• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbanyakan Isolat P. stewartii subsp. stewartii

Hasil peremajaan isolat bakteri menunjukkan bahwa koloni yang muncul pada media YDC) koloni berwarna kuning, cembung dan berlendir (Gambar 2a) dan pada media semi selektif nigrosin (Gambar 2b) koloni sedikit cembung, halus dan berkilau, dengan karakteristik pigmen hitam pada pusat koloni dan transparan bagian pinggir (fish eyes) yang merupakan ciri khas dari P. stewartii

subsp. stewartii. Menurut Coplin dan Kado (2001) pada media YDCA koloni P.

stewartii subsp. stewartii berwarna kuning dan cembung dan pada media semi

selektif nigrosin pertumbuhan P. stewartii subsp. stewartii memiliki karakteristik pigmen hitam pada pusat koloni dan transparan bagian pinggir (fish eyes), bulat, sedikit cembung, berkilau dan sangat lengket serta koloni muncul setelah diinkubasi selama 5 sampai 7 hari pada 39 °C (Yifen et al. 1982). Mohammadi et al. (2012) mengemukakan bahwa bakteri P. stewartii subsp. stewartii

menghasilkan pigmen kuning karatenoid yang berfungsi sebagai anti oksidan dan dapat melindungi sel bakteri dari sress lingkungan ketika bakteri berada di ruang antar sel dan pembuluh tanaman.

Gambar 2 Koloni bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada media YDCA (a) dan semi selektif nigrosin (b)

Penentuan Treatment Window Perlakuan Benih

Variabel pengamatan yang digunakan untuk menentukan viabilitas benih pada penelitian ini adalah kekuatan tumbuh benih (vigor) dan daya berkecambah benih. Menurut Sutopo (2002), secara umum vigor diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh normal pada keadaan lingkungan yang suboptimal. Secara ideal semua benih harus memiliki kekuatan tumbuh yang tinggi, sehingga bila ditanam pada kondisi lapangan yang beraneka ragam akan tumbuh sehat dan berproduksi tinggi dengan kualitas baik. Vigor benih untuk tumbuh secara spontan merupakan landasan bagi kemampuan tanaman menyerap dan memanfaatkan yang dibutuhkan secara maksimal. Vigor benih yang tinggi dapat dicirikan bahwa benih tersebut dapat tumbuh dengan cepat dan merata, sehingga waktu pengamatan untuk vigor benih lebih cepat dilakukan dibandingkan dengan

daya berkecambah benih. Daya berkecambah benih merupakan kemampuan benih tumbuh normal pada lingkungan yang optimal. Variabel pengamatan yang digunakan dapat berupa persentase berkecambah normal berdasarkan penilaian teradap struktur tumbuh embrio yang diamati secara langsung.

Menurut Kamil (1979) dan ISTA (2014), benih jagung dapat dikatakan tumbuh normal (Gambar 3) apabila memenuhi kriteria diantaranya (1) memiliki akar primer yang kuat dan disertai dengan akar sekunder, (2) bila tidak memiliki akar primer, tetapi paling kurang memiliki dua akar sekunder yang kuat, (3) pertumbuhan daun pertama (hijau) yang baik dengan panjang kira-kira setengah terbungkus oleh koleoptil, dan biasanya keluar menembus koleoptil pada akhir periode waktu perkecambahan, (4) koleoptil robek (terbuka), sehingga daun pertama (hijau) tumbuh normal atau sedikit robek, dan (5) plumul berputar dan bergelombang disebabkan halangan kulit benih yang kuat sehingga plumul tersebut tidak busuk.

Gambar 3 Penampakan kecambah jagung manis yang tumbuh normal. (a) plumul muncul keluar menembus koleoptil, (b) daun kedua telah terbentuk. (b : biji, ap : akar primer, as : akar sekunder, k : koleoptil, p : plumul/ daun pertama, d : daun kedua).

