• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Konsumsi Pangan dan Hubungannya dengan Status Gizi pada Orang Dewasa di Perkotaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman Konsumsi Pangan dan Hubungannya dengan Status Gizi pada Orang Dewasa di Perkotaan"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN HUBUNGANNYA

DENGAN STATUS GIZI PADA ORANG DEWASA

DI PERKOTAAN

ANNISA PUTRI GAZALI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman Konsumsi Pangan dan Hubungannya dengan Status Gizi pada Orang Dewasa di Perkotaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

Annisa Putri Gazali

(4)
(5)

ABSTRAK

ANNISA PUTRI GAZALI. Keragaman Konsumsi Pangan dan Hubungannya dengan Status Gizi pada Orang Dewasa di Perkotaan. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman konsumsi pangan serta hubungannya dengan status gizi pada orang dewasa di perkotaan khususnya DKI Jakarta. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Subyek dalam penelitian ini adalah usia dewasa yang berjumlah 102 orang. Data yang dikumpulkan di antaranya adalah karakteristik sosial ekonomi (usia,pendidikan,pendapatan, dan besar keluarga), status gizi (indeks massa tubuh dan rasio lingkar pinggang panggul), konsumsi pangan (skor keanekaragaman pangan dan asupan zat gizi) serta status kesehatan. Pengukuran keragaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode Dietary Diversity Score menunjukkan bahwa subyek memiliki keragaman pangan yang cukup baik. Hasil uji antar variabel dengan menggunakan korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan nyata yang positif antara variabel indeks massa tubuh dengan status kesehatan dan tingkat pendidikan dengan tingkat kecukupan zat besi (p<0.05), sementara variabel lainnya tidak berhubungan nyata.

Kata kunci: karakteristik sosial ekonomi, skor keanekaragaman pangan, status kesehatan, status gizi

ABSTRACT

ANNISA PUTRI GAZALI. Diversity of Food Consumption and The Association with Nutritional Status Among Adults In Urban Area. Supervised by SITI MADANIJAH

This study aimed to analyze the diversity of food consumption and the association with nutritional status among adults in urban area especially in DKI Jakarta. This study using a cross sectional design and secondary data. Subject were 102 adults. The data collected were socio economic characteristic (age, education, family size, nutritional status (BMI and waist hip ratio), food consumption (nutrition intake and dietary diversity score) and healthy status. Diversity of food consumption can measured by Dietary Diversity Score methods and the results showed that most of subject has a good food diversity. Spearman correlation test showed that there was a positive relationship (p<0.05) between BMI with healthy status and education with iron consumption. Other variables observed were not significantly related (p>0.05).

(6)
(7)

KERAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN HUBUNGANNYA

DENGAN STATUS GIZI PADA ORANG DEWASA DI

PERKOTAAN

ANNISA PUTRI GAZALI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Keragaman Konsumsi Pangan dan Hubungannya dengan Status Gizi pada Orang Dewasa di Perkotaan

Nama : Annisa Putri Gazali

NIM : I14124048

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Siti Madanijah MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul “Keragaman Konsumsi Pangan dan Hubungannya dengan Status Gizi pada Orang Dewasa di Perkotaan”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah MS selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah banyak memberikan saran dan dukungan dalam penulisan karya ilmiah ini serta pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan pengolahan data penelitian dengan baik. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha MS selaku dosen pemandu seminar sekaligus dosen penguji skripsi yang telah memberikan masukan, arahan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

Ungkapan terima kasih kepada kedua orangtua tercinta (Alm. M. Yusuf Al Gazali dan Raden Dewi Savitri), adik-adik tersayang (Zoraya Putri Gazali dan Hisana Putri Gazali), serta seluruh keluarga besar atas kasih sayang, doa, nasihat, dukungan, semangat, dan pengertiannya sehingga penulis dapat terus berjuang dalam menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin. Bayu Samudra yang selalu memberikan dukungan penuh serta semangat dan motivasi kepada penulis. Seluruh anggota Chili (Nadia Kholila, Bryan Dwitantika, Nanda Hardian, Bayu Samudra, Rahdian Padma Kusuma dan Hendri Pansito Panjaitan) yang telah memberikan kasih sayang, bantuan dan motivasinya. Rekan dan teman seperjuangan mahasiswa alih jenis Gizi Masyarakat angkatan 6 yang tidak dapat disebutkan satu per satu serta seluruh civitas academica Departemen Gizi Masyarakat 48 yang penuh semangat dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas doa dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

PRAKATA xi

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Tujuan Umum 2

Tujuan Khusus 2

KERANGKA PEMIKIRAN 2

METODE 3

Desain, Tempat dan Waktu 3

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 4

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 4

Pengolahan dan Analisis Data 5

Definisi Operasional 9

HASIL & PEMBAHASAN 10

Karakteristik Sosial Ekonomi Subyek 10

Status Gizi Subyek 12

Status Kesehatan 13

Konsumsi Pangan 14

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Status Kesehatan 23

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Konsumsi Pangan 23

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi 23

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Status Kesehatan 23

Hubungan Status Gizi dengan Status Kesehatan 24

SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 25

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 4

2 Kelompok pangan untuk Dietary Diversity Score (DDS) 7

3 Pengkategorian jenis data 8

4 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan status gizi 10

5 Sebaran subyek berdasarkan imt dan rlpp 12

6 Sebaran subyek berdasarkan status kesehatan dan status gizi 13 7 Asupan, kecukupan dan tingkat kecukupan subyek berdasarkan status gizi 14 8 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi 16 9 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan protein dan status gizi 16 10 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan lemak dan status gizi 17

11 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat 18

12 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan kalsium dan status gizi 18 13 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan besi dan status gizi 19 14 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin a dan status gizi 19 15 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin c dan status gizi 20

16 Kelompok pangan yang dikonsumsi subyek 20

17 Sebaran subyek berdasarkan DDS di hari libur dan hari kerja 22

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik sosial ekonomi

dengan keragaan pola konsumsi pangan pada dewasa di perkotaan 3

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata Konsumsi Kelompok Pangan dalam gram per hari 30

2 Sebaran Subyek Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Jenis Kelamin 31

3 Sebaran Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Gizi 31

4 Sebaran Subyek Berdasarkan Status Kesehatan dan Karakteristik Sosial Ekonomi 32 5 Rata- Rata Asupan, Kecukupan dan Tingkat Kecukupan Subyek

pada Hari Libur dan Hari Kerja 32

6 Sebaran Subyek Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi 33

7 Sebaran Subyek Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein 33

8 Sebaran Subyek Berdasarkan Tingkat Kecukupan Lemak 33

9 Sebaran Subyek Berdasarkan Tingkat Kecukupan Karbohidrat 33

10 Sebaran Subyek Berdasarkan Tingkat Kecukupan Kalsium 34

11 Sebaran Subyek Berdasarkan Tingkat Kecukupan Besi 34

12 Sebaran Subyek Berdasarkan Tingkat Kecukupan Vitamin A 34

13 Sebaran Subyek Berdasarkan Tingkat Kecukupan Vitamin C 34

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, terutama derajat kesehatan masyarakat (Kemenkes 2004). Pada usia dewasa tubuh tidak hanya dalam keadaan puncak dari kemampuan fisik tetapi juga mulai mengalami penurunan fungsi. Penyakit degeneratif juga mulai muncul pada masa ini. Menurut Shahbazian et al. (2013), pertambahan usia akan meningkatkan risiko sindrom metabolik. Penyakit kronis atau penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan ada indikasi peningkatan kejadian berbagai PTM di Indonesia.

Menurut Balitbangkes (2013), berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, 2010, dan 2013 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi untuk PTM yang sangat bervariasi di berbagai provinsi. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi PTM terutama hipertensi yang mengalami peningkatan dari 7.6 % di tahun 2007 menjadi 9.5 % di tahun 2013. Begitu pula dengan prevalensi penyakit stroke dan diabetes mellitus. Pola konsumsi pangan merupakan salah satu penyebab masalah tersebut.

