• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampai saat ini pemanfaatan pucuk tebu sebagai pakan ternak ruminansia masih terbatas, hal ini disebabkan kecernaan dan nilai gizinya rendah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya gunanya diperlukan tindakan pengolahan. Teknik yang diperkenalkan Sutrisno et al., (1985).dalam pengolahan pucuk tebu dan berhasil cukup baik adalah melalui perlakuan kimiawi (amoniasi). Komposisi nutrisi pucuk tebu dapat dilihat pada tabel 4:

Tabel 4. Kandungan Nilai Nutrisi Pucuk Tebu

Nutrien (Kandungan Zat) Kadar Zat Pucuk Tebu

Serat Kasar (%) 42,30

Protein Kasar (%) 7,40 Lemak (%) 2,90 Abu (%) 7,40 BETN 40,00

Sumber : a). Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP – USU (2005)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pucuk tebu memiliki daya cerna dan nilai gizi yang relatif rendah, hal tersebut dapat dilihat dari kandungan serat kasarnya yang cukup tinggi (42,30%). Akan tetapi dengan tindakan pengolahan kimiawi, hayati dan fisik, secara signifikan mampu meningkatkan daya cerna, kandungan gizi pakan dan konsumsi pakan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pucuk tebu dapat mengantikan peran rumput gajah, tanpa memberikan efek negative baik pada sapi potong maupun sapi perah. Kelebihan pucuk tebu adalah biasa dipanen pada musim kemarau, sehingga akan sangat membantu dalam kontinuitas penyediaan pakan. Jika dilihat pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan harian (ADG) pemberian pucuk tebu pada ternak sapi Bali Jantan mampu menghasilkan ADG sebesar 0,78-0,82 kg/hari sedangkan dengan

pemberia rumput gajah ADGnya hanya mencapai 0,69 kg/hari

Rekayasa teknologi pengolahan pakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi pucuk tebu adalah teknik amoniasi dan fermentasi. Proses amoniasi akan melemahkan ikatan lignoselulosa pucuk tebu serta fermentasi telah terbukti dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan kadar protein kasar. Mikroba yang sering digunakan sebagai agen fermentasi limbah yang mengandung serat kasar tinggi adalah kapang Trichoderma viride. Kapang tersebut akan menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar (Lenhinger, 1991).

Teknologi Pengolahan Bahan Pakan Ternak 1. Amoniasi

Ada tiga sumber amoniak yang dapat dipergunakan dalam proses amoniasi yaitu : NH3 dalam bentuk gas cair, NH4OH dalam bentuk larutan, dan urea dalam bentuk padat.

Satu-satunya sumber NH3 yang murah dan mudah diperoleh adalah urea. Urea dengan rumus molekul CO(NH2)2 banyak digunakan dalam ransum ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harga murah. Secara fisik urea berbentuk kristal padat berwarna putih dan higroskopis. Urea mengandung nitrogen sebesar 42 - 45% (Belasco, 1954).

Perlakuan amoniasi dengan urea telah terbukti mempunyai pengaruh yang baik untuk pakan. Proses amoniasi lebih lanjut juga akan memberikan keuntungan yaitu meningkatkan kecernaan pakan. Setelah terurai menjadi NH3 dan CO2. Dengan molekul air NH3 akan mengalami hidrolisis. Dengan demikian amoniasi akan serupa dengan perlakuan alkali. Amoniasi dapat menurunkan kadar zat makanan yang sukar bahkan tidak dicerna oleh ternak. Yang berakibat meningkatkan kecernaan pakan lebih jauh. Dari hasil percoban Chuzaemi dan Soejono (1986) dengan level urea yang lebih tinggi yaitu 6% dan 8% secara in vivo selain dapat meningkatkan kecernaan

bahan kering dan bahan organik juga energinya. Energi tercerna meningkat dari 6,07 MJ menjadi 8,32 dan 9,54 MJ.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soejono (1986), perlakuan alkali pada pucuk tebu dengan menggunakan urea sebanyak 6% dapat secara nyata meningkatkan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) pucuk tebu yaitu 22,29% menjadi 29,58% atau terjadi peningkatan kecernaan sebesar 32,7%.

2. Fer mentasi

Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Saono, 1998) dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan tersebut (Winarno et al., 1980).

Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu bahan pakan baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya simpannya. Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi daripada bahan aslinya

karena adanya enzim yang dihasilkan dari mikroba itu sendiri (Winarno dan Fardiaz, 1980).

Penambahan bahan-bahan nutrient kedalam media fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai sumber nitrogen pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan kedalam medium fermentasi akan diuraikan untuk enzim urease menjadi ammonia dan karbondioksida selanjutnya aman digunakan untuk pembentukan asam amino (Fardiaz, 1989).

Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan kapang yang termasuk genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eurotiales, sub-klas Plectomycetidae, klas Ascomycetes, sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hadjo et al., 1989).

Kapang Aspergillus niger mempunyai kelebihan dalam menghasilkan enzim-enzim pengurai seperti sellulase, amylase, pektinase, katalase, amiloglukosidase dan glukosaoksidase, sehingga produk fermentasi tersebut menghasilkan senyawa-senyawa sederhana seperti senyawa-senyawa glukosa (Taram, 1995).

Hardjo et al., (1989) mengatakan bahwa Asperillus niger di dalam

pertumbuhannya berhubungan secara langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul lain yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih dahulu sebelum diserap kedalam sel. Untuk itu Aspergillus niger menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler.

Kapang ini tumbuh maksimum pada suhu 30oC - 37oC dan derajat keasaman untuk pertumbuhan adalah 2,8 – 5 tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah (Ningrum, 2000). Kapang Aspergillus niger telah banyak digunakan sebagai media dalam bioproses beberapa bahan pakan dengan tujuan untuk meningkatkan dayagunya. Dari beberapa hasil penelitian diketahui fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein dari beberapa bahan meliputi bungkil inti sawit (BIS) dari 14,83% menjadi 21,02% (Hanim et al., 1999), limbah jambu mete mengalami peningkatan sebesar 33,0% dari 7,9% (Hamid, 1998), sedangkan dari hasil penelitian Taram (1995) melaporkan kandungan protein murni meningkat dari 0,74% menjadi 7,20%.

Trichoderma viride

Trichoderma viride adalah salah satu jenis jamur yang bersifat selulolitik karena dapat menghasilkan selulase. Menurut Judoamidjojo, dkk. (1989), menyatakan bahwa banyak kapang yang bersifat selulolitik tetapi tidak banyak yang menghasilkan enzim selulase. Kapang selulolitik yang cukup baik memproduksi enzim selulolitik adalah Trichoderma viride (Pelczar dan Chan, 1986.

Menurut Mandels (1982), Trichoderma viride merupakan jamur yang potensial memproduksi selulase dalam jumlah yang relatif banyak untuk mendegradasi selulosa sehingga mudah dicerna oleh ternak. Enzim ini berfungsi sebagai agen pengurai yang spesifik untuk menghidrolisis ikatan kimia dari selulosa dan turunannya. Selain itu Trichoderma viride mempunyai kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa dapat merangsang dikeluarkannya enzim selulase (Poesponegoro, 1976).

Dijelaskan oleh Gilbert dan Tsao (1983), selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma viride mengandung komponen terbesar berupa selobiase dan β -1,4-glukan-selobiohidrolase (C1), sementara β-1,4-glukan-selobiohidrolase (Cx) terdapat dalam jumlah kecil. Selulase yang diproduksi mengandung asam-asam amino tertentu, yaitu :

1. Golongan asam amino yang bersifat asam : aspartat dan glutamat. 2. Golongan asam amino polar : serin, treonin, dan glisin.

3. Sebagian kecil asam amino dasar.

4. Sebagian kecil golongan asam amino sulfur.

Semua enzim ini bersifat hidrolitik dan bekerja baik secara berturut-turut atau bersamaan. Selobiohidrolase adalah enzim yang mempunyai afinitas terhadap selulosa

tingkat tinggi yang mampu memecah selulosa kristal. Sedangkan endoglukanase bekerja pada selulosa amorf (Coughalan, 1989). Selanjutnya dijelaskan selobiohidrolase memecah selulosa melalui pemotongan ikatan hidrogen yang menyebabkan rantai-rantai glokosa mudah untuk dihidrolisis lebih lanjut. Hidrolisa selanjutnya berlangsung sehingga diperoleh selobiosa dan akhirnya glukosa dilakukan oleh enzim β–glukonase dan β–glukosidase.

Metabolisme Rumen

Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis anata bahan pakan, populasi mikrba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk kerumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses feremntatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dcerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernan tersebut akan diserap oleh usus halus dans elanjutnya masuk dalam darah (Sutardi, 1977). Proses fermentasi pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2, dan CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1989).

Produksi Volatil Fatty Acid (VFA) dalam Rumen

Volatil Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir fermantasi karbohidrat dan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Parakkasi, 1999). McDonalld et al., (2002) menyatakan bahwa pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasi untuk

menghasilkan produk berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2.

enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Pada tahap pertama mikroba rumen mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan tahap pertama masuk kejalur glikolisis Embden-Meyerhoff untuk mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat selanjutnya akan dirubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari asetat, butirat dan propionat (Arora, 1995).

