• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsentrasi Amonia (NH3)

Amonia adalah sumber nitrogen yang utama dan sangat penting untuk sintesis protein mikroba rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen merupakan suatu besaran yang sangat penting untuk dikendalikan karena sangat menentukan optimasi pertumbuhan mikroba rumen. Sekitar 80% mikroba rumen dapat menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhannya (Arora, 1995). Hasil pengukuran konsentrasi NH3 dapat dilihat pada tabel 5:

Tabel 5 : Rataan konsentrasi N-Amonia (NH3 = mM)

Perlakuan Kelompok Total Rataan

I II III ……….(mM)……… A1B1 6.90 11.72 15.09 33.71 11.24 A1B2 7.89 11.37 21.84 41.09 13.70 A1B3 8.62 12.19 22.30 43.10 14.3 A1B4 6.83 7.14 15.76 29.72 9.91 A2B1 4.85 6.86 11.49 23.20 7.73 A2B2 3.88 4.90 16.10 24.88 8.29 A2B3 11.74 11.93 18.91 42.58 14.19 A2B4 4.18 4.18 31.16 39.52 13.17 A3B1 5.87 5.74 13.49 25.10 8.37 A3B2 6.82 6.04 15.77 28.62 9.54 A3B3 10.88 16.41 22.79 50.08 16.69 A3B4 5.72 6.23 14.64 26.59 8.86 Total 84.18 104.71 221.34 408.16 Rataan 11.34

Ket : A1=jerami jagung, A2=pelepah daun sawit, A3=pucuk tebu. B1=fermentasi dengan Trichoderma viride, B2= fermentasi dengan Aspergillus niger, B3=amoniasi, B4=giling

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa konsentrasi NH3 yang tertinggi dari semua perlakuan adalah A3B3 sebesar 16,69 mM yakni pucuk tebu yang diolah dengan amoniasi. Sedangkan dari masing-masing bahan kisaran NH3 yang dihasilkan dari pakan yang diolah secara mekanik 8,86 - 9,91 mM, pakan yang diolah secara fermentasi dengan Aspergillus niger 8,29 -13,69 mM, pakan yang diolah dengan amoniasi 14,19 -16,69 mM serta pakan yang diolah secara fermentasi dengan Trichoderma viride 7,73 – 11,24 mM.

Dari hasil data diatas maka didapatlah hasil bahwa konsentrasi NH3 yang tinggi terdapat pada pakan yang diolah dengan amoniasi. Konsentrasi NH3 pada pakan yang diolah dengan amoniasi cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan pakan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena pakan yang diolah dengan amoniasi mengandung urea yang cukup tinggi. Urea merupakan sumber protein yang dapat meningkatkan produksi amonia sehingga konsentrasi NH3 yang dihasilkan juga cukup tinggi.

Perlakuan amoniasi dengan urea telah terbukti mempunyai pengaruh yang baik terhadap pakan. Proses amoniasi lebih lanjut juga akan memberikan keuntungan yaitu meningkatkan kecernaan pakan. Setelah terurai menjadi NH3 dan CO2. Dengan molekul air NH3 akan mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan OH. NH3 mempunyai pKa = 9,26, berarti bahwa dalam suasana netral (pH = 7) akan lebih banyak terdapat sebagai NH+. Dengan demikian amoniasi akan serupa dengan perlakuan alkali. Gugus OH dapat merenggut putus ikatan hidrogen yang terdapat pada ikatan selulosa, lignoselulosa dan lignohemiselulosa. Dua ikatan terakhir ini bersifat labil alkali, yaitu dapat diputus dengan perlakuan alkali. Sehingga pakan akan memuai dengan mudah dicerna oleh mikroba rumen. Pemuaian pakan selanjutnya akan melarutkan deposit lignin yang terdapat pada dinding dan ruang antar sel. Berarti amoniasi juga menurunkan kadar zat makanan yang sukar bahkan tidak dicerna oleh ternak, yang berakibat meningkatkan kecernaan pakan lebih jauh

Selanjutnya konsentrasi NH3 pada pakan yang diolah dengan fermentasi

Tricoderma viride dan Aspergillus niger lebih tinggi dibandingkan dengan pakan yang digiling. Hal ini disebabkan karena pada pakan yang difermentasi dengan Trichoderma viride dan Aspergillus niger menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi selulosa sehingga mudah dicerna oleh ternak (Mandels, 1982).