Pola konsumsi yang tidak baik akan menyebabkan munculnya masalah gizi karena faktor konsumsi makanan yang tidak seimbang. Selain itu, Riyadi (2001) menyatakan konsumsi pangan dan status kesehatan secara langsung mempengaruhi status gizi dimana tingginya risiko penyakit degeneratif dimiliki oleh seseorang yang berstatus gizi di atas ukuran normal. Status gizi dapat mempengaruhi status kesehatan, tetapi status kesehatan juga dapat mempengaruhi status gizi seseorang (Umardani 2011).

Berdasarkan penelitian Sukma (2014), beragamnya pangan yang dikonsumsi sangat penting untuk diukur agar dapat menilai kualitas konsumsi pangan. Keragaman pangan dapat ditentukan dari item pangan yang dikonsumsi atau penjumlahan kelompok pangan yang dikonsumsi. Dietary Diversity Score

(DDS) atau skor keanekaragaman pangan merupakan salah satu cara pengukuran kualitas konsumsi pangan. Menurut FAO (2008), metode DDS merupakan metode sederhana yang mudah dilakukan namun sangat efektif untuk mengukur perbedaan keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah tangga maupun individu.

Pendapatan dan pendidikan yang dapat digolongkan sebagai karakteristik sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas konsumsi pangan seseorang. Membaiknya tingkat ekonomi seseorang akan mempengaruhi gaya hidup seseorang, termasuk pemilihan makanan (Cahyono 2008). Oleh karena itu dengan tingginya prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia serta pola konsumsi pangan masyarakat yang masih tergolong kurang baik dari berbagai keadaan sosial ekonomi di perkotaan, penelitian ini penting dilakukan sebagai sarana mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai keragaman konsumsi pangan serta hubungannya dengan status gizi khususnya pada orang dewasa di daerah perkotaan.

(16)

Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaman konsumsi pangan dan hubungannya dengan status gizi pada orang dewasa di perkotaan.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1) Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi (pendidikan, pendapatan dan besar keluarga), status gizi (IMT dan RLPP), status kesehatan subyek dan konsumsi pangan (tingkat kecukupan zat gizi makro dan mikro serta skor keanekaragaman pangan) subyek berdasarkan Food Record.

2) Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dengan konsumsi pangan dan status kesehatan subyek.

3) Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dengan status gizi subyek. 4) Menganalisis hubungan antara status kesehatan dengan status gizi subyek 5) Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dengan status kesehatan

subyek.

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik sosial ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang maka akan mempengaruhi gaya hidupnya. Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti disini adalah pendapatan dan pendidikan. Pendapatan mempunyai peranan yang besar terhadap masalah gizi dan pola konsumsi individu dan merupakan faktor langsung yang mempengaruhi baik atau buruknya keadaan gizi seseorang (Berg 1986). Pendidikan juga memiliki peranan yang penting untuk menentukan kualitas konsumsi pangan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka dapat diasumsikan kemampuan dalam mengakses dan menyerap informasi mengenai pemenuhan kebutuhan gizinya akan semakin baik (Isnani 2011).

(17)

Pendapatan dan pendidikan merupakan faktor penting dalam penyebab timbulnya masalah gizi (Hardinsyah 1985). Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap status kesehatan yang dimiliki subyek.

Status gizi menjadi penting karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik pada seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya. Status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya keberadaan penyakit. Umardani (2011) menyatakan bahwa status gizi dapat mempengaruhi status kesehatan, tetapi status kesehatan juga dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Kerangka pemikirian dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1 :

Keterangan:

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran keragaman konsumsi pangan dan hubungannya dengan status gizi pada orang dewasa di perkotaan.

METODE

Desain, Tempat dan Waktu

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder yaitu sebagian dari data peneilitian yang berjudul “Studi Konsumsi Pangan dan Asupan Gula, Garam dan Lemak” (Madanijah & Briawan 2014). Data penelitian tersebut diambil dari lokasi

Genetik Karakteristik Sosial Ekonomi :

 Usia

 Pendidikan

 Pendapatan

 Besar Keluarga

Konsumsi Pangan :

 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Makro dan Mikro

 Skor Keanekearagaman Pangan (Dietary Diversity

Score)

Status Gizi :

 Indeks Massa Tubuh (IMT)

 Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP)

(18)

penelitian yang bertempat di daerah Jakarta Selatan untuk menggambarkan karakteristik subyek dewasa di perkotaan. Pengolahan, analisis data serta penulisan skripsi dilakukan pada bulan Desember 2014 hingga April 2015.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Jumlah dan Pemilihan subjek dilakukan secara purposif dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik yaitu sosial ekonomi, tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan, dan jenis kelamin. Total subjek yang diambil minimal 50 orang untuk setiap jenis kelamin dengan kategori usia dewasa. Data karakteristik dikumpulkan melalui wawancara pada subyek oleh enumerator dengan menggunakan kuesioner terstruktur, sedangkan data konsumsi pangan dikumpulkan dengan menggunakan metode food record selama 2 hari.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner serta observasi lapangan selama 1 bulan. Data karakteristik subyek (usia, jenis kelamin, pendapatan, besar keluarga, pekerjaan dan pendidikan) dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner. Status kesehatan subyek berupa riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit sebelumnya serta penyakit yang sedang diderita dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner. Status gizi subyek (indeks massa tubuh dan rasio lingkar pinggang dan panggul) dikumpulkan melalui pengukuran secara langsung dengan menggunakan timbangan berat badan digital, mictrotoise serta meterline. Data konsumsi pangan subyek diukur melalui metode food record yang dilaksanakan selama 2x24 jam. Jenis dan cara pengumpulan data secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

(19)

Berat badan diukur menggunakan timbangan digital (kapasitas 150 kg dengan ketelitian 0.1 kg) dan pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise

(kapasitas 200 cm dengan ketelitian 0.1 cm). Lingkar pinggang diukur menggunakan meterline dengan merk Butterfly (kapasitas 200 cm dan ketelitian 0.1 cm).

Pengolahan dan Analisis Data

Data diolah baik secara manual maupun menggunakan program komputer

Microsoft Excel 2007 dan SPSS version 16.0 for windows. Tahap pengolahan data adalah entry, coding, cleaning, dan pengkategorian data.

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif (distribusi frekuensi, rata-rata, standar deviasi, dan persentase) digunakan untuk menggambarkan data karakteristik contoh (usia, pendapatan, pendidikan), status gizi (indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang panggul), serta status kesehatan. Analisis inferensia meliputi uji hubungan antar variabel. Uji hubungan menggunakan uji korelasi Spearman, antara lain untuk: 1) Korelasi Spearman untuk menguji hubungan antara variabel karakteristik subyek dengan status gizi dan status kesehatan subyek, 2) Korelasi Spearman untuk menguji hubungan antara status gizi dengan status status kesehatan, 3) Korelasi Spearman menguji hubungan antara variabel pola konsumsi pangan dengan karakteristik sosial ekonomi, status gizi dan status kesehatan subyek.

Status kesehatan subyek dilihat berdasarkan riwayat penyakit yang pernah diderita serta riwayat penyakit keluarga. Riwayat penyakit yang diteliti dalam penelitian ini adalah penyakit degeneratif yaitu Diabetes Melitus (DM), hipertensi, dan jantung. Apabila subyek memiliki salah satu riwayat penyakit tersebut baik dari riwayat penyakit keluarga maupun pribadi maka dapat dikatakan subyek tersebut memiliki status kesehatan dengan kategori berisiko.

Data konsumsi pangan yang dikumpulkan berupa jenis dan jumlah pangan kemudian data tersebut dikonversikan untuk menentukan jumlah zat gizi yang dikonsumsi subyek yatu energi, protein, lemak,dan karbohidrat, kalsium, zat besi, vitamin A dan vitamin C. Data konsumsi pangan dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan:

Kgij = Kandungan zat gizi –i dalam bahan makanan –j Bj = Berat makanan –j yang dikonsumsi

Gij = Kandungan zat gizi –i dalam 100 gram BDD bahan makanan –j BDDj = Bagian yang dapat dimakan dalam bahan makanan –j

Penentukan Angka Kecukupan Gizi (AKG) subyek digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan:

AKGI = Angka kecukupan gizi subyek

Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

(20)

Ba = Berat badan aktual sehat (kg) Bs = Berat badan standar (kg)

AKG = Angka kecukupan energi dan protein yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG 2013).