Piruvat merupakan produk intermedier yang segera dimetabolis menjadi produk akhir berupa asam lemak berantai pendek yang sering disebut VFA yaitu asam asetat, propionat, butirat, sejumlah kecil asam valerat dan asam lemak berantai cabang. Selulosa Pati Hemiselulosa Heksosa Pentosa As. Priruvat Lintasan Embden-meyerhoff Format Pektin Lintasan Pentosa Lintasan akhir Asetil CoA Metan ASETAT Lintasan Suksinat BUTIRAT PROPIONAT CO2 + H2

Gambar 1 : Skema Lintasan Utama Fermentasi Karbohidrat Menjadi VFA (France dan Siddons, 1993)

Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangatlah bervariasi yaitu antara 200 – 1500 mg/100 ml cairan rumen. Hal ini tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al; 2002). Peningkatan konsentrasi VFA mencerminkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat pakan yang mudah larut (Davies, 1982). VFA mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber energi bagi ternak dan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein mikroba (Sutardi et al, 1983). Kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang optimal adalah 80 – 160 mM (Sutardi, 1979).

Pada ternak ruminansia, VFA merupakan sumber energi utama yang berasal dari hasil fermentasi karbohidrat di dalam rumen (Dixon, 1985). VFA dapat menggambarkan fermentabilitas suatu pakan sebab VFA dapat mencerminkan peningkatan karbohidrat dan protein yang mudah larut.

Produksi N - Amonia (NH3) dalam Rumen

Pada ternak ruminansia sebagain protein yang masuk ke dalam rumen akan mengalami prombakan/degradasi menjadi amonia oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Produksi amonia tergantung pada kelarutan protein ransum, jumlah protein ransum, lamanya makanan berada dalam rumen dan pH rumen (Orskov, 1982).

Sebagian besar mikroba rumen (82%) mengandung NH3 (amonia) untuk

perbanyakan diriya, terutama dalam proses sintesis selnya (Sutardi, 1979). Bryant (1974) menyatakan bahwa dalam mayoritas bakteri rumen dapat mengunakan

pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal menurut Sutardi (1979) berkisar antara 4-12 mM.

Produksi protein mikroba rumen dapat ditingkatkan dengan menambahkan karbohidrat mudah dicerna dalam rumen (Hungate, 1966) seperti tetes tebu, pati, glukosa, fruktosa dan sukrosa. Adanya karbohidrat yang mudah difermentasi tersebut memungkinkan mikroba mendapatkan energi yang lebih baik untuk membentuk protein tubuhnya (Sowardi, 1974). Dinyatakan pula bahwa sebagian besar protein yang terdapat dalam rumen adalah protein mikroba dan 50-90% dari seluruh protein yang mencapai usus halus adalah protein mikroba.

Kadar N-amonia, VFA serta pembentukan protein mikroba merupakan beberapa tolak ukur nilai gizi dan manfaat bahan serta aktivitas di dalam rumen. Proses degradasi bahan makanan menghasilkan N-amonia yang sebagian digunakan untuk sintesis protein mikroba (Chalupa, 1977).

Pengukuran N-NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al, 1976). Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/1 atau 3,57 mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974). Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran optmum NH3 dalam rumen berkisar antara 85 – 300 mg/l 1 atau 6-21 mM (McDonald et al, 2002).

Z

Gambar 2 : Proses Degradasi Protein Dalam Rumen (Sutardi, 1977)

Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondsi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3

sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein

PROTEIN PAKAN DALAM RUMEN PROTEIN MIKROBA ASAM AMINO OLIGOPEPTIDA DALAM USUS PROTEIN PAKAN ASAM KETO NH3 PROTEIN TUBUH CO2 VFA PROTEIN MIKROBA CH4

mikroba telah tersedia. Mikroba yang telah mati akan masuk ke usus sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba tersebut bersama dengan protein pakan yang lolos degradasi mengalami kecernaan di dalam usus oleh enzim-enzim protease dengan hasil akhir asam amino (Sutardi, 1977).

Mikroba rumen sangat berperan dalam mendegradasi pakan yang masuk ke dalam rumen menjadi produk-produk sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba maupun induk semang dimana aktifitas mikroba tersebut sangat tergantung pada ketersediaan nitrogen dan energi. Kelompok utama mikroba yang berperan dalam pencernaan tersebut terdiri dari bakteri, protozoa dan jamur yang jumlah dan

komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak (Preston dan Leng 1987).

Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatile Fatty Acids = VFA) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam isobutirat dan asam isovalerat. VFA diserap melalui dinding rumen dan dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh ternak. Sedangkan produk metabolis yang tidak dimanfaatkan oleh ternak yang pada umumnya berupa gas akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry, Thomson dan Amstrong 1977). Namun yang lebih penting ialah mikroba rumen itu sendiri, karena biomas mikroba yang meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia. Sauvant, Dijkstra dan Mertens (1995) menyebutkan bahwa 2/3 – 3/4 bagian dari protein yang diabsorbsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein mikroba.

