Karakteristik Sosial Ekonomi Subyek
Karakteristik sosial ekonomi subyek yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin tingkat pendidikan, tingkat pendapatan serta besar keluarga. Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan status gizi
Karakteristik Subyek Underweight Normal Overweight Total n % n % n % n % Jenis Kelamin Laki-Laki 4 66.7 15 55.5 27 39.1 46 45.1 Perempuan 2 33.3 12 44.5 42 60.9 56 54.9 Total 6 100 27 100 69 100 102 100 Usia Dewasa Awal 3 50 14 51.8 25 36.2 42 41.2 Dewasa madya 3 50 13 48.2 44 63.7 60 58.8 Total 6 100 27 100 69 100 102 100 Pendidikan Tamat SD/sederajat 0 0 2 7.4 5 7.2 7 6.9 Tamat SMP / sederajat 0 0 2 7.4 6 8.7 8 7.8 Tamat SMA/sederajat 3 50 16 59.3 42 60.9 58 56.9 Tamat PT 3 50 7 25.9 16 23.2 26 25.5 Total 6 100 27 100 69 100 102 100 Pendapatan < 5 juta 2 33.3 18 66.7 38 55.1 58 56.9 5 – 10 juta 3 50.0 7 25.9 26 37.7 36 35.3 11 – 20 juta 1 16.7 1 3.7 4 5.8 6 5.9 21 – 30 juta 0 0.0 1 3.7 0 0.0 1 1.0 31 – 40 juta 0 0.0 0 0.0 1 1.4 1 1.0 Total 6 100.0 27 100.0 69 100.0 102 100.0 Besar Keluarga Kecil 2 33.3 13 48.1 33 47.8 48 47.1 Sedang 4 66.7 11 40.7 31 44.9 46 45.1 Besar 0 0.0 3 11.1 5 7.2 8 7.8 Total 6 100.0 27 100.0 69 100.0 102 100.0
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas subyek didominasi oleh jenis kelamin perempuan (54.9%). Subyek perempuan memiliki kecenderungan berat badan yang berlebih (overweight) dibandingkan subyek laki-laki. Hal ini diduga karena sebagian besar subyek perempuan memiliki usia antara 41-65 tahun (dewasa madya) dan telah menikah (dapat dilihat pada lampiran 3). Hal ini sejalan dengan penelitian Janghorbani et al. (2007) yang menunjukkan bahwa prevalensi obesitas tertinggi ditemukan pada subjek yang telah menikah.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan riset kesehatan dasar yang dilakukan Balitbangkes (2013) yang menyatakan bahwa prevalensi obesitas pada perempuan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Usia subyek pada penelitian ini digolongkan menjadi dua kategori usia dewasa. Sebagian besar subyek (58.8%) berusia dewasa madya (41-65 tahun) dengan presentase terbesar berasal dari jenis kelamin perempuan (dapat dilihat pada lampiran 3). Sementara 41.2 % subyek berada pada kategori usia dewasa awal. Subyek yang berstatus gizi underweight dan normal memiliki presentase yang hampir sama antara usia dewasa awal maupun dewasa madya, tetapi subyek dengan status gizi overweight didominasi oleh kategori usia dewasa madya. Hal ini sejalan dengan penelitian Kantachuvessiri et al. (2005) yang menunjukkan adanya kecenderungan obesitas lebih tinggi pada usia 40-59 tahun yang diduga disebabkan oleh penurunan metabolisme, aktivitas fisik yang kurang serta frekuensi konsumsi pangan yang meningkat . Rata – rata usia subyek adalah 41.8 ± 7.4 dengan usia termuda 19 dan usia tertua 61 tahun. Menurut Ramos & Olden (2008), pertambahan usia akan meningkatkan risiko sindrom metabolik.
