• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Campuran Ekstrak

Campuran ekstrak Tephrosia vogelii + Annona squamosa (VS), T. vogelii +

Piper retrofractum (VR), dan A. squamosa + P. retrofractum (SR) memiliki tingkat keefektifan berbeda dalam menyebabkan kematian pada imago

Paracoccus marginatus. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, maka kemampuan ekstrak untuk menyebabkan kematian akan semakin tinggi (Gambar 3, 4, dan 5,). Konsentrasi yang digunakan pada uji campuran ekstrak VS adalah 0.025%, 0.05%, 0.1%, 0.2%, 0.4%, dan 0.6% untuk perbandingan 1:2, 2:1, dan 1:2.

Gambar 3 Perkembangan mortalitas P. marginatus akibat perlakuan campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa. (a) Perbandingan 1:2 (w/w), (b) Perbandingan 2:1 (w/w), (c) Perbandingan 1:1 (w/w).

16

Konsentrasi yang paling efektif menyebabkan kematian imago P. marginatus

pada 72 JSP adalah konsentrasi 0.6% pada perbandingan 2:1 yaitu sebesar 98% (Gambar 3, Lampiran 1). Secara keseluruhan, kematian sebesar 50% pada uji campuran VS dapat diakibatkan oleh konsentrasi lebih besar atau sama dengan 0.05% untuk masing-masing perbandingan.

Konsentrasi yang digunakan pada uji campuran VR berbeda-beda untuk masing-masing perbandingan (Gambar 4, Lampiran 4). Pada uji dengan perbandingan ekstrak 1:2 (w/w), konsentrasi yang digunakan adalah 0.062%, 0.125%, 0.25%, 0.5%, 1%, dan 1.2%. Kematian tertinggi pada perbandingan 1:2 (w/w) adalah sebesar 96% yang diakibatkan oleh konsentrasi 1.2% dan kematian terendahnya sebesar 22% yang diakibatkan oleh konsentrasi 0.062% pada 72 JSP. Uji campuran VR perbandingan 2:1 (w/w) dilakukan dengan menggunakan konsentrasi 0.05%, 0.1%, 0.2%, 0.4%, 0.8%, dan 1%. Kematian tertinggi sebesar 98% pada konsentrasi 1% dan terendah sebesar 36% pada konsentrasi 0.05% pada 72 JSP.

Gambar 4 Perkembangan mortalitas P. marginatus akibat perlakuan campuran ekstrak T. vogelii dan P. retrofractum. (a) Perbandingan 1:2 (w/w), (b) Perbandingan 2:1 (w/w), (c) Perbandingan 1:1 (w/w).

Konsentrasi yang digunakan pada uji campuran VR dengan perbandingan 1:1 (w/w) adalah 0.056%, 0.1125%, 0.225%, 0.45%, 0.9%, dan 1.1%. Kematian tertingginya sebesar 92% dan terendah 32% pada konsentrasi 1.1% dan 0.056% pada 72 JSP. Berdasarkan data tersebut, campuran VR perbandingan 2:1 (w/w) menunjukkan tingkat keefektifan yang paling tinggi, karena konsentrasi terendah dan tertinggi pada perbandingan ini lebih rendah dibandingkan dengan perbandingan 1:2 (w/w) dan 1:1 (w/w), namun kematian yang ditimbulkan lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan dua perbandingan lainnya. Uji campuran ekstrak SR dilakukan dengan menggunakan konsentrasi yang berbeda- beda untuk masing-masing perbandingan (Gambar 5, Lampiran 7).

Gambar 5 Perkembangan mortalitas P. marginatus akibat perlakuan campuran ekstrak A. squamosa dan P. retrofractum. (a) Perbandingan 1:2 (w/w), (b) Perbandingan 2:1 (w/w), (c) Perbandingan 1:1 (w/w).

18

Konsentrasi yang digunakan pada setiap perbandingan sama seperti konsentrasi yang digunakan pada masing-masing perbandingan uji campuran ekstrak VR. Keefektifan campuran ekstrak SR ini juga terdapat pada perbandingan 2:1 yaitu 100% pada konsentrasi 1% pada 72 JSP, sedangkan kematian terendahnya sebesar 38% pada perbandingan 1:1 dengan konsentrasi 0.056%. Perbandingan konsentrasi ekstrak yang menyebabkan kematian paling tinggi untuk ketiga jenis campuran adalah 2:1 (w/w). Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil analisis toksisitas ketiga jenis campuran ekstrak. Nilai LC50 dan LC95

perbandingan 2:1 (w/w) untuk setiap jenis campuran menunjukkan nilai LC terendah jika dibandingkan dengan perbandingan lainnya pada masing-masing campuran (Tabel 2, Lampiran 2, 5, dan 8). Nilai LC50 campuran ekstrak dengan

perbandingan 2:1 (w/w) pada 72 JSP adalah sebesar 0.040% (VS), 0.090% (VR) dan 0.029% (SR), sedangkan nilai LC95 jauh lebih tinggi yaitu sebesar 0.498%

(VS), 0.832% (VR) dan 0.500 (SR).