Kualitas pakan yang rendah seperti yang umum terjadi di daerah tropis menyebabkan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia sebagian besar dipasok oleh

protein mikroba rumen. Soetanto (1994) menyebutkan hampir sekitar 70 % kebutuhan protein dapat dicukupi oleh mikroba rumen. Namun McDonald (1981) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil produksi yang tinggi, khususnya pada fase fisiologi tertentu, misalnya pada masa pertumbuhan awal, bunting dan awal laktasi, pasok protein mikroba belum mencukupi kebutuhan ternak, sehingga ternak memerlukan tambahan pasok protein dari pakan yang lolos fermentasi di dalam rumen.

Produk akhir fermentasi protein akan digunakan untuk pertumbuhan mikroba itu sendiri dan digunakan untuk mensintesis protein sel mikroba rumen sebagai pasok utama protein bagi ternak ruminansia. Menurut Arora (1983) sekitar 47–71% dari nitrogen yang ada di dalam rumen berada dalam bentuk protein mikroba.

Teknik In Vitro

Pada dasarnya teknik in vitro adalah meniru kondisi rumen. Kondisi yang dimodifikasi dalam hal ini antara lain larutan penyangga dan media nutrisi, bejana fermentasi, pengadukan dan fase gas, suhu fermentasi, pH optimum, sumber inokulum, kondisi anaerob, periode fermentasi serta akhir fermentasi. Saliva ruminansia sebagai unsur buffer berfungsi untuk mempertahankan pH rumen sehingga tidak mudah turun oleh asam-asam organik yang dihasilkan selama proses fermentasi. Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen yaitu berkisar 40-420C. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen berkisar antara 6,7– 7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan penambahan larutan buffer bikarbonat dan fosfat (Johnson, 1996).

Sumber inokulum in vitro berupa cairan rumen. Perbedaaan hasil fermentasi secara in vitro dapat disebabkan oleh sumber inokulum (Johnson, 1996). Untuk fermentasi jenis tersebut digunakan tabung fermentor sebagai bejana fermentasi sehingga pada akhir fermentasi tidak perlu memindahkan ke dalam tabung lain. Pada akhir fermentasi tabung disentrifuge dan supernatan dipisahkan dari residunya.

Pemberian gas CO2 secepatnya bersamaan dengan pengadukan secara mekanik

dilakukan dalam fermentasi in vitro dengan meniru prinsip pengadukan dalam rumen sesungguhnya yang selalu bergerak secara teratur. Gerakan rumen juga ditiru dengan penempatan bejana fermentasi dalam shakerbath.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Limbah perkebunan : jerami jagung, pelepah daun sawit dan pucuk tebu, urea, larutan MC Dougall, temperatur 390C dengan pH 6.5 – 6.9 (pH di turunkan dengan cara memasukkan gas CO2), cairan rumen segar dengan suhu 390C, larutan pepsin HCl 0.2%, aquadest, larutan HgCl2 jenuh, larutan NaCO3 jenuh, larutan H2SO4 0.005 N, asam borat berindikator, lartan HCl 0.5 N, lrutan H2SO4 15%, larutan NaOH 0.5N,

larutan indikator PP (Phenol Phtalein 0.1%), PDA. Alat

Timbangan analitik, tabung kaca pyrex volume 100 ml dan tutup karet berventilasi, shakerbath, suhu air 39 – 400 C, pipet serologi volume 25 ml, sentrifuge, gas CO2, vortex, cawan porselin, pompa vakum, kertas saring Whatman no. 41, gegep, eksikator, oven 105 oC, tanur listrik, cawan Conway, pipet automatic 10-1000µ l, finnpippet 1ml, mikroburet 10 ml, stirrer, seperangkat alat destilasi, erlenmeyer, kompor gas, panci press cooker, bulp, pipet volumetrik 5 ml, pipet serologi 5 ml, pipet serologi 1 ml, buret 50 ml, aquashaker, stirrer, magnetic stirrer, pisau, petri, corong, baki, pH meter, autoclave, cork, inkubator, kapas, buku, kalkulator dan alat tulis

Prosedur Penelitian A. Prosedur Amoniasi.

Bahan penelitian yang berupa pelepah daun sawit, pucuk tebu dan jerami jagung yang telah dikeringkan kemudian dicoper menjadi bentuk serabut sebanyak 300 gr. Bahan yang telah dicoper ditambahkan secara merata dengan larutan urea 3% kemudian dimasukkan kedalam plastik dan secara perlahan-lahan didapatkan agar plastik tidak rusak. Kantong plastik diika kuatt agar kedap udara dan disimpan. Setelah 21 hari kantong plastik dibuka, diangin-anginkan selama 2 jam sebelum dilakukan uji in vitro.

Dokumen terkait