Subyek dengan status gizi abnormal (underweight, overweight dan obese) perhitungan tidak dikoreksi dengan berat badan aktual sehat melainkan hanya berdasarkan berat badan acuan sehingga tingkat kecukupan gizinya sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Sementara untuk subyek dengan status gizi normal, perhitungan tingkat kecukupan gizinya disesuaikan dengan berat badan aktual. Hal ini dimaksudkan agar contoh dengan status gizi abnormal (underweight, overweight dan obese) dapat mencapai berat badan ideal serta kecukupan berbagai zat gizi yang optimal.

Tingkat kecukupan lemak dan karbohidrat dihitung dengan membandingkan terhadap kecukupan energi. Tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan menggunakan rumus.

Keterangan:

TKG = Tingkat kecukupan zat gizi K = Konsumsi zat gizi

AKGI = Angka kecukupan gizi contoh

Konsumsi energi dan zat gizi contoh diperoleh dengan menggunakan metode food record 2x24 jam. Tingkat kecukupan zat gizi dibedakan menjadi beberapa kategori yang berbeda untuk setiap zat gizi nya yang dapat dilihat pada tabel 3.

Pengukuran status gizi pada usia dewasa menggunakan IMT ( Indeks massa tubuh) yang terbagi dalam 5 kategori menurut WHO (2000) yaitu kurus, normal, overweight, obese I dan obese II. Namun, setelah dihitung dan dikategorikan dalam 5 kategori tersebut, status gizi overweight, obese I dan obese II

dikategorikan dalam 1 kategori yaitu status gizi gemuk (overweight) sehingga diperoleh 3 kategori status gizi yaitu : kurus (underweight), normal dan gemuk (overweight). Perhitungan indeks massa tubuh dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Pengukuran rasio lingkar pinggang panggul memberikan gambaran sederhana terhadap kegemukan sentral (Wells & Fewtrell 2006). Menurut WHO (2008) sebagian besar orang Asia menggunakan nilai RLPP ≥ 0.90 cm pada pria dan ≥0.85 cm pada wanita untuk menujukkan adanya risiko obesitas dan kesehatan. Subyek dikategorikan berisiko apabila memiliki nilai RLPP melebihi nilai di atas.

Tingkat keberagaman konsumsi pangan dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode antara lain dengan menggunakan Individual Dietary Diversity Instrument (IDDI) melalui Individual Dietary Diversity Score (IDDS) atau skor keberagaman konsumsi pangan pada tingkat individu. Penilaian terhadap konsumsi pangan didasarkan atas skor yang diberikan terhadap setiap kelompok

(21)

bahan pangan yang dikonsumsi. Keberagaman jenis konsumsi pangan didasarkan pada 12 kelompok pangan menurut FAO (2011) yang dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2 Kelompok pangan untuk Dietary Diversity Score (DDS)

No Kelompok Pangan Bahan Makanan 1 Serealia

Beras, jagung/maizena, gandum/terigu, atau olahan dari bahan tersebut (roti, mie, bubur atau produk dari tepungtepungan)

2 Umbi - Umbian Singkong, kentang, ubi, talas, 3 Sayur-Sayuran

Buncis, brokoli, daun singkong, selada, sawi hijau, daun labu, bayam, kangkung, wortel, labu kuning, tomat

4 Buah-Buahan

mangga, pepaya, timun, terung, jamur, kacang panjang, apel, alpokat, pisang, durian, anggur, jambu biji, kelengkeng, pir, nanas, rambutan, belimbing, stroberi, semangka, tomat 5 Daging dan Olahannya

Daging sapi, daging domba, daging ayam, daging bebek, hati, ampela, paru, usus, babat.

6 Telur Telur ayam, telur bebek, telur puyuh 7 Ikan dan Makanan Laut Lainnya

Ikan basah atau ikan kering dan susu kedelai), produk kacang-kacangan dan biji-bijian (selai kacang)

9 Susu dan Olahannya Susu full cream, susu rendah lemak, susu skim, keju, ice cream, yoghurt

(22)

Tabel 3 Pengkategorian jenis data

Jenis Data Kelompok Acuan Usia

2. Wanita > 0,85 (Berisiko) WHO (2008)

Tingkat kecukupan energi dan protein

1. Defisit tingkat berat (<70% AKG) 2. Defisit tingkat sedang (70-79%

1. Rendah (< 3 kelompok pangan yang dikonsumsi)

2. Sedang (4-5 kelompok pangan yang dikonsumsi)

3. Tinggi (> 6 kelompok pangan yang dikonsumsi)

Kennedy et al.

(23)

Definisi Operasional

Antropometri adalah data yang meliputi berat badan, tinggi badan,usia dan ukuran lingkar pinggang dan panggul yang digunakan untuk menghitung status gizi.

Dietary Diversity Score (DDS) merupakan metode perhitungan konsumsi pangan

dimana semakin tinggi skor tersebut menandakan semakin tinggi pula keanekaragaman pangan yang dimiliki oleh subyek

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu pengukuran status gizi subyek yang dikategorikan menjadi 3 yaitu status gizi underweight, normal dan

overweight.

Besar keluarga merupakan jumlah semua orang yang tinggal dalam satu rumah dan menggunakan sumberdaya yang sama untuk memenuhi kebutuhannya

Karakteristik subyek adalah kondisi seseorang yang mempengaruhi pola konsumsi makan yang terdiri dari usia, pendidikan, pendapatan, jenis kelamin.

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh dewasa yang menjadi subyek penelitian yang diukur melalui food record 2 x 24 jam.

Rasio lingkar pinggang panggul adalah cara pengukuran status secara antropometri untuk indikasi adanya penyakit degeneratif atau tidak pada seseorang.

Sosial ekonomi adalah keadaan sosial ekonomi subyek meliputi pendidikan dan pendapatan subyek.

Tingkat kecukupan energi adalah perbandingan antar jumlah energi yang dikonsumsi subyek selama sehari terhadap energi berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) yang dikategorikan defisit berat (<70% kebutuhan), defisit sedang (70-79% kebutuhan), defisit ringan (80-89% kebutuhan), normal (90-119% kebutuhan) dan berlebih (>120% kebutuhan)

Tingkat kecukupan protein adalah perbandingan antar jumlah protein yang dikonsumsi subyek selama sehari terhadap protein berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) yang dikategorikan defisit berat (<70% kebutuhan), defisit sedang (70-79% kebutuhan), defisit ringan (80-89% kebutuhan), normal (90-119% kebutuhan) dan berlebih (>120% kebutuhan)

Tingkat kecukupan lemak adalah perbandingan antar jumlah lemak yang dikonsumsi subyek selama sehari terhadap lemak berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) yang dikategorikan defisit berat (<70% kebutuhan), defisit sedang (70-79% kebutuhan), defisit ringan (80-89% kebutuhan), normal (90-119% kebutuhan) dan berlebih (>120% kebutuhan)

Tingkat kecukupan karbohidrat adalah perbandingan antar jumlah karbohidrat yang dikonsumsi subyek selama sehari terhadap karbohidrat berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) yang dikategorikan defisit berat (<70% kebutuhan), defisit sedang (70-79% kebutuhan), defisit ringan (80-89% kebutuhan), normal (90-119% kebutuhan) dan berlebih (>120% kebutuhan)

(24)

HASIL & PEMBAHASAN

Karakteristik Sosial Ekonomi Subyek

Karakteristik sosial ekonomi subyek yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin tingkat pendidikan, tingkat pendapatan serta besar keluarga. Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan status gizi

Karakteristik Subyek Underweight Normal Overweight Total n % n % n % n % Jenis Kelamin

Laki-Laki 4 66.7 15 55.5 27 39.1 46 45.1 Perempuan 2 33.3 12 44.5 42 60.9 56 54.9 Total 6 100 27 100 69 100 102 100 Usia

Dewasa Awal 3 50 14 51.8 25 36.2 42 41.2 Dewasa madya 3 50 13 48.2 44 63.7 60 58.8 Total 6 100 27 100 69 100 102 100 Pendidikan