Tabel 2 Penduga parameter toksisitas ekstrak campuran terhadap mortalitas P. marginatus pada 72 jam setelah pengamatan (JSP)

a

VS: Campuran T. vogelii dan A. squamosa. VR: Campuran T. vogelii dan P. retrofractum. SR: Campuran A. squamosa dan P. retrofractum.

b

a: intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit. GB: Galat Baku. SK: Selang Kepercayaan. LC: Lethal concetration.

Rendahnya nilai LC pada campuran ekstrak dengan perbandingan 2:1 (w/w) menunjukan bahwa campuran dengan perbandingan tersebut memiliki toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perbandingan yang lainnya terhadap P. marginatus. Tingginya toksisitas pada perbandingan 2:1 (w/w) tersebut juga ditunjukkan oleh tingginya nilai intersep regresi probit (nilai a) pada setiap campuran. Konsentrasi terendah pada perbandingan 2:1 (w/w) mengakibatkan kematian P. marginatus yang lebih tinggi dibandingkan dengan perbandingan

Ekstraka a ± GBb b ± GBb LC50 (SK 95%)(%)a LC95 (SK 95%)(%)a VS 1:2 (w/w) 1.846 ± 0.212 1.568 ± 0.200 0.066 (0.030 – 0.109) 0.743 (0.305 – 5.321) VS 2:1 (w/w) 2.099 ± 0.235 1.499 ± 0.209 0.040 (0.025 – 0.055) 0.498 (0.321 – 1.013) VS 1:1 (w/w) 1.846 ± 0.211 1.568 ± 0.200 0.066 (0.030 – 0.109) 0.743 (0.350 – 5.321) VR 1:2 (w/w) 1.552 ± 0.155 1.767 ± 0.202 0.132 (0.099 – 0.167) 1.128 (0.792 – 1.900) VR 2:1 (w/w) 1.789 ± 0.180 1.710 ± 0.206 0.090 (0.065 – 0.115) 0.832 (0.571 – 1.428) VR 1:1 (w/w) 1.354 ± 0.145 1.251 ± 0.183 0.083 (0.028 – 0.141) 1.707 (0.796 – 11.290) SR 1:2 (w/w) 1.803 ± 0.191 1.423 ± 0.233 0.054 (0.004 – 0.112) 0.773 (0.368 – 11.125) SR 2:1 (w/w) 2.046 ± 0.217 1.333 ± 0.233 0.029 (0.011 – 0.048) 0.500 (0.368 – 1.061) SR 1:1 (w/w) 1.417 ± 0.149 1.237 ± 0.186 0.072 (0.040 – 0.104) 1.527 (0.907 – 3.727)

lainnya. Campuran T. vogelii dan P. retrofractum (VR) pada nisbah perbandingan 1:2 (w/w) dan 2:1 (w/w) memiliki nilai b yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 3). Nilai b yang lebih tinggi akan menghasilkan grafik regresi yang lebih curam. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi pada jumlah tertentu akan mematikan serangga uji lebih banyak pada perlakuan VR (1:2 dan 2:1; (w/w) dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Tabel 3 Persamaan garis regresi perlakuan campuran pada 72 jam setelah perlakuan (JSP)

a

VS: Campuran T. vogelii dan A. squamosa. VR: Campuran T. vogelii

dan P. retrofractum. SR: Campuran A. squamosa dan P. retrofractum.

b

Y: Respon (mortalitas) pada konsentrasi tertentu. a: intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit. x: konsentrasi perlakuan.

Sifat interaksi masing-masing campuran ekstrak untuk setiap nisbah konsentrasi kemudian dikategorikan berdasarkan nilai indeks kombinasi. Nilai indeks kombinasi tersebut diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan nilai LC ekstrak campuran dan LC ekstrak tunggal. Nilai LC ekstrak tunggal yang digunakan pada perhitungan diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya. Sifat interaksi pada LC50 masing-masing campuran ekstrak bersifat antagonis,

sedangkan pada LC95 campuran masing-masing ekstrak menunjukkan sifat

interaksi yang berbeda-berbeda untuk setiap masing-masing perbandingan dan waktu pengamatan (Tabel 4, Lampiran 3, 6, dan 9).

