• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografi Kota Palembang

Kota Palembang adalah ibukota Provinsi Sumatera Selatan yang mempunyai luas wilayah 400.61 km2 dengan jumlah penduduk 1 580 517 jiwa, yang berarti setiap km2 dihuni oleh 3945 jiwa. Kota Palembang terletak antara 2052’–305’ LS dan 104037’–104052’ BT merupakan daerah tropis, suhu cukup panas antara 23,4 0C-31,7 0C dengan curah hujan terbanyak pada bulan April sebanyak 338 mm dan minimal pada bulan September dengan curah hujan 10 mm.

Kota Palembang sebelah utara berbatasan dengan Desa Pangkalan Benteng, Desa Gasing, dan Kenten Laut, Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bakung Kecamatan Inderalaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Balai Makmur, Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sukajadi, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin (Gambar 1)

Kota Palembang terdiri atas 17 kecamatan, yaitu Ilir Timur I, Ilir Timur II, Ilir Barat I, Ilir Barat II, Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Sukarame, Sako, Bukit Kecil, Gandus, Kemuning, Kalidoni, Plaju, Kertapati, Alang-Alang Lebar dan Sematang Borang. Penyebaran DBD hampir merata di seluruh wilayah Kota Palembang. Angka kejadian DBD tertinggi berada di Kecamatan Ilir Barat I, Bukit Kecil, Ilir Timur I, Ilir Timur II, Alang-Alang Lebar, Sako, dan Sukarami (Dinkes Kota Palembang 2014).

Data kasus DBD dari tahun 2010-2015 mengalami fluktuasi dan tertinggi pada tahun 2015. Jumlah kasus DBD tahun 2010-2015 berturut-turut adalah 675 kasus, 723 kasus, 883 kasus, 438 kasus, 622 dan tahun 2015 berjumlah 795 kasus.

12

Kepadatan Larva Aedes spp.

Hasil pengamatan pada 186 sekolah dasar di Kota Palembang didapatkan sebanyak 65.05% sekolah dasar positif larva Aedes spp. Jumlah kontainer yang diperiksa berjumlah 1221 dengan kontainer terdapat larva Aedes spp. sebanyak 21.50%. Nilai house indeks (HI) sebesar 65.05%, container index (CI) sebesar 21.45 %, nilai breteau index (BI) sebesar 141 dan nilai angka bebas jentik (ABJ) sebesar 34,95%. Berdasarkan nilai HI, CI dan BI maka didapatkan nilai density figure (DF) 8 dan termasuk ke dalam kategori kepadatan tinggi (Tabel 2).

Faktor yang mempengaruhi tingginya indeks larva Aedes spp. di sekolah dasar di Kota Palembang antara lain masih kurangnya perilaku mengenai pengurasan kontainer. Hal ini disebabkan karena kurang lancarnya distribusi air dari perusahaan daerah air minum daerah (PDAM) sehingga pihak sekolah menampung air pada kontainer tanpa dilakukan pengurasan secara rutin (minimal seminggu sekali). Keberadaan kontainer yang berukuran cukup besar dengan volume air yang banyak dan disimpan dalam jangka waktu lama serta jarang dibersihkan, berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti. Hasil pengamatan diketahui bahwa sekolah dasar yang ditemukan larva Aedes spp. terletak di wilayah pemukiman warga.

Penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2012) di sekolah dasar di Kecamatan Baturaja Barat, Kota Baturaja Kabupaten OKU Propinsi Sumatera Selatan menunjukan hal yang sama, dengan kepadatan larva Aedes spp. dikategorikan kepadatan tinggi.

Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes, karena semakin banyak tempat perindukan maka akan semakin padat populasi nyamuk Aedes (Hall et al. 1996). Semakin tinggi kepadatan larva Aedes spp. suatu daerah maka semakin besar kemungkinan terjadinya transmisi DBD.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan DBD di sekolah yaitu pemantauan larva Aedes spp. secara berkala dengan memanfaatkan peran serta siswa. Andini (2014) melaporkan bahwa keberadaan siswa pemantau larva yang aktif memiliki pengaruh positif terhadap keberadaan larva Aedes spp di sekolah dasar Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang. Hal dapat dilihat dari peningkatan angka bebas jentik/larva (ABJ) pada kelompok eksperimen dari 0% menjadi 75%, penurunan CI dari 29.17% menjadi 6.25%, dan terjadi penurunan HI dari 100% menjadi 25%. Pada kelompok kontrol terjadi penurunan ABJ dari 12.5% menjadi 0%, peningkatan CI dari 50% menjadi 62.9%, peningkatan HI dari 87.5% menjadi 100%.

Tabel 2 Kepadatan larva Aedes spp. pada sekolah dasar di Kota Palembang Diperiksa Larva Aedes spp. Jumlah HI

(%) CI (%) BI ABJ DF (+) % Sekolah 121 65.05 186 65.05 21.45 141 34.95 8 Kontainer 262 21.50 1221

Keterangan : (+) Terdapat larva HI = house index. CI = container index,

13

Identifikasi Larva Aedes spp.

Hasil identifikasi terhadap larva Aedes spp. didapatkan sebanyak 263 larva, di peroleh larva Ae. aegypti sebanyak 96.18,%, dan Ae. albopictus 3.82%. Sedangkan pada sebuah kontainer terdapat 1 larva Culex spp (0,3%) yang tidak berperan sebagai vektor DBD. Banyaknya larva Ae.aegypti yang ditemukan di sekolah dasar di Kota Palembang dikarenakan seluruh sekolah dasar yang diperiksa berada di wilayah perkotaan dan dalam wilayah perkotaan Ae. aegypti lebih dominan. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor yang utama namun spesies lain seperti Ae. albopictus berperan sebagai vektor skunder (Hadi dan Koesharto 2006).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2012) di sekolah dasar Kecamatan Baturaja Timur, Kota Baturaja ditemukan larva Ae. aegypti (91%) dan Sari et al. (2012) di sekolah dasar Kota Semarang ditemukan larva Aedes spp. (78,7%). Penelitian yang dilakukan oleh Olano et al. (2015) di sekolah dasar di Colombia pada saat musim kemarau dan hujan juga ditemukan larva Ae. aegypti (7.5%). Senada dengan penelitian lain yang dilakukan Budiyanto et al. (2008) di permukiman warga di Kota Palembang larva Ae. aegypti paling banyak ditemukan (95%).

Keberadaan larva Aedes spp. di lingkungan sekolah dasar dapat menjadi salah satu indikator dalam evaluasi pelaksanaan pengendalian DBD. Oleh karena itu sekolah dasar sangat berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk vektor DBD. Menurut Borge et al. (2008) keberhasilan dalam pengendalian vektor DBD di sekolah memerlukan kerjasama dengan membangun layanan kesehatan sekolah terpadu, meningkatkan hubungan kerja antara sekolah, kesehatan pusat dan masyarakat.

Karakteristik Habitat Larva Aedes spp. Jenis Kontainer

Berdasarkan jenisnya kontainer dibagi menjadi 3, yaitu tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, TPA bukan untuk keperluan sehari-hari (non TPA) dan TPA alamiah (Kemenkes 2015). Pada penelitian ini tidak ditemukan TPA alamiah seperti lubang pohon, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.

Jenis kontainer TPA yang terbanyak yaitu bak WC (41.5%) dan jenis kontainer non TPA terbanyak berupa vas/pot bunga (20.9%). Jenis kontainer yang positif larva terbanyak yaitu bak WC (10.24%), bak mandi (4.01%) dan vas/pot bunga 2.62 % (Tabel 3). Uji stastistik memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kontainer yaitu TPA dan non TPA dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.112) (Lampiran 1).