Tamat SD/sederajat 0 0 2 7.4 5 7.2 7 6.9 Tamat SMP / sederajat 0 0 2 7.4 6 8.7 8 7.8 Tamat SMA/sederajat 3 50 16 59.3 42 60.9 58 56.9 Tamat PT 3 50 7 25.9 16 23.2 26 25.5 Total 6 100 27 100 69 100 102 100 Pendapatan

< 5 juta 2 33.3 18 66.7 38 55.1 58 56.9 5 – 10 juta 3 50.0 7 25.9 26 37.7 36 35.3 11 – 20 juta 1 16.7 1 3.7 4 5.8 6 5.9 21 – 30 juta 0 0.0 1 3.7 0 0.0 1 1.0 31 – 40 juta 0 0.0 0 0.0 1 1.4 1 1.0 Total 6 100.0 27 100.0 69 100.0 102 100.0 Besar Keluarga

Kecil 2 33.3 13 48.1 33 47.8 48 47.1 Sedang 4 66.7 11 40.7 31 44.9 46 45.1 Besar 0 0.0 3 11.1 5 7.2 8 7.8 Total 6 100.0 27 100.0 69 100.0 102 100.0

(25)

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan riset kesehatan dasar yang dilakukan Balitbangkes (2013) yang menyatakan bahwa prevalensi obesitas pada perempuan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Usia subyek pada penelitian ini digolongkan menjadi dua kategori usia dewasa. Sebagian besar subyek (58.8%) berusia dewasa madya (41-65 tahun) dengan presentase terbesar berasal dari jenis kelamin perempuan (dapat dilihat pada lampiran 3). Sementara 41.2 % subyek berada pada kategori usia dewasa awal. Subyek yang berstatus gizi underweight dan normal memiliki presentase yang hampir sama antara usia dewasa awal maupun dewasa madya, tetapi subyek dengan status gizi overweight didominasi oleh kategori usia dewasa madya. Hal ini sejalan dengan penelitian Kantachuvessiri et al. (2005) yang menunjukkan adanya kecenderungan obesitas lebih tinggi pada usia 40-59 tahun yang diduga disebabkan oleh penurunan metabolisme, aktivitas fisik yang kurang serta frekuensi konsumsi pangan yang meningkat . Rata – rata usia subyek adalah 41.8 ± 7.4 dengan usia termuda 19 dan usia tertua 61 tahun. Menurut Ramos & Olden (2008), pertambahan usia akan meningkatkan risiko sindrom metabolik.

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari lamanya pendidikan formal yang pernah ditempuh. Berdasarkan Tabel 4 dan Lampiran 3 terlihat bahwa sebagian besar subyek baik laki-laki dan perempuan menempuh pendidikan hingga tamat SMA/sederajat (59.8%) dan sisanya menempuh pendidikan hingga tamat perguruan tinggi (25.5%), tamat SMP (7.8%) dan tamat SD (6.9%). Subyek dengan pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi cenderung memiliki status gizi normal dan overweight. Hal ini diduga karena semakin tinggi pendidikan identik dengan pendapatan yang tinggi dan akses pangan menjadi lebih mudah dijangkau dan lebih sering mengkonsumsi bahan pangan berenergi tinggi (WHO 2000). Hasil penelitian Aekplakorn et al. (2007) menyatakan bahwa pendidikan yang rendah akan menyebabkan kurangnya akses terhadap informasi kesehatan. Hal tersebut diduga berpengaruh pada pola makan dan gaya hidup seseorang.

Lebih dari separuh subyek memiliki pendapatan <5 juta rupiah per bulan (56.9%). Subyek dengan jumlah pendapatan tersebut cenderung memiliki status gizi overweight. Hal ini diduga karena pengetahuan gizi yang dimiliki subyek masih kurang meskipun pendidikan formal yang ditempuh subyek termasuk cukup baik. Menurut Khomsan (2000), pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku dan pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada status gizinya. Rata – rata pendapatan subyek sebesar Rp 8 235 294 ± Rp 5 479 351. Selain itu Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa pendapatan bukanlah faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas.

(26)

(2014), wilayah perkotaan cenderung memiliki jumlah anggota keluarga yang kecil karena tingkat pendidikan relatif lebih tinggi sehingga banyak pengetahuan dan informasi yang dapat diperoleh mengenai pentingnya mengatur jumlah anak untuk kesejahteraan keluarga.

Status Gizi Subyek

Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status gizi seseorang dapat berubah dari waktu ke waktu akibat interaksi dari berbagai faktor (Riyadi 2006). Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi secara antropometri adalah perhitungan indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang pinggul (RLPP) dengan kategori menurut WHO (2008). Sebaran subyek berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran subyek berdasarkan imt dan rlpp

Karakteristik Subyek

Status Gizi

Underweight Normal Overweight Total

n % n % n % n % RLPP

Normal 4 66.7 14 51.9 15 21.7 33 32.4 Risiko 2 33.3 13 48.1 54 78.3 69 67.6 Total 6 100.0 27 100.0 69 100.0 102 100.0

Berdasarkan perhitungan IMT yang terlampir pada lampiran 4, secara umum subyek dalam penelitian ini memiliki status gizi obese I baik untuk subyek wanita (33.3%) maupun laki-laki (41.3%). Jumlah subyek yang berstatus gizi normal untuk jenis kelamin pria sebanyak 32.6 % dan perempuan sebanyak 23.3 %. Persentase terkecil dari perhitungan indeks massa tubuh pada jenis kelamin laki-laki adalah 6.5% untuk kategori obese II, sedangkan pada jenis kelamin perempuan sebesar 3.3 % untuk kategori kurus. Dapat dikatakan bahwa lebih dari separuh subyek (67.6%) berstatus gizi overweight atau gemuk. Hasil penelitian Braunschweig et al. (2005) menunjukkan bahwa berat badan berlebih merupakan faktor risiko terjadinya penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, kanker serta stroke. Genetik, faktor biologi dan faktor individu lain seperti penghentian merokok, jenis kelamin, dan umur saling berinteraksi mempengaruhi peningkatan berat badan (WHO 2000).

(27)

4). Sama hal nya dengan subyek perempuan yaitu sebesar 65%. Subyek dengan status gizi overweight cenderung memiliki RLPP yang tinggi dan termasuk kategori berisiko. Hasil ini sejalan dengan penelitian Alwachi et al. (2013) yang menunjukkan bahwa RLPP berhubungan signifikan dengan berat badan berlebih. Menurut WHO (2000), pengukuran indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat membedakan antara berat yang berhubungan dengan otot dan lemak. Pengukuran lingkar pinggang lebih akurat untuk mencerminkan obesitas sentral (Sonmez et al. 2003), sementara Menurut Klein et al. (2007), pengukuran lingkar perut menyediakan pengukuran distribusi lemak yang tidak dapat diukur dengan pengukuran IMT. De Koning et al. (2007) dan Khahrazy et al. (2010) menyatakan bahwa RLPP berhubungan signifikan dengan penyakit kardiovaskular.

Status Kesehatan

Beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu antara lain adalah status sosial ekonomi, status gizi serta konsumsi pangan (Lo et al. 2009). Status kesehatan pada penelitian ini diteliti melalui riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit terdahulu dan penyakit yang sedang diderita saat ini.

Tabel 6 Sebaran subyek berdasarkan status kesehatan dan status gizi

Status Kesehatan

Status Gizi

Underweight Normal Overweight Total

n % n % n % n % Berisiko 0 0.0 6 22.2 37 53.6 43 42.2 Tidak Berisiko 6 100.0 21 77.8 32 46.4 59 57.8 Total 6 100.0 27 100.0 69 100.0 102 100.0

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa lebih dari separuh subyek tidak berisiko dalam hal status kesehatan terutama subyek yang berstatus gizi

underweight dan normal baik untuk subyek dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (terlampir pada lampiran 6). Akan tetapi, subyek yang memiliki status gizi overweight cenderung berisiko status kesehatannya. Hal ini diduga akibat dari pola konsumsi subyek yang kurang baik sehingga mempengaruhi status gizinya yang pada akhirnya akan mempengaruhi status kesehatannya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Umardani (2011). Menurut Soekirman (2000), ketidakseimbangan makanan akan mengganggu fungsi tubuh yang berakibat negatif terhadap keadaan gizi dan kesehatan.