Secara umum, hasil uji campuran ekstrak dengan tiga perbandingan untuk masing-masing campuran menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak 2:1 (w/w) merupakan perbandingan yang paling baik digunakan untuk mencampur ekstrak VS, VR, dan SR pada penelitian ini. Hal ini dapat terlihat dari persentase mortalitas yang ditimbulkan akibat perlakuan ekstrak pada perbandingan tersebut, analisis toksisitas dan sifat interaksi campurannya pada 24, 48 dan 72 JSP. Oleh karena itu, campuran ekstrak dengan perbandingan 2:1 (w/w) digunakan untuk pengujian selanjutnya.

Ekstraka Persamaan regresi (y = a + bx)b VS1:2 (w/w) Y = 1.846 + 1.586x VS 2:1 (w/w) Y = 2.099 + 1.499x VS 1:1 (w/w) Y = 1.846 + 1.586x VR 1:2 (w/w) Y = 1.552 + 1.767x VR 2:1 (w/w) Y = 1.789 + 1.710x VR 1:1 (w/w) Y = 1.354 + 1.251x SR 1:2 (w/w) Y = 1.803 + 1.423x SR 2:1 (w/w) Y = 2.046 + 1.333x SR 1:1 (w/w) Y = 1.417 + 1.237x

20

Tabel 4 Sifat aktivitas campuran ekstrak terhadap mortalitas imago P. marginatus

pada 72 jam setelah perlakuan (JSP)

a

VS: Campuran T. vogelii dan A. squamosa. VR: Campuran T. vogelii dan P. retrofractum. SR: Campuran A. squamosa dan P. retrofractum.

b

LC: Lethal concentration.

Uji Stabilitas dan pH

Hasil pengujian kestabilan formulasi menunjukkan bahwa campuran SR relatif lebih stabil dibandingkan dengan VS dan VR. Hal ini terlihat dari tidak terbentuknya endapan pada campuran SR setelah 1 jam pengamatan (Gambar 6). Endapan yang terbentuk berkisar antara 1-7 mm dari dasar tabung, endapan tersebut berwarna hijau kehitaman. Semakin rendah konsentrasi adjuvant yang digunakan maka endapan yang terbentuk akan semakin tebal. Ketebalan endapan juga dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak. Campuran VS dan VR yang ditambah dengan adjuvant Miracle membentuk endapan yang paling tebal dibandingkan dengan Agristick dan Tween.

Gambar 6 Formulasi insektisida nabati yang membentuk endapan dan tidak membentuk endapan. (a) Campuran VR, (b) Campuran VS, (c) Campuran SR.

Formulasi ekstrak dengan adjuvant Miracle menunjukkan adanya pemisahan fase larutan, ketebalan endapan berkisar antara 3-7 mm dari dasar tabung. Endapan yang paling sedikit terbentuk pada formulasi dengan adjuvant

Tween. Endapan hanya terbentuk didasar tabung dengan ketebalan < 1 - 4 mm (Gambar 7). pH larutan formulasi dengan ketiga adjuvant berbeda masing-masing berkisar antara 3 – 6. Terjadi pembentukan busa pada larutan dengan adjuvant

Ekstraka Indeks kombinasi Sifat interaksi

LC50b LC95 LC50 LC95

VS 1:2 (w/w) 3.300 1.464 Antagonistik Antagonistik VS 2:1 (w/w) 2.012 0.712 Antagonistik Sinergistik lemah VS 1:1 (w/w) 3.963 1.457 Antagonistik Antagonistik VR 1:2 (w/w) 42.429 0.961 Antagonistik Antagonistik

VR 2:1 (w/w) 20.143 0.714 Antagonistik Sinergistik lemah VR 1:1 (w/w) 20.525 1.653 Antagonistik Antagonistik

SR 1:2 (w/w) 7.776 1.008 Antagonistik Aditif SR 2:1 (w/w) 2.477 0.903 Antagonistik Aditif SR 1:1 (w/w) 10.408 2.982 Antagonistik Antagonistik

Miracle, sedangkan pada larutan dengan kedua adjuvant lainnya tidak. Busa terbentuk pada ketiga campuran ekstrak dengan ketebalan 0.2 – 1.2 cm di atas permukaan larutan.

Gambar 7 Pembentukan endapan pada formulasi. (a) VR + Tween, (b) VR + Agristick, (c) VR + Miracle.

Campuran ekstrak SR dengan adjuvant Tween dan Agristick menunjukkan bahwa ekstrak tersebut cukup stabil untuk dapat digunakan pada pengujian selanjutnya. Berdasarkan pengamatan selama 1 jam, kedua formulasi tersebut tidak membentuk endapan, busa, dan memiliki pH 6 untuk adjuvant Tween dan 5 untuk adjuvant Agristick.

