• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Profil Pita Hasil Isolasi DNA Tanaman Aren

Proses isolasi DNA tanaman aren menggunakan metode Orozco-Castillo

et al (1994) yang dimodifikasi dengan penambahan β-Mercaptoethanol dan PVPP

(Toruan dan Hutabarat, 1997) karena metode ini lebih praktis dan dapat menghasilkan DNA yang baik dari tanaman aren dibandingkan dengan metode lainnya yang telah dicobakan. Uji kualitatif terhadap 27 sampel DNA dilakukan dengan elektroforesis gel agaros 0.8%. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kualitas DNA yang diperoleh. Hasil yang diperoleh dari 27 sampel DNA tanaman aren dapat dilihat pada Gambar 2.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 2. Elektroforegram uji kualitatif 27 DNA tanaman aren

Ket: Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Elektroforegram menunjukkan isolasi DNA telah berhasil, dapat dilihat dari fragmen DNA yang tampak pada gel. Fragmen DNA yang menunjukkan bahwa DNA memiliki pita yang terang dan tebal terdapat pada aksesi aren nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23 dan 24 sedangkan pita yang agak tipis dan kurang terang terdapat pada aksesi aren nomor 3, 18, 25, 26 dan 27 dengan demikian bisa digunakan dalam analisis RAPD.

DNA genom dapat diisolasi dengan berbagai macam teknik. Pada prinsipnya, sel harus dipecah terlebih dahulu menggunakan beberapa agensia, baik secara fisik maupun kimiawi. Senyawa yang sering digunakan untuk memecah sel pada isolasi DNA genom adalah CTAB. Senyawa CTAB biasanya digunakan untuk isolasi DNA dari jaringan tanaman. Setelah sel dipecah selanjutnya dilakukan isolasi dan pemurnian DNA (Yuwono, 2008).

Sudjadi (2008) teknik pemecahan sel dapat dibagi dalam metode fisik, metode mekanik, dan metode kimiawi. Sel diperlakukan dengan pemaparan senyawa kimiawi yang mempengaruhi dinding sel. Metode kimiawi lebih banyak digunakan untuk preparasi DNA.

Dalam suatu teknik isolasi DNA masih diperlukan suatu tahapan untuk meminimalkan senyawa-senyawa kontaminan yang dapat mengganggu reaksi PCR seperti polisakarida dan metabolit sekunder. Hal ini disebabkan keberadaan polisakarida dan metabolit sekunder dalam sel tanaman sering menyulitkan dalam isolasi asam nukleat (Maftuchah dan Zainuddin, 2013).

Kandungan senyawa sekunder dalam sel tanaman berbeda-beda, maka setiap tanaman membutuhkan prosedur isolasi yang optimum agar diperoleh DNA genom yang dapat digunakan sebagai bahan dalam analisis molekuler. Optimasi prosedur tersebut dapat dilakukan terhadap komposisi larutan bufer lisisnya ataupun teknik penanganan fisik dalam pemisahan DNA genom dari senyawa lain. Pada prinsipnya optimasi prosedur ini bertujuan melindungi DNA genom dari degradasi akibat senyawa sekunder yang dilepaskan ketika sel dihancurkan atau kerusakan akibat penanganan fisik (Restu et al., 2012).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Harahap (2013), mengenai keragaman genetik pada populasi aren Sumatera Utara menghasilkan pita DNA yang cukup jelas dan tebal. Bila dibandingkan dengan hasil uji kualitatif pada aren asal Sulawesi Tenggara maka menunjukkan hasil yang sama (Gambar 2).

Uji kuantitatif DNA dilakukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm sehingga diperoleh nilai kemurnian dan konsentrasi DNA hasil isolasi. Panjang gelombang 260 nm merupakan serapan maksimum untuk asam nukleat, sedangkan panjang gelombang 280 nm merupakan serapan maksimum untuk protein. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 9.

Kemurnian DNA yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0.500-1.949. Dari 27 sampel DNA tanaman aren, sebanyak 20 tanaman aren memiliki nilai kemurnian 1.8-2.0 yang menunjukkan DNA yang diisolasi telah murni (Wilson dan Walker, 2010). Aksesi tersebut yaitu aksesi nomor 1, 3, 4,6,7, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25 dan 27. Namun, ada juga nilai kemurnian sampel DNA di bawah 1.8. Aksesi tersebut yaitu aksesi nomor 2, 5, 8, 11, 16, 17 dan 26.