Benih jagung yang tumbuh abnormal (Gambar 4) dicirikan antara lain, tidak memiliki akar primer atau akar sekunder, tidak memiliki akar primer tetapi hanya ada akar sekunder yang pendek dan lemah, tidak memiliki daun pertama hanya ada koleoptil yang tidak berwarna, daun pertama tumbuh pendek terbungkus kurang dari seperdua panjang koleoptil, daun pertama berkerunyut atau terbuka longitudinal, walaupun koleptil juga terbuka, plumul lemah dan pucat, plumul memendek dan membengkak, daun pertama putih seluruhnya, dan plumul busuk, biasanya pada titik perlekatannya pada benih (Kamil 1979; ISTA 2014).

Variabel pengamatan yang digunakan untuk menentukan viabilitas bakteri P.

stewartii subsp. stewartii pada penelitian ini adalah populasi bakteri yang tumbuh

pada media buatan setelah diberi perlakuan. Populasi bakteri P. stewartii subsp.

stewartii pada kondisi in vitro setelah perlakuan microwave, air panas, dan panas

kering dihitung berdasarkan jumlah koloni yang tumbuh pada media buatan YDCA (Lampiran 18) untuk setiap satuan volume suspensi bakteri (cfu/ml) sedangkan pada perlakuan bakterisida berdasarkan nilai optical density (λ = 600 nm) atau kepadatan bakteri yang tumbuh pada media NB.

p k ap as b ap as k p d b a b

Gambar 4 Penampakan kecambah jagung manis yang tumbuh abnormal. (a)

benih jagung tidak berkecambah, (b) koleoptil dan plumul tidak terbentuk, (c) akar dan plumul tidak terbentuk, dan (d) plumul tidak terbentuk.

Penentuan waktu yang akan digunakan pada perlakuan microwave, suhu pada perlakuan air panas dan panas kering, serta konsentrasi pada perlakuan bakterisida agar perlakuan benih efektif tercapai dapat dilakukan dengan mencari interval atau jaraknya terlebih dahulu. Forsberg (2004) mengemukakan bahwa interval suhu perlakuan air panas saat perlakuan efektif tercapai atau dikenal dengan istilah “treatment window” yang merupakan bagian penting yang akan mempengaruhi berhasilnya suatu perlakuan terhadap berbagai variasi toleransi panas pada benih.

Penentuan interval waktu, suhu, dan konsentrasi perlakuan pada penelitian ini berdasarkan treatment window dari pengaruh perlakuan terhadap viabilitas benih (persentase daya berkecambah) dengan viabilitas bakteri pada kondisi in

vitro (jumlah koloni bakteri dalam cfu/ml). Interval waktu, suhu, dan konsentrasi

yang menghasilkan tingginya viabilitas benih dan rendahnya viabilitas bakteri pada kondisi in vitro digunakan untuk perlakuan pada benih yang terinfeksi bakteri P. stewartii subsp. stewartii.

Perlakuan Microwave

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan panas microwave (2450 MHz, 1000 W) pada benih jagung manis berpengaruh terhadap viabilitas (vigor dan daya berkecambah) benih, yaitu persentase vigor dan daya berkecambah

a b

a

benih mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu paparan (Lampiran 1). Perlakuan microwave dengan waktu paparan 25 detik sudah menyebabkan benih jagung manis yang diuji tidak dapat tumbuh (Gambar 5). Hal ini karena energi microvawe dapat menembus kulit jaringan benih sampai ke titik tengahnya. Penghantaran panas secara radiasi tidak memerlukan medium, sehingga mampu berinteraksi langsung dengan seluruh volume bahan uji (bersifat volumetrik). Semakin tinggi frekuensinya, semakin tinggi level energi suatu sumber radiasi (Tang & Wang 2007). Friesen (2014), melaporkan bahwa hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa perlakuan microwave (microwave oven 2450 MHz, 1100 W) pada benih kacang buncis selama 40 detik dapat menurunkan vigor dan perkecambahan benih hingga lebih dari 15% sedangkan pemaparan 0 sampai 30 detik penurunannya kurang dari 7%. Radiasi microvawe ini selain menimbulkan panas juga dapat merusak biomolekuler embrio benih yang menyebabkan menurunnya viabilitas benih dengan cepat.