(28)

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan yang diteliti dalam penelitian ini meliputi skor keanekaragaman pangan dan tingkat kecukupan zat gizi makro dan mikro. Zat gizi makro meliputi : energi, protein, lemak dan karbohidrat sementara zat gizi mikro meliputi : kalsium, zat besi, vitamin A dan vitamin C.

Asupan & Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Menurut Sandjaja et al. (2009), kecukupan gizi merupakan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Hasil uji Kruskal Walis tidak menunjukkan adanya perbedaan antara tingkat kecukupan baik pada status gizi underweight, normal dan

overweight Sebaran subyek berdasarkan asupan, kecukupan dan tingkat kecukupan berdasarkan status gizi dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7 Asupan, kecukupan dan tingkat kecukupan subyek berdasarkan status gizi

(29)

Tabel 7 Asupan kecukupan dan tingkat kecukupan subyek berdasarkan status gizi penelitian di Canada (n= 34.402) yang dilakukan oleh Yang et al. (2014). Tingkat kecukupan energi mayoritas subyek berada pada kategori defisit berat baik pada hari libur (29,4%) maupun pada hari kerja (34,3%) dengan rata-rata tingkat kecukupan hari libur sebesar 90,8 % dan hari kerja sebesar 93,2% (dapat dilihat pada lampiran 5).

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi pada subyek dengan status gizi underweight lebih tinggi dibandingkan subyek dengan status gizi normal dan overweight. Rata-rata asupan energi pada subyek

underweight sebesar 2 736 ± 1 423 Kal sementara rata-rata asupan pada subyek

overweight sebesar 2 060 ± 906 sehingga tingkat kecukupan energi subyek

(30)

Tabel 8 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi

Tingkat Kecukupan Energi

Status Gizi

Underweight Normal Overweight

n % n % n % Defisit tingkat berat (<70% AKG) 2 33.3 5 18.5 24 34.8 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 1 16.7 1 3.7 6 8.7 Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 0 0.0 5 18.5 10 14.5 Normal (90-119% AKG) 0 0.0 10 37.0 18 26.1 Lebih (≥ 120% AKG) 3 50.0 6 22.2 11 15.9 Total 6 100.0 27 100.0 69 100

Asupan Protein

Tingkat kecukupan protein subyek berada pada kategori defisit berat baik pada hari kerja maupun libur dengan rata-rata tingkat kecukupan protein sebesar 93,7 % pada hari kerja dan 93,0 % pada hari libur (dapat dilihat pada lampiran 7). Rata-rata asupan protein pada hari kerja menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan hari libur (dapat dilihat pada Lampiran 5) sehingga tingkat kecukupan protein subyek pada hari kerja cenderung lebih besar dibandingkan hari libur.

Tabel 9 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan protein dan status gizi

Tingkat Kecukupan Protein

Status Gizi

Underweight Normal Overweight

n % n % N % Defisit tingkat berat (<70% AKG) 1 16.7 6 22.2 26 37.7 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 0 0.0 4 14.8 4 5.8 Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 1 16.7 1 3.7 10 14.5 Normal (90-119% AKG) 2 33.3 9 33.3 18 26.1 Lebih (≥ 120% AKG) 2 33.3 7 25.9 11 15.9 Total 6 100.0 27 100.0 69 100

Berdasarkan Tabel 9, lebih dari separuh subyek berada pada kategori defisit pada tingkat kecukupan protein, terutama untuk kategori defisit berat. Kategori defisit berat, sedang dan ringan didominasi oleh subyek dengan status gizi overweight. Diduga subyek yang overweight lebih menjaga pola konsumsi pangannya dengan cara mengurangi asupan pangan sumber protein. Tingkat kecukupan protein kategori normal dan lebih didominasi oleh subyek berstatus gizi normal dan underweight. Faktor kesalahan dalam pengisian ukuran rumah tangga atau berat bahan pangan dalam pelaksanaan food record juga diduga menjadi salah satu penyebab kecukupan protein yang rendah karena ukuran berat bahan pangan yang dilaporkan cenderung lebih sedikit (underestimate intakes).

Asupan Lemak

(31)

(dapat dilihat pada lampiran 5). Asupan dan tingkat kecukupan lemak cenderung lebih besar pada hari kerja dibandingkan pada hari libur. Asupan lemak tertinggi diperoleh dari sumber pangan yang berasal dari restoran, makanan kaki lima dan makanan cepat saji yaitu sebesar 25.7 g/kap/hari (Andarwulan et al. 2014). Hal ini diduga karena hampir seluruh subyek lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah khususnya untuk bekerja sehingga perolehan makanan didapatkan dengan cara membeli di tempat makan baik di restoran, kaki lima maupun restoran cepat saji.

Berdasarkan tabel 10, lebih dari separuh subyek masih defisit tingkat kecukupan lemak. Presentase terbesar ditunjukkan oleh subyek overweight dengan kategori defisit berat yaitu sebesar 62.3%. Hal tersebut diduga akibat pengaturan pola makan yang dilakukan subyek overweight dengan membatasi konsumsi pangan sumber lemak. Menurut Andarwulan et al. (2014), rata- rata asupan lemak total pada subyek sebesar 52.8 g/kap/hari. Rata-rata tersebut masih berada dalam batas yang dianjurkan oleh Permenkes no. 30 tahun 2013 yaitu <67 g/kap/hari. Menurut Yunieswati (2014), defisiensi lemak dalam tubuh akan mengurangi ketersediaan energi dan mengakibatkan terjadinya katabolisme protein. Konsumsi lemak perlu dibatasi karena makanan berlemak dalam jumlah yang tidak dikontrol dapat menyebabkan obesitas dan menjadi faktor risiko terjadinya penyakit degeneratif (Sari dan Reni 2008).

Tabel 10 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan lemak dan status gizi

Tingkat Kecukupan Lemak

Selama hari kerja dan hari libur, asupan karbohidrat pada subyek umunya berlebih (dapat dilihat pada lampiran 5). Rata – rata kontribusi karbohidrat terhadap energi pada subyek baik di hari kerja maupun hari libur memiliki presentase lebih dari 100% (117.6 ± 199.2 g) bila dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (2013) dimana anjuran kontribusi karbohidrat yang baik jika berada dibawah 60% dari angka kecukupan energi sehingga seluruh subyek memiliki tingkat kecukupan karbohidrat dengan kategori berlebih. Hal ini diduga akibat konsumsi pangan sumber karbohidrat yang cukup tinggi pada subyek seperti golongan pangan serealia serta golongan gula dan pemanis termasuk jenis pangan cake, pastry, minuman manis dan produk bakery lainnya (dapat dilihat pada lampiran 1).

(32)

Andarwulan et al. (2014), kontribusi pangan terhadap asupan gula terbesar berasal dari minuman kemasan yang cukup tinggi dikonsumsi subyek. Tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat dapat menjadi salah satu faktor terjadinya peningkatan trigliserida dimana hal tersebut meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (Murray et al. 2003).

Tabel 11 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat

Tingkat Kecukupan Karbohidrat

Status Gizi

Underweight Normal Overweight

n % n % n % Defisit tingkat berat (<70% AKG) 0 0 0 0.0 0 0 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 0 0 0 0.0 0 0 Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 0 0 0 0.0 0 0 Normal (90-119% AKG) 0 0 0 0.0 0 0 Lebih (≥ 120% AKG) 6 100 27 100.0 69 100 Total 6 100 27 100.0 69 100

Asupan Kalsium

Sebagian besar subyek mengalami defisiensi kalsium yang dapat dilihat tingkat kecukupannya pada Tabel 12. Lebih dari separuh subyek masih mengalami defisiensi kalsium. Hal ini diduga karena subyek kurang mengkonsumsi pangan sumber kalsium. Golongan pangan susu dan hasil olahannya identik dengan pangan tinggi kalsium.

Tabel 12 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan kalsium dan status gizi

Tingkat Kecukupan Kalsium

Status Gizi

Underweight Normal Overweight

n % n % n % Kurang (<77% AKG) 2 33.3 17 63.0 49 71.1 Cukup (≥ 77% AKG) 4 66.7 10 37.0 20 28.9 Total 6 100.0 27 100.0 69 100

Subyek dengan status gizi overweight mengkonsumsi golongan susu sebanyak 103.1 ± 78.1 gram per hari sementara subyek underweight

mengkonsumsi golongan susu sebanyak 235 ± 30.4. gram per hari (dapat dilihat pada lampiran 14) sehingga kecukupan kalsium pada subyek overweight

umumnya kurang. Rata-rata konsumsi gram per hari untuk golongan susu dan hasil olahannya 108,7 ± 95,8 pada hari kerja dan 96,6 ± 66,0 pada hari libur dimana jumlah tersebut masih tergolong kurang.