Uji Kombinasi Sabun dan Formulasi Insektisida Nabati

Pengujian ini menggunakan dua formulasi insektisida berdasarkan basic pengujian sebelumnya, yaitu SR + Tween (SRT) dan SR + Agristick (SRA) serta insektisida deltametrin sebagai pembanding. Insektisida yang diaplikasikan setelah sabun menunjukkan persentase mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida yang diaplikasikan bersamaan dengan sabun dan tanpa sabun (Gambar 8).

Gambar 8 Mortalitas P. marginatus pada perlakuan formulasi insektisida nabati dan sintetik dengan sabun dan tanpa sabun pada 72 JSP

0 20 40 60 80 100 K SRT SRA Deltametrin Morta li tas (% ) Perlakuan

Perlakuan setelah sabun Perlakuan dicampur sabun

22

Insektisida yang diaplikasikan setelah sabun yaitu SRT dan SRA menunjukkan persentase mortalitas berturut-turut sebesar 100% dan 80%, sedangkan insektisida yang dicampur dengan sabun yaitu SRTS dan SRAS menunjukkan persentase mortalitas berturut-turut sebesar 78% dan 70% pada 72 JSP. Hasil pengujian dengan menggunakan insektisida deltametrin menunjukkan persentase yang lebih rendah dalam mematikan P. marginatus dibandingkan dengan insektisida nabati, baik pada aplikasi yang dicampur dengan sabun maupun setelah sabun. Insektisida deltametrin yang dicampur sabun hanya mampu menyebabkan kematian sebesar 48%, sedangkan saat aplikasi dilakukan setelah sabun persentase kematiannya dapat mencapai 70%.

Secara umum, ekstrak SR yang ditambah dengan adjuvant Tween dapat menyebabkan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan esktrak SR yang ditambah dengan adjuvant Agristick (Tabel 5). Ekstrak SR yang ditambah dengan

adjuvant Tween 1.25 kali lebih tinggi apabila diaplikasikan setelah sabun dan 1.11 kali tinggi lebih apabila diaplikasikan bersamaan dengan sabun dalam menyebabkan kematian P. marginatus jika dibandingkan dengan ekstrak SR yang ditambah dengan adjuvant Agristick pada 72 JSP.

Tabel 5 Mortalitas P. marginatus akibat perlakuan ekstrak campuran dengan sabun

a

Rata-rata mortalitas imago kutu putih pada setiap waktu pengamatan. Untuk setiap waktu pengamatan, rata-rata mortalitas pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. SD: Standar Deviasi.

b

JSP: Jam Setelah Perlakuan.

c

K: Kontrol. SRT: A. squamosa + P. retrofractum + Tween.

d

SRA: A. squamosa + P. retrofractum + Agristik.

Uji Persistensi

Pemaparan seluruh formulasi insektisida nabati dan sintetik pada 0 hari masih menunjukkan kematian larva hingga lebih dari 50% pada 72 JSP. Seluruh formulasi yang disimpan di dalam botol bening cenderung mengakibatkan kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan botol coklat terhadap imago P. marginatus. Perlakuan formulasi yang ditambahkan PABA umumnya menunjukkan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan formulasi tanpa penambahan PABA. Namun, hal ini tidak terjadi pada perlakuan 1 SRA, 0.5 SRA,

Perlakuan Mortalitas pada pengamatan ke- (%) ± SD

a

24 JSPb 48 JSP 72 JSP

Kc 0.0 ± 0.0d 0.0 ± 0.0b 0.0 ± 0.0d

SRTc 72.0 ± 1.1a 76.0 ± 1.1a 84.0 ± 1.5ab

SRAd 56.0 ± 2.2b 68.0 ± 1.9a 74.0 ± 1.4b

SRTSabun 62.0 ± 1.3a 84.0 ± 1.3a 100.0 ± 0.0a SRA  Sabun 54.0 ± 3.9b 68.0 ± 2.8a 80.0 ± 1.9b

SRT + Sabun 64.0 ± 2.4b 74.0 ± 2.3a 78.0 ± 2.2b

SRA + Sabun 60.0 ± 2.0b 64.0 ± 1.7a 70.0 ± 1.6b

Deltametrin + sabun 14.0 ± 1.1c 36.0 ± 1.5a 48.0 ± 0.8c Sabun  Deltametrin 50.0 ± 1.1ab 62.0 ± 1.6a 75.0 ± 0.5b

0 20 40 60 80 100 0 1 3 5 7 Morta li tas (% )

Waktu pengamatan (hari)

K 1 SRT 0.5 SRT 1 SRA 0.5 SRA 1 Deltametrin 0.5 Deltametrin 1 deltametrin, dan 0.5 deltametrin yang disimpan di dalam botol bening. Pada perlakuan tersebut, kematian formulasi yang ditambah PABA lebih rendah pada 0-3 hari setelah pemaparan (HSP) dan lebih tinggi pada 5-7 HSP dibandingkan dengan formulasi tanpa PABA.