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari lamanya pendidikan formal yang pernah ditempuh. Berdasarkan Tabel 4 dan Lampiran 3 terlihat bahwa sebagian besar subyek baik laki-laki dan perempuan menempuh pendidikan hingga tamat SMA/sederajat (59.8%) dan sisanya menempuh pendidikan hingga tamat perguruan tinggi (25.5%), tamat SMP (7.8%) dan tamat SD (6.9%). Subyek dengan pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi cenderung memiliki status gizi normal dan overweight. Hal ini diduga karena semakin tinggi pendidikan identik dengan pendapatan yang tinggi dan akses pangan menjadi lebih mudah dijangkau dan lebih sering mengkonsumsi bahan pangan berenergi tinggi (WHO 2000). Hasil penelitian Aekplakorn et al. (2007) menyatakan bahwa pendidikan yang rendah akan menyebabkan kurangnya akses terhadap informasi kesehatan. Hal tersebut diduga berpengaruh pada pola makan dan gaya hidup seseorang.
Lebih dari separuh subyek memiliki pendapatan <5 juta rupiah per bulan (56.9%). Subyek dengan jumlah pendapatan tersebut cenderung memiliki status gizi overweight. Hal ini diduga karena pengetahuan gizi yang dimiliki subyek masih kurang meskipun pendidikan formal yang ditempuh subyek termasuk cukup baik. Menurut Khomsan (2000), pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku dan pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada status gizinya. Rata – rata pendapatan subyek sebesar Rp 8 235 294 ± Rp 5 479 351. Selain itu Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa pendapatan bukanlah faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas.
Besar keluarga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang tinggal di dalam satu rumah. Menurut Iskandar (2012) dalam Annisa (2014) jumlah keluarga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi pangan. Diketahui bahwa besar keluarga pada seluruh subyek berada pada kategori sedang (47.1%) yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Rata – rata besar keluarga sebesar 5 ± 1.4 orang. Subyek dengan besar keluarga kecil dan sedang memiliki kecenderungan berstatus gizi normal dan overweight. Hal ini diduga karena anggota keluarga yang sedikit mempengaruhi distribusi pangan dan varietas pangan yang dikonsumsi sebagaimana Adiningrum (2008) menyatakan bahwa banyaknya anggota keluarga akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk. Menurut Yunawan
(2014), wilayah perkotaan cenderung memiliki jumlah anggota keluarga yang kecil karena tingkat pendidikan relatif lebih tinggi sehingga banyak pengetahuan dan informasi yang dapat diperoleh mengenai pentingnya mengatur jumlah anak untuk kesejahteraan keluarga.
Status Gizi Subyek
Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status gizi seseorang dapat berubah dari waktu ke waktu akibat interaksi dari berbagai faktor (Riyadi 2006). Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi secara antropometri adalah perhitungan indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang pinggul (RLPP) dengan kategori menurut WHO (2008). Sebaran subyek berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran subyek berdasarkan imt dan rlpp
Karakteristik Subyek
Status Gizi
Underweight Normal Overweight Total
n % n % n % n % RLPP
Normal 4 66.7 14 51.9 15 21.7 33 32.4 Risiko 2 33.3 13 48.1 54 78.3 69 67.6 Total 6 100.0 27 100.0 69 100.0 102 100.0
Berdasarkan perhitungan IMT yang terlampir pada lampiran 4, secara umum subyek dalam penelitian ini memiliki status gizi obese I baik untuk subyek wanita (33.3%) maupun laki-laki (41.3%). Jumlah subyek yang berstatus gizi normal untuk jenis kelamin pria sebanyak 32.6 % dan perempuan sebanyak 23.3 %. Persentase terkecil dari perhitungan indeks massa tubuh pada jenis kelamin laki-laki adalah 6.5% untuk kategori obese II, sedangkan pada jenis kelamin perempuan sebesar 3.3 % untuk kategori kurus. Dapat dikatakan bahwa lebih dari separuh subyek (67.6%) berstatus gizi overweight atau gemuk. Hasil penelitian Braunschweig et al. (2005) menunjukkan bahwa berat badan berlebih merupakan faktor risiko terjadinya penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, kanker serta stroke. Genetik, faktor biologi dan faktor individu lain seperti penghentian merokok, jenis kelamin, dan umur saling berinteraksi mempengaruhi peningkatan berat badan (WHO 2000).