Konsentrasi DNA yang dihasilkan berkisar antara 0.05-55.90 µg/ml. Konsentrasi paling rendah diperoleh pada aksesi nomor 11 sebesar 0.05 µg/ml sedangkan konsentrasi paling tinggi diperoleh pada aksesi nomor 22 sebesar 55.90 µg/ml. Konsentrasi yang digunakan untuk proses PCR-RAPD adalah 0.5-50 ng/µl yang dihitung dengan memperhatikan faktor pengenceran.

Prinsip dasar pada spektrofotometri adalah sampel harus jernih dan larut sempurna. Tidak ada partikel koloid apalagi suspensi. DNA yang mengandung basa-basa purin dan pirimidin dapat menyerap cahaya UV. Pita ganda DNA dapat menyerap cahaya UV pada 260 nm, sedangkan kontaminan protein atau phenol dapat menyerap cahaya pada 280 nm. Dengan adanya perbedaan penyerapan cahaya UV ini, sehingga kemurnian DNA dapat diukur dengan menghitung nilai absorbansi 260 nm dibagi dengan nilai absorbansi 280 (Å260/Å280) dan nilai kemurnian DNA berkisar antara 1.8-2.0 (Fatchiyah, 2011).

Menurut Haris et al (2003), konsentrasi DNA akan berdampak pada kualitas fragmen hasil amplifikasi. Konsentrasi DNA yang terlalu rendah akan menghasilkan fragmen yang sangat tipis pada gel atau bahkan tidak terlihat secara visual, sebaliknya konsentrasi DNA yang terlalu tinggi akan menyebabkan fragmen terlihat tebal sehingga sulit dibedakan antara satu fragmen dengan fragmen lainnya.

Salah satu keuntungan pemakaian analisis keragaman genetik tanaman dengan menggunakan teknik molekuler yang memanfaatkan teknologi amplifikasi PCR adalah kuantitas DNA yang diperlukan hanya sedikit. Di samping itu, dalam pelaksanaan teknik RAPD tingkat kemurnian DNA yang dibutuhkan tidak perlu terlalu tinggi, atau dengan kata lain teknik amplifikasi PCR relatif toleran terhadap tingkat kemurnian DNA (Maftuchah dan Zainuddin, 2013).

Hasil penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Harahap (2013), mengenai keragaman genetik pada tanaman aren Sumatera Utara menunjukkan bahwa kemurnian DNA yang diperoleh berkisar antara 1.39 - 2.23 dan konsentrasi DNA berkisar antara 41.9 - 2995 µg/ml. Bila dibandingkan dengan hasil uji

kuantitas pada aren asal Sulawesi Tenggara maka menunjukkan hasil yang lebih baik (Lampiran 9).

Analisis Profil Pita Hasil Amplifikasi PCR Tanaman Aren

Hasil amplifikasi menggunakan 10 primer yang digunakan yaitu OPN 03, OPC 12, OPD 03, OPD 13, OPD 16, OPH 09, OPB 07, OPH 12, OPH 13 dan SB 19 pada 27 aksesi tanaman aren menghasilkan produk PCR yang dapat dibaca dan diskor, sehingga hasilnya dapat dianalisis. Namun, tidak semua primer mengamplifikasi DNA pada 27 aksesi tanaman aren. Hasil PCR dapat dilihat pada Gambar 3-12.

Lima dari sepuluh primer yang digunakan mengamplifikasi DNA pada 27 aksesi yaitu primer OPC 12, OPD 03, OPD 13, OPH 13 dan SB 19 sedangkan lima primer lagi yaitu OPN 03, OPD 16, OPH 09, OPB 07 dan OPH 12 tidak mengamplifikasi DNA pada 27 aksesi. Jumlah DNA yang paling banyak tidak teramplifikasi terdapat pada OPD 16 dan OPH 12 yaitu masing-masing 5 aksesi pada aksesi nomor 16, 17, 20, 26, dan 27 sedangkan yang paling sedikit terdapat pada OPN 03 yaitu 3 aksesi pada aksesi nomor 20, 26, dan 27. Sementara OPH 09 dan OPB 07 tidak mengamplifikasi DNA yaitu masing-masing 4 aksesi pada aksesi nomor 16, 17, 20, dan 26 (Tabel 3).