Hal ini menunjukan bahwa bak WC berpotensi besar menjadi habitat larva Aedes spp. Banyaknya bak WC yang positif larva Aedes spp. di sekolah dasar Kota Palembang disebabkan karena sebagian besar hanya di kuras atau ditambah airnya tanpa menyikat dinding bagian dalam bak tersebut sehingga memungkinkan masih terdapat telur yang menempel pada dinding bak WC. Sulit nya distribusi air dari PDAM sehingga bak WC hanya di isi air tanpa dilakukan pengurasan. Kontainer yang jarang diganti/dikuras airnya memungkinkan bagi nyamuk untuk menyelesaikan stadium pradewasanya di tempat tersebut.

14

Tabel 3 Jenis kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang

Jenis kontainer

Keberadaan larva Aedes spp.

Jumlah % Ada larva (%) Tidak ada larva % Tempat penampungan air (TPA)

- Bak mandi 49 4.01 129 10.59 178 14.6 - Bak Wc 125 10.24 382 31.26 507 41.5 - Drum 23 1.88 79 6.52 102 8.4 - Ember 14 1.14 135 11.06 149 12.2 Bukan tempat penampungan air

(Non TPA) - Kaleng bekas 3 0.24 0 0 3 0.25 - Ban bekas 2 0.16 0 0 2 0.16 - Gelas/Botol bekas 3 0.24 8 0.66 11 0.9 - Vas/Pot bunga 32 2.62 223 18.28 255 20.9 - Kolam/Aquarium 2 0.16 3 0.24 5 0.4 - Dispenser 7 0.57 0 0 7 0.6 - Wastafel 2 0.16 0 0 2 0.16 Total 262 21.46 959 78.54 1221 100

Selain bak WC, vas/pot bunga juga berpotensi menjadi habitat larva Aedes spp. Keberadaan vas/pot bunga khususnya tanaman hias yang menggunakan air sebagai media pertumbuhan berpotensi sebagai habitat larva Aedes spp. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2012) di sekolah dasar Kecamatan Baturaja Timur, Kota Baturaja menunjukan bahwa jenis kontainer yang banyak ditemukan adalah bak WC (48.4%). Menurut Vezzani and Carbajo (2008) kontainer yang paling berisiko menjadi habitat larva Aedes spp. adalah kontainer dengan diameter yang lebar karena akan memudahkan nyamuk untuk keluar masuk dan berkembang biak di tempat tersebut (bak mandi/bak WC).

Penelitian yang dilakukan oleh Badrah dan Hidayah (2011) di Kelurahan Penajam, Kabupaten Penajam, Paser Utara, Propinsi Kalimantan Timur terdapat hubungan yang sinifikan antara jenis TPA dengan keberadaan larva Aedes spp. Bahan Kontainer

Sebagian besar kontainer yang ditemukan di sekolah dasar Kota Palembang berbahan dasar plastik (46.2%) dan keramik (43.8%), sedangkan bahan kontainer yang paling banyak terdapat larva Aedes spp. adalah keramik (10.56%) (Tabel 4). Banyaknya kontainer berbahan dasar keramik yang ditemukan larva Aedes spp. yang ditemukan berkaitan dengan jenis kontainer yang paling banyak terdapat di sekolah-sekolah yakni bak WC yang berbahan dasar keramik.

Bahan dasar kontainer diklasifikasikan menjadi 2 yaitu permukaan kasar dan permukaan licin. Pengelompokan bahan kontainer dengan permukaan kasar dan permukaan licin berdasarkan pengamatan peneliti dengan cara meraba permukaan kontainer. Uji statistik memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara bahan kontainer dengan permukaan kasar dan permukaan licin terhadap keberadaan larva Aedes spp. (Lampiran 1).

15

Tabel 4 Bahan kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang

Bahan kontainer

Keberadaan larva Aedes spp.

Jumlah % Ada larva (%) Tidak ada larva % Semen 34 2.78 78 6.42 112 9.2 Tanah 0 0 1 0.08 1 0.08 Plastik 95 7.78 469 38.41 564 46.2 Kaca 1 0.08 4 0.33 5 0.4 Keramik 129 10.56 407 33.33 536 43.8 Logam 1 0.08 0 0 1 0.08 Karet 2 0.16 0 0 2 0.16 Total 262 21.46 959 78.54 1221 100

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari et al. (2012) pada sekolah dasar di Kota Semarang yang menunjukan kontainer yang paling banyak ditemukan berbahan dasar plastik (63.1%) dan persentase tertinggi kontainer yang ditemukan larva Aedes spp. tertinggi juga berbahan dasar plastik (46.9%).