Pengukuran rasio lingkar pinggang dan lingkar pinggul (RLPP) merupakan salah satu cara menentukan status gizi dengan membandingkan ukuran lingkar pinggang dan pinggul. Pengukuran RLPP dapat menggambarkan seberapa besar proporsi lemak yang ada di daerah pinggang dan pinggul. Menurut penelitian Yunieswati (2014), Daerah pinggang dan pinggul merupakan tempat utama penyimpanan lemak tubuh sehingga sering dikategorikan tubuh manusia memiliki dua bentuk yaitu bentuk apel (penyimpanan lemak di bagian tengah perut) dan bentuk pir (penyimpanan lemak di sekitar pinggul). Dikatakan normal apabila RLPP berukuran tidak lebih dari 0.9 cm untuk jenis kelamin laki-laki dan 0.85 cm untuk jenis kelamin perempuan. Selebihnya dapat dikategorikan berisiko. Subyek laki-laki dengan kategori berisiko memiliki persentase lebih banyak dibandingkan kategori normal yaitu sebesar 69.6% (dapat dilihat pada lampiran
4). Sama hal nya dengan subyek perempuan yaitu sebesar 65%. Subyek dengan status gizi overweight cenderung memiliki RLPP yang tinggi dan termasuk kategori berisiko. Hasil ini sejalan dengan penelitian Alwachi et al. (2013) yang menunjukkan bahwa RLPP berhubungan signifikan dengan berat badan berlebih. Menurut WHO (2000), pengukuran indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat membedakan antara berat yang berhubungan dengan otot dan lemak. Pengukuran lingkar pinggang lebih akurat untuk mencerminkan obesitas sentral (Sonmez et al. 2003), sementara Menurut Klein et al. (2007), pengukuran lingkar perut menyediakan pengukuran distribusi lemak yang tidak dapat diukur dengan pengukuran IMT. De Koning et al. (2007) dan Khahrazy et al. (2010) menyatakan bahwa RLPP berhubungan signifikan dengan penyakit kardiovaskular.
Status Kesehatan
Beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu antara lain adalah status sosial ekonomi, status gizi serta konsumsi pangan (Lo et al. 2009). Status kesehatan pada penelitian ini diteliti melalui riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit terdahulu dan penyakit yang sedang diderita saat ini.
Tabel 6 Sebaran subyek berdasarkan status kesehatan dan status gizi
Status Kesehatan
Status Gizi
Underweight Normal Overweight Total
n % n % n % n % Berisiko 0 0.0 6 22.2 37 53.6 43 42.2 Tidak Berisiko 6 100.0 21 77.8 32 46.4 59 57.8 Total 6 100.0 27 100.0 69 100.0 102 100.0
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa lebih dari separuh subyek tidak berisiko dalam hal status kesehatan terutama subyek yang berstatus gizi
underweight dan normal baik untuk subyek dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (terlampir pada lampiran 6). Akan tetapi, subyek yang memiliki status gizi overweight cenderung berisiko status kesehatannya. Hal ini diduga akibat dari pola konsumsi subyek yang kurang baik sehingga mempengaruhi status gizinya yang pada akhirnya akan mempengaruhi status kesehatannya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Umardani (2011). Menurut Soekirman (2000), ketidakseimbangan makanan akan mengganggu fungsi tubuh yang berakibat negatif terhadap keadaan gizi dan kesehatan.
Kategori usia yang banyak berisiko status kesehatannya didominasi oleh dewasa madya (41-65 tahun). Pertambahan usia akan meningkatkan risiko sindrom metabolik (Ramos & Olden 2008). Subyek yang berpendidikan tinggi juga cenderung memiliki risiko dalam status kesehatannya. Hal ini diduga disebabkan karena pendidikan formal tidak dapat mencerminkan pengetahuan gizi dan perilaku kesehatan yang dimiliki subyek. Hasil penelitian yang didapat juga menunjukkan bahwa subyek yang memiliki pendapatan tinggi cenderung tidak berisiko dalam status kesehatannya yang diduga disebabkan oleh semakin mudahnya akses pelayanan dan informasi kesehatan yang dapat diperoleh seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan yang diteliti dalam penelitian ini meliputi skor keanekaragaman pangan dan tingkat kecukupan zat gizi makro dan mikro. Zat gizi makro meliputi : energi, protein, lemak dan karbohidrat sementara zat gizi mikro meliputi : kalsium, zat besi, vitamin A dan vitamin C.