Dari sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 total tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sumber energi dalam pakan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Kandungan serat kasar pada pakan lebih rendah dan BETN pakan lebih tinggi. Artinya karbohidrat yang ada pada pakan lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen. Menurut Bondi (1987), keberadaan serat kasar biasanya disertai dengan lignin yang mengikat selulosa dan hemiselulosa serta protein pakan, sehingga sulit dicerna. Selain itu seiring dengan meningkatnya umur tanaman, karena semakin tua tanaman proporsi batang lebih besar dari pada daun. Semakin tua tanaman kandungan ADF, NDF, selulosa, hemiselulosa, dan lignin juga semakin bertambah. ADF, NDF, selulosa, hemiselulosa, dan lignin adalah komponen dinding sel tanaman. Komponen dinding sel tanaman tersebut merupakan bagian yang sukar dicerna, bahkan komponen lignin tidak tidak bisa dicerna sama sekali. Dari hasil penelitian ini, konsentrasi NH3 yang dihasilkan dari semua perlakuan menghasilkan NH3 diatas kebutuhan minimal yang berkisar antara 7,73– 16,69 mM dan nilai tersebut masih optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. McDonald et al, (2002) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 yang optimum untuk perkembangbiakan mikroba rumen membutuhkan NH3 berkisar antara 6,0 - 17,65 mM. Kebutuhan ini terpenuhi pada semua perlakuan.

Protein pakan di dalam rumen akan mengalami proteolisis oleh enzim mikroba rumen menjadi oligopeptida dan asam amino, selanjutnya keduanya akan mengalami deaminasi dan menghasilkan asam keto-alpha, CO2, VFA dan NH3 (McDonald et al,

2002). Sutardi (1977) menyatakan bahwa 82% mikroba rumen membutuhkan N-NH3

untuk mensintesis protein tubuhnya, oleh karena itu sebagian besar asam amino dirombak menjadi NH3. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soejono et al., (1986), perlakuan alkali pada bagas dengan menggunakan urea (CO [NH2]2)

sebanyak 6% BK, dapat secara nyata meningkatkan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) bagas, yaitu dari 22,29% menjadi 29,58%, atau terjadi peningkatan kecernaan sebesar 32,7%.

Pucuk tebu yang di amoniasi mengandung energi yang tinggi sehingga diduga efisiensi pembentukan protein mikroba lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Prawirokusumo (1994) yang menyatakan bahwa protein yang terdegradasi dalam rumen menghasilkan amonia, CO2. Amonia selanjutnya digunakan untuk menyusun protein mikroba. Untuk keperluan tersebut maka mikroba membutuhkan sumber energi, terutama yang berupa karbohidrat yang mudah dicerna yaitu pati atau gula (Kamal, 1994). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa bila kadar amonia terlalu tinggi maka amonia akan diabsorbsi melalui dinding rumen menuju ke hati untuk diubah menjadi urea. Apabila perombakan amonia menjadi urea kalah cepat, maka kadar amonia di dalam darah menjadi naik dan mengakibatkan keracunan pada ternak yang akhirnya dapat mendatangkan kematian.

Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Total

Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan sumber energi utama asal rumen. Selain VFA, fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan CO2 dan CH4 (McDonald et al., 2002)..

Pakan baik berupa konsentrat maupun hijauan (rumput dan leguminosa) akan mengalami proses fermentasi oleh mikroba rumen. Hasil utama pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA terutama asetat (C2), propionat (C3); butirat (C4); laktat dan format (Parakkasi, 1999). Produksi yang terpenting dan potensial sebagai sumber energi karbon untuk pertumbuhan bagi mikroba adalah asam asetat, propionat dan butirat (Hvelplund, 1991). Hasil pengukuran konsentarsi VFA total pada bahan pakan yang diolah disajikan pada tabel 6 :