Gambar 5 Pengaruh perlakuan microwave terhadap daya berkecambah benih jagung manis (♦) dan jumlah koloni P. stewartii subsp. stewartii(■) Tidak seperti pemanasan konvensional, pemanasan energi microwave

(dikenal juga sebagai pemanasan dielektrik) berinteraksi langsung dengan seluruh volume bahan sampel, sehingga memberikan pemanasan yang lebih cepat dan volumetrik. Kesulitan umum dalam pemanasan dielektrik adalah hasil suhu akhir yang tak terduga dan tingkat pemanasan yang tidak seragam dalam sampel (Tang & Wang 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi panas yang diterima benih pada pengujian microvawe adalah bentuk geometri yang tidak seragam dari bahan uji, bentuk geometri alat pemancar microvawe, nilai kostanta dielektrik sampel dan frekuensi gelombang microvawe. Penelitian lebih lanjut mengenai distribusi panas microvawe, diketahui adanya titik panas "hot spot" dengan suhu yang naik sangat cepat pada daerah tersebut (Brodie 2012). Panas

microwave yang diterima oleh benih akan berbeda pada jumlah yang berbeda pula.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 Ju m lah K o lo n i B ak te r i (l o g c fu /m l) D aya Be r k e cam b ah (% ) Waktu (detik)

Semakin banyak jumlah benih yang digunakan maka semakin kecil panas yang akan diterima oleh benih, sehingga waktu yang diperlukan untuk mematikan benih juga semakin lama. Pada percobaan ini yang menggunakan 100 butir benih jagung manis memiliki volume yang sedikit sehingga panas yang diterima oleh benih jagung manis pada percobaan ini (volumenya sedikit) lebih cepat mengenai embrio benih dan mematikan benih (pada detik ke-25). Hal ini tentu akan berebeda bila volume atau jumlah sampel yang diuji lebih banyak, kemungkinan waktu yang dibutuhkan untuk mematikan benih akan lebih lama dan grafik daya berkecambah pada Gambar 5 akan bergeser ke kanan.

Keefektifan perlakuan microwave untuk perlakuan benih selain ditentukan oleh frekuensinya juga ditentukan oleh daya dari gelombang microwave. Gupta et al. (2013) melaporkan bahwa perlakuan benih kubis dengan microwave pada frekuensi microwave yang sama (2450 MHz), dengan daya di bawah 90 W dengan waktu paparan sekitar 60 detik membantu dalam pertumbuhan tanaman sedangkan di atas 90 W dengan waktu paparan 60 detik atau lebih berakibat menghambat pertumbuhan.

Penyerapan energi elektromagnetik dalam meningkatkan suhu bahan sampel bergantung pada jenis pemanasan, kepadatan materi, intensitas daya listrik, dan tingkat dielectric loss factor. Sifat dielektrik pada mikroorganisme atau produk pertanian inilah yang dapat menyimpan energi listrik dan mengubah energi listrik menjadi panas ketika terpapar gelombang elektromagnetik (Gaikwad & Gaikwad 2012). Pengetahuan tentang sifat dielektrik yang berbeda-beda pada masing-masing bahan, membantu dalam mendapatkan wawasan interaksi antara bahan dan energi microwave. Sifat dielektrik dapat digunakan untuk memperkirakan kedalaman penetrasi microwave dan memprediksi keseragaman pemanasannya (Tang & Wang 2007).

Radiasi microwave dapat memiliki efek yang nyata terhadap pertumbuhan mikroba, pengaruhnya dapat berbeda beda mulai dari mematikan hingga meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Sifat dan tingkat efeknya bergantung pada frekuensi microwave dan total energi yang diserap oleh mikroorganisme. Tampaknya pada energi dan frekuensi rendah microwave

meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan energi dan frekuensi tinggi menghancurkan mikroorganisme (Janković et al. 2014).