Asupan & Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Menurut Sandjaja et al. (2009), kecukupan gizi merupakan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Hasil uji Kruskal Walis tidak menunjukkan adanya perbedaan antara tingkat kecukupan baik pada status gizi underweight, normal dan
overweight Sebaran subyek berdasarkan asupan, kecukupan dan tingkat kecukupan berdasarkan status gizi dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7 Asupan, kecukupan dan tingkat kecukupan subyek berdasarkan status gizi
Zat Gizi Status Gizi Rata - Rata P value
Underweight Normal Overweight
Energi Asupan (Kal) 2 736 ± 1 423 2 006 ± 656 2 060 ± 906 2 085 ± 890 Kecukupan (Kal) 2 500 ± 238 2 071 ± 351 2 317 ± 241.4 2 262 ± 298 Tk Kecukupan (%) 108 ± 51 98 ± 33 89 ± 37 93 ± 37 0.896 Protein Asupan (g) 76.5 ± 48.3 56.0 ± 26.5 52.6 ± 22.6 54.9 ± 25.9 Kecukupan (g) 61.7 ± 4.2 54.1 ± 6.2 60.0 ± 3.9 58.5 ± 5.3 Tk Kecukupan (%) 122.8 ± 76.5 102.3 ± 42.0 87.4 ± 36.4 93.5 ± 41.6 0.484 Lemak Asupan (g) 52.3 ± 30.8 49.4 ± 22.9 53.9 ± 41.8 52.6 ± 36.9 Kecukupan (g) 74.2 ± 9.9 58.5 ± 10.5 64.9 ± 6.8 63.8 ± 8.9 Tk Kecukupan (%) 67.5 ± 12.8 72.8 ± 16.5 66.2 ± 13.5 68.1 ± 14.5 0.444 Karbohidrat Asupan (g) 875.9 ± 1 262.9 621.5 ± 441.0 594.5 ± 802.5 618.2 ± 752.9 Kecukupan (g) 364.8 ± 38.8 297.6 ± 74.4 347.0 ± 36.7 335.0 ± 54.1 Tk Kecukupan (%) 294.4 ± 45.8 300.6 ± 111.2 297.0 ± 86.2 297.8 ± 91.1 0.511 Kalsium Asupan (mg) 4 735 ± 6662.0 2 269.7 ± 3553.1 1398.1 ± 2849.9 1825.1 ± 3405.3 Kecukupan (mg) 1 033.3 ± 51.6 897.9 ± 91.2 1 002.9 ± 16.9 976.9 ± 69.2 Tk Kecukupan (%) 439.4 ± 602.8 249.5 ± 388.7 139.7 ± 285.0 186.4 ± 343.4 0.212
Tabel 7 Asupan kecukupan dan tingkat kecukupan subyek berdasarkan status gizi
(lanjutan).
Zat Gizi Status Gizi Rata - Rata P value
Underweight Normal Overweight
Besi Asupan (mg) 20.6 ± 19.1 14.0 ± 5.9 17.4 ± 12.5 16.7 ± 11.6 Kecukupan (mg) 17.3 ± 6.7 15.0 ± 6.0 20.5 ± 6.5 18.9 ± 6.8 Tk Kecukupan (%) 144.7 ± 155.6 103.2 ± 52.7 94.9 ± 76.4 100.0 ± 77.4 0.726 Vitamin A Asupan (RE) 268.2 ± 248.8 445.0 ± 612.6 291.8 ± 300.2 331.0 ± 406.4 Kecukupan (RE) 566.7 ± 51.6 486.7 ± 64.7 537.7 ± 48.8 525.9 ± 58.5 Tk Kecukupan (%) 47.8 ± 43.8 94.5 ± 131.5 54.3 ± 53.6 64.5 ± 82.5 0.284 Vitamin C Asupan (mg) 124.9 ± 231.9 83.9 ± 129.7 64.2 ± 88.8 73.0 ± 112.0 Kecukupan (mg) 85.0 ± 7.7 73.3 ± 9.6 80.7 ± 7.3 79.0 ± 8.7 Tk Kecukupan (%) 161.8 ± 310.6 111.0 ± 166.0 79.5 ± 115.4 92.7 ± 146.0 0.599 Asupan Energi
Selama hari kerja asupan energi subyek cenderung lebih besar dibandingkan hari libur (dapat dilihat pada lampiran 6). Hal ini sejalan dengan penelitian di Canada (n= 34.402) yang dilakukan oleh Yang et al. (2014). Tingkat kecukupan energi mayoritas subyek berada pada kategori defisit berat baik pada hari libur (29,4%) maupun pada hari kerja (34,3%) dengan rata-rata tingkat kecukupan hari libur sebesar 90,8 % dan hari kerja sebesar 93,2% (dapat dilihat pada lampiran 5).