Formulasi yang disimpan di dalam botol bening dan tanpa penambahan PABA menunjukkan mortalitas ≥ 70% kecuali pada perlakuan 0.5 SRA (63.3%) dan 0.5 deltametrin (63.3%) pada 0 HSP (Gambar 9, Lampiran 10). Pada 1-7 HSP seluruh formulasi yang diuji menunjukan penurunan kemampuan dalam menyebabkan mortalitas pada imago. Persentase penurunan yang terjadi berkisar antara 40% – 100%. Mortalitas tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan 1 SRA

Gambar 9 Penurunan mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi formulasi ekstrak dan insektisida deltametrin pada botol bening tanpa penambahan PABA

(90%), sedangkan mortalitas terendahnya ditunjukkan oleh 0.5 SRA (63.3%) pada 0 HSP. Persentase kedua perlakuan tersebut menurun hingga 0% pada 7 HSP. Berbeda dengan perlakuan 1 SRA dan 0.5 SRA, perlakuan lainnya meskipun pesentase pada 0 HSP lebih rendah, namun penurunan mortalitasnya hingga 7 HSP tidak mencapai 100%, hanya berkisar 12% sampai 36%.

Penambahan PABA pada formulasi yang disimpan pada botol bening menyebabkan penurunan persentase mortalitas yang ditunjukkan oleh setiap formulasi yang diuji, kecuali pada perlakuan 1 deltametrin. Pada perlakuan tersebut persentase mortalitas yang ditunjukkan lebih tinggi pada perlakuan dengan penambahan PABA dibandingkan tanpa penambahan PABA. Persentase mortalitas tertinggi ditunjukkkan oleh perlakuan 1 SRA (77%) dan persentase terendah ditunjukkan oleh perlakuan 0.5 deltametrin (57%) (Gambar 10, Lampiran 11). Berbeda dengan penyimpanan pada botol bening tanpa penambahan PABA, penambahan PABA pada masing-masing formulasi menyebabkan tidak terjadinya penurunan formulasi hingga 100% pada 7 HSP. Persentase penurunan pada perlakuan ini berkisar antara 10% - 22%.

Formulasi yang disimpan di dalam botol coklat menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan formulasi yang disimpan di dalam botol bening. Persentase mortalitas tertinggi pada perlakuan penyimpanan formulasi pada botol coklat tanpa penambahan PABA adalah sebesar 90% (1 SRA) dan persentase terendahnya sebesar 55% (0.5 deltametrin) (Gambar 11, Lampiran 12). Rata-rata

24 0 20 40 60 80 100 0 1 3 5 7 Morta li tas (% )

Waktu pengamatan (hari)

K 1 SRT 0.5 SRT 1 SRA 0.5 SRA 1 Deltametrin 0.5 Deltametrin 0 20 40 60 80 100 0 1 3 5 7 Morta li tas (% )

Waktu pengamatan (hari)

K 1 SRT 0.5 SRT 1 SRA 0.5 SRA 1 Deltametrin 0.5 Deltametrin Gambar 10 Penurunan mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi

formulasi ekstrak dan insektisida deltametrin pada botol bening dengan penambahan PABA

persentase mortalitas yang ditunjukkan oleh seluruh formulasi pada 7 HSP berkisar antara 14% sampai 37%. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan penyimpanan formulasi pada botol bening tanpa penambahan PABA (0% - 30%) dan dengan penambahan PABA (6.7% - 17%).

Formulasi yang disimpan di dalam botol coklat dan ditambahkan PABA menunjukkan persentase mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan formulasi tanpa adanya penambahan PABA. Persentase mortalitas tertinggi pada

Gambar 11 Penurunan mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi formulasi ekstrak dan insektisida deltametrin pada botol coklat tanpa penambahan PABA

formulasi botol coklat dengan PABA adalah sebesar 77% (1 SRA) dan persentase terendahnya sebesar 59% (0.5 deltametrin). Pola grafik yang sama seperti perlakuan-perlakuan sebelumnya juga ditunjukkan oleh perlakuan ini (Gambar 12,

0 20 40 60 80 100 0 1 3 5 7 M or talit as (% )

Waktu pengamatan (hari)

K 1 SRT 0.5 SRT 1 SRA 0.5 SRA 1 Deltametrin 0.5 Deltametrin Lampiran 13). Persentase mortalitas menurun seiring dengan semakin lamanya formulasi tersebut dipaparkan di bawah sinar matahari.