Menurut Ayuningtyas (2013), di Kelurahan Bangetayu Wetan, Kota Semarang bahan kontainer yang paling tinggi positif larva Ae. aegypti adalah semen dan tanah 63.6% dan terdapat perbedaan keberadaan larva Ae. aegypti berdasarkan bahan kontainer (p=0.004).

Pemilihan tempat bertelur nyamuk Aedes spp. dipengaruhi oleh bahan dasar kontainer. Perilaku Aedes spp. yang menempelkan telur pada dinding bagian dalam kontainer dan lebih menyukai permukaan dinding yang kasar. Permukaan dinding kontainer yang kasar lebih mudah dilekati telur dan ditumbuhi lumut sehingga lebih berpotensian menjadi tempat perkembangbiakan larva Aedes spp. (Kemenkes RI 2015).

Hemme et al. (2009), melaporkan bahan kontainer yang terbuat dari baja atau plastik tidak menunjukan adanya perbedaan nutrisi secara signifikan terhadap keberadaan larva Ae. aegypti di Trinidad, West Indies. Keberadaan larva Ae. aegypti

tergantung pada interaksi antara beberapa faktor biotik dan abiotik. Kandungan amonia di dalam air mempengaruhi populasi mikroba sebagai pakan larva nyamuk atau bisa juga menghambat perkembangan sebagai stressor untuk mengembangkan larva.

Warna Kontainer

Pada penelitian ini warna kontainer dibagi menjadi 2 yaitu berwarna gelap dan terang berdasarkan pengematan peneliti. Hasil pengamatan didapatkan sebagian besar kontainer dikategorikan berwarna terang (70.8%) (Tabel 6). Uji statistik memperlihatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara warna gelap dan terang kontainer dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.121) (Lampiran 1).

Warna kontainer menjadi salah satu daya tarik bagi nyamuk betina Ae. aegypti untuk meletakkan telur. Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai bertelur di dinding kontainer yang berwarna gelap. Penelitian yang dilakukan Budiyanto (2012) di sekolah dasar Kecamatan Baturaja Timur, Kota Baturaja, kontainer yang berwarna gelap lebih banyak ditemukan larva Ae. aegypti dan warna gelap

16

menunjukan korelasi dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.017). Hal ini dapat dikarenakan perbedaan jumlah kontainer yang positif larva Aedes spp. lebih banyak yang dikategorikan berwarna gelap dibandingkan dengan kontainer yang berwarna terang.

Bartlett et al. (2012) melaporkan bahwa dari 306 kontainer sampel di daerah perkotaan, pinggiran kota dan pedesaan di New Jersey, USA menunjukkan warna kontainer hitam dan abu-abu, berkorelasi dengan kehadiran spesies larva Ae. albopictus dan Ae. japonicus.

Letak Kontainer

Letak kontainer merupakan keberadaan kontainer yang ditempatkan, baik di dalam maupun di luar struktur bangunan. Jumlah kontainer yang ditemukan lebih banyak di dalam bangunan (61.59%) dan kontainer yang terdapat larva Aedes spp. juga banyak ditemukan dalam bangunan (15.31%) (Tabel 5). Uji stastistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara letak kontainer di dalam dan di luar bangunan terhadap keberadaan larva Aedes spp. (p=0.000) (Lampiran 1).

Kebiasaan istirahat nyamuk Ae. aegypti lebih banyak di dalam bangunan atau kadang-kadang di luar bangunan dekat dengan habitatnya yaitu di tempat yang agak gelap dan lembab, tempat-tempat tersebut digunakan nyamuk selama proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya. Hal ini sejalan dengan hasil identifikasi larva Aedes spp. yang didapatkan bahwa nyamuk Ae. aegypti lebih dominan.