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi pada subyek dengan status gizi underweight lebih tinggi dibandingkan subyek dengan status gizi normal dan overweight. Rata-rata asupan energi pada subyek
underweight sebesar 2 736 ± 1 423 Kal sementara rata-rata asupan pada subyek
overweight sebesar 2 060 ± 906 sehingga tingkat kecukupan energi subyek
underweight pun menjadi lebih besar dibandingkan subyek overweight. Hal ini diduga karena subyek overweight sudah menyadari bahwa dirinya mengalami berat badan berlebih sehingga lebih menjaga pola makan agar tidak terjadi kenaikan berat badan lebih lanjut. Menurut Gibney et al. (2008), seseorang yang kelebihan gizi cenderung mengurangi asupan energi dan zat gizi lain dari makanan sehingga asupan energi dan zat gizi lain saat ini berbeda dengan saat sebelum terjadi kelebihan gizi akibat perubahan pola diet. Diketahui dari Tabel 8, subyek dengan status gizi overweight mayoritas tingkat kecukupan energinya berada pada kategori defisit berat dan subyek underweight cenderung berlebih dalam tingkat kecukupannya. Sementara subyek dengan status gizi normal cenderung memiliki tingkat kecukupan energi yang masih dalam kategori normal.
Tabel 8 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi
Tingkat Kecukupan Energi
Status Gizi
Underweight Normal Overweight
n % n % n % Defisit tingkat berat (<70% AKG) 2 33.3 5 18.5 24 34.8 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 1 16.7 1 3.7 6 8.7 Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 0 0.0 5 18.5 10 14.5 Normal (90-119% AKG) 0 0.0 10 37.0 18 26.1 Lebih (≥ 120% AKG) 3 50.0 6 22.2 11 15.9 Total 6 100.0 27 100.0 69 100
Asupan Protein
Tingkat kecukupan protein subyek berada pada kategori defisit berat baik pada hari kerja maupun libur dengan rata-rata tingkat kecukupan protein sebesar 93,7 % pada hari kerja dan 93,0 % pada hari libur (dapat dilihat pada lampiran 7). Rata-rata asupan protein pada hari kerja menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan hari libur (dapat dilihat pada Lampiran 5) sehingga tingkat kecukupan protein subyek pada hari kerja cenderung lebih besar dibandingkan hari libur.
Tabel 9 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan protein dan status gizi
Tingkat Kecukupan Protein
Status Gizi
Underweight Normal Overweight
n % n % N % Defisit tingkat berat (<70% AKG) 1 16.7 6 22.2 26 37.7 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 0 0.0 4 14.8 4 5.8 Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 1 16.7 1 3.7 10 14.5 Normal (90-119% AKG) 2 33.3 9 33.3 18 26.1 Lebih (≥ 120% AKG) 2 33.3 7 25.9 11 15.9 Total 6 100.0 27 100.0 69 100
Berdasarkan Tabel 9, lebih dari separuh subyek berada pada kategori defisit pada tingkat kecukupan protein, terutama untuk kategori defisit berat. Kategori defisit berat, sedang dan ringan didominasi oleh subyek dengan status gizi overweight. Diduga subyek yang overweight lebih menjaga pola konsumsi pangannya dengan cara mengurangi asupan pangan sumber protein. Tingkat kecukupan protein kategori normal dan lebih didominasi oleh subyek berstatus gizi normal dan underweight. Faktor kesalahan dalam pengisian ukuran rumah tangga atau berat bahan pangan dalam pelaksanaan food record juga diduga menjadi salah satu penyebab kecukupan protein yang rendah karena ukuran berat bahan pangan yang dilaporkan cenderung lebih sedikit (underestimate intakes).