Gambar 13 Penurunan mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi formulasi ekstrak dan insektisida deltametrin pada botol coklat dengan penambahan PABA

Pada 7 HSP persentase mortalitas imago P. marginatus berkisar antara 10%- 20%. Persentase mortalitas tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan 1 SRT (20%) sedangkan persentase terendahnya ditunjukkan oleh perlakuan 0.5 SRA (10%) dan 0.5 deltametrin (10%). Formulasi yang ditambah dengan PABA cenderung lebih mampu mempertahankan keefektifannya dibandingkan tanpa penambahan PABA. Hal ini terlihat dari persentase penurunan mortalitas antara 0 – 7 HSP pada formulasi tanpa PABA yang lebih tinggi dibandingkan dengan formulasi dengan PABA sehingga menghasilkan grafik yang lebih curam. Namun, persentase mortalitas pada formulasi yang ditambahkan dengan PABA lebih rendah dibandingkan tanpa penambahan PABA, sehingga formulasi tanpa penambahan PABA digunakan pada pengujian di lapangan.

Uji Daya Simpan Formulasi

Seluruh formulasi tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada pengujian 0-4 minggu setelah penyimpanan (MSP), baik pada suhu kamar maupun suhu rendah, kecuali pada perlakuan 1 SRT (Tabel 6). Pada perlakuan 1 SRT persentase mortalitas selama 5 kali pengujian tidak stabil, hal ini terlihat dari uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar data hasil uji.

Persentase mortalitas perlakuan SRT pada 0 MSP cukup tinggi yaitu 83%, namun kemudian terjadi penurunan pada 1 dan 2 MSP, dan meningkat kembali pada 3 MSP. Persentase mortalitas pada minggu ke-4 turun kembali dari minggu ke-3 yaitu 40% untuk formulasi yang disimpan di suhu rendah dan 63% untuk formulasi yang disimpan pada suhu kamar. Pola persentase mortalitas pada perlakuan 1 SRT sama dengan pola mortalitas pada perlakuan lainnya, kecuali pada perlakuan 1 deltametrin. Namun pada perlakuan lainnya penurunan dan peningkatan persentase mortalitas selama pengujian tidak terjadi secara signifikan dan tidak ada perbedaan yang nyata antara minggu ke-0 sampai ke-4.

26

Tabel 6 Rata-rata mortalitas P. marginatus pada perlakuan daya simpan formulasi pada suhu rendah dan kamar

Pa LSb (M)

Mortalitas pada perlakuan 72 JSP (%) ± SDc

Kd 1SRT e 0.5SRT 1SRAf 0.5SRA 1Dg 0.5D

Suhu rendah

0 0.0 ± 0a 83.0 ± 0.5a 67.0 ± 3.0a 87.0 ± 1.5a 57.0 ± 1.1a 73 .0 ± 0.5a 63.0 ± 0.5a 1 0.0 ± 0a 67.0 ± 1.5a 50.0 ± 1.0a 77.0 ± 0.5a 53.0 ± 0.5a 70.0 ± 1.0a 60.0 ± 2.0a 2 0.0 ± 0a 63.0 ± 1.5ab 50.0 ± 1.0a 70.0 ± 1.0a 53.0 ± 2.0a 70.0 ± 1.0a 57.0 ± 0.5a 3 0.0 ± 0a 70.0 ± 1.7a 70.0 ± 1.0a 87.0 ± 1.5a 77.0 ± 1.1a 63.0 ± 0.5a 63.0 ± 0.5a 4 0.0 ± 0a 40.0 ± 1.0b 60.0 ± 1.0a 83.0 ± 0.5a 53.0 ± 0.5a 60.0 ± 2.0a 57.0 ± 0.5a

Suhu kamar

0 0.0 ± 0a 83.0 ± 0.5a 67.0 ± 3.0a 87.0 ± 1.5a 57.0 ± 1.1a 70.0 ± 1.0a 63.0 ± 0.5a 1 0.0 ± 0a 53.0 ± 1.5b 63.0 ± 0.5a 67.0 ± 1.1a 67.0 ± 2.0a 70.0 ± 1.0a 67.0 ± 0.5a 2 0.0 ± 0a 50.0 ± 1.0b 47.0 ± 0.5a 67.0 ± 0.5a 60.0 ± 2.0a 67.0 ± 0.5a 63.0 ± 0.5a 3 0.0 ± 0a 67.0 ± 0.5ab 60.0 ± 1.7a 87.0 ± 0.5a 73.0 ± 0.5a 57.0 ± 0.5a 63.0 ± 0.5a 4 0.0 ± 0a 63.0 ± 0.5ab 53.0 ± 2.0a 67.0 ± 1.5a 57.0 ± 0.5a 67.0 ± 0.5a 57.0 ± 0.5a

a

P:Perlakuan

b

LS: Lama simpan. M: Minggu

c

Rata-rata persentase mortalitas imago kutu putih pada setiap waktu pengamatan. Untuk setiap waktu pengamatan, rata-rata persentase mortalitas pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. SD: Standar Deviasi.

d

K: Kontrol.

e

SRT: A. squamosa + P. retrofractum + Tween.

f

SRA: A. squamosa + P. retrofractum + Agristik.

g

D: Deltametrin.