Pada penelitian ini, primer yang tidak sesuai dengan sekuen DNA tanaman aren tidak menghasilkan produk amplifikasi karena tidak terdapat situs yang komplementer pada DNA tanaman aren dengan sekuen primer tersebut dan bisa juga tidak adanya pita. Selain itu, amplifikasi DNA tergantung dari kecocokan primer dengan sekuen DNA tanaman aren.

Tabel 3. Hasil amplifikasi sepuluh primer yang digunakan

No

Nama

Primer Urutan Basa (5’ – 3’)

Jumlah Aksesi yang Tidak Teramplifikasi No. Aksesi 1 OPD 03 5' GGTACTCCCC 3' - - 2 OPH 12 5' TGTCATCCCC 3' 5 16, 17, 20, 26, 27 3 OPB 07 5' GTCGCCGTCA 3' 4 16, 17, 20, 26 4 OPD 16 5' GGGGTGACGA 3' 5 16, 17, 20, 26, 27 5 OPN 03 5' AGGGCGTAAG 3' 3 20, 26, 27 6 OPC 12 5' TGTAGCTGGG 3' - - 7 SB 19 5' GGTGACGCAG 3' - - 8 OPD 13 5' ACGCGCATGT 3' - - 9 OPH 09 5' GACGCCACAC 3' 4 16, 17, 20, 26 10 OPH 13 5' CAGCACCCAC 3' - - Total 21

Keberhasilan suatu primer dalam mengamplifikasi DNA cetakan ditentukan oleh ada tidaknya homologi sekuen nukleotida primer dengan sekuen nukleotida DNA cetakan. Selain itu juga dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas DNA, konsentrasi MgCl2

Kesesuaian primer, efisiensi dan optimasi proses PCR menentukan keberhasilan dalam teknik ini. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel , enzim Taq DNA polimerase, dan suhu pelekatan primer (Wibowo, 2010).

pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing) ini ditentukan berdasarkan primer yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang dan komposisi primer (Suryanto, 2003).

Keberhasilan teknik ini ditentukan oleh ada tidaknya situs penempelan primer, kemurnian DNA dan keutuhan DNA cetakan (Bardakci, 2001). Konsentrasi DNA genom merupakan faktor terpenting dalam reaksi amplifikasi. Konsentrasi DNA yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kontaminan yang menggangu reaksi amplifikasi (Chen, 2000).

Konsentrasi primer berpengaruh terhadap intensitas produk PCR-RAPD. Menurut Padmalatha dan Prasad (2006) konsentrasi primer yang terlalu rendah atau yang terlalu tinggi menyebabkan tidak terjadinya amplifikasi. Rasio yang rendah antara primer dan DNA cetakan dapat menyebabkan produk RAPD yang dihasilkan tidak konsisten. Magnesium merupakan komponen yang penting dalam reaksi PCR dan mempengaruhi kualitas profil RAPD yang dihasilkan (Pharmawati, 2009). Magnesium mempengaruhi penempelan primer serta aktifitas enzim (Padmalatha dan Prasad, 2006). Konsentrasi MgCl2

Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pita yang dihasilkan oleh sepuluh primer yang digunakan memperlihatkan pola pita yang berbeda dan ada juga yang serupa pada aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe. Dari kesepuluh primer yang digunakan menghasilkan jumlah pola pita sebanyak 3-6 pita DNA per primer. Ukuran pita-pita DNA yang dihasilkan

yang tinggi juga mempengaruhi jumlah pita yang dihasilkan dan mengakibatkan penurunan intensitas pita tertentu.

bervariasi antara 170 bp sampai dengan 3376 bp. Total pola pita dari kesepuluh primer yang tampak sebanyak 41 dengan rata-rata 4.1 pita per primer dengan pita polimorfik sebanyak 39 pita dan pita yang monomorfik sebanyak 2 pita. Persentase pita yang polimorfik bervariasi sebesar 66.7% sampai 100% dengan rata-rata 93.3% untuk seluruh primer. Tingkat keinformatifan dari setiap primer bervariasi dari 0.35 sampai 0.5 dengan rata-rata 0.47 yang menunjukkan kesamaan rasio tingkat keinformatifan primer (Tabel 4).