Asupan Lemak
Tingkat kecukupan lemak pada subyek tergolong defisit pada hari kerja (48%) dan hari libur (51%) (dapat dilihat pada lampiran 8). Rata-rata kontribusi lemak terhadap energi pada hari kerja sebesar 21,9% dan hari libur sebesar 21,1%
(dapat dilihat pada lampiran 5). Asupan dan tingkat kecukupan lemak cenderung lebih besar pada hari kerja dibandingkan pada hari libur. Asupan lemak tertinggi diperoleh dari sumber pangan yang berasal dari restoran, makanan kaki lima dan makanan cepat saji yaitu sebesar 25.7 g/kap/hari (Andarwulan et al. 2014). Hal ini diduga karena hampir seluruh subyek lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah khususnya untuk bekerja sehingga perolehan makanan didapatkan dengan cara membeli di tempat makan baik di restoran, kaki lima maupun restoran cepat saji.
Berdasarkan tabel 10, lebih dari separuh subyek masih defisit tingkat kecukupan lemak. Presentase terbesar ditunjukkan oleh subyek overweight dengan kategori defisit berat yaitu sebesar 62.3%. Hal tersebut diduga akibat pengaturan pola makan yang dilakukan subyek overweight dengan membatasi konsumsi pangan sumber lemak. Menurut Andarwulan et al. (2014), rata- rata asupan lemak total pada subyek sebesar 52.8 g/kap/hari. Rata-rata tersebut masih berada dalam batas yang dianjurkan oleh Permenkes no. 30 tahun 2013 yaitu <67 g/kap/hari. Menurut Yunieswati (2014), defisiensi lemak dalam tubuh akan mengurangi ketersediaan energi dan mengakibatkan terjadinya katabolisme protein. Konsumsi lemak perlu dibatasi karena makanan berlemak dalam jumlah yang tidak dikontrol dapat menyebabkan obesitas dan menjadi faktor risiko terjadinya penyakit degeneratif (Sari dan Reni 2008).
Tabel 10 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan lemak dan status gizi
Tingkat Kecukupan Lemak
Status Gizi
Underweight Normal Overweight
n % n % n % Defisit tingkat berat (<70% AKG) 4 66.7 12 44.4 43 62.3 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 1 16.7 4 14.8 15 21.7 Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 1 16.7 7 25.9 7 10.2 Normal (90-119% AKG) 0 0.0 4 14.8 4 5.8 Lebih (≥ 120% AKG) 0 0.0 0 0.0 0 0
Total 6 100.0 27 100.0 69 100
Asupan Karbohidrat
Selama hari kerja dan hari libur, asupan karbohidrat pada subyek umunya berlebih (dapat dilihat pada lampiran 5). Rata – rata kontribusi karbohidrat terhadap energi pada subyek baik di hari kerja maupun hari libur memiliki presentase lebih dari 100% (117.6 ± 199.2 g) bila dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (2013) dimana anjuran kontribusi karbohidrat yang baik jika berada dibawah 60% dari angka kecukupan energi sehingga seluruh subyek memiliki tingkat kecukupan karbohidrat dengan kategori berlebih. Hal ini diduga akibat konsumsi pangan sumber karbohidrat yang cukup tinggi pada subyek seperti golongan pangan serealia serta golongan gula dan pemanis termasuk jenis pangan cake, pastry, minuman manis dan produk bakery lainnya (dapat dilihat pada lampiran 1).
Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa seluruh subyek berlebih dalam hal tingkat kecukupan karbohidrat. Konsumsi gula yang cukup tinggi diduga menjadi penyebab berlebihnya asupan karbohidrat pada subyek. Menurut
Andarwulan et al. (2014), kontribusi pangan terhadap asupan gula terbesar berasal dari minuman kemasan yang cukup tinggi dikonsumsi subyek. Tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat dapat menjadi salah satu faktor terjadinya peningkatan trigliserida dimana hal tersebut meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (Murray et al. 2003).
Tabel 11 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat
Tingkat Kecukupan Karbohidrat
Status Gizi
Underweight Normal Overweight
n % n % n % Defisit tingkat berat (<70% AKG) 0 0 0 0.0 0 0 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 0 0 0 0.0 0 0 Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 0 0 0 0.0 0 0 Normal (90-119% AKG) 0 0 0 0.0 0 0 Lebih (≥ 120% AKG) 6 100 27 100.0 69 100 Total 6 100 27 100.0 69 100
Asupan Kalsium
Sebagian besar subyek mengalami defisiensi kalsium yang dapat dilihat tingkat kecukupannya pada Tabel 12. Lebih dari separuh subyek masih mengalami defisiensi kalsium. Hal ini diduga karena subyek kurang mengkonsumsi pangan sumber kalsium. Golongan pangan susu dan hasil olahannya identik dengan pangan tinggi kalsium.
Tabel 12 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan kalsium dan status gizi
Tingkat Kecukupan Kalsium
Status Gizi
Underweight Normal Overweight
n % n % n % Kurang (<77% AKG) 2 33.3 17 63.0 49 71.1 Cukup (≥ 77% AKG) 4 66.7 10 37.0 20 28.9 Total 6 100.0 27 100.0 69 100
Subyek dengan status gizi overweight mengkonsumsi golongan susu sebanyak 103.1 ± 78.1 gram per hari sementara subyek underweight
mengkonsumsi golongan susu sebanyak 235 ± 30.4. gram per hari (dapat dilihat pada lampiran 14) sehingga kecukupan kalsium pada subyek overweight
umumnya kurang. Rata-rata konsumsi gram per hari untuk golongan susu dan hasil olahannya 108,7 ± 95,8 pada hari kerja dan 96,6 ± 66,0 pada hari libur dimana jumlah tersebut masih tergolong kurang.
Asupan Besi
Mayoritas tingkat kecukupan zat besi pada subyek baik di hari kerja dan hari libur masih tergolong kurang. Konsumsi pangan hewani pada subyek sudah tergolong baik dengan rata-rata asupan sebesar 117,5 ± 108,4 di hari kerja dan 121,7 ± 118,3 di hari libur (dapat dilihat pada lampiran 1) akan tetapi asupan vitamin C pada subyek masih sangat kurang dimana menurut Gibson (2014)
penyerapan zat besi akan optimal bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan sumber vitamin C. Selain itu konsumsi teh yang tinggi pada subyek diduga menyebabkan cadangan besi dalam tubuh berkurang. Teh mengandung tanin dimana zat tersebut memiliki pengaruh besar dalam menghambat penyerapan zat besi (Beard et al. 2007).
Subyek dengan status gizi overweight umumnya memiliki tingkat kecukupan zat besi yang kurang. Hal ini diduga karena konsumsi daging yang tinggi terdapat pada subyek underweight yaitu rata-rata sebesar 147.7 ± 115.9 g/hari (dapat dilihat pada lampiran 14). Sementara subyek overweight hanya mengkonsumsi daging dengan rata-rata sebesar 118.8 ± 122.2 g/hari.
Tabel 13 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan besi dan status gizi
Tingkat Kecukupan Zat Besi
Status Gizi
Underweight Normal Overweight
n % n % n % Kurang (<77% AKG) 4 66.7 11 40.7 38 55.1 Cukup (≥ 77% AKG) 2 33.3 16 59.3 31 44.9 Total 6 100.0 27 100.0 69 100
Asupan Vitamin A
Rata-rata asupan vitamin A pada subyek sebesar 64,5 ± 82,5. Mayoritas subyek defisit dalam tingkat kecukupan vitamin A (73%). Hal ini diduga akibat subyek kurang mengkonsumsi pangan hewani dan pangan sumber vitamin A. Konsumsi sayuran pada subyek masih sangat kurang dengan rata-rata di hari kerja sebesar 85,7 ± 83,8 g per hari dan 99,2 ± 96,4 g per hari di hari libur (dapat dilihat pada lampiran 1) dimana menurut Pedoman Gizi Seimbang (2013) anjuran konsumsi sayuran sebesar 200 g per hari pada usia dewasa.