Tabel 5 Keberadaan larva Aedes spp.berdasarkan warna, letak, kondisi tutup dan asal sumber air kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang

Karakteristik Kontainer

Keberadaan larva Aedes spp.

Jumlah % Ada larva % Tidak ada larva % Warna - Gelap 87 7.12 269 14.33 356 29.2 - Terang 175 22.03 865 56.5 865 70.8 Letak - Di dalam bangunan 187 15.31 565 42.27 752 61.59 - Di luar bangunan 75 6.14 394 32.27 469 38.41 Kondisi tutup - Tidak tertutup 259 21.22 913 74.78 1172 96 - Tertutup 3 0.24 46 3.76 49 4 Sumber air - Non PAM 32 2.62 42 3.44 74 6.1 - PAM 230 18.84 917 75.10 1147 93.9

17

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Budiyanto (2012), di sekolah dasar Kecamatan Baturaja Timur, Kota Baturaja bahwa semua kontainer yang positif larva Ae. aegypti berada di dalam bangunan. Begitu juga penelitian yang di lakukan oleh Zubaidah et al. (2014), di Kelurahan Surgi Mufti, Kota Banjarmasin jumlah kontainer yang lebih banyak ditemukan di dalam bangungan/rumah (75.09%) dan kontainer yang positif larva Aedes spp. juga terbanyak di dalam banguan/rumah (77.5%).

Menurut Fathi et al. (2005), keberadaan kontainer baik yang berada di dalam maupun di luar rumah merupakan faktor yang sangat berperan terhadap transmisi ataupun terjadinya kejadian luar biasa (KLB) DBD di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Penelitian lain melaporkan tidak ada pengaruh banyaknya jumlah kontainer didalam rumah terhadap keberadaan larva Aedes spp. di Dusun Mandingan, Desa Kebon Agung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul (p=0.818) (Imawati dan Sukesi 2015).

Kondisi Tutup Kontainer

Hasil pengamatan di lapangan ditemukan lebih banyak kontainer yang tidak memiliki tutup (96%) dan kontainer yang positif larva Aedes spp. juga ditemukan pada kontainer yang tidak memiliki tutup (21.22%) (Tabel 5). Uji stastistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara kontainer yang tertutup dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.013) (Lampiran 1).

Pada penelitian ini ditemukan kontainer yang memiliki tutup namun ditemukan larva Ae. aegypti. Kontainer yang memiliki tutup apabila digunakan sehari-hari dan dibiarkan dalam kondisi terbuka selama beberapa lama sehingga memungkinkan nyamuk Aedes spp. untuk meletakkan telurnya. Salim dan Febrianto (2005) melaporkan di Desa Saung Naga, Kabupaten OKU, propinsi Sumatera Selatan pada 50 kontainer yang memiliki tutup ditemukan larva Ae. aegypti

(52.78%).

Menurut Hasyimi et al. (2009) sebesar 93% nyamuk bebas masuk ke dalam penampungan air yang tidak memiliki tutup untuk bertelur dibandingkan kontainer memiliki tutup di Bekasi dan Tanggerang. Penelitian lain yang dilakukan di Kelurahan Penajam, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, dari 207 TPA yang dalam keadaan terbuka terdapat sebanyak 41.5% positif larva Ae.aegypti dan terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi tutup kontainer dengan keberadaan larva Ae.aegypti. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang membersihkan TPA secara rutin (seminggu sekali) (Badrah dan Hidayah 2011).

Sumber Air

Sebanyak 230 kontainer (18.84%) yang terdapat larva Aedes spp. berisi air yang berasal dari pengolahan daerah air minum (PDAM). Uji stastistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara sumber air kontainer PDAM dan non PDAM dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.000) (Lampiran 1).