Tabel 4. Polymorphic Information Content (PIC) pada sepuluh primer No Nama Primer Ukuran Pita (bp) Total Pola Pita Jumlah Pita Polimorfik Jumlah Pita Monomorfik Persentase Pita Polimorfik (%) PIC 1 OPD 03 235-1480 6 6 0 100 0.49 2 OPH 12 814-2152 6 6 0 100 0.35 3 OPB 07 466-1924 5 5 0 100 0.44 4 OPD 16 356-1821 5 5 0 100 0.49 5 OPN 03 170-1261 4 4 0 100 0.50 6 OPC 12 291-1040 3 3 0 100 0.48 7 SB 19 780-3376 3 2 1 66.7 0.49 8 OPD 13 523-1027 3 3 0 100 0.47 9 OPH 09 170-2797 3 3 0 100 0.50 10 OPH 13 1363-2398 3 2 1 66.7 0.45 Total 41 39 2 933.3 4.66 Rata-rata 4.1 3.9 0.2 93.3 0.47

Jumlah pola pita tertinggi terdapat pada primer OPD 03 dan OPH 12 yang berjumlah 6 pola pita sedangkan jumlah pola pita terendah terdapat pada primer OPC 12, SB19, OPD 13, OPH 09 dan OPH 13 yang berjumlah 3 pola pita. Ukuran pita tertinggi terdapat pada primer SB 19 sebesar 3376 bp sedangkan ukuran pita terendah terdapat pada primer OPN 03 dan OPH 09 sebesar 170 bp.

Jumlah pita polimorfik tertinggi terdapat pada primer OPD 13 dan OPH 12 yaitu 6 pita polimorfik sedangkan jumlah pita polimorfik yang terendah terdapat pada primer SB 19 dan OPH 13 yaitu 2 pita polimorfik. Untuk persentase pita

OPD 16, OPN 03, OPC 12, OPD 13, dan OPH 09 sedangkan SB 19 dan OPH 13 memiliki persentase polimorfik sebesar 66.7%.

Nilai PIC tertinggi terdapat pada OPN 03 dan OPH 09 yaitu sebesar 0.5 sedangkan yang terendah terdapat pada primer OPH 12 yaitu sebesar 0.35. Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa primer yang paling diskriminatif dilihat dari total pola pita adalah primer OPD 03 dan OPH 12 yaitu sebesar 6 pola pita sedangkan dilihat dari nilai PIC adalah primer OPN 03 dan OPH 09 yaitu sebesar 0.50.

Primer OPD 03 menunjukkan pola pita yang berbeda antara aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 6 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 235 bp – 1480 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 100%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.49 (Gambar 3).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 3. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPD 03 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Primer OPH 12 menunjukkan pola pita yang berbeda antara aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 6 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 814 bp – 2152 bp.

10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp -

Persentase pita yang polimorfik sebesar 100%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.35 (Gambar 4).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 4. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPH 12 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Primer OPB 07 menunjukkan pola pita yang berbeda antara aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 5 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 466 bp – 1924 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 100%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.44 (Gambar 5).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 5. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPB 07 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27) 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp - 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp -

Primer OPD 16 menunjukkan pola pita yang serupa antara aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 5 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 356 bp – 1821 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 100%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.49 (Gambar 6).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 6. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPD 16 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Primer OPN 03 menunjukkan pola pita yang berbeda antara aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 4 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 170 bp – 1261 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 100%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.50 (Gambar 7). 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp -

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 7. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPN 03 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Primer OPC 12 menunjukkan pola pita yang serupa antara aksesi Konawe Selatan dan Konawe sedangkan pada aksesi Kendari menunjukkan pola pita yang berbeda dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 3 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 291 bp – 1040 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 100%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.48 (Gambar 8).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 8. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPC 12 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Primer SB 19 menunjukkan pola pita yang serupa antara aksesi Konawe Selatan dan Konawe sedangkan pada aksesi Kendari menunjukkan pola pita yang berbeda dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 3 pola pita dengan 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp - 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp -

ukuran pita berkisar antara 780 bp – 3376 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 66.7%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.49 (Gambar 9).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 9. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer SB 19 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Primer OPD 13 menunjukkan pola pita yang serupa antara aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 3 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 523 bp – 1027 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 100%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.47 (Gambar 10).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 10. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPD 13 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27) 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp - 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp -

Primer OPH 09 menunjukkan pola pita yang berbeda antara aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 3 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 170 bp – 2797 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 100%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.50 (Gambar 11).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 11. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPH 09 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Primer OPH 13 menunjukkan pola pita yang serupa antara aksesi Konawe Selatan, Kendari dan Konawe dengan total pola pita yang dihasilkan sebanyak 3 pola pita dengan ukuran pita berkisar antara 1363 bp – 2398 bp. Persentase pita yang polimorfik sebesar 66.7%. Tingkat keinformatifan primer ini sebesar 0.45 (Gambar 12). 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp -

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 12. Elektroforegram amplifikasi 27 DNA aren dengan primer OPH 13 Ket : M = marker ladder 1 kb, Konawe Selatan (1-4), Kendari (5-19), dan Konawe (20-27)

Jumlah dan intensitas pita DNA yang dihasilkan setelah amplifikasi DNA dengan PCR sangat tergantung bagaimana primer mengenal urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA (DNA template) yang digunakan. Hasil amplifikasi DNA tidak selalu memperoleh pita dan intensitas yang sama. Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer sangat dipengaruhi oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan DNA yang mengandung senyawa-senyawa seperti polisakarida dan senyawa fenolik, serta konsentrasi DNA yang terlalu kecil sering menghasilkan pita DNA amplifikasi yang redup atau tidak jelas (Weeden et al., 1992). Sebaran situs penempelan primer pada cetakan DNA dan adanya kompetisi tempat penempelan primer pada cetakan DNA menyebabkan satu fragmen diamplifikasi dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit. Proses amplifikasi mungkin saja diinisiasi pada beberapa tempat, namun hanya beberapa set yang dapat dideteksi sebagai pita sesudah diamplifikasi.

Pola pita DNA yang dihasilkan dari hasil amplifikasi menunjukkan adanya polimorfisme. Jumlah pita polimorfik hasil amplifikasi berbeda-beda. Semakin banyak pita polimorfik yang dihasilkan akan semakin mudah untuk 10000 bp - 8000 bp - 6000 bp - 5000 bp - 4000 bp - 3000 bp - 2500 bp - 2000 bp - 1500 bp - 1000 bp - 500 bp -

mengamati adanya variasi. Polimorfisme pita DNA dapat dipengaruhi oleh banyaknya variasi individu dalam suatu populasi. Tingginya polimorfisme pita pada penelitian ini menunjukkan tingginya keragaman genetik pada tanaman aren asal Sulawesi Tenggara. Adanya perbedaan pola pita yaitu berdasarkan jumlah dan ukuran pita menggambarkan adanya genom tanaman yang sangat kompleks (Grattapaglia et al., 1992).

Menurut Demeke dan Adams (1994), amplifikasi DNA dengan primer acak pada analisis RAPD biasanya menghasilkan 5-20 fragmen untuk setiap primer. Jumlah fragmen hasil amplifikasi dengan RAPD memang lebih rendah dibandingkan dengan hasil amplifikasi menggunakan AFLP (Haris et al., 2003).

Kelemahan RAPD adalah pemunculan pita DNA kadang-kadang tidak konsisten. Hal ini lebih sering terjadi jika suhu annealing yang digunakan terlalu tinggi. Dalam analisis kekerabatan, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan primer yang lebih banyak. Ruas DNA yang berulang sering berlipat ganda, homologi urutan nukleotida pada pita-pita DNA dengan mobilitas yang sama pada gel tidak diketahui, penanda RAPD bersifat dominan dan tingkat keberulangannya

(reproducibility) rendah (Demeke dan Adams, 1994).

Selain itu, untuk melihat tingkat keinformatifan dari primer yang digunakan maka perlu diketahui nilai PIC dari primer tersebut. PIC mengacu pada nilai suatu penanda untuk mendeteksi polymorphisme di dalam suatu populasi. PIC tergantung pada banyaknya dapat ditemukan alel dan distribusi dari frekuensinya (Anderson et al., 1993). Semakin besar nilai PIC suatu primer maka primer tersebut semakin baik untuk dipakai sebagai penanda molekuler. Nilai PIC

untuk dominan marker seperti RAPD memiliki nilai maksimum yaitu 0.5

(Ma et al., 2013).

