan buah di rumah dengan tingkat konsumsi buah pada anak, kecuali ketersediaan sayur di rumah. Secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ketersediaan buah dan sayur siswa laki-laki dan perempuan (p>0.05).

20

Kebiasaan Orang Tua

Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan kebiasaan orang tua mengonsumsi buah dan sayur dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa sebagian besar (60.0%) orang tua siswa memiliki kebiasaan mengonsumsi buah dan sayur negatif. Kebiasaan orang tua negatif artinya orang tua tidak memiliki kebiasaan baik dalam mengonsumsi buah dan sayur. Annisa (2014) bahwa sebagian besar ibu di kabupaten dan kota selalu mencontohkan untuk mengonsumsi buah dan sayur kepada anaknya.

Tabel 9 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan kebiasaan orang tua mengonsumsi buah dan sayur

Kebiasaan orang tua mengonsumsi buah dan sayur

Laki Perempuan Total

n % n % n %

Kebiasaan orang tua mengonsumsi buah

Positif 4 40.0 16 40.0 20 40.0

Negatif 6 60.0 24 60.0 30 60.0

Kebiasaan orang tua mengonsumsi sayur

Positif 4 40.0 16 40.0 20 40.0

Negatif 6 60.0 24 60.0 30 60.0

Konsumsi buah dan sayur pada anak berhubungan positif dengan kebiasaan orang tua mengonsumsi buah dan sayur terutama kebiasaan ibu dimana ibu sebagai individu utama yang harus selalu memperhatikan kebutuhan makanan di rumah (Blanchette dan Brug 2005). Orang tua sebagai panutan dapat memberikan kepercayaan diri dan keyakinan anak untuk mengonsumsi buah dan sayur. Semakin sering orang tua mengonsumsi buah dan sayur maka semakin tinggi tingkat konsumsi buah dan sayur pada anak (Kristjansdottir et al. 2006). Orang tua yang memiliki kebiasaan mengonsumsi buah dan sayur yang positif akan memberikan dampak positif pula pada kesukaan anak dan ketersediaan buah dan sayur di rumah. Semakin tinggi kebiasaan orang tua mengonsumsi buah dan sayur maka kesukaan dan ketersediaan buah dan sayur di rumah pun juga meningkat (Pearson et al. 2008).

Preferensi pangan didefinisikan sebagai derajat suka atau tidak suka tehadap suatu pangan. Preferensi pangan berkembang sejak awal, bahkan sejak dalam kandungan tergantung diet ibu. Berbagai macam pilihan (preferensi) makanan merupakan hasil interaksi dari kondisi-kondisi saling mempengaruhi yang berbeda, apa yang dipilih seorang anak untuk dimakan atau apa yang membuat makanan menjadi bagian dari konsumsi anak sehari-hari adalah kumpulan atau hasil interaksi dari beberapa faktor, antara lain: keturunan (genetik), budaya, serta status sosial ekonomi. Hal ini merupakan suatu titik kritis sebab preferensi pangan dapat mempunyai konsekuensi kekal, artinya preferensi pangan dibentuk sejak dini dan cenderung akan tetap berlaku untuk mempengaruhi preferensi pangannya saat dewasa sehingga apa yang dipelajari seorang anak pada tahun awal kehidupannya dapat membangun berbagai macam preferensi pangannya pada saat dewasa (Contento 2011). Secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kebiasaan orang tua mengonsumsi buah dan sayur siswa laki-laki dan perempuan (p>0.05).

21

Kebiasaan Sarapan

Kebiasaan sarapan terbentuk oleh keluarga. Orang tualah yang membiasakan anak untuk sarapan sehingga anak merasa bahwa sarapan adalah kebiasaan yang harus dilakukan.

Frekuensi Sarapan

Frekuensi sarapan siswa dalam satu minggu berkisar antara nol (tidak pernah sarapan) sampai dengan tujuh kali. Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan frekuensi sarapan dapat dilihat pada Tabel 10. Lebih dari separuh siswa (88%) memiliki frekuensi sering sarapan. Siswa laki-laki lebih sering sarapan dibandingkan perempuan. Namun, sebanyak 5.0% siswa perempuan tidak pernah melakukan sarapan dan hal ini tidak terdapat pada siswa laki-laki.

Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan frekuensi sarapan

Frekuensi sarapan Laki Perempuan Total

n % n % n %

Tidak Pernah (0 kali/minggu) 0 0.0 2 5.0 2 4.0 Jarang (<4 kali/minggu) 1 10.0 3 7.5 4 8.0

Sering (≥4 kali/minggu) 9 90.0 35 87.5 44 88.0

Rata-rata±SD, kali/minggu 6.5±1.3 6.2±1.9

Kecenderungan remaja perempuan untuk meninggalkan sarapan lebih besar daripada remaja laki-laki diduga berhubungan dengan adanya body image. Hampir 70% remaja perempuan yang diteliti berkeinginan untuk menurunkan berat badan karena menganggap dirinya gemuk dan sekitar 59.0% remaja laki-laki menginginkan tubuh yang lebih berisi karena menganggap dirinya terlalu kurus (Khomsan 2002). Menurut Kral et al. (2011) ketika seseorang tidak melakukan sarapan pagi, tingkat konsumsi kalorinya lebih rendah 362 kalori dibandingkan dengan seseorang yang melakukan sarapan pagi, anak yang tidak terbiasa melakukan sarapan pagi akan berisiko mengalami hipoglikemia dan akan cenderung mengonsumsi jajanan di sekolah yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya. Kadar glukosa darah akan berpengaruh terhadap peningkatan produktifitas dan kondisi aktivitasnya.

Anak yang tidak terbiasa melakukan sarapan pagi dapat disebabkan karena kebiasaan tidak sarapan tersebut dibangun oleh keluarganya yang memang tidak terbiasa melakukan sarapan pagi. Kebiasaan orang tua tersebut akhirnya dilakukan juga oleh anak tersebut. Selain faktor keluarga penyebab lain anak tidak sarapan pagi adalah berasal dari faktor fisiologis dari dalam diri anak tersebut yang membuat anak menjadi malas sarapan pagi dan faktor biologis dimana anak sering sakit perut setelah sarapan pagi. Kondisi kurangnya nafsu makan juga menjadi salah satu permasalahan yang sering kali dialami oleh anak usia sekolah. Tidak terbiasanya melakukan sarapan pagi akan dapat membuat organ lambung selalu berada dalam keadaan kosong pada pagi hari dan hal tersebut jika dibiarkan secara terus menerus maka akan dapat menimbulkan efek yang negatif bagi kondisi tubuh. Secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sarapan siswa laki-laki dan perempuan (p>0.05).

22

Waktu Sarapan

Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan waktu sarapan dapat dilihat pada Tabel 11. Sebagian besar (70.9%) siswa lebih banyak melakukan sarapan pukul 06.00-07.00. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2010) lebih dari 90.0% siswa biasanya melakukan sarapan pada pukul 06.00-07.00 di rumah, sedangkan siswa yang melakukan sarapan pada pukul 06.00- 07.00-10.00 umumnya melakukan sarapan di sekolah pada waktu istirahat.

Tabel 11 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dan waktu sarapan

Waktu sarapan Laki Perempuan Total

n % n % n %

05.00-06.00 0 0.0 41 16.5 41 13.1

06.00-07.00 59 90.8 163 65.7 222 70.9

07.00-10.00 6 9.2 44 17.7 50 16.0

Sarapan dapat dilakukan antara pukul 06.00-08.00, namun waktu ini bukan acuan keharusan. Sebagai bagian dari pola makan, sarapan dapat disesuaikan

Dokumen terkait