Asupan Besi

(33)

penyerapan zat besi akan optimal bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan sumber vitamin C. Selain itu konsumsi teh yang tinggi pada subyek diduga menyebabkan cadangan besi dalam tubuh berkurang. Teh mengandung tanin dimana zat tersebut memiliki pengaruh besar dalam menghambat penyerapan zat besi (Beard et al. 2007).

Subyek dengan status gizi overweight umumnya memiliki tingkat kecukupan zat besi yang kurang. Hal ini diduga karena konsumsi daging yang tinggi terdapat pada subyek underweight yaitu rata-rata sebesar 147.7 ± 115.9 g/hari (dapat dilihat pada lampiran 14). Sementara subyek overweight hanya mengkonsumsi daging dengan rata-rata sebesar 118.8 ± 122.2 g/hari.

Tabel 13 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan besi dan status gizi

Tingkat Kecukupan Zat Besi

Status Gizi

Underweight Normal Overweight

n % n % n % Kurang (<77% AKG) 4 66.7 11 40.7 38 55.1 Cukup (≥ 77% AKG) 2 33.3 16 59.3 31 44.9 Total 6 100.0 27 100.0 69 100

Asupan Vitamin A

Rata-rata asupan vitamin A pada subyek sebesar 64,5 ± 82,5. Mayoritas subyek defisit dalam tingkat kecukupan vitamin A (73%). Hal ini diduga akibat subyek kurang mengkonsumsi pangan hewani dan pangan sumber vitamin A. Konsumsi sayuran pada subyek masih sangat kurang dengan rata-rata di hari kerja sebesar 85,7 ± 83,8 g per hari dan 99,2 ± 96,4 g per hari di hari libur (dapat dilihat pada lampiran 1) dimana menurut Pedoman Gizi Seimbang (2013) anjuran konsumsi sayuran sebesar 200 g per hari pada usia dewasa.

Daging dan olahannya merupakan salah satu kelompok pangan yang cukup kaya akan kandungan vitamin A. Subyek dengan status gizi overweight

umumnya memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang kurang. Hal ini diduga karena konsumsi daging yang tinggi terdapat pada subyek underweight yaitu rata-rata sebesar 147.7 ± 115.9 g/hari (dapat dilihat pada lampiran 14). Sementara subyek overweight hanya mengkonsumsi daging dengan rata-rata sebesar 118.8 ± 122.2 g/hari.

Tabel 14 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin a dan status gizi

Tingkat Kecukupan Vitamin A

Status Gizi

Underweight Normal Overweight

n % n % n % Kurang (<77% AKG) 4 66.7 17 63.0 52 75.4 Cukup (≥ 77% AKG) 2 33.3 10 37.0 17 24.6 Total 6 100.0 27 100.0 69 100

Asupan Vitamin C

(34)

salah satunya adalah buah-buahan. Rata-rata asupan buah-buahan subyek hanya sebesar 142,3 ± 110,6 g per hari dimana menurut Pedoman Gizi Seimbang (2013) anjuran konsumsi buah pada dewasa sebesar 200 gram per hari sehingga lebih dari separuh subyek cenderung kurang dalam hal tingkat kecukupan vitamin C baik untuk subyek normal, underweight dan overweight. Faktor lingkungan juga mempengaruhi pemilihan jenis pangan dan kebiasaan konsumsi (Lachat 2009). Wilayah perkotaan identik dengan konsumsi pangan hewani tinggi dan konsumsi buah dan sayur yang rendah.

Tabel 15 Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin c dan status gizi

Tingkat Kecukupan Vitamin C

Skor Keanekaragaman Pangan (Dietary Diversity Score)

Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2006), konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan. Data konsumsi pangan pada penelitian ini diperoleh melalui metode food record selama 2 x 24 jam (1 hari kerja dan 1 hari libur).

Keragaman konsumsi pangan diukur dengan menggunakan metode skor keanekaragaman pangan pada tingkat individu atau Individu Dietary Diversity Score (IDDS). Bahan makanan yang dikonsumsi dikelompokkan dalam 12 kelompok pangan sesuai dengan anjuran FAO (2011) yang terdiri dari : serealia, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, daging dan olahannya, telur, ikan dan olahan laut, kacang-kacangan, susu dan olahannya, minyak dan lemak, gula dan pemanis, serta lain-lain. Sebaran subyek berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi subyek dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Kelompok pangan yang dikonsumsi subyek

Kelompok Pangan Hari Libur Hari Kerja n % n %

(35)

minuman jadi serta daging dan olahannya. Sediaoetama (2012) menyatakan bahwa makanan pokok dianggap yang terpenting dalam suatu susunan hidangan di Indonesia karena merupakan bagian terbesar diantara bahan makanan yang sedang dikonsumsi. Menurut Setiawan (2006) dalam Meisya (2014) menyatakan bahwa Indonesia mulai tahun 2002 sudah mulai mengurangi konsumsi makanan pokok berupa beras dan melakukan diversifikasi pangan ke arah pengganti beras seperti mie dan pangan berbahan dasar terigu seperti roti dan berbagai jenis kue. Sebagian besar subyek cukup banyak mengkonsumsi kue manis yang digolongkan ke dalam kelompok pangan gula dan pemanis.

Golongan sayuran termasuk salah satu golongan yang paling banyak dikonsumsi. Akan tetapi konsumsi sayuran pada subyek masih sangat kurang dengan rata-rata di hari kerja sebesar 85,7 ± 83,8 gram per hari dan 99,2 ± 96,4 gram per hari di hari libur. Rendahnya konsumsi sayur dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan dan meningkatkan risiko PTM (Diana 2014). Penurunan asupan sayuran berhubungan dengan tingginya risiko peningkatan berat badan selama 12 tahun (He et al. 2004).

Kelompok pangan lain-lain menjadi kelompok pangan yang cukup banyak dikonsumsi. Jenis pangan dari kelompok ini antara lain kopi, teh, kecap serta bumbu dan rempah lainnya. Keberagaman konsumsi rempah dan bumbu di Indonesia dipengaruhi oleh akses yang mudah dalam memperoleh bumbu/rempah serta makanan khas Indonesia yang banyak mengandung bumbu/rempah. Jenis minuman jadi yang paling banyak dikonsumsi oleh subyek adalah kopi dan teh. Berdasarkan hasil penelitian Primarta (2014) tentang konsumsi minuman jadi di tahun 2002 – 2011, kopi merupakan jenis minuman jadi yang paling banyak dikonsumsi di wilayah perkotaan. Menurut Wahyudian et al. (2004), kafein yang terkandung dalam kopi akan memacu kerja jantung lebih cepat sehingga bagi penderita hipertensi, konsumsi kopi akan memperburuk kinerja jantung.

Jenis pangan dari kelompok daging dan olahannya yang paling banyak dikonsumsi subyek antara lain daging ayam, daging sapi, hati dan ampela. Menurut Mustofa (2015), peningkatan konsumsi daging di masyarakat diduga karena meningkatnya tingkat pendapatan dan ketersediaan daging yang melimpah di perkotaan. Peningkatan pendapatan akan memicu daya beli yang lebih tinggi sehingga daging semakin mudah dijangkau.

Bond et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi pangan di Indonesia telah berubah secara bertahap seiring dengan pertumbuhan pendapatan dan pengaruh makanan gaya barat. Konsumsi beras, sayuran dan makanan laut akan tetap menjadi kebutuhan pokok yang lebih banyak bergerak menuju aneka jenis makanan dan adanya peningkatan konsumsi produk berbasis gandum, buah, dan produk ternak termasuk daging dan produk susu.