Perlakuan microwave (2450 MHz, 1000 W) pada suspensi bakteri P.

stewartii subsp. stewartii (Gambar 5) menunjukkan bahwa populasi bakteri tidak

mengalami penurunan yang nyata sampai waktu pemaparan selama 30 detik, bahkan populasinya masih sangat tinggi dari populasi awalnya (108 cfu/ml). Woo

et al. (2000) melaporkan bahwa perlakuan microwave (2450 MHz, 600 W) pada

bakteri E. coli dan Bacillus subtilis tidak menghasilkan penurunan yang nyata. E.

coli sedikit lebih sensitif terhadap microwave dibandingkan B. subtilis pada saat

suhu meningkat dari 40 ke 50 °C. Hal ini disebabkan B. subtilis (Gram positif) memiliki dinding sel yang lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan E. coli (Gram negatif), sehingga B. subtilis lebih tahan/resisten dengan panas microwave

dibandingkan E. coli. Namun, pada kenyataannya B. subtilis lebih sensitif dibandingkan E. coli pada saat suhu meningkat dari 40 ke 60 °C. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Tahir et al. (2009) bahwa bakteri Gram positif lebih lebih sensitif terhadap radiasi microwave (2450MHz, 800W) dari pada bakteri Gram negatif. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan komposisi kimia dari dinding sel

bakteri, diketahui bahwa kadar lipid dari dinding sel bakteri Gram negatif menyebabkan bakteri ini lebih resisten terhadap microwave. Pengaruh radiasi

microwave terhadap membran sel teramati pada penelitian B. licheniformis yang

diberi perlakuan dengan microwave frekuensi 2450 MHz (selama 2 menit, daya 2000 W) menyebabkan terjadinya hidrolisis pada korteks spora B. licheniformis, inti sel menjadi bengkak dan akhirnya pecah. Pengaruh ini diduga berkaitan dengan efek non termal microwave, karena pada perlakuan panas konvensional yang lain, pada tingkat suhu yang sama (seperti pada penelitian microwave

tersebut) tidak menyebabkan perubahan pada dinding dan membran sel B.

licheniformis (Janković et al. 2014).

Penurunan populasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii secara nyata terjadi setelah waktu pemaparan 60 detik dan bakteri tidak tumbuh setelah waktu pemaparan selama 70 detik (Gambar 5). Kondisi ini dapat disebabkan oleh rusaknya atau hancurnya struktur dinding sel bakteri akibat panas yang dihasilkan dari radiasi microwave, dimana lamanya waktu paparan berkorelasi terhadap suhu atau panas yang dihasilkan (Woo et al. 2000; Gedikli et al. 2008). Bakteri P.

stewartii subsp. stewartii merupakan bakteri Gram negatif yang memiliki dinding

sel yang tipis, sehingga dengan adanya pemanasan akan merusak atau menghancurkan struktur dinding sel, sehingga akan mengganggu metabolisme sel bakteri dan menyebabkan kematian sel. Panas microwave ini juga telah dilaporkan dapat menyebabkan denaturasi protein dan agregasi dalam sitoplasma serta untuk mendorong heat shock protein, yang dapat menyebabkan inaktivasi mikroba (Woo

et al. 2000; Tahir et al. 2009).

Perlakuan microwave pada percobaan ini, benih jagung manis kehilangan viabilitasnya pada waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan bakteri patogen

(P. stewartii subsp. stewartii). Kesulitan utama pada perlakuan microwave adalah

akurasi pengukuran suhu yang diterima objek penelitian akibat paparan gelombang elektromagnetik. Pengukuran suhu untuk microwave tidak dapat dilakukan pada termometer yang mengandung logam, hal ini dikarenakan partikel logam bereaksi terhadap gelombang elektromagnetik mengakibatkan kacaunya hasil pengukuran. Pada percobaan ini, perlakuan microwave tidak menghasilkan

treatment window yang diinginkan (Gambar 7), karena populasi bakteri P.

stewartii subsp. stewartii masih tinggi sedangkan daya berkecambah benih jagung

manis sudah menurun. Perlakuan microwave (microwave oven 2450 MHz, 1000 W) pada percobaan ini tidak layak digunakan untuk perlakuan benih jagung yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii.