Daging dan olahannya merupakan salah satu kelompok pangan yang cukup kaya akan kandungan vitamin A. Subyek dengan status gizi overweight
umumnya memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang kurang. Hal ini diduga karena konsumsi daging yang tinggi terdapat pada subyek underweight yaitu rata-rata sebesar 147.7 ± 115.9 g/hari (dapat dilihat pada lampiran 14). Sementara subyek overweight hanya mengkonsumsi daging dengan rata-rata sebesar 118.8 ± 122.2 g/hari.
Tabel 14 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin a dan status gizi
Tingkat Kecukupan Vitamin A
Status Gizi
Underweight Normal Overweight
n % n % n % Kurang (<77% AKG) 4 66.7 17 63.0 52 75.4 Cukup (≥ 77% AKG) 2 33.3 10 37.0 17 24.6 Total 6 100.0 27 100.0 69 100
Asupan Vitamin C
Mayoritas subyek defisit dalam tingkat kecukupan vitamin C. Hal ini diduga karena subyek kurang mengkonsumsi bahan pangan sumber vitamin C
salah satunya adalah buah-buahan. Rata-rata asupan buah-buahan subyek hanya sebesar 142,3 ± 110,6 g per hari dimana menurut Pedoman Gizi Seimbang (2013) anjuran konsumsi buah pada dewasa sebesar 200 gram per hari sehingga lebih dari separuh subyek cenderung kurang dalam hal tingkat kecukupan vitamin C baik untuk subyek normal, underweight dan overweight. Faktor lingkungan juga mempengaruhi pemilihan jenis pangan dan kebiasaan konsumsi (Lachat 2009). Wilayah perkotaan identik dengan konsumsi pangan hewani tinggi dan konsumsi buah dan sayur yang rendah.
Tabel 15 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin c dan status gizi
Tingkat Kecukupan Vitamin C
Status Gizi
Underweight Normal Overweight
n % n % n % Kurang (<77% AKG) 4 66.7 14 51.9 48 69.6 Cukup (≥ 77% AKG) 2 33.3 13 48.1 21 30.4 Total 6 100.0 27 100.0 69 100
Skor Keanekaragaman Pangan (Dietary Diversity Score)
Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2006), konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan. Data konsumsi pangan pada penelitian ini diperoleh melalui metode food record selama 2 x 24 jam (1 hari kerja dan 1 hari libur).
Keragaman konsumsi pangan diukur dengan menggunakan metode skor keanekaragaman pangan pada tingkat individu atau Individu Dietary Diversity Score (IDDS). Bahan makanan yang dikonsumsi dikelompokkan dalam 12 kelompok pangan sesuai dengan anjuran FAO (2011) yang terdiri dari : serealia, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, daging dan olahannya, telur, ikan dan olahan laut, kacang-kacangan, susu dan olahannya, minyak dan lemak, gula dan pemanis, serta lain-lain. Sebaran subyek berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi subyek dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Kelompok pangan yang dikonsumsi subyek
Kelompok Pangan Hari Libur Hari Kerja n % n % Serealia 102 100 100 98.0 Umbi-umbian 20 19.6 13 12.7 Sayur-sayuran 74 72.5 74 72.5 Buah-buahan 55 53.9 47 46.0 Daging dan Olahannya 64 62.7 54 52.9
Telur 31 30.4 30 29.4
Ikan dan Hasil Laut Lainnya 36 35.3 33 32.4 Kacang-kacangan 42 41.1 54 52.9 Susu dan Olahannya 14 13.7 11 10.8 Minyak dan Lemak 72 70.6 83 81.4 Gula dan Pemanis 48 47.0 42 41.2 Lain-lain 77 75.5 77 75.5
Kelompok pangan yang paling banyak dikonsumsi seluruh subyek baik