Tabel 6: Rataan konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Total

Perlakuan Kelompok Total Rataan

I II III ………(mM)……… A1B1 146.68 125.42 173.53 445.63 148.54 A1B2 110.82 111.45 159.10 381.37 127.12 A1B3 156.09 131.93 153.49 441.50 147.17 A1B4 111.32 134.11 99.06 344.49 114.83 A2B1 77 .36 77.03 134.21 288.60 96.20 A2B2 150.68 91.02 152.35 394.05 131.35 A2B3 85.76 78.09 121.37 285.21 95.07 A2B4 151.59 97.79 125.30 374.67 124.89 A3B1 141.19 169.39 132.27 442.84 147.61 A3B2 110.69 129.14 184.59 424.42 141.47 A3B3 163.61 155.31 89.13 408.04 136.01 A3B4 132.55 149.31 112.22 394.07 131.36 Total 1538.34 1449.99 1636.62 4624.87 Rataan 128.47

Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai VFA pada perlakuan jerami jagung tertinggi pada fermentasi dengan Trichoderma viride (148,54mM), pada pelepah daun sawit yang tertinggi pada fermentasi dengan Aspergillus niger (131,35 mM) sedangkan pada pucuk tebu VFA yang tertinggi pada amoniasi (147,61mM).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa konsentrasi VFA pada pengolahan pakan yang terbaik dari semua perlakuan adalah dengan menggunakan fermentasi Trichoderma viride dengan nilai rataan (148.54 mM). Hal ini disebabkan karena mikroorganisme ini menghasilkan enzim selulase yang mampu menghancurkan selulosa tingkat tinggi dan memiliki kemampuan mensintesis beberapa faktor esensial untuk melarutkan bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogeni. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mandels (1982) yang menyatakan bahwa Trichoderma viride merupakan jamur yang potensial memproduksi enzim selulase dalam jumlah yang relatif banyak untuk mendegradasi selulosa, enzim ini berfungsi sebagai agen pengurai yang spesifik untuk menghidrolisis ikatan kimia dari selulosa dan turunannya sehingga mudah dicerna oleh ternak.

Konsentrasi VFA yang dihasilkan antar perlakuan terjadi perbedaan. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian ini pengambilan cairan rumen sebagai inokulum dilakukan pada periode waktu yang berbeda pada ternak yang sama. Periode waktu pengambilan yang berbeda ini dapat menyebabkan perbedaan jumlah populasi mikroba yang terdapat dalam rumen sehingga mempengaruhi fermentabilitas ransum yang diberikan dan dikarenakan adanya perbedaan produksi karbohidrat dan protein dari masing - masing pakan. VFA diperoleh dari hasil fermentasi karbohodrat dan protein (Mathius dan Sutrisno,1994). VFA akan diabsorpsi melalui dinding rumen dan masuk kesistim peredaran darah yang kemudian VFA akan dioksidasikan di dalam hati yang selanjutnya akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi pada ternak. Pucuk tebu, jerami jagung dan pelepah daun sawit merupakan sumber karbohidrat, lemak dan senyawa lainnya (Poerwowidodo, 1992). Menurut Arora (1989) makanan yang memiliki karbohidrat tinggi menghasilkan asetat dan propionat yang tinggi pula, sehingga akan meningkatkan jumlah VFA total. Tingginya VFA total karena adanya peningkatan selulosa, dimana oleh mikroba rumen akan difermentasikan menjadi asam asetat yang merupakan komponen utama VFA total.

Perbedaan periode cairan rumen tidak nyata mempengaruhi konsentrasi VFA total yang dihasilkan. Hasil ini diduga disebabkan oleh pakan yang diberikan tidak mempengaruhi populasi mikroorganisme didalam rumen. Pertumbuhan mikroorganisme rumen sangat dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Faktor yang mempengaruhi populasi mikroba rumen secara umum ditentukan oleh tipe makanan yang dikonsumsi ternak (Arora, 1995).

Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan pakn yang diolah tidak

berpengaruh nyata terhadap konsentrasi VFA. Produksi VFA total yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar 95.07 – 148.54 mM, nilai tersebut masih berada diatas

kisaran konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh mikroba rumen dalam kondisi normal yaitu 80 – 160 mM (Sutardi, 1980). Bila dilihat dari konsentrasi amonia hasil pemelitin yang berkisar antara 7.73 -16.69 mM, konsentrasi ini masih memenuhi standar untuk kebutuhan mikroba yaitu berkisar 6.0 – 17.65 mM (McDonald et al, 2002. VFA diserap ke dalam sistem peredaran darah melalui proses glukoneogenesis, kemudian VFA diubah oleh hati mnejadi gula darah. Gula darah inilah yang akan mensuplai sebagian kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger, 1982).