(36)

Tabel 17 Sebaran subyek berdasarkan DDS di hari libur dan hari kerja

Dietary Diversity Score Hari Libur Hari Kerja

n % n %

Rendah (≤ 3 bahan pangan) 13 12,7 13 12,7

Sedang( 4-5 bahan pangan) 30 29,4 47 46,1

Tinggi(≥ 6 bahan pangan) 59 57,8 42 41,2

Total 102 100 102 100

Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek memiliki keragaman konsumsi pangan pada kategori tinggi pada hari libur (57,8%) dan kategori sedang pada hari kerja (41,2 %). Adanya perbedaan nilai DDS subyek pada hari libur dan hari kerja diduga karena alokasi waktu yang lebih banyak digunakan untuk bekerja sehingga mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Andarwulan et al. (2014) menyatakan bahwa sebagian besar subyek memperoleh makanan dari luar rumah seperti makanan cepat saji atau makanan yang berasal dari restoran sebagaimana diketahui bahwa makanan yang tidak diproduksi sendiri di rumah belum terjamin secara kualitas dan higienitas.

Sebagian besar subyek lebih banyak membeli makan diluar rumah terutama saat waktu kerja. Menurut hasil analisis tentang proyeksi konsumsi yang dilakukan oleh Primarta (2014), akan terjadi peningkatan konsumsi makanan dan minuman jadi dari tahun 2012 hingga 2020 baik di wilayah desa maupun kota. Proyeksi tersebut mengindikasikan bahwa dari tahun ke tahun penduduk akan semakin banyak mengonsumsi makanan dan minuman jadi, selain itu juga akan ada peningkatan makan di luar rumah dan semakin maraknya tersedia tempat makan dimana-mana.

Penelitian Moore et al. (2002) dan Lytle (1993) menunjukkan bahwa skor keragaman pangan yang tinggi dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit tidak menular dan memperpanjang usia harapan hidup atau mengurangi risiko kematian. Riyadi (1996) dan Almatsier (2011) juga menjelaskan bahwa jumlah dan jenis pangan seseorang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan pendidikan. Semakin tinggi keadaan ekonomi seseorang maka semakin beragam makanan yang mampu disediakannya. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang adalah derajat kesukaan seseorang terhadap makanan (Sanjur 1982).

(37)

Hubungan Antar Variabel

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Status Kesehatan

Hasil uji analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan, pendapatan serta besar keluarga dengan status kesehatan sehingga dapat dikatakan dalam penelitian ini karakteristik sosial ekonomi tidak berhubungan nyata dengan status kesehatan (P>0,05). Dengan kata lain, tingginya pendidikan dan pendapatan seseorang tidak berpengaruh secara langsung terhadap status kesehatannya. Menurut Almatsier (2011), tingkat pendidikan dan pendapatan seseorang berpengaruh terhadap cara memelihara diri dan kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang sesuai.

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Konsumsi Pangan

Berdasarkan uji korelasi spearman, secara keseluruhan tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara karakteristik sosial ekonomi (usia, pendidikan, pendapatan dan besar keluarga) dengan konsumsi pangan (tingkat kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral serta DDS).

Berdasarkan hasil korelasi spearman, terdapat hubungan yang nyata (P<0,05) antara pendidikan dengan tingkat kecukupan zat besi. Hal ini sejalan dengan penelitian Yunawan (2014), dimana pendidikan seseorang mempengaruhi kualitas pemilihan makanannya.

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi

Berdasarkan uji korelasi spearman, secara keseluruhan tidak terdapat hubungan yang nyata (P>0,05) antara konsumsi pangan (tingkat kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral serta DDS) dengan status gizi (IMT dan RLPP). Hal ini sejalan dengan penelitian Meisya (2014). Konsumsi pangan yang diperoleh tidak dapat mereprensentasikan status gizi dikarenakan status gizi merupakan representasi pola konsumsi dalam jangka panjang. Data konsumsi pangan pada penelitian ini diperoleh melalui food record 2x24 jam yang hanya mencerminkan konsumsi selama 2 hari sehingga belum dapat mencerminkan kebiasaan makan subyek sehingga konsumsi pangan yang diperoleh tidak dapat mereprensentasikan status gizi subyek. Status gizi merupakan suatu proses kumulatif jangka panjang (Arimond & Ruel 2004).

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Status Kesehatan

(38)

kesehatan subyek. Derajat kesehatan seseorang dipengaruhi banyak faktor yang tidak dapat dikendalikan contohnya usia dan genetik (Almatsier 2011).

Hubungan Status Gizi dengan Status Kesehatan

Status gizi subyek diukur melalui perhitungan indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP). Berdasarkan hasil uji hubungan antara variabel IMT dan status kesehatan dengan menggunakan korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dan status kesehatan (P<0,05). Beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang antara lain faktor genetik, status gizi, konsumsi pangan serta gaya hidup (lifestyle). Hal ini sejalan dengan penelitian Umardani (2011). Status gizi dan status kesehatan yang baik akan membawa seseorang kepada umur panjang yang sehat dan produktif (Arisman 2009).

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara RLPP dengan status kesehatan (P<0,05). Ukuran RLPP tidak berpengaruh secara langsung terhadap status kesehatan. Hal ini serupa dengan penelitian Abdurrachim et al (2009) dan Paramita (2013) yang menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan positif antara RLPP dengan derajat kesehatan karena terdapat faktor lain yang tidak dapat dikendalikan yaitu faktor umur, keturunan dan genetik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Secara keseluruhan, mayoritas subyek berusia dewasa (41-65 tahun). Pendidikan yang ditempuh umunya sampai ke jenjang Tamat SMA dan perguruan tinggi. Pendapatan rumah tangga per bulan sebagian besar <5 juta rupiah per bulan dengan besar keluarga yang tergolong kecil (≤ 4 orang).

Sebagian besar subyek berstatus gizi obese dan memiliki rasio lingkar pinggang panggul yang berstatus risiko. Status kesehatan mayoritas subyek tergolong baik. Skor keanekaragaman pangan yang dimiliki sebagian besaar subyek cukup baik dengan kategori sedang hingga tinggi. Tingkat kecukupan sebagian besar zat gizi makro masih tergolong defisit kecuali karbohidrat. Sebagian besar subyek juga defisit dalam tingkat kecukupan zat gizi mikro.

(39)

Saran

Perlunya peningkatan akan pengetahuan gizi mengenai pemilihan makanan yang baik agar konsumsi dapat beragam dan berkualitas pada usia dewasa serta higienitas makanan. Subyek perlu memperhatikan kebersihan dan keamanan pangan terutama untuk makanan yang dibeli di luar rumah. Sebaiknya penilaian konsumsi pangan dan DDS perlu dimodifikasi sendiri dalam hal penentuan golongan pangan dan batasan atau anjuran tiap kelompok pangan yang sebaiknya dikonsumsi yang disesuaikan dengan standar gizi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachim R, Magdalena, Farhat Y. 2009. Kaitan Indeks Massa Tubuh dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul Terhadap Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Pasian Hipertensi. Jurnal Gizi Poltekes Depkes Banjarmasin (ID) : Politeknik Kesehatan Banjarmasin

Adiana P. 2000. Pengaruh Pendapatan, Jumlah Anggota Keluarga dan Pendidikan Terhadap Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Gianyar. [Skripsi]. Bali (ID) : Universitas Udayana.

Aekplakorn W, Hogan M, Chongsuvivatwong V, Tatsanavivat P, Chariyalertsak S, Boonthum A, Tiptaradol S, Lim S. 2007. Trends in obesity and association with education and urban or rural residence in Thailand. 15 : 3113-3121

Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama

Alwachi SN, Khazaal FAK, Yenzeel JH, Karim NAR. 2013. Waist hip ratio as a predictors of obesity types in postmenopausal Iraq women. European Journal of Health. ISSN 2052-5249

Andarwulan N, Madanijah S, Briawan D, Anwar K. 2014. Studi Konsumsi Asupan Gula, Garam dan Lemak. Bogor (ID) : Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Arimond M, Ruel MT. 2004. Dietary diversity is associated with child nutritional status: evidence from 11 demographic and health surveys. J Nutr. 134, 2579–2585.

Arisman MB. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID) : EGC

(40)

. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Beard et al. 2007. Variation in diets of Filipino Women over 9 Months of Continuous Obesrvation. Food and Nutrition Bulletin (28) : 206-214.