Uji Lapangan

Penurunan populasi kutu putih setelah perlakuan beberapa insektisida di lapangan cukup signifikan. Persentase mortalitas berkisar antara 52% - 100% pada intensitas penyemprotan 2 kali dalam 1 minggu dan 43% - 100% pada intensitas penyemprotan 1 kali 1 minggu, sedangkan pada kontrol persentase berkisar antara 0.48% - 23% (Gambar 13 dan 14, Lampiran 14, 15, 16, dan 17). Secara umum, persentase mortalitas tersebut tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan antara setiap perlakuan, baik pada intensitas penyemprotan 1 kali dalam 1 minggu maupun 2 kali dalam 1 minggu.

Perbedaan konsentrasi untuk setiap formulasi yang sama tidak memberikan pengaruh yang cukup nyata terhadap mortalitas P. marginatus. Namun, aplikasi dengan formulasi insektisida nabati konsentrasi tinggi (1%) menunjukkan gejala fitotoksisitas setelah 2 minggu pengamatan (Gambar 15). Gejala yang ditunjukkan berupa adanya bercak-bercak kuning pada daun pepaya diawal kemunculan gejala, bercak-bercak tersebut kemudian berubah warna menjadi coklat dan mengering (nekrosis pada daun). Gejala kematian imago P. marginatus yang terlihat di lapangan sama seperti gejala kematian yang terlihat di laboratorium. Tubuh imago P. marginatus yang mati akan mengering dan berubah warna menjadi hitam, kemudian menempel pada bagian daun (Gambar 16a). Gejala ini berbeda dengan kematian yang diakibatkan oleh parasitoid. Imago P. marginatus

yang terserang parasitoid tubuhnya akan mengalami mumifikasi, berbentuk oval dan sedikit menggembung, serta berwarna kuning keemasan (Gambar 16b).

- 20 40 60 80 100 Mor tal it as ( % ) Perlakuan Perlakuan ke - 1 Perlakuan ke - 2 Perlakuan ke - 3 Perlakuan ke - 4 - 20 40 60 80 100 Morta li tas (% ) Perlakuan Perlakuan ke-1 Perlakuan ke-2 Perlakuan ke-3 Perlakuan ke-4 Perlakuan ke-5 Perlakuan ke-6 Perlakuan ke-7 Perlakuan ke-8

Gambar 13 Mortalitas P. marginatus akibat perlakuan formulasi insektisida nabati dan insektisida deltametrin di lapangan pada intensitas penyemprotan 1 kali 1 minggu

Gambar 14 Mortalitas P. marginatus akibat perlakuan formulasi insektisida nabati dan insektisida deltametrin di lapangan pada intensitas penyemprotan 2 kali 1 minggu

Gambar 15 Gejala fitotoksik pada daun perlakuan. (a) Daun perlakuan 1 SRA, (b) Daun perlakuan 1 SRT.

28

Gambar 16 Gejala kematian P. marginatus. (a) Akibat perlakuan insektisida, (b) Serangan parasitoid.

Berdasarkan hasil identifikasi, parasitoid yang ditemukan di lapangan berasal dari Ordo Hymenoptera, Super Famili Chalcidoidea, dan Famili Encyrtidae dengan nama spesies Acerophagus papayae Noyes & Schauff (Gambar 17a-b). Parasitoid ini pada awalnya ditemukan pada P. marginatus

di Amerika Tengah dan dideskripsikan pertama kalinya oleh Noyes dan Schauff (2003). Ciri morfologi imago parasitoid yang ditemukan yaitu tubuh berwarna oranye kekuningan dan di kepala terdapat 3 ocelli yang berwarna merah. Antena terdiri dari 10 ruas, yaitu skapus, pedicel, dan 8 ruas flagellum yang menggada pada ujungnya. Ciri – ciri tersebut sesuai dengan ciri- ciri parasitoid A. papayae

yang telah dideskripsikan oleh Noyes dan Schauff (2003).

Gambar 17 Imago parasitoid Acerophagus papayae. (a) Tampak dorsal, (b) Tampak ventral.