Perlakuan Air Panas

Penerapan perendaman benih dengan air panas (suhu lebih dari 40 ° C) merupakan bentuk paling sederhana dari perlakuan panas. Aplikasi ini menggunakan air sebagai media, dimana perlakuan berlangsung secara anaerobik dan penghantaran panas dapat berlangsung cepat (Friesen 2014). Pada saat perlakuan perpindahan panas terjadi secara konveksi melalui aliran zat dari media air ke permukaan kulit benih dan kemudian secara konduksi dari kulit benih ke bagian tengah biji jagung. Partikel air paling bawah yang pertama kali terkena panas semakin lama akan memiliki massa jenis yang lebih kecil ketika sebagian berubah menjadi uap air, saat massa jenisnya lebih kecil partikel tersebut akan naik ke permukaan. Air yang masih di atas permukaan kemudian turun ke bawah

menggantikan posisi partikel tadi. Konduksi merupakan proses perpindahan kalor tanpa disertai dengan perpindahan partikelnya. Atom-atom penyusun zat tersebut berotasi lebih cepat ketika terkena panas yang akan mempengaruhi partikel atom disekitarnya (Bergman et al. 2011). Melalui cara tersebut energi panas mengalir atau berpindah dari zat yang bersuhu tinggi ke zat yang suhunya lebih rendah sampai ke bagian dalam benih. Umumnya, energi berupa panas yang diterima secara nyata dipengaruhi oleh ukuran sampel uji, media dan metode pemanasan (Tang & Wang 2007).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan air panas selama 30 menit pada suhu 40 sampai 70 °C dapat mempengaruhi vigor dan daya berkecambah benih jagung manis (Lampiran 2). Perlakuan air panas pada suhu 40 dan 50 °C selama 30 menit menghasilkan persentase vigor dan daya berkecambah yang lebih tinggi dibandingkan tanpa perlakuan dengan persentase vigor dan daya berkecambah tertinggi pada perlakuan 40 °C selama 30 menit. Penurunan vigor dan daya berkecambah benih jagung manis terjadi setelah perlakuan air panas di atas 50 °C. Gambar 6 menunjukkan terjadinya penurunan daya berkecambah benih seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan. Semakin tinggi suhu menyebabkan turunnya persentase daya berkecambah benih, bahkan pada perlakuan dengan suhu 70 °C selama 30 menit menyebabkan benih jagung manis tidak dapat tumbuh.

Tingginya persentase vigor dan daya berkecambah benih jagung manis setelah perlakuan 40 dan 50 °C disebabkan panas yang dihasilkan akan mempercepat patahnya dormansi pada benih, sehingga benih dapat berkecambah dengan lebih cepat dibandingkan tanpa perlakuan. Hasil serupa dilaporkan oleh Tung dan Serano (2011) bahwa perlakuan air panas pada suhu 50 °C selama 15 menit dapat meningkatkan perkecambahan pada benih padi.

Gambar 6 Pengaruh perlakuan air panas terhadap daya berkecambah benih jagung manis (♦) dan jumlah koloni P. stewartii subsp. stewartii(■). tw : daerah treatment window/interval suhu yang sesuai untuk perlakuan benih. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 40 45 50 55 60 65 70 75 Ju m lah K o lo n i B ak te r i (l o g c fu /m l) D aya B e r k e c am b ah Ta n am an (% ) Suhu (°C) tw