Sumber air yang dimaksudkan adalah asal air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari di sekolah yang ditampung dalam kontainer. Kurang lancarnya distribusi air dari (PDAM) di Kota Palembang menyebabkan pihak sekolah menampung air dalam yang berukuran cukup besar

18

dengan volume air yang banyak dan disimpan dalam jangka waktu yang lama serta jarang dibersihkan/di kuras, berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti.

Penelitian yang dilakukan oleh Sayono et al. (2011) dalam skala laboratorium terhadap ketahanan hidup larva Ae. aegypti pada air PAM sangat rendah dan tidak dapat tumbuh normal namun dapat hidup sampai 1 bulan. Air PAM pada umumnya mengandung tawas, klor, kapur ataupun bahan-bahan kimia lainnya yang dapat membuat larva nyamuk mengalami kematian bila konsentrasi dari bahan-bahan kimia yang digunakan tersebut berlebihan.

Menurut Ayuningtyas (2013) dari 49 rumah di Kelurahan Bangetayu Wetan, Kota Semarang yang sumber airnya berasal dari air susia gali/artetis 42.9% ditemukan larva Ae. aegypti dan dari 6 rumah yang sumber airnya berasal dari air PDAM hanya 16.7% positif ditemukan larva Ae. aegypti. Secara statistik tidak terdapat pengaruh asal sumber air terhadap keberadaan larva Ae. aegypti.

Pemeliharaan Ikan

Sebagian besar kontainer yang diperiksa tidak terdapat ikan (99.8%) dan semua kontainer yang terdapat larva Aedes spp. juga tidak terdapat ikan, sehingga tidak bisa dilakukan uji statistik (Tabel 6).

Berbagai laporan mengenai pengendalian secara biologi menggunakan ikan cukup efektif dan efisien. Penelitian yang dilakukan di Sumatera Selatan dalam skala laboratorium penggunaan ikan cupang yang berukuran 4 cm dinilai paling efektif karena mampu memakan larva Ae. aegypti sebanyak 100 ekor dalam waktu 8 jam. Selain itu jenis ikan ini memiliki daya tahan yang cukup baik pada air yang mengandung temefos dosis anjuran (1gr/10L air) selama pengamatan 20 hari (Taviv et al. 2007).

Selain ikan cupang ikan mas juga dapat digunakan sebagai pengendalian biologis. Sofiana (2013) melaporkan uji coba ikan sebagai predator biologi di Kelurahan Gajah Mungkur, Kota Semarang selama 2x24 jam menunjukan ikan mas merupakan ikan pemakan larva Ae. aegypti terbanyak dibandingkan terhadap ikan nila dan ikan cethul (guppy). Ikan mas memiliki daya adaptasi dan daya tahan yang baik di bak penampung air. Salah satu keunggulan ikan mas adalah perilakunya yang tenang di bak air sehingga tidak ada kemungkinan melompat dari bak mandi.

Penggunaan Larvasida (temefos)

Hasil pengamatan didapatkan hampir semua kontainer yang diperiksa (99.8%) tidak terdapat temefos dan kontainer yang terdapat larva Aedes spp. semuanya tidak ditemukan penggunaan temefos (21.46%) (Tabel 6). Wawancara dengan petugas UKS maupun petugas kebersihan disekolah bahwa pernah menggunakan temefos dan sebagian besar dengan cara ditabur. Pada penelitian ini residu temefos tidak diukur, hanya berdasarkan pengamatan dan pengakuan dari responden saja.

Penggunaan temephos sangat berhubungan erat dengan pengetahuan dan perilaku masyarakat mengenai cara aplikasi temephos yang benar. Pemakaian dengan cara ditaburkan menjadi tidak efektif apabila aktifitas pengurasan tempat penampungan air cenderung sering dilakukan.