Hasil penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Harahap (2013), mengenai keragaman genetik pada tanaman aren Sumatera Utara menunjukkan bahwa Jumlah pita polimorfik tertinggi yaitu 13 pita pada primer OPD 16 dan jumlah pita polimorfik terendah yaitu 7 pita pada primer OPD 20. Persentase pita polimorfik terendah terdapat pada primer OPI 20 sebesar 26.14% dan yang tertinggi pada primer OPN 03 sebesar 42.13 %. Pada aren asal Sumatera Utara primer yang paling diskriminatif dilihat dari jumlah pita polimorfik adalah primer OPD 16 yaitu sebesar 13 pita. Ukuran pita tertinggi terdapat pada primer OPD 16 sebesar 2817 bp dan terendah pada primer OPH 09 sebesar 89 bp. Bila dibandingkan dengan aren asal Sulawesi Tenggara dengan menggunakan primer yang sama maka terjadi perbedaan ukuran pita antara kedua lokasi. Pada aren asal Sulawesi Tenggara ukuran pita terendah pada primer OPN 03 dan OPH 09 sebesar 170 bp sedangkan pada aren asal Sumatera Utara pada primer OPH 09 sebesar 89 bp. Ukuran pita tertinggi pada aren asal Sulawesi Tenggara terdapat pada primer OPH 09 sebesar 2797 sedangkan pada aren asal Sumatera Utara terdapat pada primer OPD 16 sebesar 2817 bp.

Persentase pita polimorfik aren asal Sulawesi Tenggara yang tertinggi sebesar 100% sedangkan aren asal Sumatera utara yang tertinggi sebesar 42.13%. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik aren asal Sulawesi Tenggara lebih tinggi dari pada aren asal Sumatera Utara (Tabel 5).

Tabel 5. Perbedaan persentase pita polimorfik (%) antara aren asal Sulawesi Tenggara dan Sumatera Utara dengan primer yang sama

No

Nama Primer

Ukuran Pita (bp) Persentase Pita Polimorfik (%) Sulawesi Tenggara Sumatera Utara Sulawesi Tenggara Sumatera Utara 1 OPC 12 291-1040 179-1789 100 27.39 2 OPD 03 235-1480 179-1789 100 27.27 3 OPD 16 356-1821 134-2817 100 28.53 4 OPN 03 170-1261 141-2250 100 42.13 5 OPH 09 170-2797 89-2439 100 30.73 (Harahap, 2013)

Analisis Kluster Tanaman Aren

Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan program software

Darwin 5.05 (Perrier dan Jacquemoud-Collet, 2009) dari 27 aksesi yang dianalisis hanya 21 aksesi yang diproses oleh software, karena ada beberapa aksesi yang tidak teramplifikasi sehingga tidak memenuhi persentase yang distandarkan.

Matriks jarak ketidaksamaan genetik menunjukkan bahwa jarak ketidaksamaan genetik pada tanaman aren berkisar antara 0.512 – 0.102. Jarak ketidaksamaan genetik tertinggi terdapat antara aksesi yang berasal dari Konawe Selatan (P3) dan Konawe (S3) sebesar 0.512 (51.2%) sedangkan jarak ketidaksamaan genetik terendah terdapat antara aksesi dari Konawe (S5 dan S4) sebesar 0.102 (10.2%) (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa aksesi P3 dan S3 berkerabat jauh sedangkan aksesi S5 dan S4 berkerabat dekat. Aksesi S5 dan S4 kemungkinan memiliki sumber genetik yang sama sedangkan aksesi P3 dan S3 kemungkinan memiliki sumber genetik yang berbeda.

Aren yang berasal dari daerah Kendari (K5) dan Konawe Selatan (P4) yang berada dalam satu kelompok dengan jarak ketidaksamaan genetik sebesar 0.176 sedangkan Konawe (S6) dan Konawe Selatan (P3) dengan jarak

ketidaksamaan genetik sebesar 0.353. Aksesi yang berasal dari daerah Kendari (K2) dan Konawe Selatan (P2) yang berada dalam satu kelompok dengan jarak ketidaksamaan genetik sebesar 0.222. Pada aksesi yang berasal dari daerah

Dokumen terkait