Proses fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen menghasilkan energi yang berupa asam-asam lemak atsiri (VFA) antara lain yang utama yaitu asetat, butirat dan propionat. Menurut Arora (1989) peranan VFA sangat penting sebagai sumber energi, VFA yang merupakan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein mikroba. Produksi VFA total dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, sifat karbohidrat, laju makanan meninggalkan rumen dan frekuensi pemberian pakan (Sutardi, 1977).

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Konsumsi bahan kering merupakan gambaran banyaknya bahan pakan yang masuk ke dalam tubuh, namun untuk mengetahui sejauhmana zat-zat makanan tersebut diserap oleh tubuh ternak maka perlu mengetahui tingkat kecernaannya. Kecernaan adalah zat pakan dari suatu bahan pakan yang tidak dieksresikan dalam feses, dimana bagian itu diasumsikan diserap oleh tubuh ternak (Tillman, dkk. 1998). Pencernaan pakan pada ruminansia terjadi secara mekanis di dalam mulut yang bertujuan memperkecil ukuran partikel pakan, fermentasi oleh mikroba dalam rumen dan secara kimiawi oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh organ-organ pencernaan pasca rumen (Sutardi, 1978).

Pengujian kecernaan dilakukan untuk mengetahui kualitas dari suatu baha pakan, karena salah satu faktor penting yang harus dipenuhi oleh bahan makanan

adalah tinggi rendahnya daya cerna bahan makanan tersebut. Kecernaan juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menentukan nilai pakan ternak. Nilai kecernaan suatu bahan pakan menunjukan bagian dari zat-zat makanan yang dicerna dan diserap sehingga siap untuk mengalami metabolisme (Schneider dan Flatt, 1975). Dengan banyaknya nutrien yang diserap tubuh, maka dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi ternak Koefisien Cerna Bahan Kering dapat dilihat pada tabel 7 :

Tabel 7 : Rataan koefisien cerna bahan kering (KCBK %)

Perlakuan Kelompok Total Rataan

I II III A1B1 50.03 47.28 59.25 156.56 52.19de A1B2 29.05 27.28 26.17 82.50 27.50b A1B3 57.65 51.43 62.22 171.30 57.10ef A1B4 37.35 37.24 52.66 127.15 42.38c A2B1 21.03 25.27 30.83 77.13 25.71b A2B2 12.52 10.40 17.01 39.93 13.31a A2B3 21.05 24.73 30.98 76.76 25.59b A2B4 10.93 16.29 20.63 47.84 15.95a A3B1 39.36 44.29 45.56 129.21 43.07c A3B2 41.78 43.75 55.95 141.48 47.16cd A3B3 58.75 66.40 54.90 180.04 60.01f A3B4 49.62 50.90 43.28 143.79 47.93cd Total 429.12 445.26 499.34 1373.68 Rataan 38.16

Keterangan: notasi huruf yang sama antar perlakuan menunjukkan angka tersebut tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %

Dari penelitian yang diperoleh bahwa rataan koefisien cerna bahan kering (KCBK) yang tertinggi pada perlakuan A3B3 yakni pucuk tebu yang diamoniasi sebesar 60,01% sedangkan yang terendah pada A2B4 yakni pada pelepah daun sawit yang difermentasi dengan penambahan Aspergillus niger (13,31%).

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering sangat nyata dipengaruhi oleh perlakuan (P<0,05). Kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan bahan pakan yang diamoniasi. karena pada amoniasi mengandung

urea yang ditambahkan dalam pakan sehingga mengalami proses urealitik menjadi NH3 dan CO2 oleh urease bakteri yang ada pada pakan. Bersama air pakan, NH3

membentuk basa NH4OH sehingga mampu memasok N bagi baktei rumen dan

mampu melemahkan ikatan lignoselulosa pada pucuk tebu (Lenhinger, 1991) dan karena adanya hubungan dengan lama retensi pakan dalam rumen. Pakan yang lebih lama proses fermentasinya didalam rumen akan lebih banyak dicerna, sehingga daya cerna lebih tinggi karena adanya aktivitas mikroba yang mendegradasi pakan sehingga produk fermentasi juga semakin tinggi.