Perlakuan air panas dapat digunakan untuk mengendalikan patogen terbawa benih khususnya bakteri (Argawal & Sinclair 1997). Pengaruh perlakuan air panas terhadap viabilitas bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro dapat dilihat pada Gambar 6. Perlakuan air panas menyebabkan turunnya populasi bakteri, bahkan pada perlakuan dengan suhu 60 °C selama 30 menit mampu mematikan bakteri P. stewartii subsp. stewartii secara in vitro. Kondisi ini disebabkan oleh panas yang dihasilkan oleh air menyebabkan rusaknya dinding sel pada bakteri dan dapat menyebabkan denaturasi dan agregasi protein sehingga menyebabkan bakteri menjadi inaktif. Ahmed et al. (2014), melaporkan bahwa perlakuan air panas pada suhu 50 °C selama 5 menit mampu menurunkan populasi bakteri X. oryzae pv. oryzae dan meningkatkan perkecambahan benih padi hibrida. Secara umum pengaruh langsung dari panas terhadap bakteri patogen meliputi perubahan dalam struktur dinding dan inti sel patogen, denaturasi protein, kerusakan mitokondria, gangguan pada membran vacuolar, sitoplasma, keluarnya senyawa lipid, kerusakan hormon, berkurangnya oksigen pada jaringan, gangguan metabolisme dengan atau tanpa akumulasi racun metabolik. Beberapa mekanisme ini dapat terjadi secara bersama-sama maupun masing-masing secara terpisah (Palou 2013).

Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan air panas sampai suhu 55 °C selama 30 menit dapat menurunkan populasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii

pada kondisi in vitro dan memiliki daya berkecambah yang masih tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif perlakuan benih pada benih jagung manis yang terinfeksi bakteri P. stewartii subsp. stewarti. Interval suhu perlakuan yang dapat digunakan untuk perlakuan benih yang terinfeksi berdasarkan

treatment window antara 50 sampai 55 °C (Gambar 6). Pada interval suhu tersebut

tanaman masih memiliki viabilitas yang tinggi dan bakteri P. stewartii subsp.

stewartii secara in vitro sudah mengalami penurunan yang cukup nyata.

Perlakuan Panas Kering

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan panas kering pada benih jagung manis berpengaruh terhadap viabilitas benih, baik vigor maupun daya berkecambah benih. Perlakuan panas kering pada suhu 40, 45, dan 50 °C selama 24 jam memiliki nilai persentase vigor yang lebih tinggi dibandingkan kontrol (78.00%) yaitu secara berurutan sebesar 93.25, 90.00, dan 85.00%. Penurunan persentase vigor benih terjadi pada perlakuan panas kering dengan suhu 60 dan 70 °C selama 24 jam yaitu sebesar 75.25 dan 40.25% (Lampiran 3). Pengaruh yang sama ditunjukkan pada variabel pengamatan daya berkecambah benih, yaitu perlakuan panas kering pada suhu 40 dan 45 °C selama 24 jam terbukti mampu meningkatkan daya berkecambah benih jagung dibandingkan tanpa perlakuan (kontrol) dan penurunan daya berkecambah benih terjadi setelah perlakuan panas kering pada suhu 60 dan 70 °C selama 24 jam (Gambar 7). Hasil yang sama dilaporkan oleh Izli dan Isik (2010) bahwa benih jagung yang diberi perlakuan pemanasan pada suhu 45 dan 55 °C mengasilkan persentase vigor dan daya berkecambah benih yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Farooq et al. (2006) juga mengemukakan bahwa perlakuan panas kering pada benih tomat pada suhu 40 dan 50 °C selama 24 jam mampu meningkatkan daya berkecambah dan vigor dibandingkan yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dengan nilai vigor tertinggi pada suhu 50 °C.

Gambar 7 Pengaruh perlakuan panas kering terhadap daya berkecambah benih jagung manis (♦) dan jumlah koloni P. stewartii subsp. stewartii(■). tw : daerah treatment window/interval suhu yang sesuai untuk perlakuan benih.