19

Tabel 6 Pemelihara ikan, penggunaan larvasida, pH, suhu air dan frekuensi pengurasan dalam kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang

Karakteristik Kontainer

Jumlah kontainer yang di periksa

Jumlah % Ada larva % Tidak ada larva % Pemeliharaan ikan - Ya 1 0,08 2 0.16 3 0.2 - Tidak 261 21.38 957 78.37 1218 99.8 Penggunaan larvasida - Ya 0 0 2 0.16 2 0.2 - Tidak 262 21.46 957 78.37 1218 99.8 pH air - Optimum 243 19.90 950 77.80 1193 97.7 - Tidak optimum 19 1.54 9 0.74 28 2.8 Suhu air - Optimum 246 19.90 906 78.37 1152 94.3 - Tidak optimum 16 1.55 53 0.17 69 5.7 Frekuensi pengurasan (seminggu terakhir) - Tidak di kuras 234 19.2 565 46.27 799 65.4 - Dikuras 28 2.26 394 32.27 422 34.6

Pengendalian secara kimia menggunakan temefos cukup efektif dalam mengendalikan larva Aedes spp. Penelitian yang dilakukan oleh Salim et al. (2011) pada dua kelurahan di Kota Palembang menunjukan temefos efektif membunuh larva Ae. aegypti dengan dosis 0,1 g/l dengan kematian 100%.

Menurut Raharjo (2009), dalam skala laboratorium pada wadah keramik, logam, plastik, temefos 1% sangat efektif membunuh larva Ae. aegypti pada sumber air susia maupun PAM dengan rata-rata prosentase kematian 95%-100%. Pengukuran pH air.

Sebanyak 97.7 % kontainer yang diperiksa memiliki pH 6-7.5 dan pada pH air yang terdapat larva Aedes spp. juga berkisar 6-7.5 (19.90%) (Tabel 6). Uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara pH optimum dan pH tidak optimum dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.000) (Lampiran 1). pH optimal untuk pertumbuhan larva berkisar antara 6-7.5.

pH air sangat berpengaruh terhadap perkembangan larva Aedes spp. pH netral (7) merupakan media pertumbuhan plankton yang baik untuk menjaga ketersediaan makanan yang cukup untuk larva nyamuk. Menurut Sayono et al. (2011) kontainer yang bersumber dari air PAM dan terdapat larva Ae. aegypti memiliki pH 7.1.

Penelitian yang dilakukan oleh Rhida et al. (2013) di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan menunjukkan hasil pengukuran didapatkan perbedaan nyata pH air dengan keberdaan larva Ae. aegypti dengan rata-rata pH yaitu 5.3.

20

Suhu Air

Hasil pengukuran suhu air di dalam kontainer berkisar antara 27,50C-330C. Kontainer yang paling banyak ditemukan larva Aedes spp. adalah kontainer yang terisi air bersuhu 29.50C, akan tetapi tidak ada hubungan antara suhu air dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.834) (Lampiran 1).

Penelitian yang dilakukan oleh Mohammed dan Chadee (2011) untuk mengetahui pengaruh suhu air terhadap perkembangan larva Ae. aegypti dalam skala laboratorium di Trinidad, West Indies diketahui suhu optimum berkisar antara 24°C-25°C dengan daya tetas sebesar 98%. Ukuran tubuh Ae. aegypti yang dipelihara pada suhu konstan 24°C-35°C secara signifikan lebih besar daripada larva yang dipelihara di bawah suhu 25-30°C.

Menurut Gonzales et al. (2011) suhu dan kelembaban udara mempunyai hubungan yang signifikan terhadap peningkatan kasus DBD. Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Ae. aegypti. Nyamuk Aedes akan meletakkan telurnya pada temperatur udara sekitar 20°C-30°C. Telur Aedes akan menetas pada 1 sampai 3 hari pada suhu 30°C, tetapi pada suhu 16°C dibutuhkan waktu selama 7 hari.

Couret et al. (2014) melaporkan perkembangbiakan larva Ae.aegypti pada populasi yang tinggi tidak dipengaruhi oleh suhu melainkan persaingan dalam mendapatkan makanan dan hal ini terjadi pada semua suhu air.

Pengurasan Kontainer

Sebagian besar kontainer yang diamati tidak dikuras seminggu terakhir (65.4%) dan 19,2% nya terdapat larva Aedes spp. Hasil uji statistik menunjukkan

Dokumen terkait