Untuk melihat perbedaan perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil atau sering disebut uji BNT, hal ini karena koefisien keragaman sedang (> 10%) pada kondisi heterogen. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hanafiah (2000) yang menyatakan bahwa derajat ketelitian suatu percobaan terlihat dari nilai koefisien keragaman, semakin kecil nilai KK berarti semakin kecil pengaruh kondisi percobaan dan sebaliknya untuk nilai KK semakin besar.

Berdsarkan uji BNT pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa antara perlakuan A2B2, dan A2B4 tidak berbeda danberbeda dengan perlakuan lainnya adanya perbedaan perlakuan disebabkan karena kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi pakan, terutama yang berhubungan dengan sifat fisik yang disebabkan oleh ikatan lignoselulosanya. Ikatan lignoselulosa pada pakan pelepah daun sawit partikelnya lebih panjang dan relatif lebih sukar dirombak atau didegradasi oleh mikroba rumen sehingga daya cernanya rendah. Berbeda dengan halnya pakan yang berbasis pucuk tebu partikelnya relatif kecil dan halus serta ikatan lignoselulosanya relatif longgar, sehingga lebih mudah didegradasi oleh mikroba rumen.

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan (Sutardi, 1980). Rahmawati (2001) menambahkan bahwa bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Kecernaan bahan organik diukur karena komponen dari bahan organik sangat dibutuhkan ternak untuk hidup pokok dan produksi. Bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan maka semakin banyak zat gizi yang diserap tubuh ternak (Silalahi, 2003). Respon perlakuan terhadap koefisien cerna bahan organik (KCBO) berbeda nyata. Hasil perhitungan KCBO dapat dilihat pada tabel 8:

Tabel 8 : Rataan koefisien cerna bahan organik (KCBO %)

Perlakuan Kelompok Total Rataan

I II III A1B1 5108 46.10 60.90 158.07 52.69ef A1B2 24.60 21.86 18.01 64.47 21.49abc A1B3 60.55 52.15 65.48 178.17 59.39fg A1B4 36.15 36.00 52.34 124.49 41.50d A2B1 20.24 25.34 29.74 75.32 25.11c A2B2 9.36 7.22 15.24 31.82 10.61a A2B3 19.42 22.86 29.92 72.19 24.06bc A2B4 9.16 13.68 18.37 41.21 13.74ab A3B1 39.39 43.44 45.10 127.92 42.64d A3B2 40.97 42.86 56.02 139.84 46.64de A3B3 60.40 68.45 57.71 186.56 62.19g A3B4 50.32 51.13 43.08 144.52 48.17de Total 421.63 431.05 491.88 1344.55 Rataan 37.35

Keterangan: notasi huruf yang sama antar perlakuan menunjukkan angka tersebut tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %

Dari penelitian yang diperoleh bahwa rataan koefisien cerna bahan organik yang tertingi pada perlakuan A3B3 yakni pucuk tebu yang diamoniasi sebesar 62.19% sedangkan yang terendah pada A2B2 yakni pada pelepah daun sawit yang difermentasi dengan penambahan Aspergillus niger (10.61%).

Dari sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuan pucuk tebu yang amoniasi (62.19%). Hal ini dapat disebabkan karena urea dapat melarutkan sebagian komponen serat kasar termasuk silika yang dapat mengakibatkan ketersediaan zat makanan untuk dicerna semakin tinggi karena urea dapat melonggarkan ikatan lignoselulosa akan memudahkan penetrasi enzim yang dihasilkan mikroba rumen lebih sempurna, akibatnya akan meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik (Jackson, 1977).

Berdasarkan uji statistik, diperoleh bahwa terjadi pengaruh sangat nyata antara interaksi bahan pakan dengan teknologi pengolahan bahan pakan. Disamping itu kedua faktor tersebut berpengaruh secara nyata dalam proses peningkatan produksi KCBK dan KCBO. Secara statistik, terjadi penurunan nilai koefisien kecernaaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) diseluruh bahan pakan yang difermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger. Dari hasil penelitian pun dapat dilihat bahwa pucuk tebu nilai KCBK dan KCBO lebih tinggi (49,54%) dibandingkan dengan bahan pakan yang lain sedangkan pelepah daun sawit memiliki KCBK dan KCBO yang lebih rendah (20,14%) dibanding dengan bahan pakan yang lainnya.

Dokumen terkait