Berg A. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan. Jakarta (ID): CV Rajawali.

Braunschweig C, Gomez S, Liang H, Tomey K, Doerfler K, Wang Y, Beebe C, Lipton R. 2005. Obesity and risk factors for the metabolic syndrome among low-income, urban, African American schoolchildren : the rule rather than the exception? American Journal Clinical Nutrition. vol. 81 no. 5 970-975

Briefel RR, Johnson CL. 2004. Secular trends in dietary intakes in United States.

Annu Rev Nutr. 2004; 24:401-31

Bond R, Rodriguez G, Penm J. 2007. Agriculture in Indonesia a review of consumption, production, imports and import regulations. Abareconference paper 07.6

Cahyono J.B.S.B. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Yogyakarta (ID) : Penerbit Kanisius

De Koning L, Merchant A, Pogue J, Anand S. 2007. Waist circumference and waist- hip ratio as predictors of cardiovascular events : meta – regression analysis of prospective studies. European Heart Journal 28 : 850–856

Diana R. 2014. Pengaruh Pemanfaatan Pekarangan dan Penyuluhan Terhadap Konsumsi Sayur dan Asupan Gizi Rumah Tangga dan Balita [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity. (ITA) : FAO.

Gibney MJ, Barrie MM, John MK, Lenore A. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Hartono A, penerjemah; Widyastuti P, Hardiyanti EA, Editor. Jakarta (ID) : EGC.

Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assessment Ed ke-2. New York (USA): Oxford University.

Gibson RS, Health ALM, Gay EAS. 2014. Is ron and zinc nutrition a concern for vegetarian infants and young children in Industrialized Countries. American Journal of Clinical Nutrition (100) ; 311S-312S.

Guhardja et al. 1992. Diktat Manajemen Sumberdaya Keluarga. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Grundy SM. Multifactorial causation of obesity : implications for prevention. American Journal Clinical Nutrition. 1998; 67 (suppl) : 563S-72S

(41)

Hardinsyah. 1985. Jurusan Gizi Masyarakat Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Isnani F. 2011. Praktik Hidup Sehat dan persepsi tubuh ideal remaja putri SMA Negeri 1 Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Janghorbani M, Masoud A,Walter C, Mohammad M, Gouya, Alireza D, Siamak A, Alireza M. 2007. First Nationwide Survey Of Prevalence Of Overweight, Underweight, And Abdominal Obesity In Iranian Adults. Obesity :

15:2797–2808.

Jayanti L.D. 2014. Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta Densitas Gizi Pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Kantachuvessiri A, Sirivichayakul C, Kaewkungwal J, Tungtrongchitr R, Lotrakul M. 2005. Factors Associated with Obesity Among Workers in a Metropololitan Waterworkers Authority. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 36 : 1057-1065

Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID) : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

[Kemenkes]. Kementrian Kesehatan RI. 2004. Pedoman Praktis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID) : Depkes RI.

. 2013. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta (ID) : Depkes RI.

Kennedy E. 2008. Putting the pyramid into action: the healthy eating index and food quality score. Asia Pac J Clin Nutr 2008;17 (S1):70−74.

Kennedy GL, Pedro MR, Seghieri C, Nantel G, Brouwer I. 2007. Dietary diversity score is a useful indicator of micronutrient intake in non-breast-feeding filipino children. J Nutr. 137: 472−477.

Klein S, Allison D, Heymsfield S, Kelley D, Leibel R, Nonas C, Kahn R. 2007. Waist circumferrence and cardiometabolic risk : a consesnsus statement from shaping america’s health : association for weight management and obesity prevention ; NAASO, The Obesity Society ; the American Society for Nutrition ; and the American Diabetes Association, Diabetes Care. 30 : 1647-1652.

Lachat C, Khank LNB, Khan NC, Dung NQ, Anh NDV, Roberfroid D, Kolsterem P. 2009. Eating Out of Home in Vietnamese Adolescents : Socioeconomic factors and Dietary Associations. American Journal of Clinical Nutrition

(90) : 1648-1655.

Lytle LA, Nichaman MZ, Obarzanek E, et al. 1993. Validation of 24- hour recalls assisted by food records in third-grade children. The CATCH Collaborative Group. J Am Diet Assoc. 93: 1431–6.

(42)

Mustofa K. 2015. Karakteristik Konsumsi Pangan Hewani Berbagai Wilayah Menurut Indikator Kesejahteraan [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Moore H, Svetkey L, Lin P-H, Karanja N, Jenkins M, 2002. The DASH Diet for Hypertension. The Free Press, New York.

Moursi M, Arimond M, Dewey KG, Treche S, Ruel MT. 2008. Dietary diveristy is a good predictor of micronutrient density of the diet of 6 to 23 month old children in Madagascar. The Journal of Nutrition 2008

Paramita I. 2013. Analisis Konsumsi Buah dan Sayur dengan Ukuran Lingkar Pinggang Pada Perempuan Usia Dewasa Muda [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Primarta T. 2014. Analisis Konsumsi Makanan dan Minuman Jadi serta Kelompok Bumbu-Bumbuan Penduduk di Indonesia Tahun 2002-2011 [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Ramos R, Olden K, 2008. The Prevalence of Metabolic Syndrome Among US Women of Childbearing Age. American Journal of Public Health 98(6): 1122–1127.

Riyadi H. 2001. Metode Penelitian Status Gizi Secara Antropometri. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Riyadi H. 2006. Materi Pokok Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta (ID): Universitas Terbuka

Ruel MT. 2003. Operationalizing dietary diversity: a review of measurement issues and research priorities. J Nutr. 133: 3911S–3926S.

Sediaoetama A. D. 2006. Ilmu Gizi. Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid I. Jakarta (ID) : Penerbit Dian Rakyat

Setiawan N. 2006. Perkembangan konsumsi protein hewani di Indonesia: analisis hasil survey sosial ekonomi nasional 2002-2005. Jurnal Ilmu Ternak. Vol 6 no. 1, 68–74.

Shahbazian H, Latifi S, Jalali M, Shahbazian H, Amani R, Nikhoo A, Aleali A. 2013. Metabolic syndrome and its correlated factors in an urban population in South West of Iran. Journal of Diabetes and Metabolic Disorders.

Sonmez K, Akcakoyun M, Akcay A, Demir D, Duran NE, Gencbay M, Degertekin M, Turan F. 2003. Which method should be used to determinate the obesity, in patients with coronary artery disease? Int J Obes Relat Metab Disord. 27 : 241 346

Smith L. D & Haddad L. 2000. Explaining Child Malnutrition In Developing Countries. International Food Policy Research Institute. 111

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta (ID) : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran keragaman konsumsi pangan dan hubungannya
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Kelompok pangan untuk Dietary Diversity Score (DDS)
Tabel 3 Pengkategorian jenis data
+5

Referensi

Dokumen terkait

Gaya hidup seperti Kebiasaan merokok, Usia mulai merokok, Rata-rata batang rokok yang dihisap perhari, Aktifitas fisik kurang, Kurang konsumsi sayur dan buah, Konsumsi

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang pola konsumsi makanan jajanan anak, termasuk frekuensi, jenis, dan sumber zat gizi utama yang terdapat

Variabel yang dianalisis adalah variabel independen yaitu preferensi makanan yang dilihat dari aspek penampilan makanan meliputi : warna, bentuk makanan, besar porsi dan

yang dikonsumsi pada malam hari dapat meningkatkan asupan energi, namun karena subjek mengkonsumsi makanan yang rendah kalori seperti buah-buahan atau

Namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi body image   dengan perilaku diet, konsumsi pangan dan status gizi, pengetahuan gizi dan tingkat kecukupan

Pengetahuan ibu adalah tingkat pemahaman ibu tentang kebutuhan gizi dan kesehatan bagi balitanya serta pemilihan pengolahan makanan bagi balita (Muntofiah,

Meningkatnya taraf hidup sering mendorong seseorang untuk mengubah pola makannya, dari pola yang benar menjadi pola yang salah, dari pemilihan makanan yang

Salah satu faktor yang mempengaruhi dari status gizi dewasa yaitu aktivitas fisik, asupan makanan dan energi yang berlebihan yang tidak diimbangi pengeluaran energi yang seimbang,