Pengujian formulasi terhadap musuh alami menunjukkan hasil bahwa formulasi insektisida nabati relatif lebih aman dibandingkan insektisida sintetik. Pada tabel 6 terlihat bahwa persentase pupa gagal keluar tertinggi terdapat pada perlakuan deltametrin 1% yaitu sebesar 44%, sedangkan persentase terendahnya terdapat pada perlakuan SRA 0.5% sebesar 16% dan kontrol 0%. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka persentase pupa gagal keluar akan semakin tinggi.

Serangga lain yang ditemukan di lapangan adalah larva kumbang Coccinellidae predator. Permukaan tubuh larva kumbang dilapisi oleh lilin putih dan memiliki rangkaian filamen di sekitar tepi tubuh, sehingga menyerupai kutu

a b

Tabel 7 Persentase pupa Acerophagus papayae yang gagal berkembang menjadi imago akibat perlakuan insektisida nabati dan sintetik

Perlakuan Pupa gagal keluar (%)a

Kontrol 0c 1 SRTb 34ab 0.5 SRT 27ab 1 SRAc 38ab 0.5 SRA 16bc 1 Deltametrin 44a 0.5 Deltametrin 43a a

Persentase pupa gagal keluar pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

b

SRT: A. squamosa + P. retrofractum + Tween.

c

SRA: A. squamosa + P. retrofractum + Agristik.

putih, namun berukuran lebih besar. Jumlah serangga tersebut sangat rendah di lapangan, sehingga pengamatan mengenai pengaruh insektisida terhadap kedua jenis serangga tersebut tidak diamati secara langsung. Rendahnya populasi kedua serangga tersebut diduga karena jumlah kutu putih yang menurun. Kumbang predator Cryptolaemus montrozuieri (Coleoptera: Coccinellidae) merupakan salah satu predator kutu putih (Kalshoven 1981).

Pembahasan Umum

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nisbah konsentrasi yang paling efektif pada campuran ekstrak T. vogelii dengan A. squamosa (VS), T. vogelii

dengan P. retrofractum (VR), serta A. squamosa dengan P. retrofractum (SR) adalah 2:1 berdasarkan persentase mortalitas, analisis toksisitas, dan sifat campurannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak T. vogelii dengan proporsi terbesar dalam campuran akan menghasilkan toksisitas yang lebih tinggi. Selain T. vogelii, proporsi A. squamosa yang lebih tinggi ketika dicampur dengan

P. retrofractum juga akan menghasilkan toksisitas yang lebih tinggi. Nilai LC95

campuran VS, VR, dan SR pada nisbah konsentrasi 2:1 berturut-turut 1.51, 1.35, dan 1.54 kali lebih rendah dibandingkan dengan nisbah konsentrasi 1:2. Sementara itu, LC95 campuran ekstrak VS, VR, dan SR pada nisbah konsentrasi

2:1 berturut-turut 2.51, 1.50, dan 2.5 kali lebih rendah dibandingkan LC95 tunggal

ekstrak T.vogelii dan 2.97, 1.78, dan 2.96 kali lebih rendah dibandingkan LC95

tunggal ekstrak P. retrofractum. Berbeda dengan kedua ekstrak tersebut, LC95

campuran ekstrak VS, VR, dan SR pada nisbah konsentrasi 2:1 berturut-turut 0.94, 0.56, dan 0.93 kali lebih tinggi dibandingkan LC95 A. squamosa pada uji

ekstrak tunggal (Asnan 2013). Nilai LC yang lebih rendah menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki toksisitas yang lebih tinggi.

Perbedaan toksisitas ekstrak ketika diuji secara tunggal dan campuran kemungkinan berkaitan dengan perbedaan toksisitas ataupun konsentrasi senyawa aktifnya. Daun T. vogelii memiliki senyawa aktif insektisida yang termasuk ke

30

dalam golongan rotenoid, antara lain rotenon, deguelin, dan tephrosin (Delfel et al. 1970, Marston et al. 1984, Lambert et al. 1993).Rotenon memiliki aktivitas insektisida yang cukup kuat terhadap berbagai jenis serangga dan bekerja sebagai racun perut dan kontak (Djojosumarto 2008; Perry et al. 1998). Pada tingkat sel, rotenon menghambat transfer elektron antara NADH dehidrogenase dan koenzim Q pada kompleks I dan rantai transpor elektron di dalam mitokondria (Hollingworth 2001). Hambatan tersebut menyebabkan produksi ATP menurun sehingga terjadi kekurangan energi pada sel dan kelumpuhan berbagai sistem otot dan jaringan lain.

Senyawa yang terkandung di dalam famili Piperaceae berupa senyawa

Dokumen terkait