Perpindahan panas melalui perlakuan panas kering berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan air panas. Energi panas didalam oven merambat dengan cara konveksi, yaitu energi panas terlebih dulu terserap pada medium udara sebelum mencapai benih jagung. Mekanisme pemanasan udara dalam oven berdasarkan konveksi gravitasi, udara panas akan mengembang yang kemudian disi oleh udara yang lebih dingin, proses ini terus berulang sampai terjadi keseimbangan termodinamika. Hal tersebut memberikan pengaruh yang menguntungkan pada benih karena dapat menginduksi bekerjanya gen Heat

shock proteins (HSP). HSP berperan dalam melindungi sel organisme dari

kerusakan terhadap pengaruh tekanan suhu tinggi, disamping mekanisme lainnya (Wahid et al. 2007). Perlakuan air panas pada suhu 60 dan 70 °C tampaknya telah menyebabkan penghambatan dan gangguan metabolisme benih yang tidak bisa dipulihkan kembali, disamping itu dengan bekerjanya gen HSP secara progresif akan menstimulasi terjadinya apoptosis sel pada jaringan benih (Arya et al. 2007). Menurut Herter dan Burris (1989), viabilitas biji jagung pipilan menurun dengan cepat setelah dilakukan pengeringan dengan suhu 50 °C dibanding sampel biji pada tongkol jagung. Perlakuan panas kering dengan suhu > 50 °C selama periode tertentu menginduksi stres panas pada benih, proses tersebut mirip dengan uji penuaan dipercepat (accelerated aging) pada benih untuk menginduksi perkecambahan. Jika perlakuan panas dilakukan dalam waktu terlalu lama, atau pada suhu terlalu tinggi, secara langsung mempercepat proses penuaan benih yang mengakibatkan menurunnya viabilitas biji. Suhu pengeringan yang tinggi antara 35 sampai 50 °C pada jagung mengakibatkan penurunan jumlah dan ukuran butir pati dalam embrio. Suhu pengeringan yang tinggi secara nyata

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 Ju m lah K o lo n i B ak te r i (c fu /m l) D aya B e r k e c am b ah Tan am an (% ) Suhu (°C) tw

mengurangi kemampuan embrio untuk berkecambah dan mengurangi vigor benih secara nyata pula.

Perlakuan panas kering sangat berpengaruh terhadap populasi bakteri P.

stewartii subsp. stewartii secara in vitro. Pengaruh perlakuan ditunjukkan dengan

adanya penurunan jumlah koloni bakteri setelah diberi perlakuan panas kering. Perlakuan panas kering pada suhu 50 °C selama 24 jam bahkan dapat mematikan

P. stewartii subsp. stewartii secara in vitro (Gambar 7). Kondisi ini terkait dengan

sifat bakteri P. stewartii subsp. stewartii yang merupakan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang lebih tipis sehingga paparan panas yang dihasilkan dari perlakuan ini dapat merusak struktur dinding sel bakteri dan menyebabkan terjadinya denaturasi dan agregasi protein sehingga menyebabkan bakteri menjadi inaktif (Woo et al. 2000).

Pengaruh perlakuan panas kering terhadap daya berkecambah benih jagung dan populasi P.stewartii subsp. stewartii dijadikan sebagai acuan untuk perlakuan benih yang terinfeksi bakteri tersebut. Suhu pemanasan yang dapat digunakan untuk perlakuan pada benih yang terinfeksi bakteri adalah yang mampu mematikan bakteri secara in vitro namun persentase daya berkecambah benih tetap tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan panas kering dapat dijadikan alternatif untuk perlakuan benih jagung manis yang terinfeksi bakteri P. stewartii

subsp. stewartii.

Interval suhu yang dapat dijadikan untuk perlakuan benih yang terinfeksi berdasarkan treatment window antara 40 sampai 60 °C (Gambar 7). Pada interval suhu tersebut tanaman masih memiliki viabilitas yang tinggi dan bakteri Pantoea

stewartii subsp. stewartii secara in vitro sudah mengalami penurunan yang cukup

nyata.

Perlakuan Bakterisida

Bakterisida yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakterisida dengan bahan aktif streptomisin sulfat. Pemilihan bakterisida berbahan aktif ini karena

Dokumen terkait